Oleh:
HelmiJuni
Mengenai
masalah yang kadang disebut “simbol-simbol Islam” seperti jilbab atau jenggot
saya kira kita harus bisa saling bertenggang rasa juga.Saya beri tanda kutip
karena ini sebenarnya bukan hanya orang Islam yang pakai, tetapi juga sebagian
umat yang lain.
Kalau
saya sendiri sebenarnya bersikap demokratis saja tentang masalah ini. Bila ada
yang mau pasang jenggot ya silakan, kalau tidak ya boleh juga. Saya pun
kadang-kadang suka menumbuhkan jenggot juga. Tetapi, memang lebih sering saya
cukur saja. Biar awet muda. Wong itu memang hanya sunah saja, kok. Tidak wajib.
Seperti juga shalat tarawih, shalat dhuha atau juga puasa Senin Kamis. Itu
semuanya hanya sunah saja. Dikerjakan dapat pahala, kalau tidak ya tidak
berdosa.
Ringkasnya,
jangan memaksa orang pakai jenggot, tapi sebaliknya jangan pula ada yang memaksa
orang mencukur jenggot. Bebas wae. Yang pakai jenggot itu bukan hanya mullah.
Para rabbi Yahudi juga berjenggot, demikian pula pendeta Ortodoks Russia.
Terserah selera dan pendapat masing-masing pihak. Seperti juga kita jangan
memaksa para biksu untuk gondrong. Mereka lebih suka gundul, kok. Bila para
biksu itu dipaksa gondrong ala Metallica mereka pasti akan marah-marah. Gundul
itu asyik, lho. Segar dan semilir bila ada angin sepoi-sepoi. Jadi, jangan ada
yang saling memaksakan kehendak karena itu sudah tidak demokratis
lagi.
Sedangkan
mengenai masalah jilbab, memang selama ini ada dua penafsiran yang berbeda.
Mengenai hal ini rasanya terserah sajalah kepada setiap orang mau menganut yang
mana. Mantapnya ikut mana, ya itu yang dianut. Kalau ada yang yakin bahwa itu
ditafsirkan sebagai berjilbab, maka Anda tentunya harus mengenakan jilbab. Bila
Anda ikut penafsiran yang lainnya, ya silakan juga. Asalkan pakaian Anda
tersebut tetap rapi dan sopan. Jangan lantas telanjang bulat pergi ke pasar.
Wah, kan yang lihat nanti senang. (Dan saya juga nanti ikut senang… Hus!) Dan
Anda nanti bisa dijowal-jawil sama orang sepasar. Kan bisa celaka Anda
nanti.
Ringkasnya
lagi, jangan ada yang memaksa orang pakai jilbab, tapi sebaliknya jangan pula
ada yang memaksa orang mencopot jilbab. Bebas saja. Terserah selera dan pendapat
masing-masing pihak. Jangan ada yang saling memaksakan kehendak karena itu sudah
tidak demokratis lagi. Kalau orang tidak pakai dihujat, orang pakai dihujat
juga, ya repot. Jadinya nanti saling menghujat, seperti yang masih sering
terjadi hingga saat ini.
Bila
Anda suka pakai celana jean jangan lantas menyuruh semua orang pakai jean dan
bilang celana lain itu haram. Sebaliknya, bila Anda tidak suka celana jean,
jangan lantas merazia orang yang pakai jean. Itu tidak
demokratis.
Kalau
kita mau telusur sebentar sejarah perbajuan di Indonesia, sebenarnya nilai-nilai
kepantasan dan kesopanan itu bisa berganti sepanjang zaman. Zaman dahulu, waktu
belum ada pengaruh impor, ya keadaan busana kita tak jauh beda seperti yang pada
di suku anak dalam (suku kubu misalnya) atau di Irian Jaya. Dan itu busana yang sopan pada masa itu. Setelah itu
dimulai zaman Hindu Budha. Ada pengaruh dari luar. Pakaian mulai tertutup, walau
cuma bagian bawahnya. Bagian atas, baik laki-laki maupun perempuan masih
telanjang. Anda bisa melihatnya di relief-relief candi. Saya pernah lihat juga
foto-foto di majalah National Geographic
yang meliput Bali pada sekitar tahun 1920. Ya begitu keadaannya. Gadis-gadis,
ibu-ibu, nenek-nenek pergi ke pura dengan telanjang dada. Pantaslah bila Antonio
Blanco tumon kerasan di sana. Pecicilan saban hari dia. Demikian pula tentunya keadaan pada zaman
Singosari dan Majapahit. Patung Kendedes (Pradnya Paramitha) yang ada di
Arjosari, Malang itu pun bertelanjang dada. Yah, jadi pingin piknik ke zaman itu
jadinya. hehehe....
Kemudian
tibalah zaman Islam. Orang yang semula hanya pakai jarik (sewek) atau celana
saja kemudian ditambah dengan kebaya (wanita) dan surjan (laki-laki). Bagi yang
kalangan santri biasanya ditambah dengan kerudung. Dan semenjak entah tahun
berapa, mungkin setelah tahun 1945, orang Bali juga ikut pakai kebaya (abaya),
ikut memakai busana Islami.
Jarik
dan kebaya ini agaknya bisa bertahan dipakai oleh masyarakat luas hanya hingga
zaman generasi nenek saya, setelah itu cuma menjadi pakaian adat yang dipakai
pada upacara atau acara khusus seperti mantenan misalnya. Generasi ibu saya
sudah memakai rok ala Barat. Setelah itu, mungkin sekitar akhir tahun 80-an,
mulai ada orang yang memakai kerudung lagi, yang sedikit dimodif bentuknya dan
dinamai jilbab. Dan entah kenapa, bila pemakaian kebaya dan kerudung pada zaman
dulu tak terlalu menimbulkan banyak kontroversi, maka kalau jilbab menimbulkan
banyak keributan. Kenapa kita tidak bebaskan saja orang untuk memakai sesuai dengan selera dan keyakinan
masing-masing? Kan terserah saja orang mau pakai apa, yang penting pantas dan
sopan. Itulah inti dari demokrasi.
Nah,
yang sering jadi salah kaprah lagi adalah pernyataan-pernyataan sebagian orang
bahwa jilbab atau kerudung itu busana Arab. Wah, tambah ngawur itu. Saya pernah
lihat foto-foto di National Geographic
zaman sebelum PD II, yang memperlihatkan gambar rakyat di Eropa Timur dan Rusia
yang memakai pakaian tradisional mereka, yang juga memakai kerudung. Sebagian
Eropa Barat zaman dulu juga begitu. Bahkan para suster di film Dolce Maria juga
memakai jilbab. Demikian pula Bunda Theresa. Betul kan? Tak kalah rapatnya
dengan jilbab yang dipakai ibu-ibu jamaah dibaan dan tahlilan. Padahal, tentu
saja Dolce Maria dan Bunda Theresa bukan
orang Arab. Apakah lantas hendak kita fatwakan atau bikin undang-undang yang
memerintahkan Bunda Theresa dan rekan-rekannya wajib copot jilbab? Jangan dong.
Hormatilah keyakinan mereka juga. Lihat juga pakaian yang dipakai pada film-film
Yesus atau Nabi Musa misalnya. Juga gambar-gambar Bunda Maria atau lady-lady
yang lainnya. Mereka semua pakai kerudung walau tentu juga mereka bukan orang
Arab.
Lalu
bagaimana kemudian busana asli orang Arab badui? Apakah memang berkerudung atau
berjilbab? Hmm.. kali ini Anda saya persilakan saja untuk melihat dan browsing
sendiri. Silakan saja lihat di wikipedia atau lainnya yang memperlihatkan gambar
busana orang Arab sebelum abad ke-20, yakni yang masih asli.
Jadi,
ringkasnya di sini adalah hormatilah keyakinan orang lain dan pendapat orang
lain. Silakan Anda semua memakai busana sesuai dengan keyakinan Anda
masing-masing. Jangan ada yang saling hujat menghujat. Mau pakai jenggot
silakan, tidak pakai ya silakan. Mau pakai kerudung silakan tidak pakai ya
silakan. Mau pakai jubah silakan tidak pakai ya monggo. Yang penting pakaian
yang kita pakai itu pantas dan sopan. Terserah kita sreg-nya pakai apa. Perkara
dalil-dalilnya, mana yang lebih benar? Yah, untuk masalah yang ini saya hanya
bisa bilang itu masalah khilafiyah. Bila diperdebatkan maka tak akan ada
habisnya.
Begitu
saja. Mudahan-mudahan kita bisa menghormati pendapat dan keyakinan tiap-tiap
orang. tak ada yang saling menghujat lagi hanya karena masalah jenggot atau
jilbab. Dan semua orang bisa tenang memakai pakaian sesuai pilihannya
masing-masing.
20
Oktober 2010