Saturday, May 18, 2013

Kesetiaan, Apakah Itu Bertentangan Dengan Kehendak Alam?



Oleh : Helmi Junaidi




(Catatan: Artikel ini saya tulis tahun 1998. Jadi, majalah yang saya jadikan referensi di bawah saat itu masih uptodate. Ini juga tanpa referensi dari internet, masih sangat jarang dan mahal warnet di Yogya saat itu. Cuma ada di daerah sekitar UGM, jauh dari tempat saya dan tarifnya kalau tak salah Rp 6.000 per jam. Sangat mahal karena makan di warung saat itu cuma sekitar Rp 1.000 saja. Setara dengan Rp 30.000 kalau diukur dengan uang sekarang. Malah seingat saya, waktu pertama kali masuk Yogya tarif warnet Rp 12.000 per jam. Ini juga tanpa referensi dari ensiklopedi digital, tidak bisa karena komputer saya dulu masih pakai sistem DOS. Artikel ini belum pernah saya update dari berita-berita terbaru di internet. Bila ada yang perlu diperbarui ya nanti kapan-kapan saja. Silakan baca seadanya ini dulu saja. Happy reading).


Judul di atas saya pinjam dari judul laporan utama sebuah majalah terbitan Paris, Ca m’interesse, edisi September 1994, yang mengulas masalah ini dengan cukup baik. Bahasa aslinya adalah “La fidelite, est-elle contre nature?”. Sementara itu sub-judulnya berbunyi, “Pourquoi l’homme tente-t-il desperement d’etre fidele, alors que les lois de l’evolution et de la nature favorisent plutot la multiplicite de partenaire” yang artinya adalah mengapa manusia itu berusaha keras untuk setia, sedangkan hukum evolusi dan hukum alam menjadikannya cenderung untuk mempunyai banyak partner? Ilustrasi foto utamanya mungkin “kurang menggembirakan” bagi kaum wanita karena memperlihatkan seorang wanita yang sedang berjalan bergandengan dengan seorang pria, tetapi matanya melirik ke arah pria lain yang sedang lewat di sampingnya.

Laporan utama ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama (hlm. 54-55) membahas sistem perkawinan yang ada pada berbagai jenis hewan. Pada hewan 90 % menganut sistem poligami dan 10% monogami. Sedangkan pada bagian kedua (hlm. 56-57) membahas masalah ini dengan mencoba melacak kembali ke zaman purba. Ternyata, sistem perkawinan pada manusia bisa berubah-ubah. Pada majalah ini hanya disebutkan perubahan dari poligami ke monogami. Tetapi, dari perjalanan evolusi manusia yang selanjutnya kita bisa melihat bahwa ternyata bisa juga terjadi hal yang sebaliknya. Dan bahwa perubahan tersebut tergantung kondisi alam lingkungannya. Kiranya perlu kita ingat di sini bahwa manusia itu, baik fisik maupun instingnya, adalah dibentuk oleh alam. Sedangkan isi bagian ketiga dari laporan utama tersebut membahas bagaimana pada zaman modern ini manusia menggantikan sistem poligami dengan tradisi kawin cerai. Dan kawin cerai berulang kali ini tentunya untuk memenuhi insting berhubungan dengan banyak partner juga.

Sebelum membahas masalah ini lebih jauh, kiranya perlu dipahami bahwa saya di sini tidaklah bermaksud mendukung atau pun menganjurkan orang untuk menganut salah satu sistem perkawinan yang ada. Saya di sini bersikap netral saja. Hendaklah hal ini nanti bisa benar-benar diperhatikan. Saya hanya mencoba untuk menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan masalah ini, terutama dari sudut pandang anthropologi saja. Dan sudut pandang keilmuan tentunya memang adalah sudut pandang yang bisa dikatakan sepenuhnya netral saja.

Terus terang, sebenarnya saya secara pribadi merasa agak enggan juga untuk membahas masalah karena khawatir nanti akan disalahpahami atau pun disalahtafsirkan dan lantas untuk digunakan sebagai pembenar untuk melakukan hal–hal yang tidak benar. Oleh karena itu saya di sini nanti tidak akan mengambil kesimpulan-kesimpulan. Saya di sini nanti hanya akan memberikan gambaran-gambaran bagaimana sebenarnya sifat dan kodrat manusia itu secara alamiahnya, secara naturalnya, sedangkan kesimpulannya sendiri nanti saya serahkan kepada pembaca masing-masing. Atau katakanlah, saya di sini hanya ingin menelanjangi salah satu insting manusia yang selama ini terasa selalu ditutup-tutupi dengan berbagai sebab dan alasan. Oleh karena itu, bersiap-siaplah, karena saya nanti akan segera mengajak Anda untuk “telanjang” bersama-sama. Tapi, jangan khawatir, ini bukanlah adegan porno.

Saya di sini nanti mungkin saja akan bisa membuat kesalahan-kesalahan, terutama sekali di dalam mencari penyebab timbulnya suatu insting pada manusia karena masalah ini memang cukup sulit juga. Akan tetapi, mudah-mudahan saja sebagian besar di antaranya nanti bisa terbukti benar karena saya di sini telah berusaha sedapat mungkin untuk mengutarakan pemikiran-pemikiran yang kiranya mempunyai landasan yang cukup kuat. Dan bila pun nanti ada kesalahan-kesalahannya, paling tidak ini nanti akan bisa membuat kita mulai untuk membahas masalah ini dengan cara-cara yang ilmiah.

Secara umum, bila yang membahas masalah poligami ini adalah kaum awam di Barat sana, apalagi kaum feminisnya, maka tentu akan berapi-api menentangnya. Apalagi kaum agama di sana. Sekedar retorika paling tidak. Sebab praktek memang tak selalu sesuai dengan retorika, bukan? Dan kita semuanya tentu tahu bahwa kaum wanita di Barat sana pun seringkali punya sekaligus banyak partner, apalagi kaum prianya. Masyarakat di Barat pun menganggapnya sebagai hal yang lumrah dan biasa saja. Toh, Clinton tetap bisa melenggang dengan aman hingga akhir masa pemerintahannya. Dari ribuan situs porno yang merajalela di internet, produser maupun modelnya pun sebagian besar orang Barat juga. Dan kita semuanya tentu tahu bahwa penyebab menyebarnya wabah AIDS karena orang-orang di Barat sana punya banyak partner seksual (multiplicite de partenaire). Sementara itu, bila yang membahas adalah dari kalangan Islam, maka pendapatnya bisa berbeda-beda. Ada yang setuju, ada pula yang kurang setuju. Masalah khilafiah, begitulah.

Bila membaca ulasan tentang masalah ini, sebenarnya yang paling baik adalah membaca karya para anthropolog. Karena mereka membahasnya terutama dari sudut pandang keilmuan, bukan yang lain-lainnya. Mereka pun cukup paham dengan permasalahan yang dibahasnya. Oleh karena itu, saya di sini akan membahasnya terutama dari sudut pandang anthropologi pula, dari sudut manusiawinya, bukan dari sudut pandang religius. Anthropologi sendiri artinya adalah ilmu yang mempelajari segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik itu mempelajari asal-usul manusia maupun mempelajari tradisi, budaya dan kehidupan sosialnya. Diambil dari kata anthropus yang artinya adalah manusia.

Perbenturan Dua Insting yang Berbeda


Masalah ini sebenarnya menjadi kompleks dan dilematis karena disebabkan di dalamnya berbenturan dua insting manusia yang masing-masing sama kuatnya, yang tidak mau mengalah satu sama lain, meskipun dalam banyak kasus salah satu dari insting tersebut harus ada yang dikorbankan. Insting tersebut adalah insting sosial, yaitu cinta (love) kepada keluarganya dan insting yang lebih bersifat pribadi, yaitu insting untuk mempunyai banyak partner (lust).

Perbenturan dua insting yang bertentangan ini juga terdapat pada beberapa jenis hewan yang lain meski dalam masalah yang berbeda-beda. Dan karena masalah ini berkenaan dengan anthropologi, maka pertama-tama saya akan memulainya dengan mengutip dari sebuah buku karya ‘mbahnya’ para anthropolog, yaitu buku yang berjudul The Descent of Man. Di sana disebutkan sebuah contoh yang cukup ekstrim dan mengejutkan dalam masalah, yaitu pada burung yang akan bermigrasi, padahal dia mempunyai anak yang masih kecil-kecil dan belum mampu mencari makan sendiri dan bila mereka ditinggal bermigrasi dengan begitu saja mereka akan bisa mati kelaparan. Dalam kasus ini, yang biasanya terjadi adalah insting bermigrasi mengalahkan insting keibuannya (maternal insting), padahal kita tahu bahwa insting keibuan ini adalah insting yang sangat kuat. Seekor burung yang paling penakut sekali pun akan berani menempuh bahaya yang sangat besar untuk melindungi anak-anaknya. Akan tetapi, dalam kasus ini, burung itu akhirnya memilih bermigrasi dan membiarkan anak-anaknya mati kelaparan.[1] Sadis? Tetapi, bukankah seperti yang saya katakan tadi, ini adalah contoh yang cukup ekstrim. Hal ini mungkin disebabkan karena insting untuk bermigrasi ini membuat jenis burung tersebut mampu survive ketimbang insting keibuannya sebab bila burung tadi tak turut bermigrasi bersama rombongannya, maka dia akan mati kelaparan bersama anak-anaknya karena musim akan segera berganti dan makanan hanya bisa didapat di tempat baru. Dari sini kita bisa melihat bahwa insting untuk survive itu memang sangatlah kuat.

Bila pertentangan dua insting yang berbeda pada burung tersebut berakhir dengan tragis, maka pada manusia bisa mengalami akhir yang bermacam-macam, tergantung takdirnya. Tetapi, bila kita melihat keadaan yang ada pada masyarakat kita saat ini, maka nampaknya sebagian besar orang lebih banyak orang yang rela untuk mengorbankan insting untuk mempunyai banyak partnernya demi tidak menimbulkan insting cemburu dari pasangannya. Sehingga dengan demikian keutuhan rumah tangganya bisa tetap terjaga dengan baik. Akan tetapi, bagaimana pun insting itu tetaplah ada.

Persamaan Insting dari Semua Manusia

Kita tahu bahwa semua manusia itu memang sebenarnya mempunyai insting yang sama. Ingin mempunyai partner yang berbeda jenis. Dan secara umum, mereka cenderung ingin mempunyai lebih dari seorang. Insting semacam ini terdapat pada semua orang, baik yang masih remaja maupun yang sudah menikah. Juga tak peduli apa pun agama mereka. Entah dia itu Islam, Kristen, Yahudi, Hindu atau Budha bahkan animisme sekali pun. Semuanya mempunyai insting yang sama. Juga tak peduli apa pun jabatannya. Entah itu guru, pegawai, seniman, presiden, menteri, perdana menteri, ulama, pendeta, pedagang, sopir helicak atau pun tukang becak. Semuanya sama saja. Semuanya mempunyai insting yang persis sama sebab apapun statusnya, apa pun jabatannya, apa pun agamanya mereka semuanya itu tetaplah manusia biasa. Bukan malaikat ataupun semacamnya. Jadi, mereka pun mempunyai insting yang persis sama pula. Demikian pula para nabi, mereka semuanya pun mempunyai insting sebagaimana manusia normal lainnya. Dan para nabi memang selalu adalah manusia yang normal, bukan abnormal. Kalau dia tidak abnormal, entah impoten atau homoseksual, maka tentu saja Tuhan tak bakalan akan memilihnya sebagai nabi. Para nabi pun memang mempunyai insting yang sama sebagaimana kita juga. Mengenai masalah ini kita tentunya sudah mengetahui kisah Abraham, David, Solomon atau pun kisah para nabi yang lainnya.

Bila kita berbicara tentang sistem perkawinan yang dianut para nabi, maka dari Amerika Serikat ada kisah yang menarik tentang hal ini. Pada abad kesembilanbelas, ada sekte Mormon yang didirikan oleh seorang “nabi” bernama Joseph Smith. Nabi debutan baru ini mempunyai pengikut yang cukup banyak, sampai ribuan orang dan kalau sekarang mungkin sudah jutaan. Setelah kematian Joseph Smith karena dibantai massa, kepemimpinan kemudian diambil alih oleh Birgham Young. Sekte ini mempraktekkan poligami tak terbatas atas dasar hal itu diajarkan oleh para nabi kitab Perjanjian Lama seperti misalnya Abraham, Jacob, David, Solomon dan juga para nabi yang lainnya. Birgham Young sendiri memberi “teladan” yang cukup baik kepada para pengikutnya. Istrinya berjumlah 27 orang. Dan untuk merayu calon istrinya, ia kadang mengatakan bahwa ia telah mendapat “wahyu” dari Tuhan untuk mengambil wanita itu jadi istri barunya. Tapi, kita semua tentunya lebih yakin bahwa “wahyu” tadi bukannya datang dari langit, tetapi datang dari balik celana kolornya. Mereka semuanya tinggal bersama dalam satu rumah, makan bersama pada satu meja dan setiap hari secara bersama-sama berlutut mengucapkan doa. Hebatnya, atau anehnya, mereka selalu hidup rukun dan tak pernah cekcok. Sekte ini mendapat pengakuan resmi dari pemerintah setelah menghapus sistem poligami. Tetapi, dasar ajaran yang dipakai oleh sekte ini nampaknya cukup kuat juga, yaitu “sunah” para nabi kitab Perjanjian Lama.

Persamaan Insting pada Pria dan Wanita


Ternyata, insting untuk mempunyai banyak partner ini pun terdapat pada kedua jenis, baik laki-laki maupun perempuan, sebab insting dasar manusia itu semuanya memang sama. Saya kira tak ada seorang pun di antara Anda yang akan bisa menyangkal hal ini. Tidak akan pernah ada. Silakan cek diri Anda masing-masing, baik Anda yang laki-laki maupun yang perempuan. Dan saya yakin jawabannya pasti adalah 100 persen BENAR.

Walaupun insting ini nampaknya berbeda-beda juga tingkatannya pada setiap individu, yaitu ada yang sangat kuat dan ada juga yang tak terlalu kuat, namun insting untuk mempunyai banyak partner ini secara umum nampaknya lebih kuat terdapat pada jenis laki-laki. Oleh karena itu, yang seringkali direpotkan dengan masalah ini adalah kaum laki-laki juga. Meski demikian, memang banyak juga wanita yang kecenderungannya dalam hal ini sama dengan kaum laki-laki atau malah bisa juga lebih kuat daripada rata-rata laki-laki.

Insting ini biasanya akan semakin berkembang bila keadaanya memungkinkan. Baik itu mengenai sikap masyarakatnya, atau pun bila seseorang itu mempunyai kemampuan atau kekuasaan untuk melakukannya. Banyak contoh mengenai hal seperti ini, baik bila yang melakukannya itu pria maupun wanita. Kita bisa membacanya di dalam buku-buku sejarah peradaban Barat maupun Timur. Baik itu di dalam kerajaan-kerajaan Islam di Asia dan Afrika, Kristen di Eropa, Hindu di India dan Indonesia atau pun Budha di Cina, Jepang dan lainnya. Juga meskipun ajaran agama tersebut melarangnya, tetap saja banyak yang melanggarnya. Pelakunya pun banyak di antaranya yang bukan orang sembarangan. Bisa dia itu seorang raja, ratu atau bahkan pejabat tinggi di dalam organisasi keagamaan.

Selain di negara-negara Timur, pada masa lampau memang banyak raja atau pun ratu di Barat yang mempunyai gundik atau pun kekasih di luar istri/suaminya. Jumlahnya kekasihnya pun bukan hanya satu atau dua orang saja, tetapi malah ada yang menyebutnya dengan istilah a swarm atau serombongan. Mengenai berbagai skandal yang dilakukan oleh para raja rasanya tidak usah saya sebutkan satu persatu contohnya. Terlalu banyak nanti dan bisa memenuhi satu buku. Tetapi, kalau contoh yang cukup terkenal adalah yang dilakukan Raja Henry VIII dari Inggris. Kisah ini cukup terkenal karena di antara para kekasihnya yang kemudian bisa beruntung (atau lebih tepatnya sial) diangkat jadi permaisurinya, banyak yang lantas berakhir riwayatnya di kapak algojo. Jadi, kalau sang raja sudah bosan, segera saja mereka dikirim ke algojo dan dipancung kepalanya. Habis perkara. Setelah itu, si raja bedebah tersebut kawin lagi. Uniknya, selalu ada saja wanita yang tertarik untuk jadi permaisurinya.

Selain itu, di Perancis ada tradisi para raja di negara Katolik tersebut untuk mengambil selir resmi (maƮtresse en titre). Yang paling terkenal di antaranya adalah Madame de Pompadour, selir resmi dari Raja Louis XV. Dan sudah menjadi tradisi pula, para wanita Paris saling berlomba untuk bisa menjadi selir raja. Bahkan, termasuk para wanita yang sudah beranak suami, di antaranya ya Madame de Pompadour tadi. Maklumlah, dengan menjadi selir raja segala kemewahan dan kemegahan, bahkan juga kekuasaan, bisa segera terpampang di depan mata. Pengambilan selir oleh raja ini tidaklah bersifat sembunyi-sembunyi, tetapi dengan terang-terangan dan sepengetahuan masyarakat umum. Bahkan dengan seizin dan sepengetahuan permaisuri. Juga diketahui oleh gereja dan masyarakat internasional. Madame de Pompadour ini turut aktif berpolitik dan berdiplomasi dengan raja-raja di luar negeri. Dan tradisi semacam itu terjadi di negara Katolik yang secara resmi melarang poligami. Tetapi, tak pernah terdengar protes dari gereja atau rakyat di sana. Sebaliknya, kaum wanita kalangan atas Paris malah saling berlomba untuk menjadi selir raja. Sebab tradisi itu memang tidaklah dianggap sebagai suatu cela, malah diidam-idamkan oleh banyak wanita di Paris dan merupakan suatu kebanggaan yang sangat tinggi bagi mereka untuk bisa menjadi selir raja. Salah seorang selir Louis XV yang lain adalah Comtesse du Barry. Sang comtesse ini tak terlalu banyak turut campur urusan politik. Tapi, ia turut aktif membantu kaum royalis pada masa berkobarnya revolusi dan riwayatnya pun kemudian berakhir di pisau guillotine.

Kalau skandal yang dilakukan oleh para ratu sering terjadi di Rusia, yang paling terkenal adalah Ratu Catherine the Great (1729-1796). Ia mempunyai banyak simpanan laki-laki sehingga ia terkenal dengan sebutan sexual lioness. Salah satu yang cukup terkenal bernama Grigory Orlov, seorang perwira tentara kerajaan yang dilukiskan bertubuh perkasa dan berwajah tampan bagaikan dewa Yunani, tetapi berperangai ganas seperti manusia gua. Seringkali wajah sang ratu menjadi lebam dan babak belur digebukinya. Bak buk gedebak gedebuk!! Begitu bunyi gebukannya. Tetapi, ratu tetap sabar dan tawakkal. Dianggapnya saja itu sebagai “gebukan sayang”. Ia tetap menyayangi si Orlov yang tampan dan gagah perkasa itu dan kerap menganugerahinya berbagai macam hadiah. Diberinya istana-istana lengkap dengan ratusan pelayan dan dianugerahinya juga berbagai macam gelar kehormatan.

Tapi, Orlov pada akhirnya bosan juga dengan sang ratu, pergi meninggalkan istana dan kawin dengan perempuan lain. Setelah itu, kekasih utama ratu adalah Grigory Potemkin, seorang laki-laki bermata satu yang kehilangan sebelah matanya dalam suatu perkelahian seru di rumah minum. Si mata satu ini kemudian menjadi orang yang paling kaya dan paling berkuasa di Rusia. Dan di hari-hari terakhir kekuasaan Catherine, ia berkuasa di Rusia bagaikan seorang maharaja.

Selain yang menyangkut para raja dan ratu, pada masa lampau juga seringkali terjadi skandal dalam gereja dan kepausan. Bahkan, sudah menjadi kebiasaan para petinggi gereja pada masa itu, termasuk para kardinal dan juga Paus, untuk mempunyai simpanan di rumahnya. Skandal yang cukup menonjol antara lain terjadi pada masa Sergius III (masa kepausan 904-911), yang mempunyai anak di luar nikah dengan seorang perempuan bangsawan di Roma. Anak hasil hubungan gelap ini kemudian menjadi Paus juga, yaitu Paus John XI (masa kepausan 931-936). Seorang sejarawan, William L. Ranger, menyebut masa ini sebagai masa pornokrasi.[3] Tetapi, ini bukanlah peristiwa satu-satunya. Hanya yang cukup terkenal saja sebab seperti yang telah saya sebutkan di atas, hal semacam ini sudah menjadi semacam kebiasaan dan tradisi yang lumrah-lumrah saja selama berabad-abad lamanya. Jadi, dilakukan dengan asyiknya oleh banyak petinggi gereja, bukan hanya terbatas satu dua orang saja.

Satu lagi kisah yang cukup terkenal, bahkan lebih heboh lagi, terjadi pada masa Paus Alexander VI, yang bernama asli Rodrigo Borgia (1431-1503), seorang keturunan bangsawan dari Spanyol. Paus ini mempunyai banyak anak. Tabiat salah seorang anak Paus ini, yaitu Pangeran Cesare Borgia (1476-1507) menjadi sumber inspirasi bagi Machiavelli (1469-1527) untuk menulis buku Il Principe (Sang Pangeran) yang terkenal itu. Pangeran yang dimaksud di dalam buku Machiavelli itu memang adalah Pangeran Cesare Borgia bin Paus Alexander Borgia. Machiavelli pernah bertemu dengan Pangeran Borgia sewaktu bertugas sebagai duta besar Florence. Dan ia agaknya sangat terkesan dengan tabiat pangeran yang berangasan tersebut dan kemudian menjadikannya sebagai idola dalam bukunya. Film yang mengupas kisah cinta anak Paus yang satunya, yaitu Lucrezia Borgia, dan juga berbagai intrik perkawinan politiknya, pernah juga masuk layar lebar. Hasil co-produksi perusahaan film Italia-Perancis. Pemeran utamanya adalah aktris Italia Gina Lollobrigida.

Masa kepausan Alexander VI ini oleh Gereja kemudian dianggap sebagai halaman hitam dalam sejarah kepausan. Berbagai skandal dalam gereja inilah, selain juga kehidupan serba mewah dan pemborosan keuangan dalam gereja, yang menjadi salah satu sebab timbulnya gerakan Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther (1483-1546). Luther merasa sangat terkejut ketika dia berkunjung ke Roma dan melihat keadaan Gereja yang sedemikian rusaknya pada masa itu. Ia pun lalu bertekad melakukan pemberontakan. Dan beberapa tahun sepulangnya dari Roma, Luther kemudian memakukan 95 tesisnya di pintu gerbang gereja Wittenberg. Setelah itu, api peperangan pun segera berkobar dengan ganasnya di seluruh Eropa. Jutaan korban tersungkur sia-sia dan mengirim pengungsi hingga ke benua Amerika. Sisa-sisa dari sumbu yang disulut oleh Luther itu pun hingga sekarang masih tetap menyala di Irlandia Utara sana.

Bila membaca penjelasan di atas, bahwa ada paus yang pernah mempunyai anak, bahkan anaknya itu diangkat menjadi paus juga, mungkin banyak di antara Anda yang akan merasa sangat terkejut. Saya sendiri juga demikian ketika pertama kali mengetahui hal ini. Merasa terheran-heran dan tidak percaya. Bila ada di antara Anda yang masih tidak percaya juga silakan Anda baca sendiri buku-buku sejarah yang mengupas masalah ini. Atau bisa juga Anda membacanya di dalam ensiklopedi. Ada juga di sana. Tetapi, walau mungkin banyak di antara Anda yang baru mengetahuinya kali ini, hal ini sebenarnya sudah umum diketahui oleh masyarakat di Barat sana. Bukankah Machiavelli dengan buku Il Principe-ya adalah tokoh yang sudah sangat terkenal?

Tetapi, memang demikianlah sifat manusia sebab, sekali lagi, apa pun jabatannya, setinggi apa pun statusnya, biar pun itu raja, ratu, paus atau pun pendeta, mereka semuanya itu hanyalah sekedar manusia biasa. Manusia biasa dengan insting yang sama dengan manusia yang lainnya. Dan tidak akan pernah ada orang yang akan bisa dan mampu untuk melepaskan diri dari sifat-sifat manusiawinya, meskipun dia itu orang yang dianggap sebagai orang suci sekali pun. Baik dia itu seorang mufti, mullah, ayatullah, biksu, pastur, pendeta atau pun brahmana.

Tentang masalah ini, malah ada sebuah kisah yang cukup menarik, khususnya tentang para biksu. Beberapa sekte Budha di Jepang ada yang mengizinkan pendetanya untuk menikah. Semasa pendudukan Jepang di Korea, sekte ini mempengaruhi banyak pendeta di sana. Suatu ketika, saat Presiden Syngman Rhee berkunjung ke seorang biksu, ia mendapati biksu tersebut tengah asyik bercengkerama dengan seorang wanita. Dengan malu-malu biksu tersebut kemudian mengakui bahwa wanita itu adalah istrinya. Kontan saja presiden Rhee menjadi terkejut setengah mati. Ia pun segera mengeluarkan perintah untuk merestorasi kehidupan selibat bagi para biksu. Dan setelah diperiksa, ternyata kemudian didapati bahwa pada saat itu sekitar 5000 (lima ribu) pendeta Budha di sana mempunyai istri.[2] Gile bener.

Tapi, sekali lagi, memang begitulah sifat semua manusia. Semua manusia itu memang mempunyai insting yang sama seperti kita-kita juga walaupun dia sudah bergelar santa atau santo sekali pun. Mereka juga punya insting seperti juga kebanyakan manusia pada umumnya. Kita bisa berkata demikian sebab manusia yang derajatnya paling suci dan paling tinggi sekali pun, yaitu para nabi, ternyata juga mempunyai insting yang tak berbeda dengan manusia yang lainnya. Apalagi mereka yang bukan nabi. Dan seperti yang telah disebutkan di atas, kita juga telah mengetahui bahwa para nabi pun semuanya beristri dan berkeluarga, bahkan rata-rata para nabi kitab di Perjanjian Lama itu mempunyai banyak istri. Jadi, semua manusia itu memang mempunyai insting yang sama, tak peduli dia orang suci atau pun dianggap “tuhan” sekali pun.

Penyebab Timbulnya Insting Banyak Partner


Insting untuk mempunyai banyak partner ini, tidak diragukan lagi, adalah disebabkan karena setiap jenis makhluk hidup, harus selalu berkembang biak dalam jumlah yang sangat banyak, atau boleh dikatakan sebanyak mereka sanggup, agar kelestarian jenisnya dapat terjaga. Bila berhubungan dengan semakin banyak partner, maka tentunya jumlah keturunan nanti akan bisa semakin banyak. Dan insting semacam ini pun terdapat pada setiap makhluk hidup, termasuk manusia. Kiranya perlu kita ingat pula bahwa insting survival, yaitu insting untuk bereproduksi dan mempertahankan kelangsungan hidupnya adalah insting yang terkuat dari segala macam insting lainnya yang ada pada makhluk hidup. Mahluk hidup akan melakukan segala macam cara, segala daya upaya, untuk menjaga kelestarian jenisnya dan menghindarkan diri dari kepunahan. Dan ini sudah menjadi hukum alam. Karena organisme yang tidak punya insting semacam itu sudah lama punah ditelan seleksi alam. Dan seperti yang telah disebutkan di atas tadi, 90 persen makhluk hidup sistem perkawinannya adalah poligami. Hanya 10 persen saja yang bermonogami. Hal ini tentunya berkaitan dengan insting untuk survive tersebut. Mengenai masalah ini, yang berkaitan dengan manusia tentunya, lihat pembahasan berikutnya nanti tentang sistem perkawinan pada suku-suku yang masih primitif.

Karena manusia, baik yang laki-laki maupun perempuan, termasuk “hewan” yang punya kecenderungan untuk mempunyai banyak partner, dan insting ini lebih besar kecenderungannya pada laki-laki, maka mungkin hal ini disebabkan karena sepanjang sejarah perjalanan evolusinya jumlah kaum laki-laki secara umum lebih banyak dibandingkan dengan yang perempuan sehingga insting ini lebih berkembang pada pada kaum laki-laki karena keadaan lingkungannya yang semacam itu. Sedangkan pada kaum wanita, karena jumlahnya memang lebih banyak, maka insting ini kurang berkembang pada mereka karena keadaan yang kurang mendukung. Tetapi, karena insting ini terdapat juga pada kaum wanita, maka mungkin juga insting ini diwarisinya dari pihak laki-laki.

Selanjutnya, dan ini yang membikin lebih sulit, selain insting mempunyai banyak partner ini, manusia juga mempunyai insting cemburu, yaitu perasaan cemburu dari pasangannya, yang menghalangi insting banyak partner tadi bisa terlaksana. Membingungkan juga memang insting manusia ini. Anda turut bingung juga, nggak? Punya insting untuk mempunyai banyak partner, tetapi juga punya insting yang mencegah hal itu agar bisa terwujud (pada orang lain khususnya). Sangat aneh memang. Bagaimana kiranya proses evolusi membentuk hal semacam ini?

Kita tahu, seseorang tidak akan suka apabila apabila pasangannya mencintai orang selain dirinya. Dan insting ini pun terdapat pada pria maupun wanita, bahkan juga pada waria. Dan insting ini pun menuntut agar bisa dipenuhi juga. Jadi, jangan sampai seseorang itu melihat pasangannya bercinta dengan orang lain. Bila hal itu sampai terjadi, maka seseorang itu bisa marah, bisa menjadi gelap mata dan kadang hal ini bisa fatal akibatnya. Kita tentu seringkali mendengar bahwa adanya keluarga yang berantakan karena masalah ini. Atau kadang-kadang bisa mengakibatkan perkelahian, bahkan juga pembunuhan.

Karena hal-hal semacam itu, insting cemburu ini lantas biasanya menghalangi insting banyak partner tersebut untuk bisa terlaksana. Dan insting banyak partner ini kemudian dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Harus ditekan, diintimidasi, digebuki dan tidak diakui keberadaannya. Dianggap tiada. Padahal ada. Susah juga memang. Serba merepotkan dan membingungkan. Karena manusia diletakkan di antara dua macam insting yang saling tarik menarik dan saling bertentangan tersebut. Kalau boleh, barangkali tak ada salahnya manusia memohon kepada Tuhan agar meniadakan salah satu insting tersebut, biar manusia tidak perlu repot dan bingung lagi. Ini masalah yang cukup penting juga, lho. Bukan main-main. Sebab bila insting cemburu ini bisa menyebabkan pecahnya sebuah rumah tangga atau bahkan pembunuhan, maka kalau insting banyak partner ini bisa menyebabkan menyebarnya wabah penyakit ke mana-mana, termasuk juga penyakit AIDS yang hingga sekarang ini masih belum ada obatnya. Sudah membunuh jutaan orang dan menginfeksi jutaan orang lainnya setiap tahunnya.

Mengenai insting cemburu ini, rasanya agak sulit juga untuk mencari tahu apa penyebabnya sebab insting ini pun terdapat juga pada sebagian jenis mamalia yang lainnya. Jadi, sudah sangat lama berakar. Tapi, ini agaknya adalah semacam insting untuk mempertahankan survival gen juga walau sifatnya lebih sering bersifat defensif atau kompetitif, yaitu insting untuk mempertahankan pasangan atau untuk berusaha bersaing mendapatkan pasangan sehingga gen dari suatu individu itu nanti, baik dia itu individu jantan maupun betina, bisa tetap survive hingga ke generasi-generasi yang berikutnya. Jadi, suatu insting demi kelestarian gen juga.

Atau mungkin juga insting ini timbul karena disebabkan karena adanya persaingan yang cukup sengit antara para pejantan untuk memperebutkan pasangan. Dan kita tahu bahwa sesuatu yang diperoleh dengan cara yang sulit, maka biasanya akan dipertahankan dengan sangat kuat pula. Pada umumnya, yang terlibat dalam pertarungan ini adalah pihak jantan. Oleh karena itu, mungkin insting ini berasal dari pihak jantan dan kemudian diwariskannya kepada keturunannya, baik yang jantan maupun yang betina.

Meski demikian, pada beberapa suku bangsa yang masih primitif, terdapat suatu adat kebiasaan yang mungkin akan terasa mengejutkan bagi kita. Seperti misalnya saja adat sebagian suku-suku pedalaman di Amerika Selatan yang punya “keramahtamahan” yang rasanya cukup heboh juga, yaitu meminjamkan istri kepada setiap tamu yang singgah ke rumah mereka. Jadi, insting cemburu ini nampaknya berbeda-beda juga tingkatannya. Ada yang pencemburu, tetapi ada juga yang tidak terlalu. Tetapi, kalau pada mereka ini nampaknya insting tersebut sangatlah minim. Bahkan, boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Dan ini mungkin akan bisa terdengar aneh bagi kita. Selain itu, suku-suku di Afrika Tengah pada zaman Victoria, bangsa Hun (baca: Han) pada zaman Attila juga mempunyai kebiasaan yang tidak kalah hebohnya. Mereka dengan ramah menawarkan istri sementara kepada para musafir yang lewat di desa-desa mereka. Hmm... ada yang berminat jadi turis ke sana?

Hal ini mungkin disebabkan karena pada mereka tidak diperlukan suatu persaingan yang keras untuk mendapatkan pasangan. Sebagaimana kita ketahui, pada bangsa-bangsa atau pun suku yang sangat gemar berperang perbandingan jumlah antara kaum pria dan wanitanya sangatlah tidak berimbang sehingga setiap laki-laki bisa dengan mudah mendapatkan pasangan. Ini mungkin menyebabkan insting cemburu pada mereka tidaklah terlalu kuat.

Bangsa Hun adalah bangsa yang masih sangat buas dan gemar berperang. Karena itu jumlah pria mereka tentunya jauh lebih sedikit dari wanitanya. Mereka ini bangsa yang masih barbar dalam arti yang sepenuhnya. Kekejaman mereka hanya bisa disaingi oleh Jenghis Khan atau Timur Lenk. Punya kegemaran menghancurleburkan setiap kota yang dilaluinya dan membinasakan semua penduduknya. Penduduk yang ketakutan pun lantas banyak yang pergi mengungsi. Kota Venesia yang dikelilingi laut itu didirikan oleh para pengungsi yang ketakutan oleh serbuan bangsa barbar tersebut. Di bawah pimpinan Attila (meninggal 453 M), bangsa nomaden ini mendirikan imperium besar yang berpusat di Hungaria. Invasi bangsa Hun ke Eropa inilah yang menyebabkan gelombang pengungsian besar-besaran suku-suku bangsa Jerman ke seluruh penjuru Eropa dengan akibat runtuhnya kekaisaran Romawi Barat pada tahun 476. Bangsa Hun ini pula yang pada abad-abad sebelumnya memaksa kaisar Cina Shi Huang Ti untuk mendirikan tembok raksasa walau ternyata masih juga bisa ditembus oleh mereka. Pernah nonton film kartun Mulan? Gambaran tentang kebuasan mereka agaknya bisa diekspresikan dengan baik pada film ini.

Sistem Perkawinan Pada Manusia


Pada awal tulisan di atas tadi telah disinggung sekilas mengenai sistem perkawinan pada nenek moyang manusia pada zaman purba. Tetapi, untuk lebih jelasnya nanti bisa kita melihat kehidupan suku-suku yang masih primitif, yang masih belum tersentuh ajaran-ajaran agama besar sehingga dari sana kita nanti akan bisa mendapat informasi yang lebih jelas tentang kehidupan asli dari nenek moyang manusia. Dan rasanya ini nanti bisa menggambarkan sistem perkawinan manusia yang asli.

Akan tetapi, dalam masalah ini saya hanya bisa memberikan sedikit contoh saja. Di sini saya akan memberikan contoh tentang kehidupan suku Indian di Amazon. Di hutan belantara Amazon yang kehidupannya penuh dengan kekerasan, pada umumnya jumlah laki-laki dan wanitanya tidak berimbang. Jumlah kaum laki-laki bisa berkurang hingga separuhnya karena seringnya terjadi peperangan antar suku, terutama untuk memperebutkan makanan. Sebagai akibatnya, pada suku Jivaro, sistem perkawinan yang dianut adalah bigami. Dua lawan satu. Sementara itu pada suku Yanoama, walaupun jumlahnya memang tidak seimbang juga, tetapi tidak sedrastis pada suku Jivaro, maka sistem perkawinannya adalah monogami. Sedangkan kelebihan jumlah kaum wanitanya menjadi istri kepala suku atau orang-orang yang berpengaruh pada suku tersebut.

Saya memang masih belum berhasil mendapatkan buku yang menjelaskan seandainya jumlah kaum wanitanya tiga, empat atau lima kali lipat. Atau mungkin lebih dari itu. Tetapi, nampaknya kemungkinan besar adalah sistem serupa juga yang akan diberlakukan, yaitu berdasarkan perbandingan jumlah yang ada walau ini tentunya tidak mesti harus tepat benar. Tergantung situasi dan kondisinya.

Jadi, demikianlah sistem perkawinan yang dianut oleh sebagian suku-suku primitif di pedalaman Amazon. Dan ini nampaknya menggambarkan sistem perkawinan asli dari manusia karena hal itu tentunya akan menunjang survival dari suku-suku itu sendiri sebab dengan sistem perkawinan semacam itu tentunya jumlah generasi berikutnya akan sesuai dengan jumlah jenis kelamin yang lebih banyak, yaitu kaum wanitanya. Dan sekali lagi harap diingat bahwa insting untuk survive ini adalah insting yang terkuat pada setiap makhluk hidup sehingga tentunya merupakan hal yang bertentangan dengan hukum alam bila yang dianut oleh suku-suku Indian itu adalah strict monogamy sebab hal itu akan bisa mempercepat kepunahan mereka. Terlebih lagi, selain dihadapkan dengan peperangan antar  suku, mereka juga hidup di tengah rimba belantara yang penuh dengan binatang buas dan berbagai macam bahaya yang bisa menelan jiwa mereka setiap saat. Suku yang jumlahnya lebih sedikit tentunya akan bisa dengan mudah dikalahkan serta dibantai oleh suku yang lebih banyak anggotanya. Padahal, kepunahan adalah sesuatu hal yang akan dengan segala cara berusaha dihindarkan oleh setiap jenis makhluk hidup.

Semenjak abad keduapuluh, di mana ilmu kesehatan dan peradaban manusia sudah demikian majunya, maka masalah survival umat manusia atau sebuah suku bangsa nampaknya akan bisa lebih terjamin. Untuk saat ini rasanya memang sudah kecil sekali kemungkinan spesies manusia atau salah satu dari ras manusia itu akan bisa mengalami kepunahan seperti yang kerap terjadi pada masa lampau. Jadi, boleh dibilang insting untuk berpoligami ini memang boleh dikatakan sudah tidak diperlukan lagi. (Eh, kaum wanita pasti akan merasa senang bila membaca kalimat ini). Akan tetapi, walaupun memang sudah tidak diperlukan lagi karena sekarang kelangsungan hidup umat manusia itu memang sudah lebih terjamin, insting mempunyai banyak partner ini nampaknya tidak lantas menghilang begitu saja. Insting dari zaman purba yang penuh dengan kekerasan dan kesulitan hidup itu ternyata tetaplah terbawa-bawa hingga abad modern sekarang ini.

Pada saat ini, insting yang dahulu memang sungguh sangat bermanfaat untuk menunjang survival umat manusia ini, ternyata malah seringkali banyak menimbulkan masalah. Bisa menjadi penyebab utama pecahnya sebuah rumah tangga dan juga sumber utama penyebaran penyakit kelamin, termasuk juga penyakit AIDS. Bila tidak bisa segera ada penangkalnya, maka insting untuk mempunyai banyak partner ini bukannya menunjang survival, tetapi justru malah bisa memusnahkan jutaan umat manusia. Dan ternyata, kita agaknya memang tidak bisa mengenyahkan insting ini dengan begitu saja. Dia tetap ada walaupun berusaha untuk diingkari dan tidak diakui keberadaannya. Bila pun kita bermaksud menghilangkannya, mungkin butuh waktu yang cukup lama juga. Mungkin jutaan tahun lagi. Dan kita-kita ini sudah keburu jadi fosil semuanya.

Perbandingan Jumlah Kelahiran Bayi Laki-laki dan Perempuan


Sebenarnya, jumlah kelahiran bayi laki-laki dan perempuan selalu cenderung untuk berimbang. Data-data yang terdapat pada beberapa negara Eropa menunjukkan kecenderungan yang demikian. Untuk masalah ini datanya memang cukup komplit dan akurat, saya kutip dari karya Darwin, yaitu buku The Descent of Man. Data ini dikumpulkan pada abad kesembilanbelas, tetapi rasanya tetap bisa digunakan juga, toh tetap up to date juga sepanjang tidak adanya intervensi manusia dalam seleksi alam yang berkaitan dengan masalah ini, seperti misalnya saja yang sekarang ini masih kerap dilakukan banyak penduduk di Cina, atau di Arab pada zaman Jahiliyah, yaitu kebiasaan membunuh bayi perempuan.

Data di Eropa tersebut menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun, yaitu antara tahun 1857-1866, angka kelahiran bayi di Inggris setiap tahunnya rata-rata adalah 707.120 dengan perbandingan 104,5 laki-laki dan 100 perempuan. Sedangkan di Perancis, selama empat puluh tahun, perbandingannya adalah adalah 106,2 dan 100. Tetapi, selama dalam jangka waktu tersebut, pernah sebelas kali jumlah kelahiran bayi wanitanya melebihi bayi laki-laki. Sedangkan di Rusia adalah 108,9 banding 100. Di Philadelphia, Amerika Serikat, 110,5 banding 100. Sedangkan angka rata-rata di seluruh Eropa, dari tujuh puluh juta kelahiran, adalah 106 banding 100.[4]

Dari data-data di atas kita bisa mengetahui bahwa jumlahnya cukup berimbang. Bila pun bayi laki-laki sedikit menjukkan kelebihan, itu pun diimbangi dengan fakta bahwa bayi laki-laki lebih banyak yang meninggal dalam usia balita ketimbang bayi perempuan. Hal ini disebabkan karena banyak bayi laki-laki yang meninggal dalam proses kelahiran dan juga karena mereka lebih rentan terhadapa serangan penyakit.[5] Dan keseimbangan angka kelahiran semacam ini juga terdapat pada beberapa jenis mamalia yang lainnya. Dan kita manusia ini termasuk “hewan” mamalia juga, bukan?

Jadi, dari jumlahnya yang relatif seimbang, maka sistem perkawinan pada manusia ini pada dasarnya agaknya adalah sistem monogami. Tetapi, susahnya, sepanjang perjalanan sejarah umat manusia, jenis laki-laki pada umumnya sangat mudah berkurang dibandingkan dengan kaum wanitanya. Bila terjadi perang antar suku atau antar bangsa, maka tentunya laki-laki (bukan perempuan) yang harus maju. Dan banyak di antaranya yang kemudian pulang hanya tinggal nama. Tewas dalam jumlah ribuan, ratusan ribu atau pada zaman modern ini bahkan hingga puluhan juta. Perbandingan jumlah pria-wanita pun menjadi tidak berimbang lagi karena banyak banyak wanita yang kehilangan suaminya atau gadis yang kehilangan calon suaminya. Sistem poligami pun berlaku.

Dan yang lebih susahnya lagi, pada masa lampau semua bangsa gemar sekali berperang, dengan berbagai macam alasan yang kadang-kadang tidak masuk akal. Seperti misalnya saja sebuah perang bisa meletus hanya gara-gara rebutan sapi atau kuda. Atau sering juga terjadi karena rebutan wanita. Dan sebagai akibatnya, insting untuk mempunyai banyak partner ini pun pada akhirnya semakin mendapat kesempatan untuk berkembang, terutama pada kaum pria. Sistem poligami pun akhirnya terdapat di mana-mana, di hampir seluruh suku bangsa di dunia karena jumlah yang tak berimbang. Sementara di belahan dunia yang melarang poligami, padahal bangsa tersebut gemar berperang, maka banyak kaum wanita di sana yang terpaksa tidak bisa mendapatkan suami.

Beberapa Alternatif Solusi?


Mengenai perbandingan jumlah kaum pria dan wanita di Indonesia nampaknya cukup berimbang. Mungkin ini disebabkan karena secara umum Indonesia relatif mengalami masa damai yang cukup lama sehingga tidak terlalu banyak kaum laki-laki yang mati di medan perang. Tetapi, kemudian, bila jumlahnya kemudian menjadi tak berimbang, entah berapa kali lipat, apakah kita nanti lantas akan “menyesuaikannya” juga? Entahlah, sulit juga rasanya karena kita tahu bahwa ini nanti akan terbentur dengan insting cemburu dari pasangannya. Lalu, bagaimana kemudian dengan mereka yang tidak bisa mendapatkan pasangan? Yah, jawabannya adalah sulit juga. Terserahlah kepada setiap orang saja. Saya sendiri tak tahu jawabannya. Ini memang adalah masalah yang serba dilematis. Mungkin jawabannya adalah terletak kepada masing-masing pribadi orang tersebut. Terserahlah setiap orang mau menjawab apa. Toh, saya ini tak berhak mencampuri urusan pribadi setiap orang.

Atau apakah wanita kemudian “disadarkan” saja, disuruh saja menghilangkan perasaan cemburunya atau paling tidak bisa memahaminya. Tapi, ini pun rasanya akan sulit juga karena bagaimana pun itu sudah terlanjur menjadi insting setiap manusia. Kaum wanita pun rasanya akan sulit juga untuk melakukannya. Serba repot juga memang. Ada insting untuk mempunyai banyak partner, tetapi sekaligus juga punya insting cemburu. Dan kedua insting ini bukannya saling mendukung, tetapi malah saling bertentangan satu sama lain. Bingung juga nih saya ini bila memikirkan problem manusia yang satu ini. Betapa membingungkannya. Juga betapa merepotkannya. Anda pun pasti turut bingung bila memikirkannya.

Mengenai masalah ini, pernah juga suatu ketika saya mendengarkan ceramah seorang penceramah yang bercerita bahwa ada seorang ibu yang mengatakan bahwa karena Islam membolehkan pria untuk beristri lebih dari satu, maka ia pun tidak berkeberatan dengan hal tersebut. Ibu yang satu ini sih setuju-setuju saja. “Tetapi dengan satu syarat,” kata ibu tersebut, “Syaratnya adalah yang melakukan poligami itu bukan suami saya.” Hahaha… cerdik juga ibu yang satu ini. Anda setuju?

Tetapi, sebenarnya rasa cemburu itu nampaknya bertingkat-tingkat juga. Contoh yang paling ekstrim dalam hal ini, seperti yang sudah disebutkan di atas, yaitu pada sebagian suku-suku yang masih primitif, khususnya pada kaum laki-lakinya. Rasa cemburu pada mereka sangatlah minim sekali. Tetapi, pada kaum wanita pun rasanya insting ini pun berbeda-beda juga tingkatannya. Dan hal ini seringkali juga berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap masalah ini. Pada masyarakat yang telah semenjak lama mempraktekkan hal poligami, nampaknya perasaan cemburu ini tidak sekeras pada masyarakat yang mempraktekkan monogami. Dalam hal ini, rasanya perlu sekali lagi diingat bahwa insting manusia itu dibentuk oleh lingkungannya.

Supaya bisa lebih meyakinkan, rasanya perlu diberi satu contoh. Contoh ini memang tidak berkaitan dengan sistem perkawinan, tetapi rasanya akan bisa memberikan contoh bagaimana lingkungan bisa memberikan pengaruh pada insting suatu jenis makhluk hidup. Pada daerah-daerah terpencil yang sebelumnya belum pernah dijamah oleh manusia, seperti misalnya pada kawasan hutan lebat di Afrika, binatang-binatang di sana tidak merasa takut kepada manusia. Berani mendekati manusia biarpun dia itu seorang pemburu bersenapan sekali pun, selama ia tidak diganggu.[6] Akan tetapi, bila sekali saja binatang-binatang tersebut diganggu, maka mereka akan lari setiap kali melihat sosok manusia. Perilaku semacam ini kemudian diwariskannya kepada keturunannya, menjadi insting[7] Perubahan atau pun pembentukan insting yang berbeda dari yang ada sebelumnya ini pun bisa terjadi pada banyak hewan yang lainnya dan di tempat mana saja. Dan juga pada segala macam insting yang ada.[8] Bukan hanya di belantara Afrika saja dan bukan hanya satu dua insting tertentu saja. Jadi, persoalannya sekarang, apakah hal semacam ini yang lantas perlu “dikembangkan” pada manusia, yaitu bagaimana caranya kita membuat agar kaum wanita itu nanti bisa menghilangkan insting cemburunya. Tapi, pasti banyak wanita yang nanti akan marah-marah. Dan kalau saya tiba-tiba mengusulkan hal semacam ini bisa-bisa saya nanti digebuki ramai-ramai oleh kaum wanita. Jadi, memang sulit juga.

Tetapi, boleh jadi pemecahannya adalah simpel saja, yaitu terserah kepada yang menjalani. Kalau yang wanita bersedia ya silakan kalau tidak ya jangan. Gampang, kan? Jadi, tak perlu dibikin repot-repot amat. Tapi, bagaimana kalau kemudian yang pria memaksakan kehendaknya? Kalau sudah begini, saya tak mau ikut-ikutan, dah. Rasanya sudah ada pihak lain yang lebih berwenang untuk mengurusinya.

Atau apakah pemecahannya adalah dengan cara menyuruh laki-laki agar lebih bisa menahan diri sehingga insting ini nanti yang bisa lebih berkembang. Tetapi, bila hal ini dilakukan, bagaimana kemudian bila jumlah perempuan ternyata lebih banyak dari laki-laki? Bagaimana dengan nasib para wanita yang tidak bisa mendapatkan suami? Serba susah juga memang. Maju kena mundur kena, bagaikan buah simalakama. Dan agaknya memang hanya hari kiamat yang akan bisa memecahkan masalah ini.

Dari berbagai penjelasan di atas kiranya dapat dipahami bahwa masalah ini memang cukup sulit dan kompleks. Tak cukup hanya dengan mengeluarkan pendapat sambil lalu saja, apalagi bila hanya didasari prasangka buruk belaka. Harus bisa turut memikirkan dan memahami segala hal yang berkaitan dengan masalah ini.

Penutup


Dan akhirnya, sebagai uraian penutup, maka saya di sini akan memberikan beberapa keterangan yang kurang lebih bersifat religius. Perlu kiranya diketahui bahwa dalam Islam poligami hukum asalnya hanya bersifat mubah saja. Tidak diperintahkan, juga tidak dilarang. Jadi, menyerahkannya ini kepada individu masing-masing atau kepada situasi dan kondisi yang ada pada suatu masyarakat. Misalnya bila jumlah wanita memang jauh lebih banyak. Atau bila ada pria yang istrinya mandul dan pria tersebut sangat ingin mempunyai keturunan. Bila hukum yang berlaku melarang sama sekali maka akan repot jadinya.

Jadi, kalau ada yang bilang bahwa poligami dianjurkan, bahkan diwajibkan oleh Islam, maka itu jelas fatwa yang keliru. Juga keliru bila ada yang menyatakan haram karena nabi dan para sahabat dulu rata-rata istrinya lebih dari satu. Bahkan para nabi di Kitab Perjanjian Lama jumlah istrinya jauh lebih banyak lagi. Hukumnya poligami ini memang hanya mubah saja. Meski demikian, perlu kita pahami bahwa batas empat orang istri pada masa itu merupakan suatu restriksi. Bukan suatu umbar-umbaran seperti yang disangka banyak orang selama ini. Sebelum itu, orang-orang Arab, termasuk juga para nabi yang ada sebelum Muhammad, mempunyai amat sangat banyak istri. Bisa puluhan bahkan ratusan, seperti Daud atau Sulaiman misalnya. Tak kalah bersaing dengan para kaisar Cina ataupun maharaja di India. Banyak yang akhirnya keleleran tidak karuan. Oleh karena itu, kemudian diperintahkan untuk membatasi jumlah istri dan diperintahkan untuk berlaku adil kepada semuanya. Jadi, perintah itu memang dimaksudkan sebagai suatu restriksi, bukan suatu umbar-umbaran. Sayangnya, sekarang ini seringkali malah disalahpahami, baik oleh umat Islam sendiri apalagi oleh orang Barat sana.

Kemudian, satu hal lain yang juga mesti dipahami baik-baik, yaitu bila sesuatu hal itu hukumnya mubah, tak dilarang oleh agama, itu bukannya berarti kita lantas boleh berlaku awur-awuran semaunya. Satu contoh misalnya, tak ada hukum agama yang melarang Anda pergi shalat ke masjid sekedar pakai sarung dan kaos singlet. Halal 100 persen! Tetapi, apa nanti pendapat para jamaah yang lainnya tentang Anda? Boleh Anda pikirkan sendiri! Contoh lain lagi misalnya, menurut hukum syariat kita bebas keluar masuk masjid pakai sandal atau sepatu, dan sampai sekarang di Arab sana demikian. Dan itu memang 100 persen halal. Tak ada hukum syariat yang melarang orang keluar masuk masjid pakai sepatu, tetapi boleh jadi Anda akan digebuki orang sekampung bila melakukannya di sini. Pandangan orang yang ada di sekeliling kita, adat istiadat dan budaya yang ada pada masyarakat setempat mestilah turut kita perhatikan juga. Bukan lantaran tak dilarang syariat lantas kita main sikat saja. Asal ada cewek cakep, sikat. Halal, kok. Kalau begitu caranya, bisa celaka nanti. Apalagi bila kemudian bilang bahwa hal itu diwajibkan agama. Tambah berabe lagi. Ringkasnya, meski suatu hal itu hukumnya memang mubah, kita tak boleh sembarangan saja menerapkannya. Harus lihat-lihat dulu situasi dan kondisi yang ada. Pandangan masyarakat, adat istiadat dan juga kultur yang ada pada masyarakat mestilah kita perhatikan juga.

Meski demikian, walaupun diperbolehkan, sebenarnya kaum pria yang melakukan poligami di dunia Islam sekarang ini jumlahnya hanya sedikit saja, yaitu sekitar 1 hingga 2 persen. Juga meskipun sebagian besar budaya masyarakat di dunia, baik yang Islam maupun non-Islam, mentolerir poligami, tetapi dalam masyarakat tersebut hanya 10 persen saja yang melakukannya.[9]

Meski yang melakukannya relatif sedikit saja, masalah ini nampaknya akan tetap menjadi dilema bagi manusia sepanjang masa. Di mana saja di berbagai belahan dunia. Dilakukan atau tidak dilakukan sama-sama repotnya. Tapi, apa boleh buat, begitulah kehidupan. Dunia ini memang tak pernah sempurna dan selalu penuh dengan berbagai persoalan. Dan manusia ini memang hidup di suatu dunia yang mungkin tidak akan pernah bisa ia pahami sepenuhnya.

Meski demikian, bila kita ini hendak mengambil suatu keputusan, maka sebisa mungkin yang didahulukan memang adalah kepentingan keluarga dan masyarakat. Memang boleh-boleh saja dilakukan, tetapi kita harus terlebih dahulu bisa menimbang sisi baik dan buruknya dari sesuatu tindakan sebelum mengambil keputusan. Termasuk untuk dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain. Demikian pula, pilihan apa pun yang akan diambil, self restraint tetaplah harus senantiasa kita kedepankan sebab tanpa pengendalian diri yang baik, maka peraturan yang sebaik apa pun tidak akan pernah ada gunanya. Pengendalian diri ini pun harus dilakukan baik oleh pria maupun wanita. Kaum wanita juga harus turut berusaha agar insting yang berkembang pada pria itu adalah insting yang sebenarnya malah tidak dikehendaki oleh kaum wanita sendiri.

Yogyakarta, 1998

Endnote

  1. Charles Darwin, The Descent of Man, Part One, (New York: P.F. Collier and Son, 1902), hlm. 147.
  2. William Langer, Encyclopaedia of World History, (London: George G. Harrap and Company, t.t), hal. 215. Lihat juga “Sergius III”, Encyclopaedia Americana, vol 24, hlm. 575.
  3. Time, Asia Golden Anniversary Issue, Oktober-Desember 1996, hlm. 86.
  4. Charles Darwin, op. Cit., hlm. 319.
  5. Ibid., hlm. 320.
  6. Eugene Linden, “The Last Eden”, Time, 13 Juli 1992, hlm. 42.
  7. Charles Darwin, opcit., hlm.
  8. Untuk lebih jelasnya mengenai masalah ini lihat Charles Darwin, ibid., hlm. 96-98 dan The Origin of Species by Means of Natural Selection, New York: Modern Library, t.th.), hlm. 184-196.
  9. Ca m’interesse, hlm. 58.