Sunday, May 12, 2013

Natal, Hari Raya Bangsa Iran

Oleh: HelmiJuni



Setiap hendak pergantian tahun, sudah lazim bagi kita menemui berbagai poster dan kartu ucapan “Selamat Hari Natal dan Tahun baru”. Dan setiap tanggal 25 Desember umat Kristen di berbagai penjuru dunia merayakan hari ini sebagai hari kelahiran Yesus Kristus. Tapi, benarkah Yesus memang lahir pada tanggal tersebut? Jawabannya ternyata adalah tidak. Yesus tidak lahir pada tanggal 25 Desember. Tanggal lahir Yesus memang tidak pernah diketahui. Bahkan, dengan meninjau kembali kejadian-kejadian sejarah yang melingkupi saat kelahiran Yesus, para sejarawan modern sekarang memperkirakan  bahwa Yesus tidak lahir pada tahun 1 Masehi, melainkan sekitar tahun 6 atau 7 SM. Ini hanya bisa dikira-kira saja memang karena tidak bisa dipastikan tepatnya. Akan tetapi, sebagian besar sejarawan menyatakan Yesus lahir sebelum kematian Raja Herod the Great yang memerintah Judea pada tahun 37 sampai 4 SM. Meski demikian, ada juga sebagian sejarawan lainnya yang menyatakan Yesus lahir pada tahun 6 M, dengan mendasarkan kepada tahun sensus yang dilakukan oleh Gubernur Quirinius, semasa pemerintahan Raja Herod Antipas (4 sampai 40 M). Herod ini adalah nama dinasti yang berkuasa di Judea di bawah perlindungan Roma. Dan kedua pendapat tersebut sama-sama punya dasarnya. Jadi, tinggal terserah Anda saja mau pilih yang mana. Yang jelas, memang tidak persis tahun 1 Masehi karena tak ada dasar-dasar yang bisa dijadikan pegangan bahwa Yesus lahir pada tahun itu.

Penyusun kalender Masehi, yaitu Dionysius Exiguus, memang sedikit meleset perhitungannya. Karena rentang jarak yang sangat jauh, setara dengan jarak antara zaman kita dengan zaman Majapahit. Jadi, memang wajar saja bila Dionysius membuat kesalahan perhitungan. Kalender Masehi baru dususun pada tahun 525 Masehi, bukan tahun 1 Masehi. Setelah disusun pun tidak langsung diterima oleh orang Eropa. Masih perlu waktu 500 tahun lagi sebelum kalender baru ini mulai populer dan bisa diterima oleh seluruh negara Eropa. Sebelum itu orang masih memakai kalendar bikinan Julius Caesar, hasil rembukannya dengan Cleopatra. Sembari bermesraan, keduanya ternyata masih sempat juga berembuk soal kalender. Setelah itu disusunkan oleh seorang ahli astronomi dari Alexandria yang bernama Sosigenes. Caesar pun akhirnya menggunakan kalender matahari dari Mesir sebagai dasar perhitungannya karena memang lebih akurat ketimbang kalendar bulan yang dipergunakan di Roma saat itu. Perhitungan tahunnya dimulai pada awal berdirinya kota Roma. Agar sesuai dengan perputaran musim dan untuk mengoreksi kesalahan yang ada sebelumnya, maka tahun 46 SM diperpanjang oleh Caesar menjadi 445 hari. Orang-orang Roma menyebut tahun itu sebagai “tahun kebingungan”. Barulah setelah kesalahan itu dikoreksi, kalender pun dihitung normal 365 hari plus satu tahun kabisat setiap empat tahun sekali. Kalender matahari asal Mesir itulah yang kemudian dipakai sebagai dasar perhitungan kalender modern yang kita gunakan saat ini.

Peradaban antik yang pertama kali menyusun dan menggunakan kalender matahari memang hanyalah Mesir, sedangkan yang lainnya semula menggunakan kalender bulan, termasuk Roma. Sebagaimana kita ketahui, kalender bulan memang tidak bisa untuk menghitung pergantian musim dengan tepat karena mesti bergeser maju rata-rata 12 hari setiap tahunnya. Bisa kita lihat misalnya di kalender Hijriah. Atau juga kalender bulan lainnya. Tidak pernah sesuai dengan musim yang sebenarnya. Karena musim di bumi berganti sesuai dengan perputaran matahari, bukan bulan. Yang menyebabkan pergantian musim kan memang matahari yang silih berganti menyinari bagian bumi satu dan lainnya. Yang terkena banyak sinar mengalami musim panas, sedangkan yang terkena sedikit sinar mengalami musim dingin. Karena itulah Julius Caesar kemudian ikut memakai kalender Mesir tersebut sehingga bisa mengetahui pergantian musim dengan lebih tepat.

Karena kalender Masehi itu salah hitung, maka sebenarnya sekarang sudah tahun 2010 atau 2012 Masehi (note: artikel ini saya tulis tahun 2006, untuk tahun sekarang sesuaikan sendiri). Jadi, sia-sia juga sebenarnya perayaan besar-besaran menyambut milenium baru tahun 2000 dulu itu, dan juga beragam prediksi heboh untuk menyambut era milenium. Karena eh ternyata tahun itu sudah lewat dan tak ada kejadian heboh apa-apa. Atau bisa jadi milenium baru itu ternyata baru dimulai tahun ini (2006) bila Yesus itu ternyata lahir tahun 6 Masehi. Tanggal dan tahun kelahiran Yesus memang tak pernah diketahui dengan jelas sehingga memang sulit juga untuk menentukan kapan sebenarnya era milenium baru itu dimulai.

Jadi, jangan ada yang salah sangka bahwa kalender itu dibuat persis pada tahun 1 Masehi. Tidak demikian. Pada saat itu Yesus saja masih balita dan belum dikenal orang. Juga tidak mungkin dibuat pada masa awal agama Kristen. Mereka tak sempat memikirkan soal kalender karena untuk bertahan hidup saja agama Kristen saat itu sudah susah setengah mati. Para pengikutnya diburu, dipanggang dan dicincang tentara Romawi di mana-mana. Barulah setelah keadaannya cukup mapan orang Kristen mulai sempat memikirkan soal kalender. Akhirnya disusunlah oleh Dionysius Exiguus pada 525 tahun sesudah Masehi.

Bila kemudian Yesus tidak lahir pada 25 Desember, lalu siapa sebenarnya gerangan yang lahir pada tangal 25 Desember? Menurut sejarahnya, yang lahir pada tanggal itu bukanlah Yesus Kristus, tetapi seorang Dewa Matahari yang berasal dari Persia, bernama Dewa Mithra. Dewa Mithra ini adalah sekutu dari Ahura Mazda, sang dewa kebaikan di dalam melawan dewa kejahatan yang bernama Ahriman. Tetapi, bila kita runut lebih lanjut, sebenarnya usia Dewa Mithra ini sudah lebih tua lagi karena terdapat baik di kitab Veda maupun Avesta, bahkan juga pada prasasti bangsa Hittite di Anatolia. Jadi, Sang Dewa Mithra ini, bersama-sama dengan dewa-dewa yang lainnya, agaknya sudah disembah oleh leluhur bangsa India dan Persia saat mereka masih berupa satu bangsa.

Orang India dan Persia (termasuk juga orang Pakistan, Tajikistan, Afghanistan dan bangsa-bangsa kuno di Anatolia), memang berasal dari satu bangsa, yaitu bangsa Arya. Persia sebenarnya sebutan dari orang luar, kalau mereka sendiri sejak dulu menyebut dirinya bangsa Iran. Seperti kata Cina dan Tiongkok begitulah. Bangsa Arya semula bertanah air di sekitar Laut Hitam dan Asia Tengah. Mengembara ke sana kemari sambil menggembalakan ternak di sepanjang padang rumput yang terbentang luas di sana sebelum akhirnya turun ke Anatolia, India dan Persia. Tetapi, peranan dewa ini di India kemudian menjadi tak penting lagi dan digantikan oleh dewa-dewa yang lainnya seperti Wisnu atau Brahma. Meski demikian, Dewa Mithra ini masih tetap dianggap sebagai dewa kebajikan di India. Karena perilakunya yang baik budi itulah dewa tersebut lalu dianggap sebagai “teman” oleh sebagian rakyat di India.

Bila kita boleh sedikit menyinggung masalah bahasa, kata mitra (tanpa huruf h kalau di India) yang berarti teman itu kemudian dibawa oleh orang India ke Indonesia dan masuk di dalam kosa kata Indonesia untuk menggantikan kata partner. Maklumlah, kata para ahli Bahasa Indonesia, kata mitra ini adalah asli bahasa pribumi. Katanya, sih. Dan memang seringkali para ahli bahasa kita mengganti kosakata asing (bahasa Inggris) untuk digantikan dengan kosakata “pribumi” (bahasa India). Malah dahulu saat kisah Superman lagi populer, saya pernah membaca anjuran di majalah dan koran supaya anak-anak kita jangan menggemari kisah Superman saja, tetapi tengoklah juga kisah jagoan terbang pribumi dari negeri sendiri seperti misalnya Gatotkaca. Lho?? Kita ini sebenarnya orang Indonesia atau India, sih? Bingung juga saya jadinya. Tapi, sudahlah. Asal mereka jangan disuruh baca Kamasutra saja.

Atau barangkali nama negara kita perlu dikembalikan jadi Nusantara lagi dan bukan Indonesia (pulau-pulau India) biar tidak jadi rancu seperti ini. Meski demikian, tentunya perlu diteliti dahulu apakah kata Nusantara ini memang asli bahasa kita. Tapi, biarpun mungkin bahasa asing, bila ditinjau dari segi arti sebetulnya kata Nusantara lebih tepat untuk dipakai. Entah kenapa para founding fathers kita dulu menggunakan kata-kata asing (Yunani) dan bukan bahasa sendiri saja untuk menyebut nama negara kita. Itu pun kurang tepat pula bila ditinjau secara geografis karena seolah-olah membuat negara kita ini masih termasuk bagian dari anak benua India, padahal tentu saja bukan. Jaraknya juga jauh sekali dan penduduknya pun tidak ada persamaan ras sama sekali. Agaknya para founding fathers kita dulu turut larut dalam salah kaprah orang-orang Eropa yang menyebut kepulauan kita ini sebagai East Indies (India Timur). Nama itu digunakan orang Eropa untuk membedakannya dengan wilayah West Indies (India Barat), nama lama dari Kepulauan Karibia, yang penduduk pribuminya kemudian dengan salah kaprah juga disebut sebagai Indian (orang India). Barulah semenjak masa PD II nama Karibia itu dipakai untuk menggantikan West Indies. Jadi, dulu tentu saja tak ada kisah Pirate of the Caribbean, tetapi Pirate of the West Indies alias Bajak Laut dari India. :D

Kemudian kita kembali ke masalah Dewa Matahari yang tadi. Pada saat legiun Romawi masuk ke Timur Tengah, Mithraisme adalah agama rakyat yang sudah sangat populer di sana pada masa itu. Sudah menyebar hingga ke Anatolia, bahkan juga ke Syria dan Mesopotamia yang penduduknya mayoritas terdiri dari bangsa Semit. Para raja di Anatolia (Pontus dan Cappadocia) dan Persia (dinasti Arsacid) banyak yang menggunakan nama Mithradates (Anugerah Dewa Mithra) sebagai nama gelarnya, seperti misalnya Mithradates VI dari Pontus (132-63 SM) dan Mithradates I dari Persia (masa pemerintahan 171-138 SM). Para raja di Armenia juga banyak yang menggunakan nama tersebut. Armenia menganut Mithraisme hingga sekitar tahun 300 M sebelum kemudian beralih ke agama Kristen. Nama semacam ini memang lazim digunakan oleh para raja pada masa itu. Agaknya mereka ingin agar tahtanya mendapatkan berkah dari dewa matahari tersebut.

Setelah berhasil menguasai berbagai wilayah Timur Tengah, banyak tentara Romawi yang lalu menetap di sana. Para anggota legiun itu kemudian banyak pula yang menganut kepercayaan setempat dan ketika pulang membawa serta kepercayaan tersebut ke Roma. Mithraisme ini semula hanya dianut oleh kalangan tentara saja karena mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan jiwa kemiliteran Roma. Tetapi, karena ajaran-ajarannya yang dinilai menarik, maka akhirnya menyebar pula ke kalangan rakyat banyak.

Kelahiran Dewa Mithra ini diperingati setiap tanggal 25 Desember sebab pada tanggal itulah matahari yang semula seolah-olah akan sirna ditelan musim dingin yang membeku dan gelap malam yang semakin bertambah panjang, eh ternyata dia akhirnya mau nongol lagi. Jadi, ya sudah. Anggap saja itu sebagai tanggal lahirnya. Gampang, kan? Lha dewanya sendiri juga nggak pernah ada betulan. Cuma hasil karangan orang Persia dewe. Jadi, tanggal lahirnya pun akhirnya dikarang dewe juga.  Tinggal diotak-atik matuk saja. Rasa syukur atas berkenannya sang Dewa Matahari untuk mau nongol kembali itulah yang  kemudian dirayakan secara besar-besaran di seluruh wilayah Romawi pada masa itu. Rakyat berpesta-pora semalam suntuk untuk merayakannya. Apalagi semenjak zaman Kaisar Aurelian (215-275) yang menyatakan Dewa Matahari (Mithra) itu sebagai dewa pelindung dan penyatu kekaisaran Romawi, maka keyakinan yang diambil dari Persia semenjak abad ke-1 M itu pun semakin populer saja di kalangan rakyat Romawi. Boleh dikatakan Miithraisme adalah agama resmi rakyat Romawi pada saat itu. Lihat kutipan dari Britannica dan Encarta di bawah.

In ancient Indo-Iranian mythology, the god of light, whose cult spread from India in the east to as far west as Spain, Great Britain, and Germany. (See Mithraism.) The first written mention of the Vedic Mitra dates to 1400 BC. His worship spread to Persia and, after the defeat of the Persians by Alexander the Great, throughout the Hellenic world. In the 3rd and 4th centuries AD, the cult of Mithra, carried and supported by the soldiers of the Roman Empire, was the chief rival to the newly developing religion of Christianity. The Roman emperors Commodus and Julian were initiates of Mithraism, and in 307 Diocletian consecrated a temple on the Danube River to Mithra, “Protector of the Empire.” ("Mithra." Encyclopædia Britannica.  Chicago: Encyclopædia Britannica, 2010).

Mithraism, one of the major religions of the Roman Empire, the cult of Mithra, the ancient Persian god of light and wisdom. In the Avesta, the sacred Zoroastrian writings (see Zoroastrianism) of the ancient Persians, Mithra appears as the chief yazata (Avestan, “beneficent one”), or good spirit, and ruler of the world. It was a rival to Christianity in the Roman world.

Mithraism was similar to Christianity in many respects, for example, in the ideals of humility and brotherly love, baptism, the rite of communion, the use of holy water, the adoration of the shepherds at Mithra's birth, the adoption of Sundays and of December 25 (Mithra's birthday) as holy days, and the belief in the immortality of the soul, the last judenganment, and the resurrection. (“Mithraism”,  Microsoft  Encarta Encyclopedia 2002).


Jadi, perayaan pada tanggal 25 Desember itu memang tidaklah bermula semenjak awal adanya agama Kristen. Pada mulanya orang Kristen sendiri tak pernah merayakan Natal. Yesus, Paulus serta penyebar Kristen paling awal tak pernah menyuruh umat Kristen untuk merayakannya. Di Bibel juga tidak ada perintah untuk merayakan hari Natal. Tanggal lahir Yesus juga tak pernah disebut-sebut di Bible. Jadi, hari Natal itu memang semula adalah perayaan orang Persia yang kemudian diadaptasi oleh orang Kristen di Roma. Setiba di Eropa Utara, kemudian ditambah lagi bercampur dengan tradisi suku-suku Jerman pagan seperti misalnya menghias pohon cemara. Karena dianggap berbau pagan itulah, semenjak berkuasanya kaum Puritan pada tahun 1600-an di Inggris dan New England (negara-negara bagian Amerika yang paling awal) hari Natal dilarang untuk dirayakan karena dianggap sebagai perayaan orang kafir.

Akan tetapi, kaum Puritan yang berkuasa pada saat itu agaknya lupa bahwa mereka masih tetap pergi ke gereja pada hari Minggu (Sun-Day = Hari Matahari). Padahal, kita tahu bahwa Yesus tidak pernah pergi ke kuil pada hari Minggu, tetapi pada hari Sabbath (Sabtu) karena Yesus memang orang Yahudi. Paulus dan murid-murid lainnya juga tetap beribadah pada hari Sabtu. Padahal, Paulus masih hidup berpuluh tahun sesudah kebangkitan Yesus, yakni hingga tahun 60 Masehi. Tapi, Paulus tidak menjadikan hari kebangkitan itu sebagai acuan untuk hari ibadah. Paulus tetap beribadah dan berkhotbah tiap hari Sabtu, bukan hari Minggu. Lihat ayat-ayat Bibel di bawah.

Kisah 13: 42  Ketika Paulus dan Barnabas keluar, mereka diminta untuk berbicara tentang pokok itu pula pada hari Sabat berikutnya. 43.  Setelah selesai ibadah, banyak orang Yahudi dan penganut-penganut agama Yahudi yang takut akan Allah, mengikuti Paulus dan Barnabas; kedua rasul itu mengajar mereka dan menasihati supaya mereka tetap hidup di dalam kasih karunia Allah. 44.  Pada hari Sabat berikutnya datanglah hampir seluruh kota itu berkumpul untuk mendengar firman Allah.

Kisah 17:2  Seperti biasa Paulus masuk ke rumah ibadat itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia membicarakan dengan mereka bagian-bagian dari Kitab Suci.

Kisah 18:4  Dan setiap hari Sabat Paulus berbicara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani.

Ayat di atas saya kopi paste langsung dari Bibel digital. Jadi, isinya tepat dan akurat, tidak ada yang melenceng secuil pun. Boleh Anda cek di Bibel online juga, kan banyak di internet. Bila ada yang mencarinya di Bibel yang bahasa Inggris, Kisah Para Rasul ini dalam bahasa Inggrisnya disebut Kitab Act of Apostle atau disingkat Act saja. Jadi, bila kebangkitan Yesus dijadikan sebagai alasan ibadah hari Minggu ternyata tidak tepat juga. Karena Paulus dan umatnya yang hidup pada saat terjadinya kebangkitan dan masih hidup berpuluh tahun sesudahnya tetap beribadah pada hari Sabat. Paulus juga tidak pernah mengajarkan mengganti Sabat dengan Minggu.

Bahkan, berabad setelah itu, yakni hingga zaman Kaisar Konstantin baru naik tahta, mayoritas umat Kristen masih pergi ke Gereja hari pada hari Sabtu. Selama abad-abad permulaan agama Kristen, umat Kristen memang pergi ke gereja pada hari Sabtu, bukan hari Minggu. Kata Sunday sendiri adalah terjemahan dari bahasa Latin dies solis yang berarti sun’s day. Hampir semua bahasa Eropa juga menyebut hari Minggu dari hasil terjemahkan bahasa latin tersebut, yang berarti Hari Matahari. Kenapa disebut sebagai hari matahari (dies solis)? Karena pada hari itulah para penganut Dewa Mithra, dewa yang disembah orang Persia dan Romawi itu, pergi ke kuil untuk menyembah matahari. Hari  Matahari (Sun-Day) inilah yang akhirnya diadaptasi oleh agama Kristen. Hari baru ini lalu diresmikan dengan dekrit oleh Kaisar Konstantin. Hari Sabbath, hari suci Yesus yang asli, akhirnya pun ditinggalkan untuk selamanya. Perintah Tuhan di Bible akhirnya dikalahkan oleh dekrit seorang kaisar. Lihat From Sabbath to Sunday

Bukan hanya itu saja. Bahkan, lambang dewa matahari, yaitu lingkaran putih di atas kepala, kemudian juga turut dikenakan di atas kepala Yesus. Lambang matahari semacam ini baru ada pada lukisan-lukisan religius agama Kristen semenjak tahun 400-an. Lukisan para santo dan santa juga akhirnya turut diberi lingkaran semacam itu di atas kepalanya. Malah juga turut dipakai oleh Simon Templar di dalam film Return of the Saint. Lambang dewa matahari. Masih ingat nggak film seri yang dibintangi oleh Ian Ogilvy itu? Tipe wajah Ogilvy ini agaknya cocok juga untuk memerankan James Bond, tentunya kalau sekarang masih tetap ganteng dan belum keriput. Tapi, saya dulu jarang nonton ini, film orang dewasa sih, padahal saya dulu masih anak-anak. Apalagi diputarnya pada malam hari sewaktu kita sudah pada ngantuk. Listrik saat itu belum masuk ke kampung saya dan itu membuat orang cenderung cepat ngantuk. Tapi, saya masih ingat pembukaan film seri itu dengan gambar orang-orangan yang memakai lingkaran suci ala Ksatria Templar. Film seri detektif dengan tokoh detektif yang entah berasal dari biro mana. Tak pernah diceritakan. Untunglah lingkaran itu tak turut dipakai juga oleh the bear dalam film seri BJ and the Bear. :D

Entah karena tak tahu atau tak mau peduli, kaum Puritan pada masa itu tak turut mengganti hari Minggu dengan Sabbath, tetapi cukup melarang perayaan Natal saja. Untuk beberapa lamanya Natal tak pernah dirayakan di Inggris dan di banyak negara bagian Amerika Serikat. Barulah kemudian sekitar tahun 1800-an orang mulai banyak yang merayakannya lagi, bersamaan dengan terjadinya revolusi industri di Inggris yang tertarik untuk merayakan Natal antara lain untuk kepentingan komersial. Perayaan yang bermula untuk memperingati hari lahirnya Dewa Mithra, yakni Dewa Matahari bangsa Persia itu pun menjadi meriah kembali hingga saat ini.

Oya, Anda tahu tiara yang dipakai Paus? Itu juga berasal dari tradisi Persia. Silakan Anda cari tahu di kamus dan ensiklopedi tentang asal-usul kata tiara. Saya kutip salah satunya, yaitu dari Encarta. Boleh juga Anda cari di berbagai sumber lainnya.

Tiara (Latin, from Greek tiara, an ancient Persian headdress), in ecclesiastical usage, the triple crown worn by Roman Catholic popes. The tiara is a tall ovate headpiece that is topped by a small cross, encircled by three diadems, and has two pendants at the back. It symbolizes the pope’s authority over the church.  (“Tiara”,  Microsoft  Encarta Encyclopedia 2002).

Kalau di kamus Encarta disebutkan begini:

ti·ar·a noun
1. a small jeweled semicircular headdress worn by a woman on formal occasions
2. a headdress consisting of three coronets with an orb and a cross on top, worn by the pope or carried before him on ceremonial occasions
3. a high headdress worn by an ancient Persian king

Kenapa bisa demikian? Karena bukit Vatikan tempat bertahtanya Paus itu dulunya adalah letak berdirinya kuil besar Mithra, kuilnya agama dari Persia tersebut, dan banyak tradisinya turut diambil alih juga. Begitu kisahnya.

Lalu yang terakhir, apa hukum mengucapkan selamat Natal? Wah, saya tak akan memberikan fatwa apa-apa. Lha wong saya ini bukan mufti atau ulama, cuma sejarawan. Terserah yang melakoni saja. Mau mengucapkan silakan, tidak mengucapkan ya silakan. Tidak usah saling menyalahkan dan mencaci maki. Saya di sini cuma bermaksud menerangkan sejarah hari Natal saja. Yang jelas tanggal 25 Desember itu memang bukan hari kelahiran Yesus, tapi bermula dari suatu perayaan yang telah ada semenjak zaman kuno dulu di negeri Persia atau yang juga dikenal sebagai Iran. Karena itu tulisan ini berjudul "Natal, Hari Raya Bangsa Iran".

Malang, 6 Januari 2006