Sunday, May 12, 2013

Toleransi Berbusana


Oleh: HelmiJuni




Mengenai masalah yang kadang disebut “simbol-simbol Islam” seperti jilbab atau jenggot saya kira kita harus bisa saling bertenggang rasa juga.Saya beri tanda kutip karena ini sebenarnya bukan hanya orang Islam yang pakai, tetapi juga sebagian umat yang lain.

Kalau saya sendiri sebenarnya bersikap demokratis saja tentang masalah ini. Bila ada yang mau pasang jenggot ya silakan, kalau tidak ya boleh juga. Saya pun kadang-kadang suka menumbuhkan jenggot juga. Tetapi, memang lebih sering saya cukur saja. Biar awet muda. Wong itu memang hanya sunah saja, kok. Tidak wajib. Seperti juga shalat tarawih, shalat dhuha atau juga puasa Senin Kamis. Itu semuanya hanya sunah saja. Dikerjakan dapat pahala, kalau tidak ya tidak berdosa.

Ringkasnya, jangan memaksa orang pakai jenggot, tapi sebaliknya jangan pula ada yang memaksa orang mencukur jenggot. Bebas wae. Yang pakai jenggot itu bukan hanya mullah. Para rabbi Yahudi juga berjenggot, demikian pula pendeta Ortodoks Russia. Terserah selera dan pendapat masing-masing pihak. Seperti juga kita jangan memaksa para biksu untuk gondrong. Mereka lebih suka gundul, kok. Bila para biksu itu dipaksa gondrong ala Metallica mereka pasti akan marah-marah. Gundul itu asyik, lho. Segar dan semilir bila ada angin sepoi-sepoi. Jadi, jangan ada yang saling memaksakan kehendak karena itu sudah tidak demokratis lagi.

Sedangkan mengenai masalah jilbab, memang selama ini ada dua penafsiran yang berbeda. Mengenai hal ini rasanya terserah sajalah kepada setiap orang mau menganut yang mana. Mantapnya ikut mana, ya itu yang dianut. Kalau ada yang yakin bahwa itu ditafsirkan sebagai berjilbab, maka Anda tentunya harus mengenakan jilbab. Bila Anda ikut penafsiran yang lainnya, ya silakan juga. Asalkan pakaian Anda tersebut tetap rapi dan sopan. Jangan lantas telanjang bulat pergi ke pasar. Wah, kan yang lihat nanti senang. (Dan saya juga nanti ikut senang… Hus!) Dan Anda nanti bisa dijowal-jawil sama orang sepasar. Kan bisa celaka Anda nanti.

Ringkasnya lagi, jangan ada yang memaksa orang pakai jilbab, tapi sebaliknya jangan pula ada yang memaksa orang mencopot jilbab. Bebas saja. Terserah selera dan pendapat masing-masing pihak. Jangan ada yang saling memaksakan kehendak karena itu sudah tidak demokratis lagi. Kalau orang tidak pakai dihujat, orang pakai dihujat juga, ya repot. Jadinya nanti saling menghujat, seperti yang masih sering terjadi hingga saat ini.

Bila Anda suka pakai celana jean jangan lantas menyuruh semua orang pakai jean dan bilang celana lain itu haram. Sebaliknya, bila Anda tidak suka celana jean, jangan lantas merazia orang yang pakai jean. Itu tidak demokratis.

Kalau kita mau telusur sebentar sejarah perbajuan di Indonesia, sebenarnya nilai-nilai kepantasan dan kesopanan itu bisa berganti sepanjang zaman. Zaman dahulu, waktu belum ada pengaruh impor, ya keadaan busana kita tak jauh beda seperti yang pada di suku anak dalam (suku kubu misalnya) atau di Irian Jaya. Dan itu  busana yang sopan pada masa itu. Setelah itu dimulai zaman Hindu Budha. Ada pengaruh dari luar. Pakaian mulai tertutup, walau cuma bagian bawahnya. Bagian atas, baik laki-laki maupun perempuan masih telanjang. Anda bisa melihatnya di relief-relief candi. Saya pernah lihat juga foto-foto di  majalah National Geographic yang meliput Bali pada sekitar tahun 1920. Ya begitu keadaannya. Gadis-gadis, ibu-ibu, nenek-nenek pergi ke pura dengan telanjang dada. Pantaslah bila Antonio Blanco tumon kerasan di sana. Pecicilan saban hari dia.  Demikian pula tentunya keadaan pada zaman Singosari dan Majapahit. Patung Kendedes (Pradnya Paramitha) yang ada di Arjosari, Malang itu pun bertelanjang dada. Yah, jadi pingin piknik ke zaman itu jadinya. hehehe....

Kemudian tibalah zaman Islam. Orang yang semula hanya pakai jarik (sewek) atau celana saja kemudian ditambah dengan kebaya (wanita) dan surjan (laki-laki). Bagi yang kalangan santri biasanya ditambah dengan kerudung. Dan semenjak entah tahun berapa, mungkin setelah tahun 1945, orang Bali juga ikut pakai kebaya (abaya), ikut memakai busana Islami.

Jarik dan kebaya ini agaknya bisa bertahan dipakai oleh masyarakat luas hanya hingga zaman generasi nenek saya, setelah itu cuma menjadi pakaian adat yang dipakai pada upacara atau acara khusus seperti mantenan misalnya. Generasi ibu saya sudah memakai rok ala Barat. Setelah itu, mungkin sekitar akhir tahun 80-an, mulai ada orang yang memakai kerudung lagi, yang sedikit dimodif bentuknya dan dinamai jilbab. Dan entah kenapa, bila pemakaian kebaya dan kerudung pada zaman dulu tak terlalu menimbulkan banyak kontroversi, maka kalau jilbab menimbulkan banyak keributan. Kenapa kita tidak bebaskan saja orang untuk memakai  sesuai dengan selera dan keyakinan masing-masing? Kan terserah saja orang mau pakai apa, yang penting pantas dan sopan. Itulah inti dari demokrasi.

Nah, yang sering jadi salah kaprah lagi adalah pernyataan-pernyataan sebagian orang bahwa jilbab atau kerudung itu busana Arab. Wah, tambah ngawur itu. Saya pernah lihat  foto-foto di National Geographic zaman sebelum PD II, yang memperlihatkan gambar rakyat di Eropa Timur dan Rusia yang memakai pakaian tradisional mereka, yang juga memakai kerudung. Sebagian Eropa Barat zaman dulu juga begitu. Bahkan para suster di film Dolce Maria juga memakai jilbab. Demikian pula Bunda Theresa. Betul kan? Tak kalah rapatnya dengan jilbab yang dipakai ibu-ibu jamaah dibaan dan tahlilan. Padahal, tentu saja Dolce Maria  dan Bunda Theresa bukan orang Arab. Apakah lantas hendak kita fatwakan atau bikin undang-undang yang memerintahkan Bunda Theresa dan rekan-rekannya wajib copot jilbab? Jangan dong. Hormatilah keyakinan mereka juga. Lihat juga pakaian yang dipakai pada film-film Yesus atau Nabi Musa misalnya. Juga gambar-gambar Bunda Maria atau lady-lady yang lainnya. Mereka semua pakai kerudung walau tentu juga mereka bukan orang Arab.

Lalu bagaimana kemudian busana asli orang Arab badui? Apakah memang berkerudung atau berjilbab? Hmm.. kali ini Anda saya persilakan saja untuk melihat dan browsing sendiri. Silakan saja lihat di wikipedia atau lainnya yang memperlihatkan gambar busana orang Arab sebelum abad ke-20, yakni yang masih asli.

Jadi, ringkasnya di sini adalah hormatilah keyakinan orang lain dan pendapat orang lain. Silakan Anda semua memakai busana sesuai dengan keyakinan Anda masing-masing. Jangan ada yang saling hujat menghujat. Mau pakai jenggot silakan, tidak pakai ya silakan. Mau pakai kerudung silakan tidak pakai ya silakan. Mau pakai jubah silakan tidak pakai ya monggo. Yang penting pakaian yang kita pakai itu pantas dan sopan. Terserah kita sreg-nya pakai apa. Perkara dalil-dalilnya, mana yang lebih benar? Yah, untuk masalah yang ini saya hanya bisa bilang itu masalah khilafiyah. Bila diperdebatkan maka tak akan ada habisnya.

Begitu saja. Mudahan-mudahan kita bisa menghormati pendapat dan keyakinan tiap-tiap orang. tak ada yang saling menghujat lagi hanya karena masalah jenggot atau jilbab. Dan semua orang bisa tenang memakai pakaian sesuai pilihannya masing-masing.

20 Oktober 2010