Sunday, May 12, 2013

Gradualisme Atau Punctuated Equilibria?


Oleh: Helmi Junaidi




Ini adalah masalah yang hingga sekarang masih sering menjadi perdebatan di kalangan ahli evolusi, yaitu antara pendukung teori gradualisme model Darwin dan punctuated equilibria. Teori yang terakhir ini mula-mula dicetuskan oleh Stephen Jay Gould, ahli paleontologi dari Universitas Harvard dan Niles Eldredge dari Universitas Columbia. Satu hal yang biasanya menjadi pokok perdebatan antara pendukung gradualisme dan punctuated equilibria adalah adanya suatu organisme atau fosil yang relatif stabil (tetapi tetap mengalami perubahan juga) dalam jangka waktu yang lama dan kemudian tiba-tiba mengalami perubahan yang cukup banyak dalam waktu yang cukup singkat. Kata “singkat” di sini menurut ukuran waktu geologi tentunya, dan ini bukanlah hanya seribu atau dua ribu tahun, tetapi minimal puluhan ribu tahun. Kita misalnya bisa mendapati beberapa jenis organisme yang tetap hidup hingga sekarang dan tak terlalu banyak mengalami perubahan dan karena itu sering juga disebut sebagai fosil hidup, seperti misalnya kepiting raja (horseshoe crab), tuatara dan ikan coelacanth. Coelacanth ini masih bisa ditemukan di Lautan Timur Afrika dan sekitar Pulau Madagaskar. Dan pada tahun 1998 juga ditemukan di laut sebelah Selatan Pulau Sulawesi. Sementara itu, banyak juga organisme yang tidak mengalami hal semacam itu, tetapi berubah secara perlahan-lahan dan ber-radiasi menghasilkan berbagai macam organisme baru. Jadi, memang ada dua hal semacam itu. Tetapi, sebagaimana diketahui, organisme yang dikatakan stabil itu sebenarnya mengalami perubahan juga, tidak benar-benar stabil. Tetap ada perubahannya. Jadi hanya sekedar relatif stabil. Berkenaan dengan coelacanth, tuatara serta beberapa fosil hidup lainnya, keadaan mereka yang relatif stabil tersebut mungkin karena kondisi fisik organisme tersebut relatif fleksibel dengan kondisi lingkungan yang selalu berubah. Jadi, sementara organisme lain banyak mengalami perubahan, mereka hanya perlu sedikit perubahan fisik saja untuk beradaptasi.

Fenomena semacam ini agaknya disebabkan karena perubahan pada organisme itu bukanlahlah suatu hal yang bersifat wajib, tetapi hanyalah tergantung lingkungan yang dihadapi oleh organisme tersebut. Dan kita tahu bahwa iklim dan keadaan lingkungan yang ada di bumi ini bermacam-macam keadaannya. Jadi, organisme yang kebetulan diteliti oleh mereka yang kemudian menimbulkan pendapat bahwa proses evolusi itu berlangsung secara mendadak itu adalah kebetulan suatu organisme yang tinggal di suatu lingkungan yang keadaannya relatif stabil juga. Jadi, bukan gejala yang umum bagi semua organisme, tetapi hanya gejala khusus saja. Khusus di sebagian tempat tertentu saja. Dengan demikian, organisme tersebut tak perlu terlalu banyak mengalami perubahan karena lingkungannya juga tak terlalu banyak berubah. Kalau mereka berubah malah justru bisa punah karena tak sesuai lagi dengan lingkungannya. Setelah mengalami masa stabil yang relatif lama, maka di lingkungan tersebut terjadi perubahan iklim yang cukup drastis sehingga terjadilah perubahan yang cukup besar pada organisme tersebut. Dan kita tahu, tidak semua organisme mendiami lingkungan yang stabil tersebut, tetapi menghuni berbagai tempat di muka bumi dan sebagian besar tempat di muka bumi ini adalah berada dalam kondisi yang secara konstan terus-menerus mengalami perubahan. Dengan demikian, mereka tak ada kesempatan untuk mengalami kestabilan pula. Jadi, agaknya penyebabnya adalah hal semacam itu sehingga terjadi adanya dua gejala semacam itu. Tetapi, yang jelas punctuated equilibria itu hanyalah gejala khusus di sebagian tempat bagi sebagian kecil organisme saja. Dan sekali lagi, satu hal yang tidak kalah pentingnya untuk diingat, mereka tidaklah berada dalam kondisi yang betul-betul stabil (equilibrium), tetapi tetap mengalami perubahan juga karena semua tempat di muka bumi ini memang senantiasa dalam keadaan berubah pula, baik perubahan besar maupun kecil. Tidak betul-betul suatu equilibrium.

Seandainya--sekali lagi seandainya--punctuated equilibria ini memang benar terjadi, agaknya hanya bersifat khusus saja pada beberapa spesies tertentu di tempat tertentu saja dan tidak bisa menerangkan proses evolusi mahluk hidup secara keseluruhan. Teori ini akan bisa menemui kesulitan bila untuk menerangkan proses evolusi sebagian besar mahluk hidup, termasuk juga leluhur manusia, yaitu dengan adanya fosil-fosil transisi dari hominid yang berbentuk setengah Homo erectus dan Homo sapiens dan setengah Homo erectus dan Homo neandertalensis. Salah satu di antaranya, yaitu proses dari Homo erectus ke manusia Neandertal, bisa kita lihat pada kutipan berikut:

Bukti-bukti fosil yang ada selama ratusan ribu tahun sebelum adanya manusia Neandertal menunjukkan perubahan secara gradual dari bentuk Homo erectus menjadi jenis yang bentuknya mendekati Neandertal. Terutama di Eropa Barat, bukti-bukti menunjukkan bahwa ukuran dan frekuensi ciri-ciri anatomi dari H. erectus secara gradual semakin berkurang dan ciri-ciri yang semakin mendekati bentuk Neandertal mengalami peningkatan secara gradual. Dari bukti-bukti ini, kemunculan secara gradual manusia Neandertal dari populasi regional yang telah ada sebelumnya bisa disimpulkan, terutama di Eropa Barat dan mungkin juga di seluruh wilayah geografis mereka.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada leluhur Neandertal dan Neandertal yang ada kemudian ditandai oleh ciri-ciri anatomi mereka. Ukuran otak mereka secara gradual semakin meningkat sehingga volumenya setara dengan otak manusia modern, relatif kepada ukuran tubuh, sekalipun otak dan tengkorak tempat otak mereka cenderung agak panjang dan lebih rendah ketimbang manusia modern. Wajah manusia Neandertal tetap besar dan panjang, serupa dengan leluhur mereka dan tetap mempunyai tulang kening serta gigi dan hidung yang menonjol. Mereka juga tetap tidak mempunyai dagu. Gigi geraham depan dan geraham berkurang ukurannya hingga mencapai ukuran manusia modern yang paling awal. Oleh karena itu, otot mengunyah mereka dan daerah pipi juga mereka juga menjadi turut berkurang ukurannya. Meski demikian, gigi seri dan taring tetap besar ukurannya, serupa dengan leluhur mereka, hal ini menunjukkan bahwa gigi-gigi tersebut tetap digunakan sebagai tangan ketiga. (Neandertal Origins and Anatomy, Encyclopedia Britannica).

Dari kutipan di atas rasanya bisa menjadi jelas bahwa proses evolusi manusia itu khususnya, dan juga beragam organisme lain pada umumnya, terjadi secara gradual saja. Tidak secara tiba-tiba.

Selain itu, teori punctuated equilibria juga akan kesulitan untuk menerangkan adanya overlap pada leluhur manusia, yaitu di mana spesies lama masih hidup sementara spesies baru sudah lahir dan hidup sezaman dengan yang lebih lama, dan bila perubahan itu masih belum terlalu jauh, maka kedua spesies bisa melakukan perkawinan. Lihat kutipan terakhir nanti. Ini tentu menandakan perubahan yang gradual karena perbedaan gen mereka  yang cuma sedikit saja. Bila perubahan itu langsung mendadak banyak, dari spesies satu meloncat ke spesies lain yang sama sekali berbeda,  maka mustahil bisa ada perkawinan.

Dua spesies yang hidup berbarengan itu biasanya juga terlibat berkompetisi untuk memperebutkan “lebensraum” dan sumber makanan. Dari proses semacam ini, seperti telah disebut di atas,  bisa  juga kemudian terjadi interbreeding dan penyerapan mereka yang terkalahkan. Jadi, walau jenis mereka sudah musnah, tetapi gen mereka masih tetap ada pada sebagian--sebagian saja--generasi selanjutnya dari jenis spesies yang telah menaklukkannya.

Mengenai hal ini agaknya kita bisa juga mengambil analogi dari teori uniformitarianisme bahwa proses yang terjadi saat ini adalah juga proses yang terjadi pada lampau sebab proses semacam ini pula yang nampaknya terjadi pada leluhur manusia. Dan tentunya pula proses yang akan senantiasa terjadi pada masa depan. Contoh yang paling jelas mengenai hal ini, karena memang yang paling banyak terdokumentasi, bisa kita lihat dalam sejarah Eropa dan wilayah Laut Tengah di mana ras-ras manusia dari berbagai wilayah saling berkompetisi, saling menaklukkan dan akhirnya saling menyerap satu sama lain. Kadangkala bisa juga membentuk ras baru bila jumlahnya cukup berimbang. Contoh pertama bisa kita lihat dari proses musnahnya bangsa Sumeria. Ras dan kultur mereka memang musnah secara tuntas, tetapi gen mereka tetap hadir pada bangsa Semit yang menaklukkan mereka. Dan gen orang Sumeria ini tentunya juga masih terdapat dan mengalir pada sebagian orang Irak modern. Atau kita bisa melihat nasib penduduk Kartago. Bangsa Phunisia ini memang telah musnah sebagai bangsa, tetapi gen mereka tentunya masih tetap ada, termasuk juga pada sebagian orang di Italia karena setelah kehancuran Kartago ratusan ribu penduduknya dibawa ke Roma sebagai budak belian. Contoh yang lainnya, kita juga bisa melihat terserapnya populasi Mesir kuno ke dalam Muslim Arab dan dalam sejarah Eropa kita bisa melihat nasib bangsa Picta, Kelt, Hun, Avar, Goth, Vandal, Lombard atau yang lainnya. Ras dan kultur mereka memang telah lama punah, terserap oleh bangsa pemenang yang kemudian menguasai mereka, tetapi gen mereka tidak turut punah. Tetap ada dan tetap hadir hingga zaman modern sekarang ini. Uniformitarianisme James Hutton agaknya turut berlaku pula di sini, walau bukan dalam masalah geologi. Keterangan berikut ini rasanya bisa memperkuat hal tersebut.

Tentu saja, H. sapiens tidak langsung terbentuk secara tiba-tiba dari leluhur mereka H. erectus. Tetapi, hal ini melalui proses evolusi mosaik, dan mereka seringkali berkawin silang selama masa pembentukan fungsi-fungsi yang bersifat kompleks lainnya. Hasil kombinasi dari H. erectus dan H. sapiens ini bisa ditunjukkan dengan baik pada sejumlah spesimen, yang paling terkenal yaitu Omo II, Steinheim, dan VĂ©rtesszollos. (Man's continuing evolution, Encyclopedia Britannica, Inc.).

Jadi, setelah terjadinya isolasi dan terbentuknya ras atau spesies baru, maka bila mereka bertemu dan masih mungkin terjadi perkawinan, maka akan terjadi penyerapan oleh yang lebih kuat sedangkan bila sudah tidak memungkinkan karena isolasi tersebut berlangsung terlalu lama maka yang terjadi adalah pemusnahan. Tetapi, bila kita melihat adanya manusia modern yang bentuk dagunya masih belum terlalu berkembang, yang menunjukkan ciri-ciri archaic, maka memang besar kemungkinan bahwa gen mereka masih survive. Apalagi bila kita mau melihat bentuk-bentuk wajah manusia di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, maka kita akan seringkali mendapati wajah-wajah yang tidak berdagu, atau dagu yang datar saja. Teman saya dulu ada juga yang kadang berolok-olok bila melihat tempat dagu di tali helm dan mengatakan bahwa itu tidak ada fungsinya bagi sebagian orang Indonesia karena orang-orang di sini banyak yang tidak punya dagu. Jadi, gen manusia purba itu memang masih hadir di antara manusia modern sekarang ini.

Dari beberapa keterangan di atas nampaknya sekarang kita bisa mengambil kesimpulan bahwa teori punctuated equilibria ini sudah sukar sekali dipertahankan lagi karena teori ini menyatakan bahwa proses evolusi itu terjadi secara tiba-tiba atau sudden burst, padahal umat manusia (dan juga makhluk hidup lainnya) itu ber-evolusi secara gradual saja. Bahkan, seringkali terjadi overlap antara masa hidup satu jenis hominid dengan hominid yang lainnya. Mereka tidak meloncat dari satu jenis ke jenis yang lainnya. Bahkan, gen manusia purba itu masih tetap hadir di antara manusia modern sekarang ini. Ada di antara Anda. Ada di antara kita semua. Dengan demikian, gradualisme nampaknya akan tetap bertahan untuk menjelaskan proses evolusi makhluk hidup di muka bumi ini.

Yogyakarta, 2002