Saturday, May 18, 2013

Beware, I'm a Son of a Bitch And I Want to Rob You

Oleh: Helmi Djunaidi




  Ignota nulla curatio morbid. Do not attempt to cure what you do not understand. (Andrzej Lobaczewski)
 Evil is no longer only a moral issue; it can now be analyzed and understood scientifically. (Henry See)
Knowing the true problem is 90% of the solution (Bill Evans)

Peristiwa pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan beberapa bulan yang lalu sempat selama beberapa minggu lamanya menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Bahkan, banyak pula yang rasa ingin tahunya tak bisa terpuaskan dengan hanya membaca berita di koran atau menonton televisi. Banyak yang langsung berdatangan ingin melihat langsung di tempat kejadian. Kalau yang saya lakukan? Seperti biasanya, saya langsung mencari tambahan berita di internet. Setelah selesai browsing berita tentang Ryan, lalu saya lanjutkan dengan pendalaman, mencari tahu lebih lanjut berita-berita tentang psikopat dari artikel-artikel yang berbahasa Inggris. Semula saya hanya menemui berita-berita tentang Ted Bundy, Jeffrey Dahmer, Elizabeth Bathory dll, yakni para psikopat yang melakukan apa yang disebut violent crime. Setelah browsing lebih lanjut ternyata saya menemui artikel-artikel yang membahas bahwa psikopat itu ternyata tak hanya berupa manusia seperti Bathory, Ted Bundy atau Jeffrey Dahmer. Para psikopat itu ternyata banyak juga berkeliaran di mana-mana, termasuk di perusahaan-perusahaan besar seperti yang dibahas oleh Robert Hare dan Paul Babiak dalam bukunya Snakes In Suits: When Psychopaths Go To Work. Setelah saya lanjutkan membaca lagi, ternyata pula saya menemukan bahwa para psikopat itu banyak yang berkeliaran di panggung politik dan dunia militer seperti yang dibahas oleh Andrzej Lobaczewski di dalam bukunya Political Ponerology. Dan masih banyak lagi karya-karya menarik baik berupa buku maupun artikel yang membahas masalah psikopat. Daftar bacaan itu antara lain bisa Anda lihat pada halaman resources ini atau bisa juga Anda cari sendiri artikel-artikel yang lainnya. Salah satunya yang cukup menarik saya upload bersama tulisan ini.
Kita semua tentunya kadangkala terlintas bertanya dalam hati orang macam apakah yang bisa tega melakukan kekejaman dan kejahatan seperti yang dilakukan para pembunuh berantai itu. Juga kekejaman seperti yang dilakukan oleh para pendeta Aztec dan Maya, yang membelah dada manusia hidup-hidup dan mengambil jantungnya yang masih berdenyut. Atau juga beragam ritual kejam yang dilakukan oleh para pendeta berbagai suku-suku kuno lainnya, seperti misalnya menyembelih manusia di atas altar, atau menyiksa para tawanan perang sebelum kemudian akhirnya membunuhnya juga. Apa yang ada di kepala orang-orang semacam itu? Padahal, rata-rata orang normal jangankan melakukannya, melihat saja sudah merasa ngeri dan banyak yang tak sanggup melihat hal semacam itu, bahkan bila itu cuma sekedar film di televisi yang kita tahu hanya tipuan kamera belaka. Sekali lagi, orang normal takkan sanggup melihat kekejaman semacam itu bahkan walau dia sudah tahu dan sepenuhnya sadar bahwa itu cuma tipuan kamera!
Berbagai kekejaman semacam itu, dengan beragam bentuknya, tentu saja tak hanya terjadi pada zaman kuno, tetapi masih tetap berlangsung hingga saat ini. Baik itu di jalanan yang dilakukan para kriminal biasa maupun di lembaga-lembaga resmi pemerintahan, seperti misalnya penyiksaan, bahkan pembunuhan di penjara-penjara di seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia juga. Saya dulu pun sering heran kenapa para pejabat pemerintahan, termasuk para presidennya, tak ada yang peduli dengan hal itu, seolah-olah dianggap tidak ada. Tetap tersenyum dan ketawa-ketawa di televisi sementara kejahatan semacam itu terjadi di sekitar mereka. Saya bertanya-tanya apa yang mereka pikirkan dan rasakan saat mendengar berita semacam itu. Kenapa kok mereka bisa bersikap tak peduli?
Berikut ini kita akan mencoba membahas semua permasalahan itu. Semoga nanti bisa membuat kita memahami kenapa segala kejahatan itu terjadi di muka bumi. Kenapa bisa ada orang yang sanggup berbuat jahat dan keji kepada sesamanya, baik itu kejahatan kerah putih maupun kerah biru, yang dilakukan di jalanan, di dunia bisnis, di panggung politik maupun di lembaga militer. Kita akan mencoba mencari penjelasannya dari sudut pandang ilmiah, bukan dari sudut pandang tradisional yang menyatakan bahwa semua itu akibat adanya setan gentayangan yang menggoda manusia. Mungkin sudah saatnya kita menafsirkan setan yang ada di kitab-kitab suci itu bukan lagi hanya sebagai lelembut yang menggoda manusia, tetapi juga sebagai manusia psikopat. Dan itu agaknya jauh lebih tepat.
1. Penyebab Kejahatan   back to top
Saya dulu sempat secara sekilas membahas masalah ini dalam naskah buku saya yang kedua sub-bab “masalah kejahatan dan watak manusia” yang saya tulis sekitar satu dekade yang lalu, tepatnya sekitar tahun 1997 atau 1998. Saya waktu itu tak bermaksud membahas masalah psikologi karena saya dulu memang tak terlalu tertarik dengan psikologi dan tidak pernah membaca buku-buku yang berkaitan. Oleh karena itu, saya tidak membahasnya secara lebih mendalam lagi. Akan tetapi, pengamatan saya dulu itu agaknya sudah lumayan tepat juga, yakni memang manusia itu terbagi dalam dua golongan sifat dasar semenjak lahirnya, ada yang berkecenderungan baik dan ada yang berkecenderungan jahat. Meski demikian, saya saat itu nampaknya membuat suatu kesalahan, yaitu masih merasa optimis bahwa orang semua orang yang berkecenderungan jahat itu nanti bisa diperbaiki bila tinggal di lingkungan yang baik.
Untuk menyegarkan kembali ingatan Anda tentang tulisan saya yang dulu, berikut ini kita kutip kembali.
Banyak orang yang berpendapat bahwa penyebab kejahatan antara lain adalah masalah ekonomi. Ini memang ada benarnya mengingat kebutuhan pangan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Di dalam Islam sendiri terdapat kelonggaran apabila orang yang melakukan kejahatan itu karena terpaksa, terdesak oleh perut yang lapar, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar. Tetapi, masalah ekonomi agaknya bukanlah penjelasan satu-satunya karena tidak bisa menjelaskan kenapa banyak orang miskin yang tetap jujur dan memilih berjualan di kaki lima atau jadi tukang semir sepatu daripada melakukan kejahatan. Juga tidak bisa menerangkan kenapa seorang pejabat yang hidupnya sudah sangat berkecukupan masih suka korupsi atau kenapa seorang pengusaha yang sudah sangat kaya raya, tetapi masih suka serakah dan menggusur harta milik orang lain yang jauh lebih miskin. Juga kenapa seorang penjahat yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara tidak juga merasa jera, padahal seandainya saja uang hasil kejahatannya itu dikumpulkan mungkin ia sudah bisa hidup dengan makmur.
Untuk menerangkan penyebab dari kejahatan selain yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi ini, maka kita di sini perlu untuk memahami watak manusia. Pada hakikatnya, watak manusia itu terbagi atas dua golongan. Ada orang yang berkecenderungan baik dan ada yang berkecenderungan jahat. Akan tetapi, dua jenis watak yang berbeda ini tidaklah bisa kita samakan dengan warna hitam dan putih. Orang yang berkecenderungan baik juga ada kecenderungan jahatnya walaupun kecil. Orang yang berkecenderungan jahat juga mempunyai kecenderungan berbuat baik walaupun kecil juga. Faktor lingkungan akan sangat berpengaruh di dalam pembentukan watak manusia. Bila dua orang yang kecenderungan wataknya berbeda itu tinggal di suatu lingkungan yang baik, maka orang yang berkecenderungan baik itu akan semakin terbentuk sifat baiknya, sedangkan yang berkecenderungan jahat ada kemungkinan dia akan terpengaruh lingkungannya sehingga menjadi menjadi orang baik, atau mungkin juga dia tetap menjadi jahat. Sebaliknya, bila dua orang yang tersebut tinggal di lingkungan yang buruk, maka yang berkecenderungan jahat akan semakin terbentuk sifat jahatnya, sedangkan yang berkecenderungan baik ada kemungkinan dia akan terpengaruh menjadi jahat atau tetap menjadi baik.
Setelah saya saat ini mempelajari tulisan-tulisan karya para ahli psikologi yang sudah menekuni masalah ini selama berpuluh tahun, maka saya mendapati bahwa memang ada orang yang berkecenderungan jahat semenjak dari lahirnya, yakni karena faktor keturunan (genetika). Yang karena faktor keturunan ini ternyata sudah tidak bisa diperbaiki lagi sifatnya. Hanya mereka yang karena terpengaruh lingkungan saja yang bisa diperbaiki. Mereka yang sudah tidak bisa diperbaiki lagi itu di dalam ilmu psikologi disebut sebagai psikopat. Jumlahnya sekitar 1 sampai 4 persen dari populasi manusia atau kalau menurut Lobaczewski sekitar 6 persen. Walau secara persentasi jumlah mereka relatif sedikit, tetapi mereka bertanggung jawab atas lebih dari 50 persen kejahatan yang terjadi di muka bumi. Bukan hanya itu saja, mereka juga selalu berusaha mempengaruhi lingkungannya (orang lain/masyarakat) untuk turut berbuat jahat, baik itu dengan cara halus maupun paksaan. Akibatnya, dunia pun akhirnya selalu saja dipenuhi dengan beragam kejahatan.
Inherited and acquired psychological disorders and ignorance of their existence and nature are the primal causes of evil. The magic number of 6% seems to represent the number of humans who either carry the genes responsible for biological evil or who acquire such disorders in the course of their lifetime. This small percent is responsible for the vast majority of human misery and crime, and for infecting others with their flawed view of the world. (www.ponerology.com)
Artinya: Penyakit psikologi yang disebabkan oleh faktor keturunan maupun lingkungan dan ketidakpedulian kita atas keberadaan dan ciri-cirinya adalah faktor utama penyebab kejahatan. Angka ajaib 6% nampaknya mewakili jumlah manusia yang jahat tersebut, baik mereka yang membawa gen jahat tersebut semenjak lahir maupun yang memperolehnya pada masa hidupnya. Persentasi yang cukup sedikit ini bertanggung jawab atas sebagian besar kriminalitas dan penderitaan umat manusia, dan karena mereka menginfeksi orang lain dengan pandangan mereka yang salah tentang dunia.
Ada pepatah “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga”. Agaknya pepatah ini memang ada benarnya. Pengamatan para simbah kita dulu ternyata lumayan akurat juga, tak jauh beda dengan hasil pengamatan simbahnya orang Inggris yang juga punya pepatah “like father like son”. Sebagian besar orang yang punya bakat melukis, musik, berhitung matematika dan lain-lain itu karena menurun dari orangtua atau kakeknya, walau bakat itu bisa lebih kuat atau lebih lemah. Tak bisa sama persis, kecuali kalau dikloning. Sebuah artikel lain menyatakan:
Genetics and physiological factors also contribute to the building of a psychopath. One study in Copenhagen focused on a group of sociopaths who had been adopted as infants. The biological relatives of sociopaths were 4-5 times more likely to be sociopathic than the average person. Yet genetics don't tell the whole story; it only shows a predisposition to antisocial behavior. Environment can make or break the psychopathic personality.
When a psychopath does inherit genetically-based, developmental disabilities, its is usually a stunted development of the higher functions of the brain. 30-38% of psychopaths show abnormal brain wave patterns, or EEGs. Infants and children typically have slower brain wave activity, but it increases as they grow up. Not with psychopaths. Eventually, the brain might mature as the psychopath ages. This may be why most serial killers are under 50. The abnormal brain wave activity comes from the temporal lobes and the limbic system of the brain, the areas that control memory and emotions. When development of this part of the brain is genetically impaired, and the parents of the child are abusive, irresponsible or manipulative, the stage is set for disaster. (Shirley Lynn Scott, What Makes Serial Killers Tick?).
Artinya: Faktor genetik dan fisiologi juga turut berperan membentuk seorang psikopat. Sebuah studi di Kopenhagen meneliti satu kelompok psikopat yang telah diadopsi semenjak bayi. Keluarga biologis dari para psikopat 4-5 kali lebih besar kemungkinannya turut menjadi psikopat ketimbang rata-rata masyarakat normal. Namun genetik bukan satu-satunya penyebab, itu hanya menunjukkan kecenderungan sikap antisosial. Lingkungan bisa menciptakan atau memicu kepribadian yang psikopat.
Bila seorang psikopat memang mewarisi cacat perkembangan itu secara genetik, yang berkembang secara kerdil biasanya adalah fungsi-fungsi tinggi dari otak. 30-38% psikopat menunjukkan pola-pola gelombang otak yang abnormal, atau EEG. Bayi dan anak-anak umumnya mempunyai aktifitas gelombang otak yang lebih lambat, yang kemudian meningkat saat mereka tumbuh dewasa. Tidak demikian halnya dengan psikopat. Otak psikopat baru menjadi dewasa saat mereka sudah beranjak tua. Inilah sebabnya kenapa sebagian besar pembunuh berantai usianya di bawah 50 tahun. Aktifitas gelombang otak yang abnormal ini berasal dari temporal lobes dan sistem limbik, yakni area yang mengontrol memori dan emosi. Bila perkembangan otak bagian tersebut sudah cacat secara genetik, kemudian ia diasuh oleh orangtuanya yang kejam, tak bertanggung jawab atau manipulatif, maka ini artinya bencana telah tercipta.
Selain karena faktor genetika, kecenderungan tadi ternyata bisa semakin menjadi-jadi bila dipicu oleh kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya. Berikut ini adalah faktor-faktor lingkungan lainnya yang menurut para ahli psikologi bisa semakin membentuk kepribadian yang psikopat.
·         Studies show that 60% of psychopathic individuals had lost a parent;
·         Child is deprived of love or nurturing; parents are detached or absent;
·         Inconsistent discipline: if father is stern and mother is soft, child learns to hate authority and manipulate mother;
·         Hypocritical parents who privately belittle the child while publicly presenting the image of a "happy family". (Shirley Lynn Scott, What Makes Serial Killers Tick?).
Artinya:
·         Studi menunjukkan bahwa 60% psikopat kehilangan salah seorang orangtua;
·         Anak kurang mendapatkan cinta kasih dan asuhan; hubungan dengan orangtua jauh atau mereka tak ada.
·         Disiplin yang tidak konsisten: jika ayah keras dan ibunya lemah lembut, maka anak akan belajar untuk membenci kekuasaan ayahnya dan memanipulasi ibunya.
·         Orangtua yang munafik, yang di rumah meremehkan anaknya, tetapi di muka umum menghadirkan image "happy family". (Shirley Lynn Scott, What Makes Serial Killers Tick?).
Demikian faktor lingkungan yang menyebabkan semakin menjadinya sifat psikopat yang pada dasarnya sudah diwarisi seseorang karena faktor genetika. Membuat semakin berkembangnya sifat jahat yang ada pada diri seseorang, semakin menipisnya kemampuan dia untuk mencegah impuls berbuat jahat yang ada pada dirinya. Baca juga “Bullying Behavior May Be Genetic, A Study in Twins Finds” by B. Azar, www.apa.org.
 Jadi, kejahatan itu ternyata bukan sekedar karena masalah kemiskinan saja, tapi juga karena adanya psikopat yang berkeliaran di sekitar kita. Karena ada orang yang sudah punya bakat menjadi penjahat sejak dari lahirnya karena faktor genetika. Suka melakukan kejahatan, kekejaman dan menikmati penderitaan orang lain. Jika kejahatan itu memang semata-mata disebabkan oleh kemiskinan, maka tentunya semua orang miskin akan menjadi penjahat dan semua orang kaya akan menjadi santo. Faktanya tidak demikian, bukan? Banyak orang yang sudah punya uang jutaan bahkan milyaran dolar, tetapi mereka tetap saja jadi penjahat, tak lantas lengser ke pertapaan dan berubah menjadi santo. Mereka tetap saja gemar melakukan berbagai kejahatan tanpa henti sampai mati. Padahal, kalau dipikir dengan panjang dia tentunya sudah tak perlu lagi berbuat jahat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, uang yang dia punyai itu sudah bisa menghidupi anak cucunya sampai tujuh turunan tanpa harus perlu bekerja dan berbuat jahat lagi. Bila dia tak mengidap psikopat, maka sebenarnya hidupnya bisa jauh lebih nyaman. Pada saat uangnya mencapai jumlah yang cukup untuk pensiun, maka ia akan berhenti dan menikmati kekayaannya, tidak terus-menerus bergelut dengan orang lain untuk menambah harta sampai matinya.
Karena mengidap psikopat pula, seorang residivis yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara tidak juga merasa jera, padahal seandainya saja uang hasil kejahatannya itu dikumpulkan mungkin ia sudah bisa hidup dengan makmur. Tetapi tidak, setiap kali dapat “rezeki” mereka langsung menghamburkannya untuk berjudi, mabuk-mabukan dan ke tempat pelacuran. Setelah habis mereka mencari mangsa lagi. Tak ada pikiran menabung untuk masa depannya. Tak ada pula kata menyesal dan bertobat karena para residivis umumnya memang melakukan kejahatan berulang kali.
Atau kita juga bisa menyaksikan contoh lain, yakni ada orang yang tak sanggup membayar hutang kemudian ia merampok dan membunuh untuk membayar hutangnya tadi. Lho, ini kan jalan berpikir yang sangat kacau. Menghindari kejahatan ringan dengan cara melakukan kejahatan yang sangat berat. Cara berpikir yang sangat pendek dan awur-awuran. Padahal, kalau dipikir lebih panjang tentunya tidak mampu membayar hutang adalah kejahatan yang lebih ringan daripara perampokan dan pembunuhan. Jauh lebih ringan, paling-paling cuma dituntut untuk segera membayarnya, tidak lantas masuk sel penjara bertahun-tahun.
Bagaimana ada orang yang bisa melakukan hal tersebut? Menghabiskan uangnya tanpa berpikir panjang. Membunuh dan merampok tanpa berpikir panjang pula.
Itu semua ternyata karena mereka adalah para psikopat dan psikopat itu tak punya konsep past and future di sistem otaknya, tak sanggup memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan berdasarkan pengalaman yang sudah dialaminya atau dialami orang lain.
They also seem to have no real conception of past or future, living entirely for their immediate needs and desires. Because of the barren quality of their inner life, they are often seeking new thrills, anything from feeling the power of manipulating others to engaging in illegal activities simply for the rush of adrenaline. (Silvia Cattori, The Trick of the Psychopath's Trade).
Clinicians refer to the emotions of psychopaths as proto-emotions, that is, primitive responses to immediate needs. (The Origins of Violence: Is Psychopathy an Adaptation? by Ian Pitchford Ph.D. CBiol MIBiol).
Artinya: Mereka juga nampaknya tak punya konsep masa lalu dan masa depan, sepenuhnya hidup hanya untuk menuruti kebutuhan dan keinginan sesaat. Karena jiwa yang gersang semacam itu, maka mereka sering mencari hal-hal baru yang mendebarkan, apa pun itu, mulai dari memanipulasi orang lain hingga melakukan aktifitas ilegal hanya sekedar untuk menggetarkan adrenalin.
Para ahli penyakit jiwa menyebut emosi para psikopat itu sebagai proto-emosi, yakni respons primitif terhadap kebutuhan sesaat.
Mereka tak punya wawasan ke depan. Dan bila mereka kemudian kebetulan punya kekuasaan yang membuatnya bisa membabat hutan atau membakar hutan sampai habis demi keuntungan sesaat, maka itu pun akan dilakukannya tanpa ragu-ragu. Mereka tak ada yang peduli dengan hal yang berwawasan ke depan seperti kerusakan hutan atau problem lingkungan lainnya, kecuali bila itu sekedar pura-pura untuk propaganda belaka. Di dalam hatinya mereka tak peduli, karena sistem otak mereka memang tak sanggup untuk berpikir ke arah itu. Malah setelah berpropaganda mereka melakukan hal yang bertentangan dengan ucapannya. Orang psikopat tak sanggup memikirkan akibat dari tindakannya, baik itu akibat bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Yang ada dipikirannya hanyalah untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan sesaat saja.
Beberapa ciri lain psikopat menurut beberapa artikel adalah berikut ini:
·          Sociopaths have always existed in varying form and to various degrees. They have been known by various titles. They have been studied using various techniques, and through the years their ailment has been blamed on various causes. But one thing never varies: all sociopaths share three common characteristics. They are all very egocentric individuals with no empathy for others, and they are incapable of feeling remorse or guilt. [The Sociopath, Rebecca Horton (April 1999)]
·          They live a "predatory" lifestyle. They feel little or no regret, and little or no remorse - except when they are caught. They need relationships, but see people as obstacles to overcome and be eliminated. If not,  they see people in terms of how they can be used. They use people for stimulation, to build their self-esteem and they invariably value people in terms of their material value (money, property, etc..). (Michael G. Conner, Psy.D)
·          With the lack of love, there is also a lack of empathy. The psychopath is unable to feel sorry for others in unfortunate situations or put himself in another's place, whether or not they have been harmed by him.[Gordon Banks]
·          Not only do they covet possessions and power, but they gain special pleasure in usurping and taking from others (a symbolic sibling, for example); what they can plagiarize, swindle, and extort are fruits far sweeter than those they can earn through honest labor. (What Is a Psychopath? Special Research Project of the Quantum Future School)
·          Callous, deceitful, reckless, guiltless, often intimidating and sometimes violent is the standard description of psychopaths, whose maladaptive patterns of thinking, feeling and behaving impair their daily functioning and disrupt the lives of those around them. (Atlanta Medical Psychology).
·          Psychopath have a profound lack of symphaty. These are callous, cold-blooded individuals. They use other people callously and remorsely for their own ends.
Artinya:
·          Sociopath (psikopat) ada dalam beragam bentuk dan tingkatan. Mereka dikenal dengan beragam julukan. Mereka juga telah dipelajari dengan teknik yang beragam, dan penyakit tersebut selama ini diklaim diakibatkan oleh beragam sebab pula. Tetapi, satu hal yang tak pernah beragam: semua sociopath mempunyai tiga sifat dasar. Mereka semua adalah individu-individu yang sangat egois, tak punya empati untuk orang lain, dan mereka tak bisa merasa menyesal atau bersalah. [The Sociopath, Rebecca Horton (April 1999)]
·          Gaya hidup mereka seperti "predator". Mereka hanya punya sedikit atau sama sekali tak punya rasa menyesal dan bersalah, kecuali saat tertangkap. Mereka membutuhkan hubungan, tetapi melihat orang lain sebagai hambatan yang harus disingkirkan. Bila tidak, mereka melihat orang lain dari sudut pandang bagaimana mereka bisa dimanfaatkan. Mereka menggunakan orang lain untuk stimulasi, untuk membangun self-esteem dan mereka juga menghargai orang lain semata-mata berdasarkan materi yang mereka punyai (uang, properti dll.). (Michael G. Conner, Psy.D)
·          Karena tak punya cinta kasih, mereka juga tak punya empati. Para psikopat tak mampu untuk merasakan penderitaan orang lain atau menempatkan dirinya sebagai orang lain, baik dia disakiti atau tidak oleh orang tersebut.[Gordon Banks]
·          Mereka tak hanya menginginkan harta benda dan kekuasaan, tetapi mereka juga memperoleh kesenangan luar biasa saat bisa merampas dan mencuri milik orang lain. Harta hasil pemalsuan, penipuan dan pemerasan adalah buah yang jauh lebih manis daripada harta yang mereka peroleh dari bekerja secara jujur. (What Is a Psychopath? Special Research Project of the Quantum Future School)
·          Tak punya perasaan, penipu, ceroboh, tak punya rasa bersalah, suka mengintimidasi dan bersikap kasar adalah deskripsi standar dari psikopat, orang-orang yang pola berpikirnya, perasaannya dan berperilakunya kacau, sehingga merusak kehidupan mereka sehari hari dan juga mengganggu kehidupan orang lain yang berada di sekitar mereka. (Atlanta Medical Psychology).
·          Psikopat tidak punya simpati sama sekali. Mereka orang-orang yang tak punya perasaan dan berdarah dingin. Mereka memanfaatkan orang lain dengan dingin dan tanpa menyesal untuk tujuan egois mereka sendiri.
Dr. Hare juga punya checklist tentang ciri-ciri psikopat. Daftarnya cukup panjang, bisa Anda lihat di bawah. Semakin banyak orang mendapat skor, maka semakin tinggi tingkatan psikopatnya.
Untuk tiap ciri-ciri yang ada, subyek diberi skor: 0 untuk "tidak," 1 untuk "agak," dan 2 untuk "sepenuhnya benar." (Please note that Dr. Hare does not advise that the layman use this checklist for "diagnosing" friends and family; this checklist, however, does give you a good idea how it is used).
1. Glibness/superficial charm
2. Grandiose sense of self-worth
3. Need for stimulation/proneness to boredom
4. Pathological lying
5. Conning/manipulative
6. Lack of remorse or guilt
7. Shallow affect
8. Callous/lack of empathy
9. Parasitic lifestyle
10. Poor behavioural controls
11. Promiscuous sexual behaviour
12. Early behaviour problems
13. Lack of realistic, long-term plans
14. Impulsivity
15. Irresponsibility
16. Failure to accept responsibility for own actions
17. Many short-term relationships
18. Juvenile delinquency
19. Revocation of conditional release
20. Criminal versatility
Demikian checklist dari Dr. Hare. Cukup panjang juga. Akan tetapi, kalau disebut secara ringkasnya ciri-ciri mereka yang paling utama adalah suka merampas milik orang lain, baik itu harta (uang, rumah, tanah dll.) maupun nyawa, baik dengan cara halus maupun kasar. Dan setelah melakukan kejahatan mereka sama sekali tak bisa merasa menyesal atau bersalah, kejam dan berdarah dingin. Itulah ciri-ciri utama psikopat. Dengan kata lain, mereka itu adalah penjahat sampai ke lubuk hati.
Mereka juga sama sekali tak punya empati, egois dan semua orang yang ada di sekitarnya dianggap sebagai perkakas belaka untuk memuaskan keinginannya. Mereka bersedia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, termasuk mengorbankan semua orang di sekitarnya. Tak peduli dengan perasaan orang lain dan segala kerugian yang ditimbulkannya. Bahkan, mereka ada yang suka membanggakan “hasil kerjanya” kepada orang lain. Mereka juga tak punya tanggung jawab, suka menyalahkan orang lain, baik teman, saudara atau bawahannya, suka mencari kambing hitam atas segala kejahatan yang telah dilakukannya, atau mencari-cari pembenar atas kelakuan jahatnya.
Semua itu disebabkan karena emosi orang psikopat sangatlah dangkal atau istilahnya buta emosi. Mereka seperti orang buta warna yang menghafalkan nyala lampu lalu lintas. Bila lampu atas menyala mereka tahu itu artinya berhenti dan kalau bawah menyala berarti jalan, tetapi mereka tak paham apa itu warna hijau dan merah. Demikian pula halnya orang psikopat. Mereka bisa tahu dan menirukan rasa empati, bahkan pura-pura menangis sampai tersedu-sedu, tetapi sebenarnya mereka tak bisa merasakan apa-apa.
Like a color blind man incapable of distinguishing red from green, a small minority of the human population cannot experience or fully comprehend the normal range of human emotions. And like those color blind who may conceal their condition by using the correct words while not understanding their meaning (e.g., the top traffic light is “red”, the bottom is “green”) - so does this minority conceal their condition by playacting an emotion's exterior signs (facial expressions, exclamations, body language). However, they do no actually experience the emotion in question. Their deception is revealed in the laboratory, where they respond to words like DEATH, CANCER, DISEASE, as if they were DAY, CREAM, or PAPER. They lack the ability to comprehend the emotional “punch” that certain words contain. They use others’ emotional reactions as cues, and they adjust their behavior to portray the correct ‘emotional’ behavior. (Hare, 129-30)
These individuals are known as psychopaths. Not only can they not feel the pain of others, they often seem to deliberately cause others pain. Lobaczewski refers to this disorder as an “essential psychopathy” to distinguish them from others with deficits in their genetic/instinctual endowment, essential psychopathy being the most severe and disturbing. (www.ponerology.com)
Artinya: Seperti orang buta warna yang tak bisa membedakan warna merah dan hijau, sejumlah kecil dari populasi manusia ada yang tak bisa mengalami atau memahami sepenuhnya beragam bentuk emosi yang ada pada manusia normal. Dan mereka seperti orang buta warna yang bisa menyembunyikan kondisi mereka dengan menggunakan kata-kata yang benar walau mereka tak memahami maknanya (misalnya, lampu atas menyala berarti “merah”, lampu bawah artinya “hijau”)-demikian pula cara orang psikopat menyembunyikan penyakit mereka, dengan cara berakting menirukan tanda-tanda emosi yang ada pada manusia normal (ekspresi wajah, teriakan, bahasa tubuh). Akan tetapi, mereka sama sekali tak mengalami emosi yang dimaksud. Kebohongan mereka terungkap dalam laboratorium, mereka merespon kata-kata seperti DEATH, CANCER, DISEASE, seakan itu adalah kata DAY, CREAM atau PAPER. Mereka tak sanggup memahami kandungan emosial yang terdapat pada kata-kata tersebut. Mereka menggunakan reaksi emosi orang lain sebagai contoh dan mereka lalu menyesuaikan tindakan mereka supaya sesuai dengan “emosi” yang benar tersebut.
Orang-orang ini disebut sebagai psikopat. Mereka bukan hanya tak bisa merasakan penderitaan orang lain, tetapi juga seringkali mereka secara sengaja menyakiti orang lain. Lobaczewski menyebut penyakit ini sebagai “essential psychopathy” untuk membedakannya dari orang lain yang punya kekurangan dalam hal genetik/insting, essential psychopathy adalah kasus yang paling parah dan mengganggu. (www.ponerology.com)
Bila orang buta warna boleh dikatakan mengalami cacat visual, maka boleh dikatakan orang psikopat itu mempunyai cacat emosi, empathy-impaired. Apa yang mereka rasakan itu berbeda dengan orang normal yang apabila melihat orang lain menderita, maka sistem syaraf di otaknya yang mengatur perasaan (emosi) akan turut bereaksi sehingga ia bisa turut merasakan walau tentu tidak sehebat orang yang mengalami secara langsung. Rasa turut merasakan (empati) ini pada akhirnya akan menimbulkan rasa ingin turut membantu orang yang sedang menderita tersebut. Reaksi seperti itu tidak dialami orang psikopat, tak ada sistem di otaknya yang mengatur hal itu sehingga mereka tak bisa turut merasakan dan pada akhirnya tentu saja tak ada rasa ingin membantu. Sebaliknya, mereka bahkan seringkali mengeksploitasi dan dan memanfaatkan penderitaan orang lain.
(Seperti Anda lihat pada kata yang dikurung di atas, saya di sini mengartikan emosi sebagai perasaan, perasaan apa saja, dan itu memang makna aslinya dalam bahasa Inggris. Di kamus World Book Encyclopedia tertulis emotion= a strong feeling of any kind. Hate, fear, excitement, anger, love, joy, and grief are emotions. Sinonim dengan kata feeling, tetapi yang dirasakan dengan sangat kuat. Kalau di Indonesia kata ini memang agak berbeda maksudnya dan cenderung dimaksudkan sebagai amarah saja. Saya perlu memberikan penjelasan ini sebelumnya supaya nanti tidak menimbulkan salah pengertian).
Sekedar gambaran singkat tentang perbedaan mencolok antara perilaku psikopat dan orang normal bisa Anda lihat pada cerita berikut ini. Rasanya cerita ini nanti bisa memperjelas bagaimana psikopat itu memang tak punya empati sama sekali pada orang lain, bahkan memanfaatkannya musibah yang menimpa orang lain. Cerita lumrah dan mungkin juga sudah pernah Anda dengar di tempat lain. Saya ceritakan kembali di sini untuk mengingatkan Anda lagi.
Dulu ada teman saya yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Ia sedang naik becak mengantar beberapa orang tamunya asingnya (ia seorang guide), tiba-tiba saja becak yang sedang ditumpanginya diseruduk sepeda motor yang melaju kencang. Ia kemudian pingsan tak ingat apa-apa lagi. Apa yang terjadi saat ia mengalami kecelakaan dan pingsan? Seperti biasanya, orang-orang langsung berlarian menuju TKP. Orang yang normal segera bergotong-royong membantu para korban, termasuk teman saya tadi, ikhlas dan tanpa pamrih apa pun. Yang dilakukan psikopat? Ikut berlarian menuju TKP juga, untuk.. mencuri sepatu dan mencopet dompetnya. Setelah siuman dua hari kemudian ia mendapati bahwa sepatu dan dompetnya telah raib. Kebetulan sepatu teman saya itu masih baru dan bagus. Sangat berbeda bukan perilaku psikopat dan orang normal? Bagaikan langit dan bumi. Atau bagaikan surga dan neraka.
Reaksi spontan orang normal bila melihat orang lain sedang kesusahan adalah langsung menolongnya, sedangkan reaksi spontan seorang psikopat adalah memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk mencoleng milik orang lain, bahkan tak peduli orang itu sedang ditimpa musibah. Tak peduli dengan keadaan yang bagaimana pun, asal ada kesempatan berbuat jahat ya dia melakukannya. Dan ternyata, orang-orang psikopat yang berperilaku semacam itu bukan hanya berada di jalanan saja, tetapi banyak juga yang berkeliaran dengan bebas di pemerintahan, militer, dunia hukum, dunia bisnis dan lain-lainnya. Lihat pembahasan di bawah nanti.
Contoh lainnya dari perilaku psikopat semacam itu adalah misalnya saat ada berita bencana, kecelakaan, kematian, kejahatan atau berita-berita buruk lain semacamnya. Bukannya ingin menolong mereka, sebaliknya para psikopat dengan tangkas segera memanfaatkan berita-berita itu untuk propaganda. Atau kalau perlu mereka membuat berita semacam itu, merekayasa bencana atau memanipulasi orang supaya berkelahi di pengadilan sehingga kemudian bisa mengeksploitasi penderitaan dan pertengkaran orang lain untuk kepentingan propaganda. Seperti misalnya kasus-kasus yang baru terjadi kemarin. Selalu berita bencana dan pertengkaran yang mereka gunakan untuk propaganda sehingga membuat saya menjadi yakin bahwa mereka memang sangat menyukai berita semacam itu. Merasa sangat senang dan bahagia saat menonton orang kesusahan atau bertengkar. Agaknya memang benar kata Harvey Cleckley bahwa para psikopat itu gemar “berlibur” dengan cara menonton atau melakukan hal-hal yang kotor dan rendah, sebagaimana halnya orang normal berlibur dengan cara melihat pemandangan yang indah atau pergi ke tempat-tempat yang berbudaya. Cara berlibur dan refreshing mereka sangat berbeda dengan orang normal. Bagaikan langit dan bumi. Atau bagaikan surga dan neraka.
2. Penyebab Perilaku Psikopat  back to top
Kenapa orang psikopat bersifat semacam itu? Seperti sudah disinggung sedikit di atas, itu karena susunan otak mereka yang berbeda dengan manusia normal, sehingga cara mereka memproses informasi yang masuk ke otaknya juga berbeda. Untuk gampangnya, kita bayangkan saja otak manusia itu sebagai suatu sistem komputer. Bila komputer itu normal, berjalan sesuai fungsinya, maka semua input yang masuk akan dikelola dengan sebagaimana mestinya. Kita pencet huruf A, maka yang nampak di layar adalah huruf A, kita pencet B akan muncul huruf B pula. Pada saat kita print, maka output yang keluar adalah huruf-huruf tersebut pula. Pada orang psikopat, ada malfungsi di sistemnya sehingga saat input yang masuk di otak mereka adalah wajah orang sedih atau menderita, maka otak mereka tidak memproses apa-apa, blank, tidak nampak apa-apa di “layar monitor” otak mereka, atau mereka malah bergembira melihat hal itu, bukannya turut bersedih. Bahkan ada yang menikmati melihat orang lain menderita, yakni sadisme. Ada darah berceceran bukannya merasa ngeri, tetapi malah senang dan menikmatinya. Ada malfungsi di sistem otak mereka. Akibatnya, otak mereka pun salah memproses informasi yang masuk. Input A diproses jadi C, input B diproses jadi A, dan seterusnya.
Menurut para ahli psikologi, di sistem otak mereka memang tak ada hardware untuk merasakan empati. Bila pun ada, maka alat itu tidak berfungsi secara sempurna, mengalami malfungsi. Misalnya adalah sebuah komputer yang tak ada soundcard-nya atau ada tapi sudah terbakar rusak. Biar kita otak-atik sampai elek, kita instal driver bolak-balik sampai tuwek, ya tentu saja takkan bisa bunyi. Bisa kita baca hal itu pada wawancara Silvia Cattori dengan Henry See dan Laura Knight-Jadczyk berikut ini:
Henry: Without the ability to empathize with others, these people cannot feel that suffering, any more than a cat feels the suffering of a mouse when it toys with it prior to killing it. Bush can order thousands of American troops into Iraq or Afghanistan where they will be killed or permanently maimed, and where they will kill thousands and destroy an entire country, can sanction the torturing of prisoners, can support the actions of Israel in the Occupied territories or Lebanon, and none of the suffering he is causing is real to him. There is no hardware in these people that can process these emotions. They are incapable at the physiological levels of doing so.
Laura: They don't have the hardware to run that program. (Silvia Cattori, The Trick of the Psychopath's Trade).
Artinya:
Henry: Tanpa kemampuan untuk berempati dengan orang lain, orang-orang ini tak bisa merasakan penderitaan tersebut, mereka tak lebih seperti kucing yang tak bisa merasakan penderitaan seekor tikus, saat kucing tersebut memainkan tubuh korbannya sebelum kemudian memakannya. Bush bisa memerintahkan ribuan prajurit Amerika ke Irak atau Afghanistan di mana mereka bisa terbunuh atau cacat permanen, dan mereka  juga bisa membunuh ribuan orang atau menghancurkan seluruh negeri, bisa memerintahkan penyiksaan tawanan, bisa mendukung aksi Israel di Wilayah Pendudukan atau Lebanon, dan tak satu pun  penderitaan itu nyata baginya. Di kepala mereka tak ada hardware yang bisa memproses emosi-emosi tersebut. Mereka tak mampu dalam tingkatan psikologis untuk memikirkannya.
Laura: Mereka tak punya hardware untuk menjalankan programnya.
Di www.ponerology.com juga disebutkan bahwa hal itu memang disebabkan tak ada hardware di otak para psikopat untuk bisa merasa empati dengan orang lain, merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Tak ada hardware-nya di kepala mereka, jadi ya tentu saja driver yang diinstal tak bisa berguna.
Psychopaths have little to no real choice in how they act as they cannot empathize or sympathize; they cannot view other humans as anything other but objects to be used for their advantage – they “lack the hardware,” so to speak. We should offer token sympathy, because they literally have no choice in the matter. Their very genetic code predisposes them toward predatory behavior. They are, as Robert Hare terms them, an intraspecies predator. (www.ponerology.com)
Artinya: Psikopat hanya punya sedikit atau bahkan tak punya sama sekali pilihan dalam bertindak karena mereka tak bisa berempati atau bersimpati. Mereka tak bisa memandang orang lain kecuali sebagai obyek yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungannya sendiri—mereka tak punya hardware, begitulah. Kita mungkin bisa sedikit bersimpati kepada mereka, karena secara harfiah mereka memang tak punya pilihan dalam hal tersebut. Kode genetik yang ada pada diri mereka telah mentakdirkan mereka berkelakuan seperti predator. Sebagaimana istilah Robert Hare, mereka adalah intraspecies predator.
Artinya intraspecies predator itu adalah manusia yang kerjanya suka mengambil milik manusia lainnya, sesama spesies manusia, baik dengan cara halus maupun kasar. Bahkan juga sampai mengambil nyawa manusia lain bila perlu. Tidak pernah seorang psikopat itu akan suka memberi dengan sukarela, bila pun mereka memberi akan ada udang di balik batunya. Pada ujungnya mereka akan ambil lagi sejumlah yang sudah diberikan beserta bunganya.
Pada saat ini, kesalahan proses itu sudah bisa dideteksi dengan scan otak. Jadi, di dalam sistem otak mereka memang benar-benar telah terjadi malfungsi, kacau jalannya.
Aristotle thought there was something different in the physical makeup of such people. Indeed, recent brain scan evidence shows some psychopaths do have altered brain structure and functioning. (Norman Doidge, Beyond therapy: Some evil can't be cured, National Post, Friday, January 07, 2000).
Artinya: Aristotle berpikir bahwa ada sesuatu yang berbeda di dalam susunan fisik orang-orang semacam itu. Ternyata benar, bukti-bukti yang didapat dari scan otak menunjukkan bahwa psikopat memang mempunyai struktur dan fungsi otak yang berbeda.
Di dalam wawancaranya dengan Silvia Cattori, Laura Knight-Jadczyk juga menerangkan hal yang sama:
They are also incapable of deep emotions. In fact, when Hare, a Canadian psychologist who spent his career studying psychopathy, did brain scans on psychopaths while showing them two sets of words, one set of neutral words with no emotional associations and a second set with emotionally charged words, while different areas of the brain lit up in the non-psychopathic control group, in the psychopaths, both sets were processed in the same area of the brain, the area that deals with language. They did not have an immediate emotional reaction.
Our whole emotional life is a mystery to them, while at the same time providing a tremendous tool for them to manipulate us. Think of those moments when we are strongly affected by our emotions and how our ability to think is impaired. Now imagine that you were able to feign such emotion, remaining cool and calculating, while the person you were exchanging with was really trapped in an emotional cauldron. You could use tears or shouting to get what you wanted, while your victim was driven to despair by the emotions they were living. (Silvia Cattori, The Trick of the Psychopath's Trade).
Artinya: Mereka tak mempunyai emosi yang dalam. Faktanya, ketika Dr.Hare, seorang ahli psikologi Kanada yang menghabiskan karirnya untuk mempelajari psikopat, melakukan scan otak kepada para psikopat dengan cara menunjukkan dua set kata-kata, satu set berisi kata-kata netral yang tak punya kandungan emosional dan set kedua yang punya kandungan emosional. Pada orang-orang non-psikopat kedua area otak yang berbeda menyala, sedangkan pada orang-orang psikopat, kedua set kata-kata itu diproses pada area otak yang sama, yakni area yang memproses bahasa. Mereka tak punya reaksi emosional.
Seluruh cara kerja emosi kita merupakan misteri bagi mereka, dan pada saat yang sama menyediakan alat yang sangat berharga bagi mereka untuk memanipulasi kita. Pikirkanlah saat-saat kita sedang dipengaruhi emosi yang sangat kuat dan kemampuan berpikir kita menjadi kacau. Sekarang bayangkan Anda sedang berpura-pura dipengaruhi emosi tersebut, tetap dingin dan penuh perhitungan, sementara orang yang sedang Anda ajak bicara benar-benar dalam kondisi emosional. Anda bisa menggunakan air mata atau berteriak-teriak untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan, sedangkan korban Anda menjadi putus asa karena emosi yang dialaminya.
Sebuah artikel yang lain menyatakan:
Research using brain scanning technology has revealed that the brain of a psychopath functions and processes information differently. One famous brain imaging study showed that psychopaths can remain calm looking photos of dead bodies in automobile accidents where as other people were clearly upset. They don't use their brain they way others do. This suggests that they may be physically different from normal people. (Michael G. Conner, Psy.D, Psy.D, Are You Involved With A Psychopath? Stop The Madness).
Artinya: Riset menggunakan teknologi scan otak mengungkapkan bahwa otak seorang psikopat memang berfungsi dan memproses informasi dengan cara berbeda. Salah satu studi scan otak yang terkenal menunjukkan bahwa para psikopat bisa tetap tenang saat melihat foto-foto korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas, padahal orang lain jelas-jelas merasa ngeri. Mereka menggunakan otaknya tidak seperti orang lain. Ini menunjukkan bahwa mereka mungkin secara fisik berbeda dengan orang normal.
Demikianlah. Setelah dilakukan scan otak, ternyata jalannya sistem yang ada di otak psikopat memang berbeda dengan manusia normal. Mereka memproses input informasi yang masuk ke otak mereka dengan cara yang berbeda dengan manusia normal. (Lihat juga artikel “Scientists Search for the Seat of Evil” by Greg Barrett). Bahkan, pada kutipan terakhir kita bisa melihat bahwa mereka sama sekali tak terpengaruh dengan pemandangan orang mati yang berlumuran darah. Dalam kasus yang parah, seorang bangsawan Hungaria bernama Elizabeth Bathory gemar mandi di dalam bak yang berisi darah para korbannya. Supaya bisa awet muda katanya. Korbannya sekitar 600 gadis muda. Mereka disiksa dengan sadis terlebih dahulu sebelum kemudian disembelih dan dituangkan darahnya sampai kering ke bak mandi.
Susunan otak yang nyeleh seperti itu selain bisa disebabkan oleh faktor keturunan (genetika) juga bisa disebabkan karena otak mereka mengalami trauma pada saat proses kelahiran atau pada saat dia masih kecil sehingga perkembangan otaknya tidak sempurna. Akibat susunan otak yang abnormal semacam itu, maka kepribadian mereka pun berbeda dengan manusia normal pada umumnya. Bila manusia normal suka melakukan kebaikan dan membuat orang lain tersenyum, maka para psikopat itu senang berbuat kejahatan dan membuat orang lain menderita.
Without wandering too far afield into spiritual speculations - a problem Cleckley also faced - we can only say that it seems to be that the psychopath ENJOYS making others suffer. Just as normal humans enjoy seeing other people happy, or doing things that make other people smile, the psychopath enjoys the exact opposite. (The Psychopath: The Mask of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future School).
Artinya: Tanpa melangkah terlalu jauh ke bidang spekulasi spiritual – sebuah problem yang juga mesti dihadapi Cleckley – kita hanya bisa berkata bahwa nampaknya psikopat menikmati membuat orang lain menderita. Sebagaimana manusia normal yang senang membuat orang lain berbahagia, atau melakukan sesuatu yang membuat orang lain tersenyum, seorang psikopat menikmati hal yang sama sekali sebaliknya.
Atau dalam kata lain mereka itu mengidap sadisme, suka mengganggu dan menganiaya orang lain. Baik itu menganiaya secara langsung dengan tangannya sendiri atau melalui tangan orang lain. Itu semua malah dianggap sebagai hiburan oleh mereka. Atau bagi yang tidak terlalu parah, maka minimal mereka tidak merasa apa-apa, tak bisa merasakan empati. Hobi para psikopat itu memang berbeda dengan manusia normal pada umumnya.
It seems that the psychopath has a regular need to take a "vacation into filth and degradation" the same way normal people may take a vacation to a resort where they enjoy beautiful surroundings and culture. To get a full feeling for this strange "need" of the psychopath - a need that seems to be evidence that "acting human" is very stressful to the psychopath - read more of The Mask of Sanity, chapters 25 and 26.
Also, read Cleckley's speculations on what was "really wrong" with these people. He comes very close to suggesting that they are human in every respect - but that they lack a soul. This lack of "soul quality" makes them very efficient "machines." They can be brilliant, write scholarly works, imitate the words of emotion, but over time, it becomes clear that their words do not match their actions. They are the type of person who can claim that they are devastated by grief who then attend a party "to forget." The problem is: they really DO forget. (The Psychopath: The Mask of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future School).
Artinya: Nampaknya seorang psikopat mempunyai kebutuhan rutin untuk “berlibur melakukan hal-hal yang kotor dan rendah”, sebagaimana halnya orang normal suka berlibur ke tempat wisata untuk menikmati pemandangan yang indah dan berbudaya. Untuk mengetahui “kebutuhan” aneh dari seorang psikopat itu lebih lanjut baca The Mask of Sanity, chapters 25 and 26. Hal itu menunjukkan bahwa bertingkah laku sebagai manusia normal sangatlah membuat stress seorang psikopat.
Juga, baca Cleckley's speculations tentang apa yang salah dengan orang-orang ini. Dia menyatakan bahwa mereka manusia dalam segala hal- kecuali bahwa mereka tak punya perasaan. Tak adanya perasaan ini membuat mereka menjadi mesin yang sangat efisien. Mereka bisa menjadi orang yang brilian, menulis karya-karya ilmiah, menirukan kata-kata yang penuh perasaan, tetapi sejalan dengan waktu, menjadi jelaslah bahwa kata-kata mereka ternyata tidak pernah sejalan dengan tindakannya. Mereka adalah tipe orang yang bisa berkata bahwa mereka sedang sangat berduka dan kemudian pergi ke pesta untuk melupakannya. The problem is: Mereka benar-benar melupakannya.
Bila pengidapnya adalah orang sipil, maka dia akan mencari mangsa di jalan-jalan untuk melampiaskan bakat sadisnya, sedangkan bila pengidapnya adalah pegawai pemerintah atau anggota polisi/tentara, mereka bisa melampiaskan bakatnya itu kepada para tahanan. Sementara itu, pihak berwenang/para pejabat pemerintah yang membiarkan kejahatan semacam itu terjadi di lembaga-lembaga pemerintah atau di penjara-penjara juga adalah para psikopat, sistem di otak mereka tak berfungsi sempurna sehingga mereka tak bisa turut berempati dengan para korban dan berusaha memperbaiki hal semacam itu.
Ringkasnya, para pelaku kejahatan dan mereka yang menganggapnya sebagai hal yang normal saja adalah para psikopat karena mereka merasa tak ada yang salah dengan semua itu. Semua kejahatan itu dianggap baik-baik saja karena sistem di otak mereka memang tak sanggup menjangkau hal semacam itu. Jadi, problemnya adalah bukan karena mereka tak mau berbuat baik, tetapi karena mereka tak mampu berbuat baik. Mereka tak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan atau saksikan itu adalah sesuatu yang salah karena sistem di otak mereka tak sanggup menjangkaunya. Karena tak menganggapnya sebagai suatu kesalahan, maka tentu saja mereka tak tergerak untuk melakukan perbaikan, baik itu memperbaiki kepribadiannya maupun memperbaiki sistem yang ada.
3. Tingkatan Kepribadian   back to top
Pada zaman antik dulu, Aristotle juga sudah berpikir tentang beragam kepribadian yang ada pada manusia. Dia membaginya menjadi empat macam tingkatan.
In ancient times, Aristotle made those distinctions, and developed a hierarchy of virtue and vice. At the top of the ladder is the virtuous person, who only aims toward good things; he is not "conflicted," as we would say, because there is no war between virtue and vice in his soul. Next, comes the continent person, who behaves well, but is always a bit tense because he is struggling, albeit successfully, to control his vices. Then comes the incontinent person, who knows what is right, but who frequently slips up, failing in his struggle. At the bottom of the hierarchy is the brute -- our psychopath. Like the virtuous person, he, too, is not at war with himself, is not "conflicted." Unlike the virtuous person, it is vice, and not virtue, that rules. (Norman Doidge, Beyond therapy: Some evil can't be cured, National Post, Friday, January 07, 2000).
Artinya: Pada zaman antik dulu, Aristotle membuat beberapa tingkatan, dan mengembangkan hirarki sifat baik dan jahat. Pada tangga tertinggi adalah orang baik, yang segala tindakannya ditujukan untuk kebaikan; dia tidak berkonflik dengan dirinya karena tak ada perang antara sifat baik dan jahat di dalam dirinya. Berikutnya, continent person, yang berperilaku baik, tetapi selalu agak tegang karena ia harus berjuang, walaupun akhirnya sukses, untuk mengontrol sifat jahatnya. Berikutnya incontinent person, yang tahu mana yang benar, tetapi dia seringkali tergelincir, gagal di dalam perjuangannya. Kemudian pada dasar hirarki adalah si brutal—yakni psikopat. Sebagaimana orang baik yang di atas tadi, dia juga tak pernah berperang dengan dirinya, tak ada konflik di dalam dirinya. Bedanya adalah kejahatan yang selalu menjadi jalan hidupnya.
Tingkatan yang terbawah itu sangat mengerikan bukan, yakni the brute, our psychopath. Dia tidak pernah ada konflik di dalam dirinya. Tidak pernah bingung memilih antara dua pilihan, baik atau jahat. Yang selalu dipilihnya adalah jalan kejahatan. Dan dia tidak pernah bersalah apalagi menyesal telah melakukan kejahatan. Tak ada konflik di dalam hatinya.
Pada zaman modern sekarang ini, ahli psikologi Dr. Hare juga membagi kepribadian manusia dalam beberapa tingkatan. Tak semua psikopat memang seperti tokoh fiksi Hannibal Lecter atau tokoh nyata seperti Jeffrey Dahmer. Ada suatu continuum, yakni tingkatan berangsur-angsur dari yang ganas seperti Dahmer yang doyan makan daging manusia, mereka yang suka menghajar korbannya sampai kelenger sebelum mengambil uangnya, hingga yang mencuri tanpa kekerasan seperti koruptor yang halus lembut yang berkeliaran di kantor-kantor yang cuma doyan makan duit, atau juga para penipu yang berkeliaran di jalan. Para penipu itu kan rata-rata tutur katanya lemah lembut menghanyutkan, pakaian mereka juga biasanya cukup keren sehingga bisa memikat mangsanya. Tetapi, dari yang luarnya ganas sampai yang luarnya lembut itu, pada hakikatnya isi hati mereka sama, yakni mereka tak punya hati nurani.
But wait, you say: Don't bona fide psychopaths become serial killers or other kinds of violent criminals, rather than the guys in the next cubicle or the corner office? That was the conventional wisdom. Indeed, Hare began his work by studying men in prison. Granted, that's still an unusually good place to look for the conscience-impaired. The average Psychopathy Checklist score for incarcerated male offenders in North America is 23.3, out of a possible 40. A score of around 20 qualifies as "moderately psychopathic." Only 1% of the general population would score 30 or above, which is "highly psychopathic," the range for the most violent offenders. Hare has said that the typical citizen would score a 3 or 4, while anything below that is "sliding into sainthood."
On the broad continuum between the ethical everyman and the predatory killer, there's plenty of room for people who are ruthless but not violent. This is where you're likely to find such people as Ebbers, Fastow, ImClone CEO Sam Waksal, and hotelier Leona Helmsley. We put several big-name CEOs through the checklist, and they scored as "moderately psychopathic"; our quiz on page 48 lets you try a similar exercise with your favorite boss. And this summer, together with New York industrial psychologist Paul Babiak, Hare begins marketing the B-Scan, a personality test that companies can use to spot job candidates who may have an MBA but lack a conscience. "I always said that if I wasn't studying psychopaths in prison, I'd do it at the stock exchange," Hare told Fast Company. "There are certainly more people in the business world who would score high in the psychopathic dimension than in the general population. You'll find them in any organization where, by the nature of one's position, you have power and control over other people and the opportunity to get something." (Alan Deutschman, Is Your Boss a Psychopath?)
Artinya: Tetapi tunggu, kau bilang: Bukankan seorang psikopat yang bonafid akan menjadi pembunuh berantai atau pelaku kriminal dengan kekerasan, dan bukan mereka yang bekerja di samping ruangan kita atau di suatu sudut kantor? Itu adalah pandangan konvensional. Dan Hare memang memulai kerjanya dengan mempelajari para penghuni penjara. Dijamin, itu adalah tempat yang masih cukup menjanjikan untuk menemukan orang-orang yang tak punya hati nurani. Rata-rata nilai yang didapat oleh para penghuni bui menurut Psychopathy Checklist adalah 23.3 dari kemungkinan 40. Nilai sekitar 20 artinya psikopat kelas menengah. Hanya 1% populasi manusia yang akan mendapat nilai 30 ke atas, yang artinya psikopat kelas berat, angka yang umum bagi pelaku kejahatan dengan kekerasan. Hare mengatakan bahwa nilai rata-rata masyarakat umum adalah 3 atau 4, sementara yang mendapat angka di bawah itu artinya dia menjurus menjadi orang suci.
Dalam kontinum yang cukup lebar antara orang normal dan pembunuh yang bersifat predator, terdapat ruang yang cukup luas bagi kita untuk menemui orang-orang yang hatinya kejam tapi tidak berperilaku berangasan. Di sinilah Anda bisa menemui orang semacam Ebbers, Fastow, ImClone CEO Sam Waksal dan pengusaha hotel Leona Helmsley. Kami menaruh beberapa nama besar CEO di dalam checklist dan mereka mendapat nilai psikopat kelas menengah: kuis kami pada halaman 48 mempersilakan Anda untuk mencoba tes tersebut pada bos favorite Anda. Dan musim panas ini, bersama dengan New York industrial psychologist Paul Babiak, Hare mulai memasarkan B-Scan, sebuah tes kepribadian yang bisa dipergunakan perusahaan-perusahaan untuk menemukan kandidat yang mempunyai gelar MBA tetapi tak punya hati nurani. "Aku selalu berkata bahwa bila aku tidak mempelajari para psikopat di penjara, maka aku akan melakukannya di pasar bursa," kata Hare kepada Fast Company. "Bisa dipastikan bahwa lebih banyak orang di dunia bisnis yang akan mendapat nilai tinggi di dalam tes psikopat ketimbang di masyarakat umum. Anda bisa menemui mereka di setiap organisasi di mana karena sifat dari kedudukannya, mereka bisa mempunyai kekuasaan dan kontrol atas orang lain dan kesempatan untuk mendapatkan sesuatu.
Jadi, para psikopat itu memang ada di mana-mana, bukan hanya di jalanan saja. Mereka terutama akan banyak berkerumun di tempat-tempat yang memungkinkan mereka bisa mendapatkan sesuatu, baik itu yang halal maupun yang haram
4. Psikopat di Dunia Bisnis (Corporate Psychopaths)  back to top
In popular culture, the image of the psychopath is of someone like Hannibal Lecter or the BTK Killer. But in reality, many psychopaths just want money, or power, or fame, or simply a nice car. Where do these psychopaths go? Often, it's to the corporate world. (Snakes In Suits: When Psychopaths Go To Work).
Artinya: Dalam budaya populer, gambaran seorang psikopat adalah orang seperti Hannibal Lecter atau pembunuh BTK. Pada kenyataannya, banyak psikopat hanya menginginkan uang, kekuasaan, kemasyhuran atau sebuah mobil bagus. Kemana para psikopat ini pergi? Seringkali, mereka pergi ke dunia bisnis.
Menurut hasil Checklist Dr. Hare para corporate psychopaths ini skornya kurang lebih sama dengan psikopat yang melakukan kejahatan di jalanan. Hanya saja mereka memang lebih halus tindak-tanduknya, tidak berangasan seperti mereka yang ada di jalanan, tak suka memakai tato di sekujur tubuh atau beragam aksesoris seram lainnya. Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan di atas tadi, pada pada hakikatnya isi hati mereka sama, yakni mereka semuanya tak punya hati nurani, kejam dan berdarah dingin.
Walau yang lebih sering diulas di media massa adalah kejahatan di jalanan yang seringkali disertai kekerasan, seperti misalnya yang terdapat dalam acara Buser atau Sergap, ternyata data di Amerika menunjukkan bahwa kejahatan kerah putih menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar daripada kejahatan di jalanan. Nampaknya demikian pula di Indonesia sini, salah satunya adalah 30 persen anggaran negara kita bocor tiap tahun, dan itu artinya ratusan triliun rupiah. Belum ditambah lagi kasus BLBI atau beragam kasus semacamnya. Meski demikian, saya belum punya data tepatnya di Indonesia. Untuk sementara Anda bisa melihat data yang di Amerika dulu sebagaimana yang dicatat oleh kriminologis Georgette Bennett:
The consequences to the average citizen from business crimes are staggering: The combined burglary, mugging and other property losses induced by the country's street punks come to about $4 billion a year. However, the seemingly upstanding citizens in our corporate board rooms and the humble clerks in our retail stores bilk us out of between $40 and $200 billion a year.
Artinya: Kerugian yang ditanggung oleh masyarakat umum karena kejahatan di dunia bisnis sangatlah besar: jumlah total kerugian yang diakibatkan oleh pencurian, perampokan dan lain-lain yang dilakukan oleh penjahat jalanan sekitar $4 milyar per tahun. Akan tetapi, total kerugian akibat penipuan oleh bisnismen di perusahaan-perusahaan besar hingga pegawai rendahan di toko retail mencapai sekitar $40 hingga $200 milyar per tahun.
Bukan hanya itu saja, kita juga seringkali mendengar berita tentang produk-produk pabrik yang mengandung bahan-bahan berbahaya. Baik itu mulai kosmetik, mainan, bahkan makanan dan minuman yang kita konsumsi. Berapa milyar lagi kerugian yang timbul akibat kejahatan semacam ini? Belum lagi penderitaan baik secara fisik maupun psikologis yang diakibatkannya. Sebagai contoh misalnya, hingga awal 1990-an hampir tidak pernah terdengar berita anak penderita autis, tetapi sekarang sudah menjadi epidemi. Itu karena produk-produk yang mengandung terlalu banyak zat besi atau zat-zat berbahaya lainnya yang dikonsumsi ibu-ibu hamil. Atau misalnya lagi produk yang mengandung melamin seperti di Cina baru-baru ini yang juga memakan korban cukup banyak. Atau Anda bisa mencari lagi banyak contoh lainnya. Dan produsen tentu saja tak mau berterus-terus akan efek samping dari produk-produknya. Karena pemilik dan manajemen pabrik dikuasai kaum psikopat yang tak peduli dengan nasib orang lain. Asal mereka untung besar, habis perkara.
Pada umumnya, corporate psychopaths itu menjalin kerja sama yang sangat rapat dengan rezim-rezim patokrat, yakni para psikopat yang memegang kekuasaan politik. (Lihat uraian pada bagian setelah ini). Hal yang biasa kita sebut sebagai kolusi. Kerja sama semacam itu pada masa ini telah menimbulkan berbagai bencana di muka bumi ini, apalagi bila corporate psychopaths itu menguasai perusahaan-perusahaan besar multinasional. Ke belahan dunia mana pun mereka pergi berbisnis, maka penindasan dan penderitaan segera saja menimpa masyarakat luas di tempat yang mereka hinggapi. Karena rezim-rezim patokrat akan semakin memperhebat penindasan atas rakyat mereka sendiri untuk memuaskan klien mereka, yakni corporate psychopaths. Dan itu tentu saja karena rezim-rezim patokrat tersebut turut mendapat keuntungan dari klien mereka.
Untuk gampangnya, kerjasama semacam itu bisa kita temui di republik-republik pisang di Amerika Latin. Atau untuk di Indonesia sini kita bisa melihat apa yang dikerjakan Freeport di Papua. Atau perusahaan pemegang HPH yang berkolusi dengan para patokrat di pusat maupun daerah menghancurkan semua hutan di Indonesia. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
Corporate psychopaths dan rezim-rezim patokrat itu juga seringkali bekerja sama dengan tokoh-tokoh agama bila diperlukan. Tentu saja itu bukan karena mereka orang yang religius, karena pada dasarnya para psikopat tak peduli dengan moral, tetapi itu hanya sekedar memanfaatkan agama untuk kepentingan egoisnya sendiri.
Selain itu, karena media massa baik cetak maupun elektronik pada umumnya banyak bergantung kepada iklan, maka mau tak mau para corporate psychopaths pun menguasai media massa juga. Bagaimana itu dengan istilah kebebasan pers, pengawal demokrasi atau istilah-istilah indah semacamnya? Dengan sedih terpaksa saya katakan bahwa itu cuma ilusi belaka sepanjang masa. Sekali lagi, ilusi. Bahkan di negara-negara yang telah lama menjadi demokratis seperti di Amerika dan Uni Eropa. Bila pun itu bisa disebut kebebasan, maka itu adalah kebebasan bagi para pemilik media dan para corporate psychopaths yang punya dana milyaran rupiah, mereka bebas untuk menyuruh pasang berita apa saja yang mereka sukai untuk bisa dimuat di headline suratkabar atau radio dan televisi. Anak buah mereka, yakni para wartawan biasa, walau mungkin ada yang tidak setuju, mau tidak mau akan menurut apa kata bos mereka.
Bagaimana kemudian dengan kebebasan pers bagi masyarakat umum? Sebagaimana kita telah maklum bersama, masyarakat umum akan sulit sekali mengutarakan suaranya di media massa, bahkan walau itu cuma sekedar di surat pembaca. Memang benar bahwa Anda bebas untuk mengirimkan surat pembaca atau artikel untuk mengutarakan pendapat Anda. Sialnya, walau ratusan kali Anda mengirimkan surat pembaca belum tentu bisa dimuat. Entah itu karena terbatasnya ruang halaman yang ada, atau karena pandangan Anda tidak sesuai dengan redaksinya, atau karena sebab-sebab lain. Ringkasnya, Anda bebas mengirim tetapi mereka bebas pula untuk tidak memuatnya. Sangat bebas, bukan? Itulah makna yang hakiki dari kebebasan pers bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, tak ada salahnya saya kutip sekali lagi apa kata John Stockwell.
I urge you to read. In television you get capsules of news that someone else puts together what they want you to hear about the news. In newspapers you get what the editors select to put in the newspaper. If you want to know about the world and understand, to EDUCATE YOURSELF, you have to get out and dig, dig up books and articles for yourself. Read, and find out for yourselves.
Artinya: Saya menganjurkan Anda dengan sangat untuk membaca. Di televisi Anda mendapatkan potongan-potongan berita yang ditaruh orang lain, berita menurut versi mereka sendiri, yang mereka inginkan bagi Anda untuk mendengarkannya. Di surat kabar Anda membaca berita-berita yang telah diseleksi oleh para editor. Jika Anda ingin mengetahui dan memahami dunia, mendidik diri Anda sendiri, Anda harus menggali dan menggali buku-buku dan artikel-artikel sendiri. Bacalah dan dapatkan sendiri berita-berita tersebut.
Ini bukan berarti saya melarang Anda untuk menonton TV, mendengar radio, atau membaca koran. Bila demikian, lantas apa bedanya saya nanti dengan Stalin, Mao atau Hitler? Maksud saya di sini adalah supaya Anda jangan menelan mentah-mentah semua berita yang ada. Tetaplah selalu bersikap kritis. Dengan adanya media alternatif berupa internet, maka itu sekarang bisa kita manfaatkan sebagai penyeimbang dari berita-berita yang kita baca di media-media besar (mainstream media). Supaya kita tak mudah disesatkan begitu saja. Apalagi, kita tahu bahwa di internet semua orang bisa jauh lebih bebas mengutarakan suaranya karena ruang halaman yang tidak terbatas. Juga tanpa melalui seleksi redaksi. Dengan demikian, boleh dikatakan internet itu merupakan demokratisasi di bidang informasi. Semua orang bisa mengutarakan pendapatnya di sana dengan bebas dan seberapa halaman pun dia mau. Meski demikian, kita tentu tetap harus bersikap kritis juga saat membaca artikel-artikel di internet. Banyak juga artikel-artikel yang ngaco di sana. Jelasnya, di mana saja kita berada, tetap harus senantiasa bersikap kritis dan bijaksana. Jangan lantas membaca ini ikut pendapat yang ini, membaca yang itu langsung ikut yang itu, tanpa teliti dan periksa lagi.
Untuk psikopat di dunia bisnis ini untuk sementara saya bahas secara singkat dulu saja. Ada artikel yang saya kira bisa menerangkan dengan lebih jelas, yaitu Is Your Boss a Psychopath? oleh Alan Deutschman. Silakan Anda baca. Bila Anda tertarik ingin membacanya, tetapi bahasa Inggris kurang lancar, boleh juga minta bantuan teman Anda. Atau bisa juga minta bantuan ke biro penterjemah. Cuma sekitar 10 atau 11 halaman A4 kalau jarak 2 spasi, jadi biayanya saya kira murah saja. Akan tetapi, yang paling baik sebenarnya adalah kalau Anda mau mencoba menerjemahkannnya sendiri sambil nyambi belajar. Apalagi, saat ini sudah banyak program kamus untuk komputer sehingga sangat membantu kita untuk belajar, tak lagi harus membolak-balik kamus tebal seperti dulu lagi. Tinggal copy & paste sudah dapat kata-kata yang dimaksud. Banyak sekali artikel dan e-book menarik di internet yang bisa Anda baca dan pelajari bila menguasai bahasa Inggris – atau juga bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bisa semakin memperluas pengetahuan kita dan menemukan banyak sekali bacaan menarik yang tidak/belum beredar di Indonesia sini.
5. Psikopat di Panggung Kekuasaan  back to top
Banyak orang yang sering bertanya-tanya dalam hati kenapa umat manusia dari beragam bangsa di dunia ini selalu sama saja nasibnya? Lepas dari penjajahan yang satu lalu dibelenggu oleh penindasan yang lainnya. Selepas keluar dari mulut macan langsung ditelan para buaya. Selalu saja begitu. Kenapa sebabnya itu bisa terjadi? Sejarah umat manusia pun selalu dipenuhi dengan perang dan bencana buatan manusia yang seolah tiada habisnya, baik itu dalam skala kecil maupun skala besar. Tiada hari tanpa perang di dunia ini. Bahkan, abad ke-20 kemarin, di mana kemajuan teknologi berkembang sangat tinggi, juga adalah abad yang paling berdarah sepanjang sejarah umat manusia. Beragam perang besar tetap terjadi dan beragam diktator haus darah tetap bermunculan di mana-mana. Kriminalitas di jalan-jalan juga makin berkembang biak. Kemajuan teknologi ternyata tak mengubah apa-apa, sejarah umat manusia hingga saat ini tetap dipenuhi kejahatan dan peperangan tanpa henti.
Mereka yang bertanya-tanya tadi akhirnya mendapat penerangan setelah membawa buku-buku dan artikel tentang psikopat. Itu bisa kita baca antara lain dalam dua kutipan berikut ini. Tulisan lengkapnya bisa Anda klik link-nya.
I make the effort to share this information because it gives me, at last, a plausible answer to a long-unanswered question: Why, no matter how much intelligent goodwill exists in the world, is there so much war, suffering and injustice? It doesn't seem to matter what creative plan, ideology, religion, or philosophy great minds come up with, nothing seems to improve our lot. Since the dawn of civilization, this pattern repeats itself over and over again. (Clinton Callahan, Beware of the Psychopath).
In the end, again, the real problem is that the knowledge of psychopathy and how psychopaths rule the world has been effectively hidden and people do not have the adequate, nuanced knowledge they need to really make a change from the bottom up. Again and again, throughout history it has been "meet the new boss, same as the old boss." (Silvia Cattori, The Trick of the Psychopath's Trade).
Artinya: Saya berusaha untuk turut menyebarluaskan informasi ini, karena inilah yang pada akhirnya bisa memberikan aku jawaban yang sangat memuaskan atas satu pertanyaan yang selama ini tak pernah terjawab: Kenapa, tak peduli berapa pun keinginan baik yang hadir di muka bumi ini, tetap saja selalu ada peperangan, penderitaan dan ketidakadilan? Tak peduli apa pun rencana kreatif, ideologi, agama atau filosofi yang datang dari orang-orang bijaksana, semuanya tak sedikit pun bisa mengubah nasib kita. Semenjak awal peradaban, pola semacam ini selalu berulang dan berulang lagi.
Pada akhirnya, sekali lagi, problem utamanya adalah pengetahuan tentang psikopati dan bagaimana psikopat menguasai dunia selama ini secara efektif tersembunyikan dan orang tak punya pengetahuan yang cukup, yang mereka butuhkan untuk benar-benar bisa melakukan perubahan dari bawah ke atas. Lagi dan lagi, sepanjang sejarah orang menemui bos baru, yang sama saja tabiatnya dengan bos yang lama.
Selanjutnya kita akan mengutip kata-kata Andrzej Lobaczewski, seorang ahli psikologi dari Polandia yang telah meneliti masalah Ponerologi atau “the science of evil” selama berpuluh tahun. Ia beserta rekan-rekannya terdorong untuk meneliti masalah ini setelah mereka mengalami penderitaan hidup di bawah penindasan rezim Nazi, yang setelah itu dilanjutkan dengan penindasan rezim komunis Polandia.
Pada mulanya ia pun menyangka bahwa semua manusia itu semenjak dari lahirnya bersifat baik, tetapi karena  beragam pengalaman pahit yang dialami saat berada di bawah penindasan dua rezim brutal tersebut, ia kemudian mulai mengadakan penelitian tentang kepribadian manusia. Penelitiannya itu akhirnya membuktikan bahwa ia keliru, ternyata tak semua orang dari lahirnya bersifat baik, berusaha berbuat baik dan untuk tujuan yang baik-baik pula. Penelitian Lobaczewski inilah antara lain yang kemudian bisa memberikan jawaban atas pertanyaan dua orang yang tulisannya baru saja kita kutip di atas tadi. Berikut kata Lobaczewski.
…my work has shown me that the vast majority of people want to do good, to experience good things, think good thoughts, and make decisions with good results. And they try with all their might to do so! With the majority of people having this internal desire, why the Hell isn't it happening?
Artinya: …pekerjaanku telah menunjukkan kepadaku bahwa sebagian besar umat manusia ingin melakukan hal-hal yang baik, mengalami hal-hal yang baik, memikirkan hal-hal yang baik dan membuat keputusan dengan hasil yang baik pula. Dan mereka berusaha sekuat tenaga untuk melakukannya. Dengan sebagian besar manusia mempunyai keinginan semacam ini, lalu kenapa hal itu tak pernah bisa terwujud?
Bila kita renungkan, maka keluhan Lobaczewski ini adalah keluhan sebagian besar umat manusia juga, yang seperti terasa mengiang berabad-abad lamanya.
Selanjutnya ia menulis:
I was naïve, I admit. There were many things I did not know that I have learned since I penned those words. But even at that time I was aware of how our own minds can be used to deceive us.
The word “psychopath” generally evokes images of the barely restrained - yet surprisingly urbane - Dr. Hannibal Lecter of “Silence of the Lambs” fame. I will admit that this was the image that came to my mind whenever I heard the word. But I was wrong, and I was to learn this lesson quite painfully by direct experience. The exact details are chronicled elsewhere; what is important is that this experience was probably one of the most painful and instructive episodes of my life and it enabled me to overcome a block in my awareness of the world around me and those who inhabit it.
Now, what beliefs did I hold that made me a victim of a psychopath? The first and most obvious one is that I truly believed that deep inside, all people are basically “good” and that they “want to do good, to experience good things, think good thoughts, and make decisions with good results. And they try with all their might to do so…
As it happens, this is not true as I - and everyone involved in our working group - learned to our sorrow, as they say. But we also learned to our edification. In order to come to some understanding of exactly what kind of human being could do the things that were done to me (and others close to me), and why they might be motivated - even driven - to behave this way, we began to research the psychology literature for clues because we needed to understand for our own peace of mind.
Artinya: Aku dulu memang naïf, kuakui. Banyak hal yang tak kuketahui yang kemudian kupelajari semenjak aku menuliskan kata-kata ini. Tetapi, pada saat itu aku pun telah sadar bahwa pikiran kita ternyata bisa digunakan untuk menipu diri kita sendiri.
Kata “psikopat” umumnya akan mengingatkan kita kepada wajah Dr. Hannibal Lecter di film “Silence of the Lambs”, seseorang yang tak bisa mengekang hawa nafsunya namun anehnya dia sangat sopan santun. Kuakui bahwa wajah semacam inilah yang akan datang ke pikiranku setiap kali kudengar kata ini. Tetapi, ternyata aku keliru, dan aku mempelajarinya dari pengalaman pahit yang kualami sendiri. Detil tepatnya chronicled elsewhere; yang paling penting adalah pengalaman ini merupakan salah satu episode yang paling menyakitkan sekaligus instruktif pada masa hidupku, dan membuatku bisa untuk mengatasi hambatan yang ada di alam sadarku tentang dunia di sekitarku dan mereka yang menghuninya.
Sekarang, keyakinan macam apa yang kupegang yang bisa membuatku menjadi korban seorang psikopat? Yang pertama dan paling jelas adalah bahwa aku sungguh-sungguh percaya bahwa di lubuk hati mereka yang terdalam, semua orang pada dasarnya “baik” dan mereka “ingin berbuat baik, mengalami hal-hal baik, memikirkan hal-hal baik, dan membuat keputusan dengan hasil yang baik pula. Dan mereka berusaha sekuat tenaga untuk melakukannya…
Pada kenyataannya, itu tidak benar, seperti yang aku- dan juga semua orang yang terlibat dalam kelompok kerja ini- telah mempelajarinya dalam penderitaan yang kami alami. Tetapi kami juga mempelajari manfaatnya bagi kami. Supaya akhirnya nanti bisa memahami dengan tepat manusia-manusia semacam apa yang bisa melakukan hal-hal jahat kepadaku (dan mereka yang dekat dengan aku), dan kenapa mereka termotivasi- bahkan terdorong- untuk berkelakuan semacam itu, kami memulai riset melalui literatur psikologi guna mendapatkan jawaban yang kami perlukan untuk memahaminya, demi kedamaian pikiran kami.
Seperti yang telah disebutkan di atas, memang janganlah kita menyangka bahwa para psikopat itu hanya ada di film Silence of the Lamb, tetapi mereka ternyata ada di semua profesi yang ada di masyarakat walau tingkatan patologi mereka memang berbeda-beda. Mereka itu terutama banyak mendominasi jabatan-jabatan penting yang ada di pemerintahan, militer dan korporasi.
It is estimated that approximately one percent of the general population are psychopaths. They are overrepresented in prison systems, politics, law enforcement agencies, law firms, and in the media. (Psychopathy, Wikipedia)
Cleckley also gives grounds for the view that psychopathy is quite common in the community at large. He has collected some cases of psychopaths who generally function normally in the community as businessmen, doctors, and even psychiatrists. (The Psychopath: The Mask of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future School).
As with judges and juries, so too with those charged with decisions concerning who to promote and who not to promote in corporate, military and governmental hierarchies. The result is that all hierarchies inevitably become top-heavy with psychopaths. (Kevin Barrett, Twilight of the Psychopaths)
Psychopaths often make successful businessmen or world leaders. (Shirley Lynn Scott, What Makes Serial Killers Tick?).
Artinya: Diperkirakan sekitar satu persen dari populasi manusia adalah psikopat. Mereka terwakili secara berlebihan di penjara-penjara, di dunia politik, di lembaga penegak hukum, firma hukum dan di media massa.
Cleckley juga memberikan dasar bagi pendapat bahwa psikopati itu cukup banyak terdapat di masyarakat umum. Dia telah mengumpulkan beberapa kasus psikopat yang berfungsi secara normal di masyarakat sebagai bisnismen, doctor bahkan psikiatris.
Sebagaimana hakim dan juri, demikian pula dengan mereka yang diberi wewenang untuk menentukan promosi kenaikan pangkat dalam hirarki perusahaan, militer dan pemerintahan. Hasilnya adalah: jajaran atas semua hirarki akhirnya dipenuhi dengan para psikopat.
Psikopat seringkali berhasil menjadi bisnismen yang sukses atau pemimpin dunia.
Jadi, itulah agaknya penyebab kenapa sebagian besar negara di dunia ini selalu kacau balau saja keadaanya, termasuk juga negara kita. Saya dulu, seperti juga Anda semua, menyangka bahwa beragam kekacauan itu karena sistem negaranya yang salah dan karenanya mesti diperbaiki. Ternyata bukan. Itu terutama karena sepanjang sejarah umat manusia, kekuasaan lebih sering berada di tangan para psikopat, yang oleh Lobaczewski disebut sebagai patokrasi, pemerintahan yang isinya didominasi orang-orang sakit jiwa. Ringkasnya, orang-orang yang seharusnya menjalani rawat-inap di RSJ malah berkeliaran dengan bebas di berbagai lembaga pemerintahan, baik itu di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kacau dah dunia.
A pathocracy is a social movement, society, nation, or empire wherein a small pathological minority takes control over a society of normal people. The pathological minority habitually perpetrates evil deeds on its people and/or other people.
Almost everyone knows that pathocracies have been responsible for tremendous death and destruction throughout history. What less people are willing to acknowledge is that pathocracies continue to perpetrate death and destruction today. Billions of people throughout the world live in perpetual poverty and hunger or lack access to safe water, despite the fact that the resources exist to provide adequate food and safe water to all of the world’s citizens. Millions of others are perpetually exposed to the horrors of war
Therefore, it would behoove us all to understand how pathocracies develop and perpetrate their damage, and how to recognize them. (How Societies Regress to Become Pathocracies)
Artinya: Patokrasi adalah suatu gerakan sosial, masyarakat, negara, imperium di mana suatu minoritas yang mengidap patologi (sakit jiwa) memegang kontrol atas sebuah masyarakat yang normal. Minoritas yang mengidap patologi ini mempunyai kebiasaan melakukan perbuatan jahat kepada rakyatnya dan/atau rakyat negara lain.
Hampir semua orang tahu bahwa patokrasi bertanggung jawab atas kematian dan kehancuran besar yang terjadi sepanjang sejarah. Apa yang tak begitu diakui oleh orang adalah patokrasi hingga saat ini terus saja melanjutkan kerja mereka menimbulkan kematian dan kehancuran. Milyaran orang di muka bumi terus-menerus hidup dalam kemiskinan dan kelaparan atau kekurangan air bersih, walaupun sebenarnya terdapat sumber-sumber yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makanan dan minuman bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Sedangkan jutaan yang lainnya terus-menerus dihadapkan kepada horor peperangan.
Oleh karena itu, sangatlah perlu bagi kita semua untuk memahami bagaimana patokrasi berkembang dan membuat kerusakan, dan bagaimana untuk bisa mengenali mereka.
Sebuah artikel lain menyatakan:
Lobaczewski says that for centuries, evil has been regarded with a moralistic interpretation that did nothing to help humanity counteract it. His scientific study led him to observe that "evil" acts were most often perpetrated by psychopaths, essentially those with mental diseases, causing him to study evil as a disease not a concept surrounded in moral fluff. According to Lobaczewski, a small percentage of psychopaths has the ability to infect certain personalities within populations to go along with their deviant worldview by manipulating them with propaganda and "patriotic buffoonery."
Causing a sort of neurosis within such personalities, psychopathic regimes - whose desire is to rule and be served - have used these pawns to inflict enormous suffering on the majority of "normal" people throughout history. Lobaczewski calls this "macrosocial evil' where large scale evil overtakes whole nations affecting social, political and religious movements time and time again. (Keaven Van Lom, Around the World, Political Ponerology book review).
Artinya: Lobaczewski mengatakan bahwa selama berabad-abad kejahatan diperlakukan menurut interpretasi moral sehingga tidak sedikit pun membantu umat manusia untuk mengatasinya. Studi ilmiahnya mengamati bahwa aksi kejahatan sebagian besar dilakukan oleh para psikopat, terutama mereka yang punya penyakit mental. Hal itu menyebabkannya mempelajari kejahatan itu sebagai suatu penyakit dan bukan suatu konsep yang berkaitan dengan moral. Menurut Lobaczewski, psikopat yang secara persentasi jumlahlah cuma sedikit itu mempunyai kemampuan untuk menginfeksi orang-orang yang mempunyai kepribadian tertentu di masyarakat untuk menerima pandangan dunia mereka yang menyimpang, dengan cara memanipulasi mereka dengan propaganda dan "perbadutan patriotik."
Setelah menginfeksi orang-orang yang berkepribadian semacam itu dengan semacam penyakit syaraf, maka rezim-rezim psikopat tersebut - yang selalu bernafsu untuk berkuasa dan dilayani - menggunakan pion-pion tersebut untuk menyebabkan penderitaan besar kepada mayoritas orang normal sepanjang sejarah. Lobaczewski menyebut hal ini "kejahatan makrososial” di mana kejahatan dalam skala besar menguasai seluruh negara dan mempengaruhi gerakan sosial, politik maupun agama secara berulang kali.
Sepanjang sejarah umat manusia, bahkan hingga saat ini, sebagian besar pemerintahan di dunia memang didominasi oleh patokrasi. Janganlah Anda kemudian berhalusinasi  bahwa patokrasi itu hanya ada di negara-negara berkembang. Di Amerika pun, sebuah negara demokrasi yang telah berusia beratus tahun, di bawah pemerintahan psikopat seperti George Bush kembali mengesahkan penyiksaan dan pembunuhan di penjara-penjara. Sementara itu seorang psikopat lainnya, yakni mantan walikota New York Rudolph Giuliani, pernah mendefinisi ulang apa arti kebebasan.
Freedom is not a concept in which people can do anything they want, be anything they can be. Freedom is about authority. Freedom is about the willingness of every single human being to cede to lawful authority a great deal of discretion about what you do. (rudy-giuliani-on-freedom)
Artinya: Kebebasan bukanlah suatu konsep di mana orang bisa melakukan apa pun yang mereka mau dan menjadi apa pun yang mereka inginkan. Kebebasan adalah tentang kekuasaan. Kebebasan adalah tentang kesediaan tiap-tiap manusia untuk menyerahkan sebagian besar keputusan yang ingin diperbuatnya kepada penguasa yang sah.
Jadi, walaupun sistemnya sudah benar, di tangan orang-orang psikopat semuanya bisa dibengkokkan menjadi tidak benar, lalu dicarikan beragam alasan sebagai pembenar perbuatan atau pendapat yang salah tersebut. Psikopat seperti Rudolph Giuliani tadi berusaha membengkokkan definisi kebebasan menjadi kediktatoran.
Demikian pula di Indonesia sini, jelas-jelas tertulis di UUD 45 bahwa kebebasan berkumpul dan berpendapat dijamin sepenuhnya, tapi toh dulu bisa juga dibengkokkan oleh para penjahat psikopat menjadi kediktatoran dengan dicarikan berbagai alasan pembenaran. Atau misalnya lagi tertulis bahwa semua hasil bumi dan tambang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, tapi nyatanya dipelintir juga demi kesejahteraan segelintir golongan saja, atau demi kesejahteraan keluarga dhewe-dhewe. Tentu lalu dicarikan alasan pembenarnya juga. Walau suatu sistem yang salah tentu saja perlu diperbaiki, tetapi persoalannya ternyata memang bukan terutama pada sistem, tetapi pada bercokolnya manusia-manusia psikopat di panggung kekuasaan.
It is not power that corrupts, it is that corrupt individuals seek power. (Silvia Cattori, The Trick of the Psychopath's Trade)
Karena banyaknya psikopat yang berada di panggung kekuasaan, maka negara pun tak pernah bisa benar jalannya, selalu saja kacau balau. Sejarah pun akhirnya berjalan menurut apa kata Edward Gibbon, yakni “History…is, indeed, little more than the register of the crimes, follies, and misfortunes of mankind.”
Kita tahu bahwa Indonesia juga semenjak reformasi sudah mengalami perubahan sistem, dan bila dihitung pada zaman modern ini kita sudah mengalami tiga kali masa huru-hara dan revolusi, tahun 1945, tahun 1965 dan tahun 1998. Tetapi, tetap juga tak ada yang berubah, nasib negara dan rakyatnya tetap tak berubah. Malah semakin menambah daftar panjang bahwa “En effet, l’histoire n’est que le tableau des crimes et des malheurs.” Zaman Belanda dijajah orang kulit putih, zaman “merdeka” dijajah londo ireng. Oke, kata merdekanya tadi saya kasih tanda kutip. Jangan lupa itu, karena faktanya memang tak ada yang berubah. Keluar dari mulut macan masuk mulut buaya. Lepas dari bos rakus yang satu, ganti diperas bos serakah yang lainnya.
Dan itu tak hanya terjadi di Indonesia. Hampir semua negara di Asia dan Afrika yang baru bebas dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa segera saja dijajah oleh para londo ireng di negaranya masing-masing, terlebih lagi di negara-negara Afrika. Wilayah Amerika Latin pun nasibnya tak jauh berbeda. Selepas perginya orang Spanyol dan Portugal, segera saja kekuasaan diambil alih oleh para diktator lokal, yang ternyata sama kejam dan rakusnya dengan pemerintahan Spanyol dan Portugal. Ironisnya, semua negara itu tiap tahun tetap saja sibuk merayakan hari kemerdekaan. Halusinasi. Dan dengan penuh semangat menyanyikan lagu-lagu kemerdekaan, dengan rantai yang masih membelenggu di kedua belah kaki dan tangannya….
Tentu saja segala perbudakan, perampokan, penjajahan, kekejaman dan kejahatan itu tak boleh langsung diungkapkan mentah-mentahan, tetapi mesti dibuatkan filosofinya dulu, dibuatkan pembenarannya dengan beragam ungkapan (baca: topeng) yang indah-indah, yang bisa membuaikan dan meninabobokan orang-orang pandir bila mereka mendengarnya.
When you conquer somebody and suppress them, you have to have a reason. You can't just say, "I'm a son of a bitch and want to rob them". You have to say it's for their good, they deserve it, or they actually benefit from it. That was the attitude of the slave owners. Most of them didn't say, "Look, I'm enslaving these people because I want easily exploitable cheap labor for my own benefit." (Noam Chomsky, What we Say Goes, Conversations on U.S. Power in a Changing World).
Artinya: Ketika kamu menaklukkan seseorang dan kemudian menindasnya, kamu harus punya alasan. Kamu tak bisa hanya berkata, “Aku anak wanita jalang dan aku ingin merampok mereka”. Kamu harus berkata bahwa itu untuk kebaikan mereka, mereka layak diperlakukan seperti itu, atau mereka itu sebenarnya malah diuntungkan. Ini adalah sikap para pemilik budak. Sebagian besar mereka tidak berkata, “Lihat, aku memperbudak orang-orang ini karena aku ingin mengeksploitasi tenaga kerja murah untuk kepentinganku sendiri”.
Pada zaman kolonialisme Eropa dulu penjajahan dibuatkan filosofi pembenarannya dengan sacred mission of civilization. Bahkan, perbudakan di Amerika dulu pembenarannya diambilkan dari ayat Bibel. Indah sekali, bukan? Setelah orang Eropa pergi perbudakan pun dilanjutkan oleh para pemimpin lokal sendiri dengan filosofi patrotisme atau semacamnya. Semuanya terdengar sangat indah, tetapi itu hanyalah sekedar topeng belaka, sebab isinya tetaplah penjajahan dan perbudakan, penghisapan tenaga dan hasil alam negara untuk keuntungan segelintir orang saja, sementara nasib mayoritas rakyat tetaplah tak berubah dari waktu ke waktu. Sebab di balik topeng yang serba indah itu tersembunyilah wajah monster psikopat yang rakus dan haus darah.
Semua memang mesti ada filsafatnya, ada pembenarannya. Tentara Merah pergi Eropa Timur untuk misi pembebasan, Kim Il Sung juga punya misi pembebasan, George Bush juga punya misi pembebasan di penjara Guantanamo, Baghram, dan Abu Ghraib. Pol Pot pun berminat membebaskan rakyat Kamboja, ia sama sekali tak pernah punya misi membantai mereka, itu cuma sekedar “efek samping” saja, alias collateral damage. 1,5 juta rakyat Iraq mati pun di mata psikopat semacam Clinton dan Madelein Albright hanyalah sekedar efek samping belaka. What to others would be a disaster is to psychopats merely a fleeting inconvenience. Apalagi, mereka toh  punya “misi mulia”, yakni membebaskan rakyat Irak. Katanya. Jadi, semuanya bermisi membebaskan umat manusia, bermisi patriotisme, membela bangsa dan tanah air atau bermisi menyebarkan demokrasi. Bahkan, di gerbang Auschwitz pun tertulis “Arbeit Mach Frei”, bekerja bisa membuatmu merdeka. Enam  juta Yahudi mati itu pun, yah, sekedar collateral damage belaka. Toh, tujuan Himmler adalah membebaskan bangsa Yahudi, perkara Soros dan Madelein Albright cs. tak mau akur ya terserah.
Cleckley's seminal hypothesis concerning the psychopath is that he suffers from a very real mental illness indeed: a profound and incurable affective deficit. If he really feels anything at all, they are emotions of only the shallowest kind. He does bizarre and self-destructive things because consequences that would fill the ordinary man with shame, self-loathing, and embarrassment simply do not affect the psychopath at all. What to others would be a disaster is to him merely a fleeting inconvenience. (The Psychopath: The Mask of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future School).
Artinya: Hipotesa penting Cleckley mengenai psikopat adalah bahwa ia memang benar-benar menderita sakit jiwa, yaitu tak punya rasa cinta kasih dalam stadium yang sangat parah dan tak bisa disembuhkan. Seandainya pun ia bisa merasakan sesuatu, itu hanyalah emosi yang paling dangkal. Dia melakukan beragam hal aneh dan self-destruktif karena ia sama sekali tak peduli dengan akibat-akibat yang ditimbulkan akibat perbuatannya, padahal hal-hal semacam itu bagi orang normal adalah sangat memalukan dan menjijikkan. Apa yang bagi orang lain adalah bencana, bagi seorang psikopat itu hanyalah gangguan ringan saja.
Jadi, beragam kejahatan itu ternyata dilakukan oleh para psikopat, orang-orang yang secara klinis memang menderita sakit jiwa, yang lalu gemar mengenakan topeng untuk menutupi kejahatannya. Dan sekarang terserah kepada kita, apakah kita mau percaya dan memuja topeng indah tersebut, ataukah kita bertekad membuka semua topeng itu dan menemukan wajah monster haus darah dibaliknya yang tepat di keningnya ada tulisan besar berbunyi “I'M A SON OF A BITCH AND I WANT TO ROB YOU." Merampok hartamu, merampok nyawamu dan anak cucumu, merampok tenagamu, merampok kebebasanmu dan merampok semua segala yang kau punyai. Dan itu ada tertulis besar-besar di jidat yang berada di balik topeng tersebut.
6. A Pathocrat Speaks His Mind   back to top
Berikut ini kita akan berikan contoh ucapan seorang psikopat yang menduduki jabatan tinggi di militer. Dengan dingin dan brutal ia bisa memerintahkan percobaan kejam di masyarakat. Ini supaya Anda bisa menjadi yakin bahwa para psikopat itu memang banyak bercokol di puncak-puncak jabatan eksekutif dan sialnya hanya sedikit di antara kita selama ini yang menyadari hal itu.
The psychopaths, those human-looking predators without conscience, have no love for the rest of humanity. It is a life and death struggle between them and us because they know that if the true nature of their existence as humanity's natural predator ever come to light, they would lose everything. Every once in awhile, their real aims slip through the filters and appear in the media. It may be because the media have been subjected to the process of ponerization for so long that statements such as those below no longer register to the journalists and editors who manage the news as the vile, hateful words that they are. In this case, CNN had the kindness to report on some honest, but no less frightening for that, words spoken by US Air Force Secretary Michael Wynne:
Air Force chief: Test weapons on testy U.S. mobs POSTED: 7:56 p.m. EDT, September 12, 2006 WASHINGTON (AP) -- Nonlethal weapons such as high-power microwave devices should be used on American citizens in crowd-control situations before being used on the battlefield, the Air Force secretary said Tuesday. The object is basically public relations. Domestic use would make it easier to avoid questions from others about possible safety considerations, said Secretary Michael Wynne. "If we're not willing to use it here against our fellow citizens, then we should not be willing to use it in a wartime situation," said Wynne. "(Because) if I hit somebody with a nonlethal weapon and they claim that it injured them in a way that was not intended, I think that I would be vilified in the world press." The Air Force has paid for research into nonlethal weapons, but he said the service is unlikely to spend more money on development until injury problems are reviewed by medical experts and resolved. Nonlethal weapons generally can weaken people if they are hit with the beam. Some of the weapons can emit short, intense energy pulses that also can be effective in disabling some electronic devices.
The cold-blooded, ruthless, and arrogant nature of our rulers is beautifully captured in his words. Especially the phrase, "If we're not willing to use it here against our fellow citizens, then we should not be willing to use it in a wartime situation". Following Wynne's logic, one might also conclude that the interrogation techniques practised in the secret, and not-so-secret, US detention centres around the globe are also worthy of use in the United States and on citizens of the United States. (Henry See)
Boleh jadi berbagai percobaan brutal selama ini telah dilakukan militer Amerika di mana-mana, baik itu ditujukan kepada rakyatnya sendiri maupun kepada rakyat di negara-negara lain. Baik kepada rakyat sipil maupun anggota militer. Yang sempat terucapkan oleh Kepala Staf USAF tadi nampaknya hanya salah satu dari banyak kasus lain yang tak pernah diungkapkan. Dan kita tahu bahwa banyak prajurit Amerika yang pulang dari Perang Teluk I menderita apa yang disebut Gulf War Syndrome. Sindrom ini ada yang cukup ringan tapi ada pula yang sangat parah hingga mereka ada yang sampai sekarat. Tentu saja hal itu lalu ditutup-tutupi oleh Pentagon. Lihat antara lain artikel Philip Shenon, “The Mystery of Gulf War Syndrome” di Encarta.
7. Kenapa Psikopat bisa menduduki berbagai jabatan tinggi?  back to top
Ini pertanyaan yang masuk akal juga, yakni kenapa para psikopat itu bisa sampai tampil di tampuk kekuasan tertinggi suatu negara atau kerajaan sepanjang sejarah?
Jawabannya, sebagian besar adalah karena para psikopat itu bersedia menghalalkan segala cara untuk mencapainya, termasuk dengan membunuh, menyiksa, menipu, mengadakan peperangan dan segala macam kejahatan lainnya.
Psychopaths have played a disproportionate role in the development of civilization, because they are hard-wired to lie, kill, cheat, steal, torture, manipulate, and generally inflict great suffering on other humans without feeling any remorse.
Evidently, psychopaths exercised an enormous amount of power in seemingly sane, normal society.
How could that be? In Political Ponerology, Andrzej Lobaczewski explains that clinical psychopaths enjoy advantages even in non-violent competitions to climb the ranks of social hierarchies. Because they can lie without remorse (and without the telltale physiological stress that is measured by lie detector tests) psychopaths can always say whatever is necessary to get what they want. In court, for example, psychopaths can tell extreme bald-faced lies in a plausible manner, while their sane opponents are handicapped by an emotional predisposition to remain within hailing distance of the truth. Too often, the judge or jury imagines that the truth must be somewhere in the middle, and then issues decisions that benefit the psychopath. As with judges and juries, so too with those charged with decisions concerning who to promote and who not to promote in corporate, military and governmental hierarchies. The result is that all hierarchies inevitably become top-heavy with psychopaths. (Kevin Barrett, Twilight of the Psychopaths)
Artinya: Psikopat memegang peranan yang tidak proporsional di dalam perkembangan peradaban karena hardware di kepala mereka terprogram untuk berdusta, membunuh, menipu, menyiksa, manipulasi dan secara umum menimbulkan penderitaan yang sangat besar kepada orang lain tanpa sedikit pun merasa menyesal.
Jelasnya, psikopat memiliki kekuasaan yang terlampau besar di masyarakat yang kelihatannya normal dan waras.
Bagaimana hal itu bisa terjadi? Di Political Ponerology, Andrzej Lobaczewski menerangkan bahwa orang yang secara klinis adalah psikopat mempunyai banyak keuntungan, bahkan dalam persaingan yang tidak disertai kekerasan, untuk menaiki tangga suatu hirarki sosial. Karena mereka bisa berdusta tanpa menyesal (dan tanpa disertai stres psikologis yang bisa tercatat di lie detector). Psikopat selalu bisa mengatakan apa pun yang diperlukan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Di pengadilan misalnya, psikopat bisa berdusta habis-habisan dengan cara yang masuk akal, sementara seterunya yang normal tak bisa melakukan hal semacam itu karena emosinya selalu menjaganya supaya dia tetap berada tak terlalu jauh dari kebenaran. Seringkali hakim atau juri membayangkan bahwa kebenaran itu mestilah berada di tengah-tengah, dan keputusan yang diambil akhirnya menguntungkan seorang psikopat. Sebagaimana hakim dan juri, demikian pula dengan mereka yang diberi wewenang untuk menentukan promosi kenaikan pangkat dalam hirarki perusahaan, militer dan pemerintahan. Hasilnya adalah: jajaran tingkat atas di semua hirarki akhirnya dipenuhi dengan para psikopat.
Di pihak lain, manusia normal pada umumnya akan berpikir panjang untuk menipu dan melakukan beragam kejahatan dengan mengorbankan orang lain, seperti menganjurkan peperangan dan pembunuhan demi mencapai tujuannya. Hal itu karena terdapatnya sistem pencegah di otak mereka. Orang normal melakukan penganiayaan atau pembunuhan hanya bila dalam kondisi takut atau marah yang tidak terkontrol karena pada saat itu sistem di otaknya yang mencegah dia melakukan kekerasan terbuka kuncinya. Hal ini berbeda dengan para psikopat yang melakukannya dengan darah dingin dan terencana, dan bisa mereka lakukan berulang-ulang, karena sistem pencegah di otak mereka tidak ada. Bisa kita lihat apa kata Lt. Col. David Grossman berikut ini.
We all know that you can't have an argument or a discussion with a frightened or angry human being. Vasoconstriction, the narrowing of the blood vessels, has literally closed down the forebrain--that great gob of gray matter that makes you a human being and distinguishes you from a dog. When those neurons close down, the midbrain takes over and your thought processes and reflexes are indistinguishable from your dogs. If you've worked with animals, you have some understanding of what happens to frightened human beings on the battlefield. The battlefield and violent crime are in the realm of midbrain responses.
Within the midbrain there is a powerful, God-given resistance to killing your own kind. Every species, with a few exceptions, has a hardwired resistance to killing its own kind in territorial and mating battles. When animals with antlers and horns fight one another, they head butt in a harmless fashion. But when they fight any other species, they go to the side to gut and gore. Piranhas will turn their fangs on anything, but they fight one another with flicks of the tail. Rattlesnakes will bite anything, but they wrestle one another. Almost every species has this hardwired resistance to killing its own kind.
When we human beings are overwhelmed with anger and fear, we slam head-on into that midbrain resistance that generally prevents us from killing. Only sociopaths--who by definition don't have that resistance--lack this innate violence immune system. (David Grossman, Trained To Kill)
Artinya: Kita semua tahu bahwa kita tidak bisa berargumentasi atau berdiskusi dengan seseorang yang sedang marah atau ketakutan. Vasoconstriction, yaitu penyempitan pembuluh darah, pada saat itu sepenuhnya menutup otak depan—gumpalan besar berwarna abu-abu yang membuat Anda disebut manusia dan membedakan Anda dari seekor anjing. Ketika neuron tersebut menutup, maka otak tengah mengambil alih. Proses berpikir dan reflek Anda pun tak bisa dibedakan lagi dengan seekor anjing. Bila Anda pernah bekerja bersama binatang, maka Anda akan bisa memahami apa yang terjadi pada manusia yang sedang berada di medan perang. Medan perang dan kejahatan disertai kekerasan adalah respons yang diproses di otak tengah.
Di otak tengah terdapat sistem pencegah yang sangat kuat, yang diberikan Tuhan kepada kita, yang akan mencegah kita untuk membunuh sesama manusia. Setiap spesies, dengan sedikit perkecualian, mempunyai hardware pencegah yang terpatri di otaknya yang akan mencegah mereka membunuh sesama jenisnya saat berkelahi memperebutkan wilayah atau pasangan. Ketika binatang yang bertanduk atau bercula bertarung dengan sesama jenisnya, mereka akan bertumbukan kepala dengan cara yang tidak berbahaya. Tetapi, bila mereka bertarung dengan spesies lain, mereka akan menyerang sampai menimbulkan luka yang parah dan berdarah. Piranha akan menggunakan taringnya untuk menyerang apa saja, tetapi mereka bertarung dengan sesama jenisnya hanya dengan saling memukulkan ekornya. Ular rattle akan mematuk apa saja dengan bisa mautnya, tetapi mereka hanya bergulat dengan sesamanya. Hampir semua spesies mempunyai hardware pencegah yang terpatri di otaknya untuk tidak membunuh sesama jenisnya.
Ketika kita manusia sedang dilanda amarah atau ketakutan, kita langsung mematikan sistem pencegah yang ada di otak tengah tadi, yang pada saat normal berfungsi untuk mencegah kita membunuh sesama manusia. Hanya sosiopat—yang secara definisi tidak mempunyai pencegah tersebut—tidak mempunyai immune sistem untuk berbuat kekerasan di otaknya.
Setelah membaca artikel ini saya jadi tersadar bahwa kita selama ini membuat kesalahan besar dengan apa yang biasanya kita sebut sebagai “hukum rimba”. Pada saat kita menonton acara fauna di TV dan menyaksikan  adegan berburu yang dilakukan oleh singa atau harimau, maka kita langsung akan menyebutnya sebagai hukum rimba. Dan secara di bawah sadar kita pun langsung akan mengaitkannya dengan peradaban manusia juga, yang selalu dipenuhi dengan pembunuhan dan peperangan antara sesama manusia. Itu ternyata salah besar saudara-saudara. Lihatlah, apa yang dibunuh dan dimangsa oleh singa atau harimau tersebut? Apakah sesama harimau atau singa juga? BUKAN. Para predator itu membunuh spesies lain seperti kijang, zebra atau lainnya. Mereka TIDAK PERNAH membunuh sesama jenisnya, mereka tak pernah menjadi intraspecies predator. Artikel di Encarta juga menyatakan hal yang sama.
Because combat is dangerous and can lead to serious injury or death, evolutionary mechanisms tend to restrain the intensity of intraspecific aggressive behavior. One way aggression is minimized is through a genetically programmed tendency to establish territories. In this way conflicts are usually limited to occasional border skirmishes. The ritualization of aggressive behavior is another genetically programmed restraint on combat. Poisonous snakes wrestle without using their fangs; mountain sheep butt with well-armored heads without inflicting injury; some lizards make threat displays by expanding a skin fold in the throat; and apes shake branches, gesture, and shout fearsomely. The advantage of ritualization of combat is that even a sure winner has a great deal to lose if it becomes debilitated as a result of a fight. (The advantage to the probable loser in having the stronger animal not push its advantage is obvious.) An injured or exhausted victorious animal may not be able to defeat the next opponent and may become vulnerable to predation by other species. Therefore, most species have clear signals that indicate acceptance of defeat and terminate combat before injury occurs: A lizard will crouch; a cichlid fish will retract its fins; a stickleback will adopt a vertical posture; a dog will expose its unprotected belly; and a gull will offer the unguarded back of its neck to its opponent. Each of these maneuvers signals acceptance of defeat and immediately halts further aggression. (Aggression, Microsoft Encarta Encyclopedia 2002).
Jadi, apa yang kita sebut sebagai “hukum rimba” tadi ternyata jauh lebih beradab daripada yang sering dilakukan oleh manusia, yakni membunuh sesamanya sendiri. Apa yang dilakukan singa dan harimau tadi sebenarnya kurang lebih sama saja dengan yang kita lakukan kepada ayam, sapi atau kambing, membunuhnya untuk dibuat slametan atau dimakan sendiri. Tak ada satu pun agama yang menganggap perbuatan memakan ayam, kambing atau sapi tadi sebagai perbuatan kejam, kecuali mereka yang menganut vegetarian. Kenyataan yang mengejutkan, bukan? Ada di hadapan kita sehari-hari, tetapi kita selama ini tak pernah memperhatikannya. Saya sendiri pun baru tersadar setelah membaca artikel Lt. Col. David Grossman ini. Lengkapnya bisa Anda lihat di internet.
Dengan demikian, pendapat Freud bahwa manusia menjadi stress atau sakit jiwa karena peradaban mencegah dia melakukan agresi dengan bebas ternyata tidak benar. Saya lebih setuju dengan pendapat para ahli psikologi evolusioner saat ini bahwa “a larger threat to mental health may be the way civilization thwarts civility”, seperti misalnya hidup sendirian di kota-kota besar, merasa kesepian dan jarang bertemu dengan keluarga dan teman-teman dekat. (Silakan Anda baca lagi Robert Wright, “Evolution of Despair”, Time, August 28, 1995). Jadi, bukan karena manusia tak bisa melampiaskan nafsu agresifnya. Sebaliknya, secara genetik sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia, di otaknya terdapat program untuk mencegah dia berbuat agresi secara berlebihan, termasuk membunuh sesamanya. Lihat kalimat awal kutipan dari Encarta di atas. Hanya para psikopat, yang secara genetik ada kelainan di otaknya, yang suka membunuh sesamanya. Bila memang ada manusia yang jadi stres karena tak bisa melampiaskan nafsu agresinya, mereka itu ya para psikopat. Salah satu contoh bagaimana sistem pencegah itu bekerja bisa kita lihat di bawah ini.
In more modern times, the average firing rate was incredibly low in Civil War battles. Patty Griffith demonstrates that the killing potential of the average Civil War regiment was anywhere from five hundred to a thousand men per minute. The actual killing rate was only one or two men per minute per regiment (The Battle Tactics of the American Civil War). At the Battle of Gettysburg, of the 27,000 muskets picked up from the dead and dying after the battle, 90 percent were loaded. This is an anomaly, because it took 95 percent of their time to load muskets and only 5 percent to fire. But even more amazingly, of the thousands of loaded muskets, over half had multiple loads in the barrel--one with 23 loads in the barrel.
In reality, the average man would load his musket and bring it to his shoulder, but he could not bring himself to kill. He would be brave, he would stand shoulder to shoulder, he would do what he was trained to do; but at the moment of truth, he could not bring himself to pull the trigger. And so he lowered the weapon and loaded it again. Of those who did fire, only a tiny percentage fired to hit. The vast majority fired over the enemy's head. (David Grossman, Trained To Kill)
Artinya: Pada zaman yang lebih modern, semasa Perang Saudara Amerika, rata-rata jumlah tembakan sangatlah rendah pada setiap pertempuran. Patty Griffith menunjukkan bahwa potensi membunuh rata-rata pada tiap resimen saat Perang Saudara sekitar  500 sampai 1.000 manusia per menit. Tetapi, angka pembunuhan yang terjadi hanya satu atau dua orang per menit per resimen (The Battle Tactics of the American Civil War). Pada Pertempuran Gettysburg, dari 27.000 senapan yang diambil dari mereka yang tewas atau sekarat setelah perang selesai, 90 persen terisi peluru. Ini adalah suatu kejanggalan, karena tiap-tiap prajurit menggunakan 95 waktunya untuk mengisi senapan dan hanya 5 persen untuk menembakkannya. Tetapi yang jauh lebih mengherankan lagi adalah dari ribuan senapan yang terisi, hampir setengahnya berisi lebih dari satu peluru–salah satunya bahkan berisi 23 peluru.
Kenyataan di medan perang menunjukkan bahwa rata-rata prajurit akan mengisi senapannya, memanggulnya di pundak, tetapi ia ternyata tak sanggup untuk membunuh manusia lainnya. Dia diperintahkan untuk berani, berjuang bahu membahu, melakukan apa yang telah diajarkan pada saat latihan, tetapi pada saat pertempuran benar-benar terjadi, ia tak sanggup untuk menarik pelatuk senapannya. Maka ia kemudian merendahkan senapannya lagi, dan mengisinya lagi. Dari mereka yang lalu menembakkan senapannya, hanya sebagian kecil saja yang menembak untuk membunuh sasaran. Sebagian besar menembakkannya di atas kepala musuh.
Walau dalam kondisi perang pun, di mana orang bebas membunuh tanpa takut terkena sangsi apa pun, manusia normal yang non-psikopat ternyata rata-rata tetap enggan membunuh sesamanya. Karena adanya sistem pencegah di otak mereka dan sistem itu bekerja dengan baik. Within the midbrain there is a powerful, God-given resistance to killing your own kind. Orang non-psikopat bila masuk dinas militer perlu dilatih untuk membunuh guna menghilangkan sistem pencegah tadi pada saat dia maju ke medan perang. Harus dikondisikan supaya dia sanggup membunuh lawan saat bertempur. Lt. Col. David Grossman adalah salah seorang pelatih para tentara tadi sehingga ia tentunya sangat paham dengan masalah tersebut. Oleh karena itu, ia lalu berjuang menentang film dan video game kekerasan untuk anak-anak, karena itu bisa mengondisikan mereka menjadi pembunuh. Bila dia melatih para tentara itu dengan juga memberikan batasan-batasan sehingga mereka tak melakukannya di luar perang, maka film dan video game tadi mendidik anak-anak untuk membunuh tanpa mengajari batasan-batasannya. Baca juga tentang Pavlovian conditioning, hasil penelitian dari Ivan Pavlov.
Bila pada anak-anak bisa banyak berpengaruh, tetapi pada orang dewasa agaknya sudah tidak lagi. Seperti juga pada kasus smackdown dulu, korbannya semua adalah anak-anak, tidak ada yang orang dewasa. Kebetulan saya juga termasuk orang yang suka main video game perang-perangan seperti game strategi Praetorian atau yang FPS seperti MOHAA, Max Payne, COD dan lain-lain. Akan tetapi, saya punya komputer dan mulai main game pada saat sudah dewasa, hampir usia 30-an, bukan anak-anak lagi. Karena usia yang sudah dewasa dan sudah terbentuk kepribadiannya, maka game tersebut tak ada pengaruhnya kepada saya. Saya sudah bertahun-tahun main game, tetapi saya tak lantas tiba-tiba berubah jadi pembunuh. Biasa-biasa saja, tak ada perubahan apa-apa pada diri saya. Malah mungkin ada gunanya untuk melatih reflek dan composure, juga bisa menambah pengetahuan tentang sejarah PD II dan beragam senjata yang digunakan. Juga bisa mengetahui pemandangan desa-desa di Eropa. Itu kalau usia sudah dewasa, bisa ada gunanya. Kalau pada anak-anak sebaiknya memang dicarikan game yang tidak berisi kekerasan, bila pun terpaksa harus selalu dibimbing dan diawasi oleh orang tuanya.
Jadi, membunuh sesama manusia itu memang tidak natural, bahkan tentara pun mesti dilatih dulu, itu pun masih banyak juga yang tidak sanggup melakukannya. Di padang Afrika pun tak ada singa yang membunuh sesama singa. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh para psikopat terhadap sesamanya tidak bisa kita sebut sebagai hukum rimba, tetapi kriminalitas. Atau apakah istilah “hukum rimba” itu sekarang kita ganti saja, yakni menjadi “hukum manusia.” Karena faktanya memang tidak terjadi di rimba raya, tetapi di masyarakat manusia. Dan “hukum manusia” ini masih sering dilakukan oleh para psikopat sampai sekarang untuk meraih keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara mengorbankan orang lain. Menjadi intraspecies predator. Termasuk juga dalam peristiwa 11 September, suatu bentuk manipulasi dan penipuan gaya psikopat yang sebenarnya sudah terjadi semenjak zaman purbakala. Rasanya tak ada salahnya bila kita mau mengulang kembali apa kata Robert Hare yang juga saya kutip pada artikel 11 September .
In this intimate environment, an unintelligent psychopath who actualized a criminal desire to kill or steal from his fellow tribesmen, would obviously be maladaptive as well as easily detected. However, a more clever individual with the psychopathic personality syndrome could find himself in an advantaged position in a tribal society.
With respect to a neighboring tribe--a well-timed lie about their intentions, or false allegations of evil actions on their part, could inflame the passions of the psychopath's own tribe. This would have tremendous advantages in terms of the outcome of prehistoric warfare-- the ability to carry out an attack with surprise at a time of one's own choosing. A psychopath could satisfy his blood-lust, and emerge as a hero of his tribe as well--while a non-psychopathic leader would spend time pondering the pain and suffering of the neighboring tribe, as well as the risks to his own people. (Robert Hare, Without Conscience)
Artinya: Dalam lingkungan yang akrab ini, seorang psikopat bodoh yang mewujudkan nafsu kriminalnya dengan mencuri dan membunuh orang sesukunya, jelas akan tidak disukai selain juga mudah dideteksi. Akan tetapi, seorang pengidap sindrom psikopat yang cukup pandai akan bisa menempati posisi yang menguntungkan di dalam sukunya.
Di sekeliling mereka tentu ada suku-suku lain yang menjadi tetangganya. Suatu dusta yang menyatakan bahwa mereka bermaksud jahat, atau tuduhan palsu bahwa mereka telah melakukan tindakan jahat, akan bisa menyalakan api peperangan pada suku dari seorang psikopat. Ini akan memberikan keuntungan yang sangat besar pada hasil akhir dari peperangan zaman purba tersebut, yaitu kemampuan untuk mengadakan serangan mendadak pada saat yang tepat. Seorang psikopat bisa memuaskan nafsu haus darahnya dan juga tampil sebagai pahlawan bagi sukunya. Sementara itu, seorang pemimpin yang non-psikopat akan menyempatkan diri untuk berpikir tentang rasa sakit dan penderitaan suku tetangganya dan juga risiko yang dihadapi sukunya sendiri.
Dengan memanipulasi rasa patriotisme, kesukuan atau kebangsaan, para psikopat sering menganjurkan peperangan sehingga mereka kemudian bisa menjadi pahlawan bagi suku atau bangsanya. Dengan demikian, akan terbukalah peluang yang sangat lebar bagi dirinya untuk menjadi pemimpin. Dan kita tahu bahwa para pembunuh brutal seperti misalnya Henry Morgan, Angria, Cortez bisa menjadi pahlawan bagi masing-masing bangsanya. Kita lihat di sini contoh tindakan Henry Morgan.
Women didn't escape tortures as brutal as those inflicted on men. One Spaniard reported Henry Morgan and his crew set a naked woman "upon a baking stove and roasted [her], because she did not confess" where she stashed her money. Some women endured repeated rapes, and if they survived and returned to society, society often considered them damaged goods. (www.cindyvallar.com)
Artinya: Kaum wanita pun tidak luput dari penyiksaan brutal sebagaimana yang ditimpakan pada kaum pria. Seorang Spanyol melaporkan bahwa Henry Morgan dan anak buahnya menelanjangi seorang wanita dan meletakkannya di atas kompor lalu memanggangnya karena ia tidak mau mengaku di mana dia menyimpan uangnya. Beberapa wanita diperkosa berulang kali, bila mereka bisa selamat dan kembali ke masyarakat, maka masyarakat seringkali menganggap mereka sebagai barang yang sudah rusak.
Itu hanyalah salah satu dari beragam kekejaman yang pernah dilakukannya. Karena perbuatannya yang banyak merugikan musuh-musuh Inggris, Henry Morgan kemudian diangkat oleh Raja Charles II menjadi Gubernur Yamaica setelah sebelumnya mendapat gelar ksatria. Hal yang sama juga terjadi pada Francis Drake. Keduanya mendapat gelar “Sir” di depan namanya.
In some respects, Angria was much like Sir Francis Drake.  Both were national heroes.  Both were also pirates.  Drake served in the Royal Navy, was a Member of Parliament, and a successful merchant.  He circumnavigated the globe, received a knighthood, and fought against the Spanish Armada.  He was also one of Queen Elizabeth I’s Sea Dogs, privateers who sometimes blurred the lines between legal privateering and illegal piracy. (www.cindyvallar.com)
Artinya: Dalam beberapa hal, Angria mirip seperti Sir Francis Drake.  Keduanya pahlawan nasional.  Keduanya juga bajak laut.  Drake berdinas di Angkatan Laut Kerajaan Inggris, seorang anggota Parlemen dan juga seorang saudagar yang sukses.  Dia mengelilingi bumi, menerima gelar ksatria dan berperang melawan Armada Spanyol.  Dia juga salah seorang Sea Dog dari Ratu Elizabeth I, yaitu privateer yang kadang-kadang mengaburkan garis batas antara privateering legal dan pembajakan yang ilegal. (privateer= kapal pribadi yang pada masa perang mendapat surat izin resmi dari negara untuk menyerang dan membajak kapal-kapal musuh).
Demikian pula yang terjadi pada Cortez, Napoleon dan berbagai “pahlawan” lainnya. Di lain pihak, karena orang non-psikopat mencintai sesama manusia, maka ia tak suka menganjurkan peperangan dan pembunuhan. Ia sulit untuk melakukan manipulasi semacam itu. Akibatnya, orang non-psikopat pun sukar untuk menjadi “pahlawan”, ia tak berpeluang untuk bisa populer di mata rakyat melalui jalan peperangan. Pada akhirnya, kursi kepemimpinan suatu bangsa pun didominasi oleh para psikopat, orang-orang yang haus darah, yang gemar melakukan pembunuhan dan peperangan.
Being very efficient machines, like a computer, they are able to execute very complex routines designed to elicit from others support for what they want. In this way, many psychopaths are able to reach very high positions in life. It is only over time that their associates become aware of the fact that their climb up the ladder of success is predicated on violating the rights of others. "Even when they are indifferent to the rights of their associates, they are often able to inspire feelings of trust and confidence."
Artinya: Mereka mesin yang sangat efisien, seperti komputer, bisa mengerjakan rutinitas yang sangat komplek yang ditujukan untuk mendapatkan dukungan atas apa yang mereka inginkan. Dengan cara ini, banyak psikopat sanggup mencapai kedudukan yang sangat tinggi dalam hidupnya. Sejalan dengan waktu barulah rekan-rekannya menjadi sadar bahwa dia mencapai tangga kesuksesan itu dengan banyak melanggar hak orang lain. “Bahkan saat mereka tak peduli dengan hak rekan-rekannya, mereka seringkali bisa menanamkan rasa kepercayaan dan percaya diri.”
Selain itu, di dalam persaingan bebas yang brutal orang normal yang menggunakan hati nurani bisa dengan mudah disingkirkan oleh para psikopat. Karena ia tak mudah membunuh manusia lainnya, padahal lawannya sangat buas dan gemar membunuh. Mereka bisa dengan cepat disingkirkan baik dengan cara halus maupun kasar. Dalam permainan kill or to be killed, para psikopat dengan mudah bisa membantai lawan-lawannya tanpa banyak pertimbangan, mereka tak pernah berpikir dua kali untuk menghilangkan nyawa orang lain, termasuk teman-teman dekatnya sendiri. Hal yang dengan gamblang diajarkan oleh Machiavelli di dalam bukunya Il Principe. Atau kita juga bisa membacanya di dalam kisah keris Empu Gandring. Boleh dikatakan Ken Arok adalah contoh sempurna seorang patokrat. Semua ciri patokrat ada padanya. Mengawali karirnya dengan menjadi seorang perampok. Setelah itu dia masuk ketentaraan Singosari dan kemudian merebut kekuasaan dengan cara-cara berikut: membunuh raja, mengkambinghitamkan dan mengkhianati teman sendiri, lalu merampas istri raja. Segala cara dihalalkan asal tujuannya tercapai.
Oleh karena itu, sepanjang sejarah manusia, para psikopat bisa dengan mudah menduduki posisi-posisi penting di sebuah negara atau kerajaan. Bahkan, menjadi pemimpin yang tertinggi. Dan kedudukan itu biasanya dimanfaatkan oleh mereka untuk semakin melampiaskan nafsu serakah dan haus darahnya. Menganjurkan perang dan perampokan atas bangsa-bangsa lainnya, selain juga merampok dan membunuhi bangsanya sendiri. Oleh karena itu, sejarah manusia hanya didominasi oleh peperangan, perbudakan dan perampokan. Karena para psikopatlah yang mendominasi jalannya sejarah, mereka yang oleh Grossman tadi disebutkan tak mempunyai sistem pencegah di dalam otaknya.
Perploncoan juga nampaknya hasil karya para psikopat. Bahasa yang dikenal oleh para psikopat untuk mengatur masyarakat atau bawahannya adalah bahasa intimidasi, teror, penipuan, ancaman supaya masyarakat atau bawahannya menjadi patuh. Mereka tak mengenal bahasa cinta kasih, kasih sayang dan persahabatan untuk menumbuhkan rasa hormat dan kepatuhan. Begitu mereka menduduki kekuasaan, mereka berusaha mempertahankannya dengan cara itu pula: intimidasi, teror, penipuan, ancaman. Demikian pula cara mereka untuk menumbuhkan rasa takut dan hormat kepada para pendatang baru yang akan masuk ke lingkungannya. Tidak dengan  bahasa cinta kasih, kasih sayang dan persahabatan.
Perploncoan ini juga adalah ritual yang umum terjadi pada gang remaja. Pada dasarnya, gang itu adalah wadah para psikopat untuk berkumpul. Remaja yang bukan psikopat TIDAK PERNAH membentuk gang-gang semacam itu. Para remaja non-psikopat memang suka juga berkumpul rame-rame, jalan-jalan rame-rame atau hal-hal semacamnya yang serba rame-rame dan meriah, tetapi mereka tidak akan pernah membentuk gang. Jadi, itu bukanlah proses mencari jati diri seperti yang seringkali disebut selama ini. Bukan, sama sekali bukan. Itu karena mereka adalah remaja psikopat dan bila tidak dicegah mereka akan menginfeksi para remaja di sekeliling mereka untuk turut menjadi psikopat pula, baik dengan cara bujukan maupun ancaman. Seandainya pun itu bisa disebut proses “pencarian jati diri”, maka itu adalah proses pencarian para psikopat remaja untuk menjadi psikopat dewasa. Tak percaya? Silakan para remaja anggota gang itu Anda bawa ke laboratorium dan scan otaknya. Dijamin hasilnya akan menunjukkan bahwa mereka memang psikopat.
Perploncoan, tradisi psikopat itu, sampai sekarang sialnya masih tetap menginfeksi sebagian besar sekolah, akademi dan universitas. Padahal, sekolah, akademi dan universitas tentulah bukan lembaga yang ditujukan untuk mencetak kaum gangster. Mereka seharusnya sudah menghapus tradisi kekerasan semacam itu. Tapi, hingga sekarang tradisi buruk tadi tetap subur juga, tentu dengan ditopengi dengan beragam nama-nama yang indah. Tapi, toh isinya tetap sama. Gebukan dan bentakan tanpa alasan yang jelas, kecuali untuk sekedar memuaskan nafsu kekerasan dan merasa berkuasa. Bagaimana dengan alasan mereka bahwa itu dimaksudkan untuk menumbuhkan disiplin dan melatih mental? Masih banyak cara lain untuk menumbuhkan hal itu, tidak harus dengan cara kekerasan. Banyak yang mati dan luka parah akibat perploncoan. Apa pun topeng pembenarannya, pembunuhan dan penganiayaan tetap tidak bisa dibenarkan. Itu adalah bahasa para psikopat dan yang melakukan serta membenarkannya, memberinya nama-nama yang indah, tentunya adalah para psikopat pula, atau paling tidak orang yang telah terinfeksi dengan cara-cara berpikir psikopat. Bagi para psikopat kekerasan itu adalah keindahan. Berbeda maksudnya dengan manusia normal.
Bila dalam suatu sistem persaingan yang brutal kemenangan psikopat atas orang normal bisa dipahami, lalu bagaimana bisa para psikopat itu tetap saja bercokol di dalam sistem yang sudah demokratis?
Kita tadi sudah membahas tentang topeng yang menghiasi wajah kaum psikopat untuk menutupi kebusukan mereka. Sialnya, sepanjang sejarah demokrasi ternyata banyak orang-orang pandir yang yakin sepenuhnya bahwa itu bukan topeng, tetapi wajah aslinya. Bukan saja mereka tak ada tekad untuk membuka topeng tersebut, tapi mereka haqqul-yakin bahwa itulah wajah aslinya! Banyak orang pandir yang dengan mudah percaya begitu saja segala dusta yang diucapkan oleh para pemimpin psikopat. Seandainya pun topeng itu akhirnya dibuka lebar-lebar, maka orang-orang pandir itu pun akan memalingkan muka, tak mau membaca tulisan yang terukir besar-besar di jidat tadi, “I'M A SON OF A BITCH AND I WANT TO ROB YOU.” Mereka tetap lebih suka berhalusinasi bahwa topeng itu adalah wajah yang asli.
Psychologist Robert Hare cites a famous case where a psychopath was "Man of the Year" and president of the Chamber of Commerce in his small town. (Remember that John Wayne Gacy was running for Jaycee President at the very time of his first murder conviction!) The man in question had claimed to have a Ph.D. from Berkeley. He ran for a position on the school board which he then planned to parlay into a position on the county commission which paid more.
At some point, a local reporter suddenly had the idea to check up on the guy - to see if his credentials were real. What the reporter found out was that the only thing that was true about this up and coming politician's "faked bio" was the place and date of birth. Everything else was fictitious. Not only was the man a complete impostor, he had a long history of antisocial behavior, fraud, impersonation, and imprisonment. His only contact with a university was a series of extension courses by mail that he took while in Leavenworth Federal Penitentiary. What is even more amazing is the fact that before he was a con-man, he was a "con-boy." For two decades he had dodged his way across America one step ahead of those he had hoodwinked. Along the way he had married three women and had four children, and he didn't even know what had happened to them. And now, he was on a roll! But darn that pesky reporter!
When he was exposed, he was completely unconcerned. "These trusting people will stand behind me. A good liar is a good judge of people," he said. Amazingly, he was right. Far from being outraged at the fact that they had all been completely deceived and lied to from top to bottom, the local community he had conned so completely to accrue benefits and honors to himself that he had not earned, rushed to his support!
I kid you not! And it wasn't just "token support." The local Republican party chairman wrote about him: "I assess his genuineness, integrity, and devotion to duty to rank right alongside of President Abraham Lincoln." As Hare dryly notes, this dimwit was easily swayed by words, and was blind to deeds.
What kind of psychological weaknesses drive people to prefer lies over truth? (The Psychopath: The Mask of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future School).
Artinya: Ahli psikologi Robert Hare mengutip sebuah kisah terkenal dimana seorang psikopat diangkat sebagai "Man of the Year" dan presiden Kamar Dagang di kota kecilnya. (Ingat bahwa John Wayne Gacy sedang mencalonkan diri menjadi presiden di  Jaycee pada saat dia melakukan pembunuhannya yang pertama!) Orang ini mengklaim punya gelar Ph.D. dari Berkeley. Dia memperoleh posisi di dewan sekolah dan sekarang berencana untuk meraih posisi di pemerintahan daerah yang gajinya lebih tinggi.
Pada saat itu, seorang wartawan lokal tiba-tiba punya ide untuk mengecek pria tersebut - untuk mengetahui apakah data yang ada di surat mandatnya memang benar. Ternyata wartawan itu mendapati bahwa satu-satunya yang benar hanyalah tempat dan tanggal lahirnya. Lainnya palsu semua. Bukan saja orang ini penipu tulen, dia juga punya sejarah panjang tindakan antisosial, penggelapan, mengaku jadi orang lain dan masuk penjara. Satu-satunya kontaknya dengan universitas adalah melalui kursus ekstensi melalui surat yang diambilnya saat berada di Penjara Federal Leavenworth. Yang lebih mengejutkan lagi adalah fakta bahwa sebelum menjadi con-man dia adalah seorang con-boy. Selama dua dekade dia berhasil menghindari orang-orang yang telah diperdayainya di seantero Amerika. Sepanjang karir jahatnya itu dia menikahi tiga wanita dan punya empat anak, dan dia sama sekali tak tahu bagaimana nasib mereka. Dan sekarang dia sedang ikut pencalonan! Tetapi wartawan sialan itu mengacaukannya!
Ketika berita itu diekspos dia ternyata sama sekali tak peduli. “Orang-orang yang percaya ini akan berdiri di belakangku. Pendusta yang baik adalah hakim yang baik bagi rakyatnya”. Dan ajaibnya, dia benar. Rakyat di sana sama sekali tak marah menghadapi fakta bahwa mereka telah ditipu dari atas sampai bawah. Sebaliknya, rakyat yang telah ditipunya habis-habisan itu malah mendukungnya habis-habisan pula dan melimpahkan segala keuntungan dan penghargaan yang sebenarnya tak layak didapatkannya.
Saya tidak bergurau. Dan itu bukanlah dukungan yang dibuat-buat. Ketua partai republik di kota itu menuliskan pendapatnya tentang orang tersebut: “Saya menghargai ketulusan, integritas, kesetiaannya kepada tugas dan ia selalu siap berjuang di sisi Presiden Abraham Lincoln." Seperti yang dicatat Hare, “Orang pandir ini mudah sekali terbuai dengan kata-kata dan membutakan diri terhadap perbuatan.”
Kelemahan psikologi macam apa yang membuat orang lebih mernyukai dusta ketimbang kebenaran?
Begitulah. This dimwit was easily swayed by words, and was blind to deeds. Orang-orang pandir itu mudah sekali terbuai dengan kata-kata gombal dan membutakan diri terhadap kenyataan yang tepat persis ada di depan hidungnya. Orang-orang pandir dan orang-orang psikopat, what a perfect match!
Sistem demokrasi pun, di tangan orang-orang yang salah, yakni orang pandir dan psikopat, akhirnya bisa menjadi kacau juga. Walaupun sudah diberi kebebasan, ternyata orang-orang pandir tetap saja salah memilih pemimpin. Akibatnya, nasib kaum pandir itu pun dari masa ke masa tetap senantiasa sengsara pula. Bagaimana tidak, karena mereka itu dengan sukarela dan penuh semangat gemar memilih pemimpin-pemimpin yang kerjanya justru menyengsarakan nasib mereka sendiri. Orang-orang non-pandir pun mau tak mau akhirnya turut serta terseret mengalami kesengsaraan akibat pilihan keliru yang diambil oleh para pandir tersebut.
Oh, duniaku yang pandir. Kacau dah dunia.
Begitu sulitkah bagi kita semua untuk bersikap bijaksana sedikit saja? Minimal, yah, setidaknya lima atau empat tahun sekali sajalah, tiap musim pemilu. Selepas itu bila mereka semuanya mau berpandir-ria terserah sajalah. Saya tak mengurusi. Ringkasnya, jangan sampai kepandiran mereka itu lantas menyeret-nyeret orang lain untuk turut merasakan akibatnya.
Ada satu pepatah Arab yang sangat populer dan masih diajarkan hingga saat ini, yakni undzur maa qaala wa laa tandzur man qaala (lihatlah apa yang dikatakan dan jangan melihat orang yang mengatakan). Agaknya sekarang sudah saatnya dirubah menjadi undzur maa ‘amila wa laa tandzur maa qaala (lihatlah perbuatan seseorang dan jangan melihat apa yang dikatakannya). Dan itu rasanya jauh lebih tepat, supaya kita tak menjadi orang pandir dan melihat seseorang itu bukan dari bualannya, tetapi perbuatannya. Atau dalam kata lain, lan tardlo min rojulin halaawata qoulihi, hatta yuzayyina maa yaquulu fi’aal. Janganlah kamu tertarik dengan perkataan manis dari seseorang sampai dia menghiasi ucapannya itu dengan perbuatan. Demikian lantunan sebuah syair.
Patut kita camkan dan renungkan, apalagi inkonsistensi antara perkataan dan perbuatan itu termasuk salah satu ciri-ciri utama psikopat. Hal itu bisa Anda lihat di Discussion of Psychopathy Traits, The Mask of Sanity, by Hervey Cleckley. Di situ juga diberikan banyak contoh serta penjelasannya secara panjang lebar.
8. Ponerisasi  back to top
Bila seorang atau sekumpulan psikopat kemudian berhasil menguasai suatu negara, baik itu melaui perebutan kekuasaan berdarah atau melalui sistem yang demokratis, maka yang terjadi kemudian adalah apa yang disebut Lobaczewski sebagai ponerisasi, yakni proses pembusukan di dalam sistem negara yang pada akhirnya akan membawa seluruh rakyatnya untuk turut membusuk pula.
When (normal) human beings fall into a certain state: the psychopaths, like a virulent pathogen in a body, strike at their weaknesses, and the entire society is plunged into conditions that lead to horror and tragedy on a very large scale. (Andrzej Lobaczewski)
Artinya: Ketika manusia (normal) jatuh dalam kondisi tertentu, maka para psikopat, bagaikan penyakit ganas yang ada di tubuh manusia, akan menyerang kelemahan mereka, dan seluruh masyarakat akan diceburkan ke dalam horor dan tragedi dalam skala besar.
Sebagaimana kita ketahui, manusia pada dasarnya senang berkumpul dengan orang-orang yang punya hobi, ide dan bakat yang sama. Seorang pemain bola secara otomatis akan mencari teman dan berkumpul dengan orang-orang yang suka main bola. Seorang pelukis, pemusik, atlet, pelawak, guru atau orang yang berprofesi apa saja akan merasa gembira bila berkumpul dan mengobrol dengan orang yang sama bidangnya. Bisa nyambung omongan dan tindakannya. Demikian pula halnya dengan penjahat. Seorang pemabuk, perampok, pencuri tidak akan merasa bahagia bila berkumpul dengan orang baik-baik. Tidak merasa cocok. Sebagaimana juga pemain sepakbola akan mencari teman yang bisa menyambut gembira bila diajak main bola rame-rame, maka penjahat pun akan mencari teman yang sama-sama jahatnya, yang akan menyambut gembira bila diajak mabuk rame-rame atau merampok bareng-bareng.
Jadi, sekali saja seorang atau sekumpulan psikopat menduduki jabatan puncak di suatu negara, maka seluruh sistem negara akan dengan segera dipenuhi dengan para psikopat pula, mengalami ponerisasi. Karena tentu saja para psikopat itu akan mencari bawahan yang bisa selalu akur untuk diajak bekerja sama melakukan beragam kejahatan. Bawahan yang akan menyambut gembira bila diajak maling rame-rame atau mencoleng bareng-bareng. Yang tidak mau akan dipaksa untuk mau, sedangkan yang benar-benar bersikeras tidak mau akan disingkirkan. Akhirnya seluruh sistem akan diisi para penjahat psikopat.
New members are psychologically screened. No one with too much independence or psychological normality is allowed in the group. Detractors are treated with paramoral condemnation. In short, the patients have overtaken the asylum. (www.ponerology.com)
Artinya: Anggota baru disaring secara psikologis. Orang-orang yang berpikiran terlalu independen atau secara psikologis termasuk normal tak diizinkan memasuki kelompok tersebut. Mereka yang kritis akan dibungkam dengan hukuman paramoral. Ringkasnya, pasien telah menguasai RSJ.
Untuk gampangnya kita beri ilustrasi begini. Misalnya saja seorang pemabuk ingin mencari mencari teman untuk mabuk. Kebetulan ia berbadan tinggi besar, galak dan suka main pukul pula, maka orang yang diajaknya rata-rata akan takut dan menurut. Tentu ada di antara mereka yang ikut mabuk bukan karena takut, tetapi karena memang sudah pada dasarnya suka bermabuk-mabukan. Sedangkan mereka yang ikut-ikutan karena takut itu sebenarnya terbagi atas dua golongan. Golongan yang pertama mula-mula ikut mabuk karena takut, tapi ternyata lama-lama jadi keenakan, akhirnya mereka jadi pemabuk betulan. Golongan yang kedua juga ikut karena takut, tetapi ia tetap tak pernah suka mabuk-mabukan. Bila ia bersikeras tidak mau tentu akan dipukuli oleh para pemabuk tadi, atau dimaki sebagai pengecut, sok alim dsb. Akhirnya, seluruh pemuda di kampung tersebut jadi pemabuk semua.
Demikian pula yang berlaku dalam suatu sistem negara bila jabatan puncak diduduki oleh seorang psikopat. Bila pemimpin psikopat itu suka korupsi, dan ini memang hobi utama para psikopat, yakni merampok harta yang bukan miliknya, maka semua bawahannya sampai ke tingkat kelurahan pun akan suka korupsi. Yang tidak suka korupsi akan dicap sebagai bodoh, sok jujur, tak mau memanfaatkan kesempatan dsb. Atau bahkan didepak dari jabatannya dan diganti dengan yang korup. Akhirnya, seluruh pejabat dan pegawai negara pun adalah koruptor semua.
The actions of [pathocracy] affect an entire society, starting with the leaders and infiltrating every town, business, and institution. The pathological social structure gradually covers the entire country creating a “new class” within that nation. This privileged class [of pathocrats] feels permanently threatened by the “others”, i.e. by the majority of normal people. Neither do the pathocrats entertain any illusions about their personal fate should there be a return to the system of normal man. (Andrzej Lobaczewski)
Artinya: Tindakan-tindakan (patokrasi) ini mempengaruhi seluruh masyarakat, dimulai dengan para pemimpinnya, kemudian merasuki setiap kota, bisnis dan institusi. Struktur sosial yang patologis ini secara perlahan menguasai seluruh negara dan menciptakan “kelas baru” di dalam masyarakat. Kelas istimewa (patokrat) ini merasa terancam secara permanen oleh “orang lain”, yaitu mayoritas masyarakat normal. Para patokrat juga tak pernah menginginkan nasib mereka dikembalikan ke sistem yang dibuat orang normal.
Bila kebetulan pemimpin itu suka berperang, dan hobi utama lainnya para psikopat memang adalah membantai sesama manusia, maka semua bawahannya pun akan diajaknya untuk berperang. Yang tidak mau akan dicap tidak patriotik, pengkhianat bangsa, pengecut dan sebagainya. Akibatnya, rusaklah negara itu. Rusaklah negara-negara lainnya karena diobrak-abrik. Binasalah rakyatnya, baik rakyatnya sendiri maupun rakyat negara musuhnya, hancur pula ekonominya, seperti yang saat ini juga terjadi di Amerika.
Pada kutipan tadi juga disebutkan bahwa mereka feels permanently threatened by the “others”, i.e. by the majority of normal people. Mengidap paranoia. Itulah sebabnya kenapa sebuah negara yang dikuasai patokrat, terutama di negara-negara totaliter, biasanya akan terus-menerus mengawasi rakyatnya. Membentuk polisi-polisi rahasia, merekrut agen rahasia dalam jumlah yang sangat besar, menyadap rumah-rumah orang yang dianggap berseberangan, bahkan anak disuruh memata-matai orang tuanya sendiri. Mereka juga siap memenjarakan dan membantai siapa pun yang dicurigai, entah dia benar bersalah atau tidak. Sedangkan kalau dalam negara yang sistemnya sudah demokratis, maka pengawasan itu bisa dilakukan dengan cara terus-menerus menyuplai rakyat melalui media massa dengan informasi yang telah disesatkan sehingga rakyat tak benar-benar mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya mengetahui berita versi sepihak saja. Dan itu biasanya mereka lakukan bekerja sama dengan corporate psychopaths karena mereka mempunyai kepentingan yang tak jauh berbeda.
Dengan terbongkarnya kedok para psikopat sekarang ini, bahwa mereka suka melakukan kejahatan itu karena sistem otak mereka yang kacau, maka kita sekarang bila diajak melakukan beragam kejahatan bisa menjawab: Kau sakit jiwa, berobatlah ke RSJ.
9. Sumber dari segala sumber moral  back to top
Orang normal, yakni orang yang sistem otaknya sehat dan berjalan dengan baik dan benar, walaupun mereka tak mengenal agama dan ideologi apa pun akan tetap menjadi orang yang baik-baik, karena di sistem di otaknya mereka punya hardware yang mengatur dan mengatakan bahwa sesuatu perbuatan itu salah atau benar, juga mengatur bahwa dia akan merasa bersalah dan menyesal bila melakukan kejahatan sehingga dia tidak melakukannya. Sistem itu juga mengatur manusia untuk tidak membunuh sesamanya. Within the midbrain there is a powerful, God-given resistance to killing your own kind. Demikian kata Grossman.
Jadi, moral itu sebenarnya adalah perkara sistem yang ada di otak manusia. Perkara beres atau tidaknya sistem yang ada di kepala seseorang. Sedangkan agama dan ideologi hanyalah berfungsi sebagai penegas saja, menegaskan bahwa ini memang benar atau itu memang salah, bukan sebagai sistem sentral atau sumber moral seperti yang kita anggap selama ini. Sumber dari segala sumber moral yang hakiki adalah sistem otak yang sehat dan berjalan dengan baik dan benar, bukan ideologi atau agama apa pun. Bahkan, bila itu boleh dibilang agama, maka  agama yang pertama kali diturunkan Tuhan kepada manusia adalah sistem yang ada di otak manusia yang sehat dan normal tersebut. Bila sistem di otak seseorang berjalan baik, maka dia akan menjadi orang yang bermoral karena sistem pencegah berbuat jahat yang ada di otaknya berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila sistem di otak tadi berjalan kacau, maka tentunya mustahil dia akan menjadi orang yang bermoral. Begitu kira-kira definisi dari moral itu.
Apalagi, kita selama ini toh sudah bisa melihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa para psikopat, orang-orang yang sistem otaknya kacau itu, memang takkan pernah bisa menjadi orang baik biarpun mereka didoktrin dengan ajaran agama surgawi setiap hari atau ditatar setiap detik dengan ideologi luhur mana pun. Percuma. Karena di kepala mereka memang tak ada hardware-nya untuk berbuat baik. Jadi, diinstali driver se-surgawi dan seluhur apa pun ya tetap tidak bisa nyambung, karena hardware-nya memang tak ada. Sia-sia, bagaikan menegakkan benang basah. Coba lihat, Ryan adalah guru ngaji dan Puji adalah tukang azan di kampungnya. Dan banyak di antara para koruptor setiap hari ke masjid atau setiap minggu rajin ke gereja. Para penganjur penataran P4 dulu juga adalah koruptor semua, bahkan mereka tak segan-segan membunuh rakyatnya sendiri bila maksudnya dihalangi. Ajaran terluhur macam apa pun takkan bisa masuk di kepala para psikopat. Tidak bisa nyanthol. Karena hardware-nya memang tak ada, bahkan slot PCI-nya pun tak ada pula. Maklumlah, komputer yang ada di kepala mereka itu memang keluaran zaman purba, zaman kejayaan bangsa reptilia. Tidak uptodate tenan. Mau di-upgrade pun tetap tak bisa juga. Jadi, satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah membuat sistem yang seefektif mungkin untuk mencegah mereka melakukan kejahatan dan meminimalkan kerusakan yang bisa mereka perbuat.
Sekedar perbandingan, sistem pencegah untuk membunuh sesama manusia dan juga sistem yang bisa membuat rasa menyesal dan bersalah itu mungkin bisa kita bandingkan dengan sistem lainnya yang juga ada di otak kita. Walau dalam masalah yang berbeda, ini saya kira akan bisa memberikan gambaran yang lebih jelas kepada Anda bahwa moral itu memang adalah perkara sistem yang ada di otak manusia, dan sama sekali tidak berkaitan dengan ideologi atau agama mana pun.
Kita tahu bahwa manusia, baik laki-laki maupun perempuan, sedikit pun tidak memiliki rasa tertarik kepada saudara kandungnya. Walau saudara kandung Anda itu adalah pemuda/pemudi yang sangat cantik/tampan dan seksi bagaikan bidadari yang turun ke bumi, menjadi idola pemuda/pemudi di mana-mana, mustahil Anda bisa tertarik kepada saudara Anda yang cantik/ganteng dan seksi itu. Betul, bukan? Padahal, orang lain yang bukan saudara kandungnya akan bisa langsung “pusing” tujuh keliling melihat kecantikan/kegantengannya. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Tapi, saudara kandungnya sama sekali tidak merasakan hal semacam itu. Apa sebabnya? Karena sistem di otak kita telah memprogram hal itu, mencegah kita supaya tidak tertarik kepada saudara kandung. Dan ini adalah fakta yang dengan jelas kita alami sendiri.
Jadi, moral itu memang perkara sistem yang ada di otak, bukan? Walau seandainya agama-agama di dunia ini tak menyebut hal itu sebagai dosa dan tidak melarangnya, kita tetap tak bisa tertarik kepada saudara kandung. Bahkan, seandainya Tuhan turun langsung ke bumi dan memerintahkan Anda untuk menikah dengan saudara kandung Anda yang cantik/ganteng dan seksi itu, dapat pahala berlipat di surga, maka Anda tetap tak akan bisa melakukannya. Walau sudah menikah sepuluh tahun pun Anda tak akan bisa punya anak. Bagaimana bisa, terangsang saja tidak. Tentu itu bagi orang yang sistem di otaknya yang mengatur hal itu berjalan normal. Bagi yang sistem otaknya menyimpang ya tentu saja bisa. Perlu kita catat juga bahwa semua suku-suku primitif yang tak pernah mengenal satu agama pun dan satu kitab suci pun, juga menganggap incest sebagai penyimpangan. Hal itu bisa Anda baca di buku-buku antropologi yang mengupas kehidupan suku-suku purba dan terasing. Incest juga adalah hal yang dianggap tercela pada zaman Yunani-Romawi kuno yang juga masih pagan, tak mengenal agama apa pun.
Anak-anak yang tinggal di kibbutz juga mengalami hal serupa. Kibbutz adalah sistem komunal yang didirikan oleh imigran Yahudi asal Eropa. Rata-rata mereka adalah penganut paham sosialisme sehingga menerapkan sistem semacam itu di Palestina. Anak-anak di kibbutz diasuh secara komunal, terpisah dari orangtuanya. Karena diasuh bersama-sama secara komunal semenjak kecil, semenjak bangun tidur sampai tidur kembali, secara di bawah sadar otak mereka langsung memprogram bahwa teman-teman mereka itu seolah-olah saudara kandungnya. Mereka pun setelah dewasa tidak bisa tertarik kepada teman-temannya. (Mate Selection Among Second Generation of Kibbutz Adolescent and Adults: Incest Avoidance and Negative Imprinting by Joseph Sepher). Fenomena semacam itu disebut sebagai Westermack effect karena berdasarkan penelitian Edvard Westermack, seorang ahli sosiologi asal Finlandia, anak-anak yang diasuh bersama semenjak kecil memang tidak bisa tertarik secara seksual satu sama lain, entah itu saudara kandung atau orang lain. (Edvard Westermack, Wikipedia).
Hal seperti itu juga terjadi di Taiwan dalam sistem perkawinan Shim-pua di Taiwan di mana anak-anak dijodohkan semenjak bayi dan mereka tumbuh besar bersama. Perkawinan tersebut biasanya berjalan kacau dan sering berakhir dengan perceraian karena tiadanya rasa tertarik satu sama lain. (Imprinting (psychology), Wikipedia). “Minor couples frequently refuse to consummate the marriage, so the fathers would stand outside their door until they did”, demikian kata Debra Lieberman, evolutionary psychologist dari University of Hawaii.
Barangkali ada yang berargumen bahwa insting tidak bisa tertarik kepada saudara kandung itu karena semenjak kecil kita dididik oleh agama dan adat supaya tidak berlaku demikian? Tidak juga. Walaupun agama dan adat menyetujui kita menikah dengan saudara kandung, sistem di otak kita tetap tak bisa menerimanya. Anda pernah dengar yang namanya kembar dampit? Itu adalah anak kembar yang berbeda jenis kelaminnya, yang satu laki-laki yang satu perempuan. Adat dan agama orang-orang Jawa kuno mengajarkan bahwa saudara kandung kembar dampit itu sudah dijodohkan oleh Hyang dari sononya. Jadi, agama dan adat malah mewajibkan supaya saudara kandung kembar dampit itu menjadi suami istri. Sebagian masyarakat Jawa penganut kejawen bahkan masih menganutnya hingga saat ini.
Masyarakat Jawa kuno pun, walau belum mengerti ilmu psikologi, khususnya Westermack effect, ternyata sudah memahami bahwa saudara kandung yang diasuh bersama semenjak kecil tidak bisa tertarik satu sama lain. Atau mungkin juga mereka belajar dari pengalaman, yakni anak kembar dampit yang diasuh bersama sejak kecil ternyata tidak mau dinikahkan, akibatnya tradisi itu pun tak bisa dilaksanakan. Oleh karena itu, supaya mereka bisa dan mau menjadi suami istri, maka anak kembar dampit itu biasanya dipisahkan semenjak bayi. Mereka baru dipertemukan lagi setelah dewasa, kemudian dijodohkan dan menjadi suami istri. Karena mereka tak pernah saling mengenal, maka sistem di otak mereka juga memprogram seolah-olah mereka bukan saudara kandung sehingga bisa tertarik satu sama lain, bisa berhubungan dan punya keturunan. Ini disebut Genetic Sexual Attraction (GSA), kebalikan dari Westermack effect yang terjadi di kibbutz tadi. Jadi, walau agama dan adat menyetujui, bahkan tradisi masyarakat Jawa kuno mewajibkan perkawinan semacam itu, ternyata mereka tetap tak bisa tertarik satu sama lain kalau diasuh bersama-sama sejak kecil. Mereka harus dipisahkan dulu supaya otak mereka tidak membentuk program yang membuat tradisi Jawa kuno tadi tak bisa dilaksanakan.
Menurut penelitian, masa kritis itu terjadi pada usia 1 sampai 6 tahun, atau hingga sebelum masa puber. Selepas itu, bila saudara kandung bertemu saat sudah dewasa, mereka bisa tertarik satu sama lain, seperti yang bisa terjadi pada anak-anak Asia yang diadopsi sejak bayi di Amerika dan hidup terpisah dengan saudara-saudara kandungnya. Bisa terjadi GSA juga.
Selain dengan saudara kandung, sistem di otak tadi juga mengatur manusia supaya tidak bisa tertarik dengan anak atau orangtua kandung bila mereka berkumpul bersama semenjak si anak masih kecil. Jadi, biar secantik dan se-seksi apa pun anaknya, sang ayah (ayah yang normal maksudnya) tidak akan bisa merasa tertarik kepada anak kandungnya. Mereka biasanya hanya sekedar membanggakan kecantikan anaknya kepada orang lain. Sekedar merasa senang dan bangga dengan kecantikan anaknya. Tak lebih dari itu. Otak manusia yang normal juga mengatur bahwa anak laki-laki tidak bisa tertarik kepada ibunya. Anak laki-laki katakanlah yang berusia 17 tahun tentu sudah ada rasa tertarik kepada lawan jenisnya. Bila seorang ibu menikah pada usia 20 tahun, maka saat anak laki-lakinya berusia 17 tahun ibu itu masih berusia 38 tahun. Tentu ibu seusia itu masih bisa menarik bagi lawan jenisnya. Akan tetapi, walaupun ibu itu kebetulan adalah wanita yang cantik, mulus dan seksi, anak laki-lakinya mustahil bisa tertarik kepada dia. Seratus persen mustahil, dijamin. Bahkan, walaupun ia melihat ibunya yang cantik dan seksi itu sedang telanjang bulat, pemuda itu tak akan merasakan apa-apa sama sekali. Padahal, orang lain bisa langsung panas dingin bila melihat pemandangan semacam itu. Biarpun seandainya agama-agama di dunia ini tak melarang hubungan anak dengan ibu, mereka tetap tak bisa melakukannya. Bahkan, seandainya saja Tuhan tiba-tiba turun langsung ke bumi dan mewajibkan pemuda itu supaya menikah dengan ibunya yang cantik molek dan seksi itu, diberi janji pahala berganda di surga pula, pemuda itu tetap tak akan bisa melakukannya. Tetap lemes saja, tak bisa ON. Betul, bukan? Seandainya pemuda itu lalu dipaksa berhubungan dengan ibunya boleh jadi setelah itu dia mengalami gangguan jiwa, terjadi kortsleting di otaknya. Karena sistem di otaknya memang telah terprogram tak bisa menjalankan hal semacam itu, bila dipaksa akan bisa hang, dia bisa pingsan atau jadi pasien RSJ.
Karena sebagian besar manusia itu perilaku seksualnya normal, maka hubungan incest semacam itu memang sangatlah jarang terjadi. Dan itu bukanlah karena dilarang peraturan agama, negara atau ideologi mana pun, tetapi itu karena sistem di otak manusia yang normal memang tidak ada program untuk menjalankan hal tersebut. Jadi, biar dipaksa sekali pun tetap tak akan bisa berjalan. Mereka yang bisa melakukannya nampaknya karena bagian otak mereka yang mengatur semacam Westermack effect untuk mengatur hubungan orang tua dan anak tidak berfungsi dengan baik.
Fenomena yang berbeda adalah bila orang tua dan anak kandungnya terpisah saat si anak masih kecil, kemudian mereka bertemu kembali saat si anak sudah dewasa. Hal yang juga bisa terjadi pada saudara kandung sebagaimana yang telah dijelaskan di atas tadi. Walaupun mereka normal, mereka bisa tertarik secara seksual satu sama lain, bisa terjadi GSA juga, ibu bisa saling tertarik dengan anak laki-lakinya atau ayah dengan anak perempuannya. Kalau saya baca di internet, ternyata banyak juga kejadian seperti itu. Akan tetapi, ini memang hanya kejadian yang berupa perkecualian saja karena sebagian besar anak semenjak kecil hidup bersama dengan orantuanya. Jadi, memang harap berhati-hati, jangan sampai orangtua dan anak kandung yang baru ketemu setelah dewasa kemudian bergaul terlalu akrab, apalagi hidup serumah, bisa terjadi GSA alias incest. Silakan Anda baca kisah-kisah semacam itu di  internet. Satu hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah bila ada ibu yang menikah lagi sambil membawa anak perempuannya yang sudah dewasa atau remaja. Sebaiknya dihindari, tidak membawa anak perempuannya yang sudah besar itu hidup serumah dengan suami barunya. Walau itu tidak disebut GSA, namun kan bisa menimbulkan skandal yang tidak senonoh juga.
Oleh karena sebagian besar manusia memang tidak bisa tertarik kepada orangtuanya, yakni melakukan incest, maka saya jadi bertanya-tanya apakah Sigmund Freud (bacanya: froid) adalah pengidap gangguan seksual. Dia menyatakan bahwa sebagian besar problem psikologi manusia itu disebabkan karena anak semenjak kecil sudah merasa tertarik secara seksual kepada ibu atau bapaknya. Yang dimaksud oleh Freud ini adalah mereka yang hidup bersama semenjak kecil, bukan yang baru ketemu setelah dewasa. Anak-anak itu kemudian mengalami tekanan jiwa karena terpaksa menekan rasa tertarik kepada ayah atau ibunya. Rasa tertarik anak laki-laki kepada ibunya disebutnya Oedipus complex sedangkan anak perempuan kepada ayahnya disebut Elektra complex. Hal itu juga kemudian menimbulkan perasaan bersalah kepada anak-anak yang diiringi rasa cemburu kepada bapak atau ibunya. Demikian kata Freud.
Well... teori yang aneh. Setahu saya teman-teman saya dulu tak pernah ada yang bilang merasa tertarik kepada ibunya atau bapaknya. Tentu saja saya demikian pula, tidak sama sekali. Apalagi rasa cemburu kepada bapak, tidak ada itu. Benar-benar teori yang aneh karya Freud ini. Cobalah cek juga diri Anda sendiri, apakah semasa balita dulu ada di antara Anda yang ingin berhubungan seksual dengan ayah atau ibu Anda? Saya kira jawabannya adalah tidak, kecuali mereka yang sinting alias topnut.
Kalau saya perhatikan, hal yang paling mendominasi pikiran balita hanyalah keinginan untuk bermain, terutama bermain dengan saudara atau teman-teman sebayanya. Baik itu permainan yang bersifat aktif seperti berlari kejar-kejaran kian kemari, atau yang bersifat tenang seperti bermain ular tangga, boneka atau lainnya. Malah sepertinya hanya itu yang ada di pikiran balita, bermain dan cuma bermain. Tak ada yang lainnya. Dan mereka akan sangat gembira bila keinginan bermain itu bisa tersalurkan. Hal itu bisa berlangsung sampai anak berusia kira-kira sepuluh tahun. Insting suka bermain semacam itu agaknya sudah dibentuk oleh proses evolusi, tujuannya untuk menstimulasi perkembangan otak, memperkuat otot-otot tubuh dan melatih interaksi sosial.
Karena yang mendominasi pikiran anak-anak hanyalah hal semacam itu, maka saya cenderung menduga bahwa apa yang dinyatakan Freud itu adalah perasaan dia sendiri. Dia mengidap kelainan seksual dan perasaannya itu kemudian digeneralisirnya, dia menyangka bahwa semua orang mengalami hal yang sama seperti dirinya. (Lihat artikel Freud di Wikipedia, dia memang abnormal, mencintai ibunya dan membenci bapaknya). Padahal, itu tidak benar dan tak semua orang seperti dirinya. Apalagi, kita tahu bahwa rasa tertarik secara seksual itu tidaklah dimulai semenjak kecil, apalagi semenjak balita seperti yang dinyatakan Freud. Anak balita tak paham apa-apa soal itu. Pikiran dan insting balita belum menjangkau ke arah sana karena di dalam sistem otak mereka memang belum terbentuk insting semacam itu. Cobalah Anda undang Pam Anderson atau Shakira untuk menari stripstease di hadapan anak-anak TK. Dijamin mereka tak akan merasakan apa-apa, tak terangsang sedikit pun. Yang “nyoos” malah guru-gurunya nanti, bukan anak-anak asuhnya. Bahkan, anak kelas 4 atau 5 SD pun masih belum begitu paham, masih samar-samar. Banyak di antara anak SD, terutama yang masih tingkat-tingkat awal, baik yang laki-laki maupun perempuan, masih belum merasa malu telanjang di muka umum. Sehabis atau sebelum mandi mereka bisa saja seenaknya pergi berlari-lari sambil telanjang bulat ke halaman atau ke ruang tamu tanpa merasa malu sama sekali walau di sana sedang banyak orang. Tak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Orang-orang yang melihatnya pun biasanya pada maklum saja, tidak lantas menganggap anak itu gila. Suatu hal yang sudah lumrah. Barulah kalau setelah dewasa dia masih tetap begitu, suka berlari ke jalan sambil telanjang bulat, maka orangtuanya akan segera mengirim dia ke RSJ. Tak percaya? Cobalah sendiri.
Hal-hal yang menyangkut masalah seksualitas memang masih belum terpikirkan sama sekali oleh anak-anak, apalagi yang masih balita. Belum ada SAMA SEKALI. Itu karena sistem di otak mereka masih belum terbentuk secara sempurna, masih dalam taraf perkembangan, sehingga fungsi-fungsi otak yang terdapat pada orang dewasa masih belum terdapat di dalam otak anak-anak. Dan perlu kita ketahui bahwa besar otak anak yang baru lahir hanya 25 persen dari orang dewasa. Anak yang baru lahir kepalanya tidak langsung besar, bukan? Jadi, memang banyak sekali fungsi otak yang masih belum terdapat pada anak-anak, termasuk yang terkait dengan masalah seksual. Barulah kalau anak memasuki usia SMP mereka mulai ada rasa tertarik secara seksual kepada lawan jenis, karena mereka memang sudah memasuki usia remaja. Sudah mulai akil baligh.
Jadi, teori Freud itu memang salah besar, totally wrong, tidak sesuai dengan fakta yang ada. Bagaimana mungkin anak balita bisa tertarik secara seksual kepada bapak atau ibunya, padahal di dalam sistem otaknya belum terbentuk insting semacam itu? Atau analogi gampangnya, bagaimana mungkin lagu-lagu di komputer bisa berbunyi, padahal winamp - atau program audio semacamnya - belum diinstal? Belum ada programnya, jadi ya tak mungkin bisa jalan, baik itu secara sadar (conscius) maupun di bawah sadar (subconscius). Atau seandainya pun sudah ada, maka program itu belum dijalankan. Oleh gen kita program di otak itu disetel autorun pada “jam” tertentu, ada scheduler-nya di otak kita, yakni baru berjalan pada saat anak mulai beranjak remaja, rata-rata sekitar umur 11 hingga 15 tahun. Dan memang baru pada usia itulah bagian otak yang bernama hypothalamus mulai memerintahkan tubuh untuk meningkatkan pengeluaran hormon-hormon seksual dalam jumlah besar, yang lalu mempengaruhi perilaku dan perkembangan bentuk fisik para remaja, termasuk juga perubahan suara. (“Hormone”, World Book Millenium, 2000). Anak laki-laki nada suaranya menjadi berat sedang perempuan nadanya lebih tinggi. Dan beragam perubahan lainnya. Semua perubahan itu pun berjalan secara berangsur-angsur selama beberapa tahun sejalan dengan pertumbuhan badan, tidak secara mendadak. Program untuk meningkatkan pengeluaran hormon-hormon seksual itu belum berjalan pada saat anak masih balita, atau mungkin juga belum ada. Bila programnya sudah ada, tapi scheduler-nya berjalan terlalu awal, maka yang terjadi adalah abnormalitas. Misalnya anak umur lima tahun tiba-tiba sudah berkumis lalu minta kawin dengan anak tetangga. Pusing deh ortunya. Atau misalnya lagi, tiba-tiba saja program untuk beruban dan keriput di tubuh Anda scheduler-nya berjalan terlalu awal, umur 20-an tiba-tiba rambut Anda sudah penuh uban dan kulit keriput semua. Anda pun pasti akan pusing juga.
Semua itu memang sudah ada scheduler-nya, sudah dijadwal secara otomatis oleh otak kita kapan suatu program itu berjalan. Bila sudah tiba saatnya, maka langsung autorun. Kalau suatu schedule itu berjalan terlalu awal atau terlalu lambat, maka yang terjadi adalah abnormalitas.
Dari sini jelaslah bahwa Freud tidak memahami tahap-tahap perkembangan otak manusia dan pengaturan pengeluaran hormon-hormon yang ada pada manusia semenjak mulai dari balita, remaja, sampai dewasa yang tentu saja punya pengaruh besar kepada perilaku manusia dan bentuk fisiknya pada tiap-tiap tahapan usia tersebut. Rasa tertarik kepada ibunya itu mungkin perasaan Freud sendiri, dia abnormal, mengidap kelainan seksual, lalu digeneralisirnya kepada semua orang. Disangkanya semua orang seperti dia. Itu tidak benar. Anak-anak yang normal tidak memiliki rasa tertarik sama sekali kepada ibu atau bapaknya, baik secara sadar maupun di bawah sadar, apalagi yang masih balita. Mustahil. Sialnya, banyak orang, termasuk sebagian ilmuwan, yang dengan membuta tuli lalu mengikut saja apa kata Freud tanpa meneliti lagi, termasuk meneliti dirinya sendiri.
Menurut penelitian, insting menghindari incest itu memang bersifat genetik, sudah diatur berjalan secara otomatis di otak manusia (autorun), dan bukan karena tekanan sosial atau agama. Hewan-hewan primata, termasuk simpanse, spesies yang paling dekat hubungannya dengan manusia, juga menghindari incest. Padahal, tentu saja simpanse tidak mempunyai agama, ideologi atau peraturan pemerintah yang melarangnya. (When Daddy Loves Daughter: Exploring the Incest Taboo, Incest Taboo is Hard-Wired, Most Researchers Say, by Dan Child, ABC News Medical Units, 9 April 2008). “Evolution weed out the things that don’t work,” demikian kata David Spain, Profesor Emeritus jurusan Anthopology dari University of Washinton yang telah mengadakan penelitian tentang masalah incest semenjak tahun 1968. Hal ini karena besarnya resiko cacat genetika yang diakibatkan oleh perkawinan semacam itu. Karena banyak yang menderita cacat genetika, maka mereka yang suka melakukan incest itu akhirnya disingkirkan oleh seleksi alam, kalah bersaing dengan mereka sehat. Dan kita umat manusia adalah keturunan dari mereka yang sukses di dalam persaingan tersebut, yakni mereka yang sehat karena tidak suka melakukan incest. Oleh karena itu, kita juga tidak suka melakukannya dan insting semacam itu sudah bersifat genetik, sudah hard-wired di otak kita, hasil dari seleksi alam. (Incest Not So Taboo In Nature, LiveScience). Kedua artikel yang saya jadikan rujukan pada paragraf ini saya rekomendasikan kepada Anda untuk membacanya. Dengan demikian, teori Oedipus complex dari Freud memang sudah saatnya ditarik dari peredaran karena tidak sesuai dengan bukti-bukti ilmiah. Secara genetika, anak ternyata tidak bisa tertarik kepada orangtuanya sehingga Oedipus complex tadi mustahil ada, baik secara sadar maupun di bawah sadar, kecuali tentunya pada mereka yang abnormal. Karena itu, sekarang ini bisa kita ucapkan: bye-bye.. Opa Freud.
Program autorun semacam itu bisa kita lihat juga pada pola pertumbuhan bulu wajah atau badan. Satu hal yang dulu seringkali membuat saya heran juga. Bagaimana caranya tubuh kita mengetahui bahwa bulu itu sudah mencapai panjang tertentu dan lantas berhenti? Padahal, kalau dicukur, otomatis langsung bisa memanjang lagi. Kenapa kok tidak memanjang terus pada saat kita tidak bercukur? Kok bisa tahu kalau kita potong sehingga dia lalu tumbuh memanjang lagi. Ini misalnya bisa kita lihat pada saat kita tidak pernah mencukur kumis. Program menumbuhkan kumis itu secara otomatis akan mengatakan “stop” pada saat kumis mencapai panjang tertentu. Tidak pernah kumis lantas memanjang sampai ke tanah. Mesti selalu berhenti pada saat mencapai panjang tertentu. Sudah ada program yang secara rapi mengaturnya. Kemudian, pada saat kita kita ingin bertampang kelimis, maka kita setiap hari mesti rajin bercukur juga sebab setiap kali kumis selesai dicukur program penumbuh kumis tadi mulai menjalankan autorun lagi dan mengatakan “start”. Hal serupa juga terjadi pada alis, bulu mata dan lain-lainnya. Apa pernah alis mata Anda memanjang sampai ke tanah? Tentu tidak. Akan tetapi, kalau kita cukur habis atau potong sedikit saja, langsung program penumbuh itu memerintahkan “start” lagi. Berjalan secara otomatis sampai alis mata kita panjang seperti sediakala.
Saya kemudian berpikir bahwa mungkin program pengatur tumbuhnya rambut tadi berjalan seperti kalau kita bermain game Praetorian atau Age of Empire misalnya. Pada saat pasukan mencapai jumlah tertentu, maka kita tak bisa membuat pasukan lagi. Keluarlah kalimat “population limit have been reached”. Bila kemudian pasukan kita berkurang karena dipotong musuh, maka secara otomatis program penambah pasukan tadi berjalan lagi. Mungkin program seperti itulah yang ada di tubuh kita untuk mengatur panjangnya rambut. Sudah diprogram untuk “start” dan “stop” pada kondisi tertentu, yakni pada saat sel-sel yang ada pada satu helai rambut itu mencapai jumlah tertentu.
Demikian pula agaknya program yang mengatur beragam proses pada tubuh manusia, sudah diprogram untuk berjalan secara otomatis ketika mencapai kondisi atau usia tertentu. Bila suatu saat manusia sudah bisa mengetahui cara untuk mencegah agar program yang mengatur proses penuaan tidak melakukan “start”, bisa kita klik tombol cancel-nya, maka orang tentu nanti tak perlu mencari fountain of youth lagi seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Juan Ponce de León. Tinggal klik “cancel” saja sudah awet muda selamanya.
Saya memang suka membandingkan proses kerja kerja otak manusia dengan program yang ada di komputer karena memang tak jauh berbeda. Sama-sama dijalankan oleh program yang sudah ada dan program itu banyak yang berjalan secara otomatis. Satu contoh yang paling jelas adalah kalau kita sedang main game sepakbola. Para pemain bola di game itu gerak-gerik, respon dan cara mereka bermain bola persis seperti manusia betulan. Bahkan, manusia kadang bisa kalah melawan para pemain bola AI tersebut. Marvin Minsky membahas hal semacam itu juga di dalam tulisan-tulisannya.
Rasa tidak bisa tertarik kepada saudara/orangtua kandung itu bisa juga kita bandingkan dengan rasa tidak tertarik kepada sesama jenis. Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar manusia tidak punya rasa tertarik sama sekali kepada sesama jenisnya. Seandainya saja ada pemuda normal dipaksa berhubungan dengan sesama pria, maka ia tak bisa melakukannya. Walaupun pria yang ada di depannya itu setampan Tom Cruise atau Brad Pitt, maka ia tetap tak akan bisa melakukannya. Dan itu juga bukanlah karena dilarang oleh agama dan ideologi mana pun. Seandainya Tuhan tiba-tiba juga turun langsung ke bumi, merevisi kitab sucinya dan mewajibkan pemuda itu supaya menikah dengan Tom Cruise, ia tetap tak bisa melakukannya. Bila ia kemudian dipaksa untuk mencumbu dan mencium bibir Tom Cruise boleh jadi ia malah akan muntah-muntah. Karena sistem di otaknya telah terprogram tak bisa menjalankan hal semacam itu. Jadi persoalannya memang bukan dengan agama atau ideologi, bukan? Tetapi dengan sistem yang ada di otak manusia. Seandainya pun Tuhan hendak mengubah peraturan yang ada di kitab suci, maka Dia juga harus memprogram ulang otak manusia. Bila tidak, maka peraturan itu takkan pernah bisa dijalankan dan dipatuhi manusia.
Hal tadi berbeda dengan kalangan cewek tentunya. Cewek yang normal, seandainya saja mereka dicium Tom Cruise atau Brad Pitt, maka pipinya tak akan dicuci selama seminggu.
Selain dengan keluarga kandung dan sesama jenis, manusia yang normal juga tak akan tertarik melakukan hubungan seksual dengan anak-anak di bawah umur, apalagi yang masih balita. Mustahil. Oleh karena itu, peristiwa semacam itu sangat jarang terjadi juga, tidak lantas terjadi di setiap kampung dan setiap rumah tangga. Orang normal bila mendengar berita semacam itu biasanya hanya nggumun dan berkata, “kok bisa ya.” Mereka bilang begitu karena mereka tak bisa melakukannya. Walaupun melihat anak-anak balita berlarian telanjang bulat di halaman, manusia yang normal tak akan merasakan apa pun. Jadi, seandainya tak ada peraturan apa pun yang melarangnya, baik itu peraturan agama maupun negara, manusia yang normal tetap tak akan melakukannya karena mereka tak merasa tertarik sama sekali. Di otak mereka tak ada program yang membuat mereka tertarik kepada balita karena proses evolusi memang tidak menyusun program semacam itu di otaknya. Program yang ada di otak manusia normal kalau melihat anak-anak balita itu adalah semacam kalau mereka melihat pet yang lucu. Atau menganggap mereka sebagai boneka-boneka hidup yang lucu. Tak lebih dari itu. Karena memang hanya itu yang terprogram di otaknya. Jadi, para pelanggarnya, yang suka melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah umur itu jelas adalah mereka yang sistem di otaknya mengalami penyimpangan, tidak normal. Dan peraturan yang ada sebenarnya diperuntukkan bagi orang-orang tidak normal. Bukan untuk manusia yang normal. Karena manusia yang normal memang tidak merasa tertarik sama sekali sehingga tentu saja mustahil melanggarnya.
Jadi, moral itu memang adalah perkara sistem yang ada di otak kita, bukan? Perkara beres atau tidaknya sistem yang ada di kepala seseorang. Bila sistem di otak seseorang itu berjalan beres, ia akan menjadi orang yang bermoral. Bila sistem itu kacau, maka ia pun akan menjadi orang yang kacau pula.
Hmmm.. semua penjelasan tentang moral di atas mempunyai dasar yang sangat kuat, bukan? Karena Anda semua turut merasakan dan memahaminya dalam kehidupan sehari-hari yang Anda alami.
Dan memang hanya begitulah yang dimaksud dengan moral itu. Tak lebih dan tak kurang. Hanyalah sekedar soal beres tidaknya sistem di otak yang mengelola input dan ouput yang ada. Sama sekali tak ada hubungannya dengan agama atau ideologi mana pun. Input itu adalah informasi yang masuk ke otak melalui pancaindra sedangkan output adalah respon yang diambil oleh otak di dalam mengelola informasi tadi, dan respon itu kemudian disalurkan melalui anggota tubuh kita. Menghasilkan gerakan-gerakan/tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh anggota tubuh. Bila input tadi dikelola dengan benar di otak seseorang karena otaknya itu normal, maka output yang dihasilkan otak tentu akan benar pula, dan dia jadi orang yang bermoral. Bila input tadi dikelola di otak yang abnormal, maka output yang keluar tentu abnormal pula, dan dia jadi orang yang amoral/penjahat.
Contohnya seperti yang di atas tadi, yakni misalnya input informasi yang masuk di mata seorang pria adalah gambar pria sedang telanjang. Bila pria tadi normal, maka otak tidak mengeluarkan output apa-apa, sedang bila dia abnormal tentu saja otak akan mengelola informasi tadi sebagai rangsangan seksual dan anggota tubuh akan merespon sedemikian pula. Atau input yang masuk adalah ibunya/anak balita/saudara kandung yang sedang telanjang. Bila pria tadi normal, maka otaknya tidak mengeluarkan output apa-apa juga, tetap kalem-kalem saja, tetap OFF. Akan tetapi, bila otaknya abnormal, maka ia akan mengelola informasi tadi sebagai rangsangan seksual dan anggota tubuh akan merespon sedemikian pula.
Demikian pula halnya dengan psikopat, seperti yang juga telah saya jelaskan pada bagian 2. Proses mengelola input dan output yang ada di otaknya juga abnormal, khususnya sistem yang untuk mencegah dia berbuat kejahatan. Sistem otak orang psikopat masih primitif, masih dalam tahap setengah hewan atau almost human, semua input yang masuk ke otak psikopat dianggap sebagai makanan belaka. They view others as fodder for manipulation and exploitation. Hanya soal makan memakan yang ada di otaknya. Tak jauh beda dengan hewan, bukan? Akibatnya, semua benda dan manusia yang dilihatnya diperlakukan sedemikian rupa pula, dianggap sebagai calon makanannya, baik untuk dicuri, dirampok, ditipu, diperas, dimanipulasi dan sebagainya. Celakanya, berbeda halnya dengan homoseksual, incest atau berbagai penyimpangan lainnya yang sudah lama dianggap sebagai penyimpangan, selama ini masyarakat tidak menganggap psikopati sebagai penyimpangan. Sebaliknya, malah menganggap psikopat dan beragam tindakan kejahatan yang dilakukannya sebagai “human nature”, sebagai unsur gelap yang ada pada semua manusia, atau akibat “godaan setan”. Padahal, itu adalah “unsur psikopati”, bukan akibat godaan setan, dan tidak mesti ada pada setiap manusia, sebagaimana juga tidak mesti semua manusia mengidap homoseksual/lesbian atau suka melakukan incest. Tidak semua manusia mempunyai unsur gelap ingin memperkosa anak kandungnya, menggauli ibunya atau merampok tetangganya. Tidak semuanya. Jangan lantas digebyah uyah. Sebaliknya, sebagian besar manusia itu sistem otaknya sehat dan tidak mempunyai unsur gelap semacam itu. Hanya orang psikopat yang mempunyainya dan jumlah mereka cuma 1-4 persen dari populasi manusia. Akibatnya, karena tak dianggap sebagai penyimpangan dan hanya dianggap sebagai unsur gelap atau akibat godaan setan, maka manusia psikopat yang menurut penelitian ilmiah/medis otaknya itu jelas-jelas menyimpang dan sakit jiwa, tetap bisa bebas berkeliaran di mana-mana dan dengan bebas pula melakukan kegiatan destruktif mereka di mana-mana.
Dari segala uraian tadi, ini bukan berarti saya lalu menafikan peran agama. Bukan begitu maksud saya. Agama tetap kita perlukan untuk memberikan penegas bagi sistem yang telah ada di otak kita tadi. Menegaskan bahwa itu memang benar atau ini memang salah, selain juga untuk mengatur beberapa hal lainnya di dalam kehidupan bermasyarakat. Saya juga tak akan melarang orang untuk beragama, silakan saja. Jadi, saya di sini hanya sekedar ingin memberikan penjelasan bahwa begitulah definisi yang sebenarnya dari moral. Hanya soal beres tidaknya otak seseorang di dalam mengelola input dan output yang ada. Sumber dari segala sumber moral yang hakiki adalah sistem otak yang berjalan baik dan benar, bukan agama atau ideologi apa pun. Proses evolusi telah memberikan sistem otak yang terbaik kepada kita umat manusia, terbaik dalam pengertian yang relatif tentu saja. Lihat tulisan saya yang dulu tentang arti dari kata ter- dan paling. Dan hanya bila sistem terbaik yang ada di otak manusia normal itu yang diberlakukan secara umum dan pelanggarnya yang otaknya menyimpang diberi sangsi, atau minimal dicegah supaya tidak menginfeksi manusia yang normal, (sangsi atau pencegahan tentu tergantung seberapa merusak akibat dari perbuatan yang dilakukan seorang pelanggar tersebut) maka sistem yang terbaik itu akan tetap terjaga dan bisa mencegah terjadinya kerusakan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
10. What can be done?  back to top
Di sini kita terutama membahas psikopat yang karena faktor genetika karena mereka inilah penyebab utama segala kejahatan yang ada. Bagi para psikopat yang disebabkan oleh faktor genetika, maka mereka memang mustahil untuk diperbaiki. Karena mereka memang sudah dari pabriknya begitu. Mereka itu merasa tak ada yang salah dengan dirinya, malah seringkali beranggapan bahwa orang lain itulah yang salah sehingga mereka kemudian berusaha mempengaruhi orang lain untuk ikut mereka, berusaha “memperbaiki” orang lain. Tentu saja “memperbaikinya” dengan cara-cara psikopat pula, yakni intimidasi, kekerasan, manipulasi dan penipuan. Dalam skala besar, “perbaikan” semacam itu bisa kita saksikan misalnya pada negara-negara stalinis atau semacamnya. Dalam skala menengah itu juga terjadi di negara-negara demokratis sekali pun, melalui media massa yang dikuasai para psikopat, termasuk di Indonesia tentu saja.
Beberapa kutipan di bawah ini menjelaskan bagaimana para psikopat itu memang sangatlah bebal dan tak mungkin bisa berubah.
1.       The psychopath recognizes no flaw in his psyche, no need for change. (The Psychopath: The Mask of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future School)
2.       One carefully conducted experiment revealed that "low arousal levels" not only causes impulsiveness and thrill-seeking, but also showed how dense sociopaths are when it comes to changing their behavior. A group of sociopaths and a group of healthy individuals were given a task, which was to learn what lever (out of four) turned on a green light. One lever gave the subject an electric shock. Both groups made the same number of errors, but the healthy group quickly learned to avoid the punishing electric shock, while sociopaths took much longer to do so.
Punishment rarely works, because they are impulsive by nature and fearless of the consequences. Incapable of having meaningful relationships, they view others as fodder for manipulation and exploitation. According to one psychological surveying tool (DSM IIIR) between 3-5% of men are sociopaths; less than 1% of female population are sociopaths. (Shirley Lynn Scott, What Makes Serial Killers Tick?)
Artinya:
1.       Psikopat merasa tak ada yang salah dengan dirinya, tak perlu untuk berubah.
2.       Sebuah eksperimen yang dilakukan dengan teliti mengungkapkan bahwa “level rangsangan yang rendah” tak hanya menyebabkan sifat impulsif dan suka mencari ketegangan, tetapi juga menunjukkan betapa para psikopat itu sangat bebal untuk bisa merubah perilakunya. Satu grup psikopat dan satu grup orang sehat (normal) diberi sebuah tugas, yaitu untuk menemukan satu katrol (dari empat yang ada) yang bisa menyalakan lampu hijau. Salah satu dari katrol tersebut diberi arus listrik. Kedua grup membuat kesalahan dalam jumlah yang sama, tetapi grup orang yang sehat dengan cepat belajar untuk menghindari arus listrik. Sebaliknya, grup psikopat memerlukan waktu yang jauh lebih lama untuk belajar.
Hukuman jarang bermanfaat, karena mereka sudah pada dasarnya impulsif dan tidak takut akan konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Tidak mampu membina hubungan yang langgeng, mereka memandang orang lain hanya sebagai makanan, bahan untuk dimanipulasi dan dieksploitasi. Menurut salah satu alat survey psychologi (DSM IIIR) antara 3-5% pria adalah sociopath; dan kurang dari 1% wanita adalah sociopath.
Oleh karena itu, segala nasehat agama dan ajaran keluhuran budi akan percuma saja ditujukan kepada mereka. Tak akan pernah berguna.
Sekedar contoh ringan adalah kisah berikut ini. Salah seorang bibi saya beserta keluarganya setiap Minggu pagi rajin mengikuti pengajian di sebuah pesantren di Malang. Saya sendiri belum pernah ke sana karena saya sekarang memang jarang ikut mengaji. Akan tetapi, dari kabar yang saya dengar, pengajian di sana sangatlah ramai sehingga sampai meluber ke jalan raya. Seperti biasanya, ada gula ada semut. Banyak pedagang kaki lima yang berjualan di sana. Sehabis pengajian, bibi saya sekeluarga kadang mampir ke rumah saya, dan kadang dengan membawa oleh-oleh sarapan atau kue-kue yang dibelinya di sana. Letak rumahnya maupun tempat pengajiannya memang cukup dekat dengan rumah saya, kurang lebih 2 km saja. Nah, selain mereka yang memanfaatkannya dengan mencari nafkah secara halal, dan itu tentunya boleh-boleh saja, ternyata ada juga yang rajin setiap minggu ke sana untuk “mencari nafkah” dengan... mencopet. Karena para copet itu setiap minggu rajin ke sana, tentu saja mereka mau tak mau akan ikut mendengar khotbah Pak Kiai. Akan tetapi, walau para copet itu setiap minggu rutin mendengar khotbah tentang segala macam kebaikan, ternyata tak ada faedahnya sama sekali. Mental semuanya, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Dan pihak panitia pun terpaksa setiap minggu tetap selalu rajin memperingatkan para jamaah akan bahaya kecopetan. “Awas, hati-hati copet, periksa dompet Anda”, demikian sepupu saya pernah bergurau menirukan ucapan panitia. Lalu saya timpali, “Awas, jamaahe copet pisan”. Dan mereka pun lalu tertawa.
Demikianlah, al-ilmu nuur, wa nuurullah laa yuhda lil-psikopat. Jadi, kita memang takkan bisa menyembuhkan orang-orang semacam itu, mereka yang walau rutin ditatar dengan pengajian atau ideologi terluhur mana pun, tetap saja menjadi copet. Yang bisa kita lakukan hanyalah berusaha mencegah agar orang-orang psikopat itu tidak membuat terlalu banyak kerusakan dan kejahatan di muka bumi. Berusaha meminimalkan kerusakan yang mereka buat dengan mengadakan peraturan-peraturan yang diperlukan sesuai dengan ilmu yang saat ini telah dikembangkan oleh para ahli psikologi.
So, I'll say it again--and keep saying it--until the knowledge and awareness of pathological human beings is given the attention it deserves and becomes part of the general knowledge of all human beings, there is no way that things can be changed in any way that is effective and long-lasting. That is the first order of business…( Laura Knight-Jadczyk)
Artinya: Oleh karena itu, aku akan mengatakannya lagi – dan akan tetap mengatakannya – bahwa hingga pengetahuan dan kesadaran tentang adanya manusia psikopat ini memperoleh perhatian yang semestinya dan menjadi pengetahuan umum dari seluruh umat manusia, maka tak akan ada perubahan yang bisa berlangsung efektif dan bertahan lama. Ini adalah hal pertama yang harus kita urusi…
Kelemahan manusia normal yang paling utama adalah kita menyangka bahwa semua manusia punya rasa empati atau paling tidak bisa dibina. Itu disebabkan karena kita selama ini belum mengetahui ilmunya sehingga selalu bersikap husnudzon menyangka bahwa semua manusia itu punya empati. Padahal, faktanya secara ilmiah tidaklah demikian. Kita selama ini tidak menyadari bahwa ada di antara manusia yang hanya berstatus “almost human”, manusia yang tidak punya empati sama sekali terhadap manusia lainnya karena sistem di otak mereka memang tak ada hardware yang mengatur hal itu. Sistem di otak mereka berbeda sehingga cara mereka mengelola informasi yang masuk ke otaknya pun tentu saja berbeda dengan manusia normal.
Bila mereka hanya sekedar kriminal yang berkeliaran di jalan mungkin kerusakan yang mereka lakukan tidak seberapa parah, walau tentu perlu tetap dicegah juga. Akan tetapi, sangatlah mengerikan bila orang-orang yang sistem otaknya selalu salah memproses informasi itu dan merasa tak ada yang salah dengan dirinya, lalu bisa menduduki jabatan-jabatan penting di militer dan pemerintahan, apalagi menjadi pemimpin tertinggi di suatu negara. Sangat mengerikan. Akibatnya bisa sangat berbahaya bagi perikemanusiaan. Bukan hanya satu dua orang di jalan yang akan mereka bantai, tetapi bisa ribuan bahkan jutaan orang, juga bukan uang satu atau dua juta yang mereka rampok, tetapi triliunan. Semua sistem negara juga akan turut mengalami malfungsi, kacau balau, karena negara dikendalikan oleh orang-orang yang sistem otaknya mengalami malfungsi. Negara akan dipenuhi dengan kekejaman dan kerakusan tanpa batas.
Oleh karena sebagian besar negara-negara di dunia ini, termasuk Indonesia, pada saat ini didominasi oleh orang-orang yang prosesor di otaknya sudah kacau balau, baik itu di lembaga-lembaga tinggi pemerintahan, militer maupun di kalangan pelaku bisnisnya, maka sebagian besar negara-negara di dunia pada saat ini pun keadaannya serba kacau balau juga. Semua sama keadaanya karena negara-negara tersebut dikuasai oleh orang yang punya penyakit yang sama pula, yakni sakit jiwa. Akibatnya, walau semua negara tersebut mempunyai beragam ideologi dan menganut beragam agama, maka isinya pun ternyata tak jauh berbeda, yakni kekejaman dan kerakusan, karena memang dikuasai orang-orang yang so similar in their essential properties.
Pathocracy is a disease of great social movements followed by entire societies, nations, and empires. In the course of human history, it has affected social, political, and religious movements as well as the accompanying ideologies… and turned them into caricatures of themselves…. This occurred as a result of the… participation of pathological agents in a pathodynamically similar process. That explains why all the pathocracies of the world are, and have been, so similar in their essential properties. (Lobaczeswki)
Artinya: Patokrasi adalah penyakit yang diidap oleh berbagai gerakan besar sosial, yang menghinggapi seluruh masyarakat, negara atau imperium. Sepanjang sejarah umat manusia, patokrasi telah mempengaruhi berbagai gerakan sosial, politik dan agama, dan juga ideologi-ideologi yang menyertai gerakan tersebut… dan mengubahnya menjadi karikatur belaka.. Ini terjadi akibat turut berpartisipasinya unsur-unsur patologi di dalam proses patodinamika yang sama. Hal ini menjelaskan kenapa semua patokrasi di dunia ini, semenjak dahulu hingga sekarang, sangatlah mirip satu sama lain dalam sifat-sifat dasarnya.
Yang lebih mengerikan lagi adalah apabila para psikopat itu lalu bisa sampai menduduki jabatan-jabatan penting di suatu negara superpower yang kekuatan militernya tentu saja bisa menjangkau ke mana-mana, maka yang akan menjadi kacau bukan hanya negaranya sendiri, tetapi seluruh dunia akan turut mereka kacaukan juga.
Bila kemudian para psikopat itu memegang posisi yang penting dalam bidang ekonomi, maka ekonomi suatu bangsa itu pun akan mereka hancurkan demi kepentingan egois mereka sendiri, seperti di Indonesia sini. Dan bila suatu bangsa itu kebetulan memegang peranan penting dalam perputaran ekonomi dunia, maka ekonomi dunia pun akan mereka hancurkan pula, seperti yang terjadi di Amerika saat ini.
Tak akan ada sistem yang berjalan dengan baik dan benar di tangan para psikopat. Yang sudah benar akan dibengkokkan menjadi salah, yang sudah salah akan menjadi semakin berantakan lagi.
Jadi, karena para psikopat memang sudah dari lahirnya tak punya hardware untuk merasakan empati dan mereka mustahil untuk bisa merasakannya, maka satu-satunya cara untuk menghapus peperangan dan bencana di muka bumi ini adalah mencegah mereka masuk ke dalam bidang politik dan militer serta berbagai jabatan dan posisi penting di sana. Wajib diadakan scan otak dan tes psikologi untuk melakukan screening sehingga para psikopat tidak bisa menduduki kedudukan-kedudukan yang sangat vital. Hanya orang-orang normal, human with conscience, yang akan bisa mendudukinya, setelah melalui tes psikologi yang ketat. Bila tidak, maka selamanya peperangan, bencana dan beragam penderitaan lainnya akan menimpa umat manusia, sampai kiamat. Kita sekarang sudah punya ilmunya dan juga alatnya untuk mengadakan screening. Tinggal bagaimana menggunakannya saja. Alat scanning otak sudah bisa membaca mana otak yang normal dan mana yang psikopat. Sudah ada dan sudah bisa, tinggal kita memanfaatkannya saja demi masa depan kemanusiaan, demi masa depan yang aman dan damai, makmur dan sejahtera dan bagi umat manusia di muka bumi ini. Bila hanya manusia yang normal, manusia dengan hati nurani, yang boleh menduduki jabatan-jabatan penting negara, negara mana saja di seluruh dunia, maka bisa dijamin dunia akan segera bebas dari peperangan dan beragam bencana serta kejahatan lainnya.
Selama ini kita tahu, sudah tak terhitung penderitaan yang dialami umat manusia karena merajalelanya para psikopat di pangggung kekuasaan. Berapa juta manusia yang dibantai oleh para psikopat seperti Stalin, Hitler, Pol Pot, Saddam dan lain-lain. Dalam wawancara dengan Pol Pot yang diadakan bertahun setelah pembantaian yang dilakukannya, ia sama sekali tak pernah merasa menyesal telah membantai manusia sebanyak itu. Sedangkan setelah Perang Teluk I, Saddam segera mengadakan kawin massal, dengan tujuan anak-anak yang lahir nanti bisa menjadi tentara yang bisa dikirimkannya untuk berbunuhan di medan perang. Tak ada kata kasih sayang, tak ada belas kasihan kepada anak-anak tersebut. Karena tak ada hardware yang bisa memproses hal itu di otaknya.
Dan jangan pernah berhalusinasi bahwa sistem demokrasi pun bersih dari psikopat. Reagan, Clinton dan Bush Sr. maupun Jr, Lyndon Johnson, Nixon adalah para psikopat. Berapa juta rakyat dan tentara Amerika maupun musuh Amerika yang tewas pada masa pemerintahan mereka. Jutaan juga. Mereka tak bisa merasakan penderitaan yang dialami baik oleh tentara maupun rakyatnya, apalagi rakyat negara lain. Orang normal akan berpikir banyak kali sebelum mengirim pasukan ke medan perang. Karena orang normal tak akan tahan melihat pembunuhan, apalagi pembantaian. Sebaliknya, para psikopat, karena tak punya rasa empati, akan bisa dengan mudah saja mengirim tentara untuk dibunuh atau membunuh. Para jendral pada PD I juga rata-rata adalah psikopat. Mereka dengan mudah saja mengirimkan ratusan ribu anak buahnya menjadi mangsa peluru, bahkan mereka berlomba-lomba untuk itu. Tujuannya adalah supaya mereka bisa mendapat nama bahwa merekalah jendral yang sanggup menembus pertahanan musuh, mendapat nama karena bisa mengakhiri deadlock perang parit. Mereka tak peduli dengan nasib ratusan ribu tentaranya, yang penting namanya bisa terangkat, naik pangkat, dianggap sebagai pahlawan, dengan menaiki tangga ratusan ribu mayat. Padahal, nyatanya tak seorang pun di antara jendral- jendral psikopat dungu itu yang bisa mengakhiri deadlock perang parit.
Hal semacam itu takkan dilakukan manusia normal. Orang normal, yang punya hati nurani, seandainya pun terpaksa harus berperang, akan berusaha meminimalkan pertumpahan darah sebisa mungkin. Orang normal akan berusaha supaya korban peperangan tak terlalu banyak. Karena di kepalanya mereka punya hardware yang bisa merasakan empati.
Saya pribadi tak tahan menyaksikan video adegan penyembelihan yang dilakukan oleh Al-Zarqawi, walaupun korbannya orang Amerika. Dan kita tahu bahwa al-Zawahiri akhirnya mengirimkan surat peringatan kepada Al-Zarqawi karena banyak umat Islam yang marah karena perbuatannya. Orang non-psikopat, dari agama mana pun, akan marah bila melihat kekejaman yang berlumuran darah semacam itu. Al-Zarqawi dan anak buahnya jelas-jelas adalah psikopat, tak jauh beda dengan tentara Amerika yang diperanginya. Dia juga melakukan pemboman ke beragam sasaran yang bahkan banyak membunuhi umat Islam sendiri. Dia tak peduli berapa korban yang jatuh, baik di pihak umat Islam maupun Amerika, asal tujuan politiknya bisa tercapai. Seperti yang pernah saya katakan, para psikopat berperang orang normal mati di tengah-tengah.
Di tangan para psikopat agama dan ideologi seluhur apa pun akan bisa dengan mudah mengalami degenerasi. Atau dalam istilah Lobaczeswki, di tangan para psikopat ideologi dan agama luhur itu hanyalah tinggal menjadi semacam karikatur belaka dari ideologi yang aslinya, mengalami ponerisasi, atau istilah populernya di sini adalah mengalami pembusukan. Ajaran cinta kasih Isa misalnya, di tangan para psikopat dengan cepat berubah menjadi lembaga Inquisisi yang haus darah ala film Drakula, atau ajaran penuh kebencian seperti yang diamalkan oleh kaum fundamentalis Kristen, yang sekarang ini mereka tujukan kepada saya juga. Tak ada itu ajaran cinta kasih Isa yang tersisa di otak para psikopat, yang ada hanyalah kebencian dan permusuhan. Ajaran Musa melarang membunuh dan berzinah, orang-orang psikopat Yahudi meledakkan WTC, Bali dan menyuruh berzinah dengan istri orang. Tinggal menjadi karikaturnya saja. Komunis pun di teksnya menghalalkan kebebasan berpendapat, di tangan para psikopat berubah menjadi neraka gulag bagi para pembangkang. Pancasila pun di teksnya mengajarkan keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab, di tangan para psikopat berubah menjadi ajaran yang biadab dan pembenar ketidakadilan sosial. Agama Islam di teks mengajarkan majelis syura, tetapi di tangan para psikopat segera berubah menjadi kediktatoran dan hampir semua negara Islam pada saat ini berisi para diktator. Takkan ada yang benar di tangan para psikopat. Segala macam ajaran yang baik dan seluhur apa pun akan segera dibengkokkan supaya bisa sesuai dengan sifat egois dan rakusnya.
Oleh karena itu, sekali lagi, kita memang wajib mengadakan scan otak dan tes psikologi untuk melakukan screening sehingga para psikopat yang sistem di otaknya kacau itu, yakni dalam hal tak punya sistem pencegah melakukan pembunuhan, pencurian dan beragam kejahatan lainnya, tidak bisa lagi menduduki kedudukan-kedudukan yang sangat vital di lembaga negara, baik yang tingkat nasional maupun daerah, terutama di dalam bidang politik dan militer. Termasuk juga di DPR/DPRD dan eksekutif, termasuk presiden dan wapres. Hanya orang-orang normal, manusia dengan hati nurani, yang akan bisa mendudukinya, setelah melalui scan otak dan tes psikologi yang ketat. Jumlah orang normal jauh lebih banyak, 96 persen, kenapa kita tak bisa memilih mereka? Kenapa umat manusia selalu salah pilih menjadikan psikopat yang cuma berjumlah paling banyak 4 persen menjadi para pemimpinnya? Akibatnya mereka selalu saja membawa bencana bagi umat manusia.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, psikopat itu adalah orang yang cacat, yakni cacat-emosi, seperti juga orang buta-warna yang punya cacat-visual, karena susunan otak mereka yang memang cacat. Pada saat orang mau mendaftar menjadi pegawai negeri atau swasta, menjadi anggota DPR/DPRD, masuk militer/polisi, menjadi presiden/wapres selalu tertera di syarat-syaratnya bahwa para calon tidak boleh cacat, baik cacat fisik maupun mental. Dan sekarang telah terbukti secara ilmiah/medis bahwa memang ada orang-orang yang cacat secara fisik di dalam struktur otak mereka, yang mengakibatkan mereka cacat secara mental pula. Dengan demikian, bila syarat-syarat ini hendak diterapkan secara konsekuen, maka mereka yang yang cacat-emosi (psikopat) tentunya tidak bisa mendaftar sebagai pegawai negeri/swasta, militer, polisi, DPR atau presiden/wapres. Wajib diadakan tes juga untuk menguji buta-emosi (psikopati), seperti juga yang telah kita lakukan selama ini untuk menguji buta-warna. Apalagi, boleh dikatakan buta-emosi ini jauh lebih berbahaya dibandingkan buta-warna. Saya secara pribadi lebih bisa mentolerir orang buta-warna menjadi presiden atau menjadi pejabat lainnya ketimbang mereka yang buta emosi. Kebetulan saya pernah kenal orang yang buta-warna, dia orangnya jujur dan baik pribadinya, dia juga mengakui bahwa dia menderita buta-warna, tidak lantas berbohong dan berkelit kian kemari. Saya juga lebih bisa mentolerir Roosevelt - yang cacat kakinya karena polio - menjadi presiden ketimbang mereka yang cacat-emosi. Cacat-emosi adalah cacat yang paling berbahaya di dunia ini karena mereka bisa menimbulkan kehancuran dan kejahatan yang tiada taranya di muka bumi. Dan saya tidak akan pernah bisa mentolerir orang-orang yang punya cacat-emosi semacam ini menduduki berbagai jabatan tinggi dalam bidang apa pun. Akibatnya bisa sangat berbahaya bagi perikemanusiaan.
Dulu umat manusia selalu salah pilih karena mereka tak menyadari bahwa ada psikopat di antara mereka, mereka selalu berprasangka baik dan menyangka semua manusia punya empati. Ternyata tidak, ada sebagian manusia yang bukan sepenuhnya human, tetapi hanya almost human. Kita sekarang sudah punya pengetahuan tentang itu, sudah ada ilmunya. Dan hanya ilmu inilah satu-satunya jalan yang akan bisa membawa umat manusia menuju perdamaian yang abadi, kemakmuran yang abadi. Kita sekarang sudah punya pengetahuan tentang sources of evil, dan dengan mengetahui sumbernya, maka kita akan bisa memberantasnya. Atau bila itu menurut ilmu kedokteran yang dipelopori oleh John Snow pada tahun 1854, maka penduduk London pada masa itu memang hanya bisa memberantas penyakit kolera bila mereka mengetahui sumber air yang membawa wabah tersebut dan setelah itu menyumbatnya. Teori John Snow ini bisa juga kita berlakukan untuk menyembuhkan wabah psikopat.
Akan tetapi, karena pada saat ini hanya sebagian kecil saja yang mengetahui bahwa sudah ada ilmunya, karena sebagian besar buku-buku yang membahas masalah ini masih baru, banyak yang baru terbit pada tahun 2000-an, maka menjadi tugas kita semua, human with conscience, untuk turut serta menyebarluaskan pengetahuan ini.
Only when the 75% of humanity with a healthy conscience come to understand that we have a natural predator, a group of people who live amongst us, viewing us as powerless victims to be freely fed upon for achieving their inhuman ends, only then will we take the fierce and immediate actions needed to defend what is preciously human. Psychological deviants have to be removed from any position of power over people of conscience, period. People must be made aware that such individuals exist and must learn how to spot them and their manipulations. The hard part is that one must also struggle against those tendencies to mercy and kindness in oneself in order not to become prey. (Clinton Callahan, Beware of the Psychopath)
Appeasement doesn't work on a person without a conscience. All the energy spent by naive peace protesters is for naught. You can love your enemy all you want but if your enemy is incapable of love he will destroy you. (Bret Burquest, Axis of Evil, Political Ponerology Review: Boldly Going Nowhere)
Artinya: Hanya apabila 75% umat manusia dengan hati nurani yang sehat mengetahui sepenuhnya bahwa kita mempunyai predator alami, yaitu segerombolan manusia psikopat yang hidup di antara kita dan melihat kita tak lebih sebagai korban tak berdaya yang bisa dimangsa dengan seenaknya untuk mencapai tujuan-tujuan mereka yang tak berperikemanusiaan, maka barulah pada saat itu kita akan bisa mengambil tindakan tegas dan cepat, yang dibutuhkan untuk mempertahankan semua hal yang berharga bagi kemanusiaan. Semua orang yang mengidap psikopat harus disingkirkan dari panggung kekuasaan, titik. Masyarakat harus sadar bahwa individu-individu semacam itu memang ada dan kita harus belajar untuk mengenali mereka dan beragam manipulasi yang mereka lakukan. Bagian sulitnya adalah kita juga harus berjuang untuk mengatasi kecenderungan memberi ampun dan berbaik hati yang ada di dalam diri kita, supaya kita sendiri nanti tak menjadi mangsa.
Untuk melaksanakan kalimat terakhir dari kutipan Callahan tadi tentu saja harus melalui sistem yang terbuka dan pengadilan yang terbuka, tidak boleh lagi melalui cara-cara yang dipakai oleh para psikopat selama ini.
Bila psikopat itu adalah karena bawaan sejak lahir memang tidak bisa disembuhkan, akan tetapi bila itu karena pengaruh lingkungan atau teman masih bisa disembuhkan. Seperti yang kita sebutkan tadi bahwa ada yang ikut berbuat kejahatan karena takut dan terpaksa saja. Golongan yang pertama mula-mula ikut mabuk karena takut, tapi ternyata lama-lama jadi keenakan, dan akhirnya jadi pemabuk betulan pula. Golongan yang kedua juga ikut karena takut, tetapi ia tetap tak pernah suka mabuk-mabukan. Mereka itu masih ada harapan untuk bisa disembuhkan.
The good news is that we can do something about corporate psychopaths. Scientific consensus says that only about 50% of personality is influenced by genetics, so psychopaths are molded by our culture just as much as they are born among us. But unless American business makes a dramatic shift, we'll get more Enrons -- and deserve them.  (Alan Deutschman, Is Your Boss a Psychopath?)
Artinya: Kabar baiknya adalah kita bisa melakukan sesuatu untuk mengatasi para psikopat di perusahaan. Konsensus ilmiah menyatakan bahwa hanya sekitar 50% orang yang diakibatkan oleh faktor genetika. Jadi, psikopat itu ada yang dibentuk oleh budaya kita selain juga ada yang sudah begitu semenjak lahir. Kecuali dunia bisnis Amerika membuat perubahan yang dramatis, kita akan mendapat kasus seperti Enron lagi—and deserve them.
Kasus Enron sudah terjadi bertahun yang lalu. Dan ternyata, berulang kembali dalam kasus yang jauh lebih besar saat ini. And you deserve them...
Jumlah psikopat yang disebabkan oleh faktor genetika hanya 50%. Ada juga yang karena faktor lingkungan dan yang ini masih bisa diobati. Jadi, yang masih bisa diobati kita obati dan yang tak bisa diobati harus kita cegah supaya mereka tidak bisa melakukan kejahatan. Membuat sistem yang baik untuk mencegahnya. Meski demikian, kita tentunya harus berhati-hati melakukannya, jangan sampai nanti malah ilmu itu lagi-lagi dimanfaatkan orang-orang psikopat untuk tujuan mereka.
How can we distinguish between psychopaths and healthy people? What is the portrait of a true psychopath?
Such a dangerous question has almost never been successfully asked. The reason is because we mistakenly confuse healthy for normal. Human psychological diversity is the health of our race. There is no normal because healthy humans continuously evolve beyond all normalizing standards. The terrorism of searching through hierarchies for anyone deviating from normal is no different from witch hunts or Inquisitions. You must remember that hierarchies thrive on such low dramas, torturing victims until they confess to evil beliefs. Not so long ago the church and state ongoingly acquired significant income and property through witch hunts and Inquisitions. This continued for over two hundred and fifty years. Ten generations of Europeans understood pogrom as normal life. Let us not return to that nightmare. Testing for normal is guaranteed to backfire in our face. There is no normal. But there is conscience. (Clinton Callahan, Beware of the Psychopath)
Artinya: Bagaimana kita bisa membedakan antara psikopat dan orang sehat? Bagaimana ciri-ciri seorang psikopat yang sesungguhnya?
Pertanyaan yang berbahaya semacam itu sulit sekali untuk ditanyakan. Alasannya adalah karena kita seringkali merancukan sehat dengan normal. Keragaman psikologi manusia adalah hal yang sehat bagi umat manusia. Tak ada yang disebut normal karena manusia yang sehat terus-menerus ber-evolusi di luar standar yang sudah dinormalisasikan. Terorisme mencari orang yang menyimpang dari garis normal di seluruh hirarki adalah tak jauh berbeda dengan witch hunt atau Inquisisi. Anda mesti ingat bahwa hirarki-hirarki tersebut banyak melakukan perbuatan yang kejam, menyiksa para korban hingga mengakui bahwa dia penganut aliran sesat. Belum lama berselang gereja dan negara secara kontinyu memperoleh income dan properti yang sangat besar melalui witch hunt dan Inquisisi. Hal ini berlangsung selama lebih dari 250 tahun. Sepuluh generasi orang Eropa memahami progrom sebagai bagian dari kehidupan normal. Janganlah kita mengulang mimpi buruk semacam itu lagi. Menguji untuk mencari orang normal akan bisa berbalik ke wajah kita sendiri. Tak ada kata normal, yang ada adalah hati nurani.
Jadi, memang harus dilakukan dengan berhati-hati. Clinton Callahan mungkin terlalu berhati-hati dalam hal ini sehingga tak menyetujui adanya tes. Akan tetapi, pada artikel yang sama ia juga menulis dan mengakui bahwa saat dilakukan scan otak, maka cara kerja otak para psikopat memang berbeda dengan orang normal. Jadi, ia pun mengakui kebenaran tes tersebut. Meski demikian, tetap perlu dilakukan dengan berhati-hati, bisa disaksikan secara bebas oleh umum, semua kalangan masyarakat bisa turut mengawasi dan menyaksikan dengan bebas, untuk mencegah adanya penyimpangan penggunaan dan tentu saja dengan tes yang sudah kita uji keakuratannya. Dan kalau perlu nanti bisa semakin disempurnakan lagi cara tesnya.
Satu hal yang tak kalah pentingnya, para psikolog yang memimpin tes juga harus diseleksi dengan ketat karena banyak juga kasus di Amerika bahwa para psikolog itu juga ternyata mengidap psikopat. Mereka melakukan tes psikologi ke sekolah-sekolah di Amerika, mendiagnosa dan memvonis bahwa siswa-siswa itu mengidap suatu masalah psikologi, padahal para siswa itu sebenarnya sehat wal afiat. Mereka mendiagnosa secara ngawur begitu untuk menutupi kedok mereka berjualan obat-obatan penenang, yang tentu saja sebetulnya tak dibutuhkan para siswa tersebut. Lihat antara lain Inside TeenScreen: The Making of Mental Patients by Sandra Lucas. Jadi, memang harus dilakukan dengan sangat ekstra hati-hati. Kalau yang memimpin tes itu malah para psikolog psikopat semacam itu kan tambah kacau nanti jadinya.
Kemudian yang terakhir, apa artinya conscience atau hati nurani seperti yang telah banyak disebutkan di atas tadi? Bila kita tadi sudah membahasnya menurut beragam bahasa ilmiah, maka sekarang ini untuk gampangnya kita artikan menurut bahasa sehari-hari saja, yaitu mengartikannya sebagai kesadaran hati nurani bahwa melakukan mo limo itu salah, apa pun alasannya pembenarnya dan berupa apa pun bentuknya. Orang tak cuma merampok di jalanan, bukan? Ada yang melakukannya di perusahaan, kantor pemerintah dan lain-lainnya. Pembunuhan dan penganiayaan juga tak cuma terjadi di jalanan, tetapi juga di dalam peperangan, di penjara-penjara dan sebagainya. Jadi, tanpa dilakukan tes pun, sebenarnya psikopat itu sudah bisa dideteksi. Bila ada orang yang melakukan dan menganjurkan mo limo dalam beragam bentuknya dan dengan ditopengi apa pun, maka sudah dipastikan bahwa dia itu psikopat. Meski demikian, tentu saja tes secara formal wajib dilakukan di dalam lembaga-lembaga resmi negara maupun perusahaan. Kita tak bisa menuduh orang tanpa bukti. Kita sekarang sudah punya pengetahuan tentang hal itu, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya semaksimal mungkin demi masa depan dunia yang damai, aman dan tentram serta keadilan ekonomi dan sosial yang merata bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Yogyakarta, 22 November 2008
Revisi: Malang, 1 Januari 2008

Morality and humanism cannot long withstand the predations of this evil. Knowledge of its nature--and its insidious effect on both individuals and groups--is the only antidote. (Andrzej Lobaczewski)
It is not power that corrupts, it is that corrupt individuals seek power. (Laura Knight-Jadczyk)
Lobaczewski says that for centuries, evil has been regarded with a moralistic interpretation that did NOTHING to help humanity counteract it. His scientific study led him to observe that "evil" acts were most often perpetrated by psychopaths, essentially those with mental diseases, causing him to study evil as a disease not a concept surrounded in moral fluff.