Thursday, May 16, 2013

Antara Modernis Dan Tradisionalis





Gerakan pembaharuan Islam yang banyak berpengaruh di Indonesia adalah dari Mesir, yaitu yang dipelopori Muhammad Abduh. Memang ada juga pembaharu dari negara-negara lainnya, tetapi pengaruh dari Mesir inilah yang sampai ke Indonesia karena orang Indonesia pada umumnya pergi belajar ke Mesir atau daerah-daerah Timur Tengah lainnya yang sudah terpengaruh oleh gerakan pembaharuan tersebut. Sayangnya, pembaruan yang sampai di sini kebanyakan cuma pada bidang furu’ atau fiqih semata, bukan pada bidang teologi. Padahal teologi inilah masalah yang teramat penting untuk diperhatikan karena dapat berpengaruh secara langsung kepada perubahan cara berpikir dan berkaitan erat dengan kemajuan atau kemunduran suatu umat. Jadi, pembaharuan ini memang hanya baru pada kulit luarnya saja, bukan pada intinya. Pada saat ini, pemikiran Muhammad Abduh pada masalah teologi boleh dikatakan sudah hampir tidak punya pengikut lagi, berbeda dengan muridnya Rashid Ridha. Juga dalam masalah politik, salah satu pemikiran Rashid Ridha pun masih terbawa hingga sekarang, ke organisasi seperti Hizbut Tahrir misalnya.

Gerakan Ikhwanul Muslimin yang selama ini dianggap sebagai organisasi Islam modernis dan banyak menginspirasi gerakan-gerakan serupa di dunia Islam, juga bukanlah pengikut Abduh. Hassan Al-Banna, pendiri gerakan ini, adalah penganut madzhab Hambali. Padahal, sebagaimana kita ketahui, madzhab Hambali itu pada zaman Abbasiyah adalah musuh bebuyutan dari madzhab Mu’tazilah, mazhab yang didukung Abduh. Jadi, Al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya itu memang bukan pengikut Abduh, tetapi lebih tepat disebut sebagai pengikut Rashid Ridha. Dan gerakan ini memang banyak persamaannya dengan paham Wahabi. Perbedaannya barangkali terutama dalam dua hal saja, yaitu bila Ikhwanul Muslimin sangat anti Barat dan menentang sistem monarki, maka kalau kaum Wahabi adalah sebaliknya. Dalam hal lainnya tidaklah jauh berbeda, seperti keinginan kembali kepada Al-Quran dan hadits misalnya. Kita tahu Arab Saudi juga telah lama menerapkan hukum Islam, suatu hal yang selama ini diperjuangkan mati-matian oleh Ikhwanul Muslimin.

Keadaan di Indonesia juga sebenarnya tidak jauh berbeda, dan seperti disebutkan pada bab pertama tadi, perbedaan antara kaum modernis dan tradisionalis hanyalah pada masalah furu’ dan bukan masalah teologi. Furu’ ini adalah perincian dari ibadah pokok seperti shalat, zakat dan sebagainya. Di Indonesia yang paling terkenal misalnya adalah perselisihan dalam masalah qunut, ushalli, tata cara shalat Jum’at dan tarawih atau semacamnya yang disebut kaum modernis sebagai bid’ah. Perselisihan dalam soal furu ini sebenarnya bukanlah masalah yang terlalu penting karena cuma meliputi soal tata cara ibadah.

Satu hal lain yang juga sering diperselisihkan adaah soal pengeramatan kuburan, wali-wali dan kiai. Satu hal yang masih berurat akar pada kaum tradisional. Bila pengeramatan kuburan boleh dikatakan sebagai hal yang tidak begitu menganggu, maka pengeramatan kepada tokoh yang masih hidup adalah hal sebaliknya sebab manusia yang masih hidup tentunya masih punya kemampuan untuk mengeluarkan fatwa dan pernyataan, baik soal politik atau agama. Kalau para tokoh yang dianggap keramat dan bebas dari kesalahan tersebut selalu melakukan tindakan dan mengeluarkan pernyataan yang benar tentunya tak ada masalah. Tetapi, bila ia sampai melakukan tindakan dan pernyataan yang salah, maka kesalahan tersebut tentu akan diikuti oleh umatnya. Lalu kesalahan tersebut akan dianggap sebagai kebenaran sebab dilakukan oleh seorang yang dianggap maksum. Ini jelas adalah suatu hal yang keliru. Karena itu, pengeramatan kepada manusia ini adalah suatu hal yang mesti kita hindari. Para nabi yang merupakan manusia dengan derajat paling tinggi saja pernah berbuat kesalahan, apalagi mereka yang derajatnya di bawah nabi. Hanya saja kalau para nabi langsung diperingatkan oleh Allah dan langsung mematuhi sedangkan kalau manusia biasa tentu hanya masyarakat biasa pula yang bisa mengingatkannya.

Perbedaan-perbedaan lainnya antara kaum modernis dan tradisionalis antara lain tentang masalah tahlilan, dibaan, maulid nabi, beduk atau pun hal-hal semacamnya yang juga dianggap oleh kaum modernis sebagai bid’ah. Bagaimana pun, hal-hal semacam itu memang tidak diajarkan oleh Nabi. Jadi, memang bid’ah. Tetapi, dalam beberapa hal, bid’ah ini mengandung kebaikan dan manfaat juga. Tahlilan misalnya, akan bisa mempertemukan para kerabat yang mungkin jarang sekali bertemu karena kesibukannya sehari-hari. Jadi, bisa merapatkan tali silaturahmi. Dibaan juga punya sisi yang baik juga karena akan bisa mengumpulkan para tetangga dekat untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Tetapi, patut dicatat bahwa walaupun memang bisa membawa manfaat, kegiatan-kegiatan tersebut tidak diajarkan oleh Nabi. Jadi, hukumnya bisa dianggap mubah saja, bukan wajib.

Selama ini memang ada dua titik ekstrim. Kaum modernis beranggapan bahwa yang tidak diajarkan oleh Nabi adalah haram sedangkan kaum tradisionalis menganggapnya sebagai wajib. Padahal hukumnya bisa dianggap mubah saja. Mengenai tahlilan, yang saya maksudkan di sini adalah tahlilan yang 1 hingga 1000 hari dengan disertai selamatan. Sedangkan yang tanpa selamatan atau tidak pada hitungan hari-hari tersebut memang ada hadits yang menganjurkan sehingga memang merupakan sunah Nabi. Jadi, hendaknya ini bisa dibedakan. Dan yang dimaksudkan sebagai bid’ah oleh kaum modernis memang adalah yang diadakan pada 1 hingga 1000 hari tersebut.

Tentu saja, segala hal yang asalnya mubah bisa berubah hukumnya dalam kondisi-kondisi tertentu. Bila para kerabat itu jarang sekali bertemu untuk bersilaturahmi, maka tahlilan ini hukumnya bisa menjadi sunah. Tetapi, bila kita sedang tak ada uang dan memaksakan diri untuk mengadakannya hingga sampai berhutang kiri kanan, maka hukumnya bisa berubah menjadi makruh. Dan bila hutang tersebut lalu dikemplang, maka hukumnya jelas menjadi haram. Ditagih hutang itu nanti di akhirat.

Sedangkan mengenai masalah beduk, sebenarnya beduk ini fungsinya seperti mikrofon pada zaman sekarang. Supaya tanda waktu shalat terdengar oleh orang sekampung. Tetapi, yang dilakukan kaum modernis adalah menggusur bid’ah beduk untuk kemudian menggantinya dengan bid’ah mikrofon. Repot juga. Jadi, kita di sini memang harus memandang beduk ini menurut fungsi dan kegunaannya pada zamannya. Bukan langsung memvonisnya sebagai bid’ah. Tetapi, dalam hal ini ada yang perlu diperhatikan, yaitu hendaknya penggunaan mikrofon tidak dilakukan secara berlebih-lebihan, apalagi sewaktu malam hari, hingga mengganggu para tetangga sebab menganggu tetangga hukumnya adalah haram. Mungkin akan ada yang beralasan itu adalah sebagai syiar. Tetapi, harus disadari bahwa orang hanya akan tertarik dengan syiar bila dilakukan dengan cara yang baik. Bila orang merasa terganggu, maka itu bukan syiar, tetapi malah membuat orang lain membenci agama Islam. Syiar yang kontra produktif.

Mengenai masalah qunut, dari berbagai hadits yang ada saya pribadi mengambil kesimpulan bahwa ini adalah hal yang juga sunah saja. Bukan haram dan bukan wajib. Jadi, memang dianjurkan untuk membacanya, tetapi bila tidak tentu tidak berdosa. Nabi sendiri tidak mesti membacanya setiap shalat Subuh, cuma kadang-kadang saja. Dari segala perselisihan yang ada, sebenarnya sebagian besar hukumnya adalah mubah atau sunah saja. Hal-hal yang tidak diajarkan oleh Nabi, tetapi tidak mengandung keburukan, hukumnya adalah mubah saja. Jadi, kita hendaknya menghindarkan diri dari dua titik ekstrim, yaitu menganggapnya sebagai haram atau sebagai wajib. Itu keliru.

Sebenarnya, tanpa mereka sadari, kaum modernis saat ini juga melakukan bid’ah dalam tata cara shalat tarawih, yaitu mengenai pengadaan khotbah sebelum shalat dimulai. Ini tidak diajarkan oleh Nabi, bahkan masih baru-baru saja diadakan. Jadi, ini jelas bid’ah. Lalu kenapa orang modernis tak menganggapnya sebagai haram juga? Jadi, bid’ah ini memang sebenarnya bermula dari suatu hal yang dirasakan perlu atau menarik untuk dilaksanakan. Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, itu kemudian dianggap sebagai sesuatu yang wajib dan melekat dengan ajaran agama itu sendiri. Padahal, tentu saja itu bukan ajaran agama.

Jadi, yang harus kita lakukan memang adalah memandang berbagai bid’ah tersebut dari segi fungsinya. Bila baik bisa tetap dilakukan, tetapi bila tidak baik tentu saja harus ditinggalkan. Sebaiknya kita memang menghindari bersikap fanatik di dua titik ekstrim hitam atau putih, seolah-olah hukum Islam itu cuma berisi dua hal saja, yaitu haram atau wajib. Kan masih ada mubah dan sunah, ini yang sering dilupakan dalam segala hal, bukan cuma hal-hal yang tersebut di atas saja.

Yogyakarta, 6 Sept 2001