Thursday, May 16, 2013

Genukwatu Saloon, Wild Wild East


oleh Helmi Junaidi 



Waktu masih kecil dulu saya sekeluarga pernah tinggal di kampung bernama Genukwatu. Kalau sedang bergurau, kami juga menyebutnya sebagai Genukstone. Masih dekat juga dengan kampung Pandean yang saya tempati sekarang ini, sekitar 750 meter ke Utara. Saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar waktu itu. Penduduk Genukwatu rata-rata gemar mo limo, terutama mabuk dan judi, sehingga kami hanya bertahan sekitar dua tahun saja di sana. Kontrak rumah yang sebetulnya belum habis ditinggal begitu saja.

Acara judi ini biasanya semakin meriah saat menjelang lebaran, karena bertujuan untuk mencari bekal uang untuk berlebaran. Jadi, pada saat bulan Ramadhan benar-benar meriah kampungnya, meriah orang berjudi, bukan mengaji. Setiap habis Ashar hingga menjelang Maghrib penduduk kampung menggelar lapak judinya di halaman samping rumah saya karena lumayan luas. Biasanya juga menggelar sampai ke teras depan rumah saya. Dan jangankan sekedar teras, tiap sore hingga malam hari pun banyak penduduk yang menginvasi rumah saya untuk menonton TV di ruang tamu. Maklumlah, zaman jadul, daerah sini dulu masih bersuasana desa dan rasa kekeluargaan masih cukup kuat, dengan segala efek baik maupun buruknya. Sawah masih terbentang luas di mana-mana, sejauh mata memandang. Tapi, sekarang sudah habis dibuat perumahan dan jalan raya. Desa sudah berubah menjadi kota. Stasiunnya hanya TVRI saja yang saat itu baru mulai siaran jam 16.30 dan tutup sekitar tengah malam. TV masih langka saat itu, tak semua orang punya, masih hitam putih, dan bertenaga accu mobil pula. Belum ada saluran listrik. Jadi, TV pribadi saat itu biasanya berfungsi juga sebagai milik umum. Di mana-mana juga begitu. Tapi, yang paling parah adalah bila kadang-kadang accu bemo paman saya rusak dan dia langsung nyelonong pinjam accu TV. Buyarlah acaranya. Yah, mau apa lagi, urusan cari makan kan lebih penting daripada nonton TV. Terpaksa dipinjamkan oleh ibu saya. Dan jadi pada bengonglah penontonnya, bubar pulang ke rumah masing-masing atau mencari TV di tetangga lain.


Beraneka ragam bentuk judi yang digelar oleh penduduk waktu itu, mulai judi dadu biasa atau dadu yang bergambar binatang-binatang, judi dengan domino dan entah apa lagi yang saya sudah lupa. Meriah banget pokoknya, berlangsung sebulan penuh selama Ramadhan, semacam pesta rakyat begitulah, hahaha... Laki perempuan, mulai dari remaja sampai opa oma ikut berjudi, istilahnya ikut tombok. Tentu saja mereka tak ada yang berpuasa, kalau pun ada ya cuma “poso tutup kendang”, yaitu cuma berpuasa hari pertama dan terakhir saja, seperti tutupnya kendang. Setelah masuk Lebaran barulah usai pesta rakyatnya. Begitu dulu suasananya di sana, entah kalau sekarang, saya sekarang sudah tak pernah sambang ke Genukwatu.

Namanya juga anak-anak, saudara-saudara saya yang masih kecil kadang ikut bermain-main dengan alat-alat judi itu bila acara belum dimulai. Lha digelarnya juga antara lain di teras  rumah. Bermain dengan anak-anak kampung yang lain walau tentu tanpa menggunakan uang, wong cuma bermain ala anak-anak. Ibu saya tentu saja menjadi khawatir bila melihatnya. Kecil-kecil belajar main judi besarnya jadi apa nanti. Jadi bandar? Bila kebetulan Anda juga adalah seorang ibu bagaimana kira-kira perasaan Anda bila menyaksikan anak-anak Anda belajar berjudi. Senang, sedih, bahagia, khawatir, jingkrak-jingkrak gembira? Silakan cek perasaan Anda masing-masing.

Bila yang untuk umum selesai sampai Mahgrib saja, maka kalau acaranya pemuda dan bapak-bapak sering dimulai lagi pada malam hingga dini hari. Ribut mereka di samping rumah. Minum-minum sambil berjudi. Kadangkala diselingi perkelahian. Mungkin karena ada yang kalah dan tak terima dengan kekalahannya. Gedebak-gedebuk ramai. Di bawah pengaruh alkohol, orang mudah menjadi lebih agresif. Pokoknya, miriplah dengan suasana saloon para koboi  zaman Western, walau untunglah tak disertai acara darderdor para gunslinger. Atau mirip juga dengan suasana Arab zaman jahiliyah. Celakanya, bila pesta rakyat itu hanya berlangsung selama bulan puasa, maka kalau acaranya pemuda dan bapak-bapak itu tak mengenal bulan dan masa. Di luar bulan puasa pun mereka tetap sering mabuk dan berjudi. Walhasil, baju-baju yang dijemur ibu saya di halaman rumah sering raib tak tentu rimbanya. Bahkan rumah kami juga pernah disatroni maling. Mungkin untuk bekal berjudi lagi... dan mabuk lagi... Orang kalau sudah ketagihan susah dihentikan. Apa saja akan disambar sekedar untuk bisa melampiaskan rasa ketagihannya.

Begitu suasana di halaman rumah saya saat itu. Dan entah bagaimana lagi suasana di rumah mereka yang kebetulan kalah berjudi. Mungkin selesai berkelahi menghajar temannya, di rumah masih disambung pula menghajar istrinya. Perasaan lagi sebel, to. Masih dalam pengaruh alkohol pula. Siapa saja yang kebetulan ditemui rasanya pingin dihajar saja, dan istri di rumah biasanya adalah sasaran yang cukup empuk untuk melampiaskan rasa sebel tadi. Gedebak gedebuk, bonyok benjut semua dah istrinya. Habis perkara. Dan bisa jadi anak-anaknya yang masih kecil ikut pula jadi sasaran, turut digebuki pula anak-anaknya.

Begitulah, sekedar cerita tentang sebagian kisah masa kecil saya. Sekedar cerita saja. Perkara Anda setuju mabuk dan judi itu hak Anda masing-masing. But, use your common sense, please....

Btw, kalau saya boleh sekedar bertanya kepada ibu-ibu, apa kira-kira pendapat ibu-ibu bila suaminya kebetulan adalah seorang yang ketagihan judi lagi dan mabuk lagi? Atau kalau boleh, saya ingin pula bertanya kepada para mertua, apa pendapat Anda bila punya menantu yang semacam itu? Sedih, bahagia, kecewa, jingkrak-jingkrak riang gembira? Silakan cek perasaan Anda masing-masing lagi.

Hmmm.. kebetulan saya punya jawabannya, tetapi ini pun bukan pendapat saya, sekedar cerita lagi juga. Saya pernah tahu seorang suami yang  bertabiat begitu, ketagihan mabuk dan judi tiap malam bersama teman-temannya. Baru pulang ke rumah saat dini hari. Istrinya seringkali ngambek dan menyanyikan lagu Betharia Sonata yang satu ini... "pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku..." Yang pria dari luar Yogya dan mereka tinggal di sana. Bila sedang ngambek yang perempuan minggat tanpa pamit ke rumah ortunya di Yogya. Dan mereka sekarang sudah bercerai. Benar-benar pulang ke ayah dan ibunya. So, use our common sense, please....

27 Oktober 2010.