Thursday, May 2, 2013

Kota Batavia dan Simbol Porno Benfica di Meriam si Jagur




 Oleh: Helmi Junaidi 

Sedang jalan-jalan di kota tua Batavia. Suasananya kok mirip Malioboro, alun-alun Yogya dan sekitarnya. Pengamen yang ada di halaman museum juga malah jatilan, bukan ondel-ondel. Itu sedang ramai bising. Astaga! Kaos yang dipakai seorang pemainnya juga ada tulisan “I Love Yogya”. Wah, warga ondel-ondel sudah dikalahkan oleh warga jatilan dari Yogya.

Terlalu banyak kaki lima di sini, semrawut, juga banyak sampah. Harga barang-barangnya relatif murah saja. Harga rakyat. Walau semrawut tetap banyak juga pengunjungnya, termasuk beberapa bule. Orang berkunjung ke sini agaknya terutama karena nilai historisnya, bukan nilai estetis yang ada di lingkungan sekitar. Dari wilayah tak sampai 1 km persegi inilah Belanda mulai menancapkan kekuasaannya di Nusantara selama sekitar 350 tahun.  

Capek kepanasan di luar dan saya masuk museum. Tiket masuknya cuma Rp 2000. Stadhuis nama Belandanya dulu, kantor Gubernur Jendral Belanda, pusat kekuasaan Belanda di Nusantara. Sekarang jadi museum antik, yaitu Museum Hidayatullah.

Lumayan bersih kalau di dalam, ada halaman yang teduh, angin sejuk semilir. Mirip juga dengan suasana di dalam benteng Vredeburg, Yogya, termasuk ada meriamnya. Kombinasi pohon dan angin di halaman dalam bisa membuat panas Jakarta yang sangat terik menjadi tak terasa. Hawa menjadi sejuk dan nyaman di halaman museum, padahal diluar panasnya minta ampyuun... saat begini kan sedang panas-panasnya. Jakarta Utara jam satu siang, bung. Suasana halaman yang nyaman ini dimanfaatkan juga oleh beberapa pasangan remaja untuk tempat pacaran. -_- Sayang, sebagian  gambar dan penjelasan sejarah Batavia di halaman ini sebagian ada yang terlantar. Ada yang ketutupan barang-barang gudang atau rusak. Padahal itu kan penting. 




Kalau mengamati dari jendela lantai dua museum terasa kontras sekali suasana tenang di dalam gedung dengan suasana halaman luar yang panas gersang tanpa pohon dan bising dipenuhi kakilima. Wah, sialan, lama-lama kok saya rasakan tidak tepat benar musik jatilan ada di sini. Mestinya musik khas Betawi atau keroncong Jakarta.

Di bagian belakang halaman ada sebuah meriam besar. Meriam si Jagur namanya, di pangkalnya terdapat simbol Benfica, simbol Portugis untuk good luck. Yang menyentuhnya bisa dapat luck, katanya. Demikian kata seorang bule di sebelah yang nampaknya ahli sejarah. Ia sedang bercerita kepada rombongannya. Entah mereka bule-bule dari negara mana. Apa bentuk simbol tersebut? Hahaha... Kalau di budaya orang Indonesia itu simbol pornografi. Itu jari jempol yang diselipkan di antara jari tengah dan telunjuk. Di Portugis juga ada klub sepakbola bernama Benfica. Dinamakan demikian agaknya supaya klubnya selalu dapat hoki.

Gara-gara simbol Benfica, lalu ada mitos di masyarakat lokal bahwa meriam itu bisa mendatangkan kesuburan bagi wanita, bisa membuat wanita yang sulit dapat anak menjadi mudah hamil. Padahal, menurut bule tadi benfica itu menjadi simbol Portugis untuk good luck karena bentuk jari jempol dan telunjuk yang saling bersilangan seperti salib. Orang lokal sini bilang itu simbol kuku Bima. :D Karena kesenjangan budaya. Di budaya Kristen Portugis sana melambangkan salib, di budaya wayang sini melambangkan kuku Bima. Aww, nggak kuku lah yaouuww...

Meriam si Jagur itu dibuatnya di Macao kok, jajahan Portugis di Cina, yang tentu saja tak kenal wayang. Lalu dibawa Portugis ke Malaka. Setelah Malaka direbut Belanda, maka diboyong Belanda ke Batavia. Si Jagur dulu sering diziarahi wanita lokal yang ingin subur, dengan cara naik menduduki si Jagur. Waduh, hehehe... :D Naik menduduki suami dewe kurang manjur agaknya. :D

Untung tadi ada beberapa turis bule yang sedang ngobrol tentang si Jagur sewaktu saya sedang melihat-lihat meriam tersebut. Bila tidak saya juga tak akan tahu arti yang sebenarnya dari simbol tersebut dan menyangkanya sebagai ulah iseng pemahat porno saja.

Nah, setelah tahu begini masih ada wanita yang berminat menaiki si Jagur? Wah, jangan dong. Lebih baik pergi ke dr. Boyke saja supaya diberi tips teknik terbaik menaiki suami sendiri. Betul kan? Hahaha...

Tak terasa sampai jam tiga sore. Museum tutup, disuruh keluar deh sama penjaganya. Untung sudah selesai keliling-keliling. Waktunya pulang.

Sekian dulu laporan si Bolang. :D Lanjutan yang kepotong dulu lho. Sekarang sudah di halte stasiun, back to South Jakarta. See you di laporan berikutnya.   

15 Sep 2012