Oleh:
HelmiJuni
Setiap
hendak pergantian tahun, sudah lazim bagi kita menemui berbagai poster dan kartu
ucapan “Selamat Hari Natal dan Tahun baru”. Dan setiap tanggal 25 Desember umat
Kristen di berbagai penjuru dunia merayakan hari ini sebagai hari kelahiran
Yesus Kristus. Tapi, benarkah Yesus memang lahir pada tanggal tersebut?
Jawabannya ternyata adalah tidak. Yesus tidak lahir pada tanggal 25 Desember.
Tanggal lahir Yesus memang tidak pernah diketahui. Bahkan, dengan meninjau
kembali kejadian-kejadian sejarah yang melingkupi saat kelahiran Yesus, para
sejarawan modern sekarang memperkirakan bahwa Yesus tidak lahir pada tahun 1
Masehi, melainkan sekitar tahun 6 atau 7 SM. Ini hanya bisa dikira-kira saja
memang karena tidak bisa dipastikan tepatnya. Akan tetapi, sebagian besar
sejarawan menyatakan Yesus lahir sebelum kematian Raja Herod the Great yang
memerintah Judea pada tahun 37 sampai 4 SM. Meski demikian, ada juga sebagian
sejarawan lainnya yang menyatakan Yesus lahir pada tahun 6 M, dengan mendasarkan
kepada tahun sensus yang dilakukan oleh Gubernur Quirinius, semasa pemerintahan
Raja Herod Antipas (4 sampai 40 M). Herod ini adalah nama dinasti yang berkuasa
di Judea di bawah perlindungan Roma. Dan kedua pendapat tersebut sama-sama punya
dasarnya. Jadi, tinggal terserah Anda saja mau pilih yang mana. Yang jelas,
memang tidak persis tahun 1 Masehi karena tak ada dasar-dasar yang bisa
dijadikan pegangan bahwa Yesus lahir pada tahun itu.
Penyusun
kalender Masehi, yaitu Dionysius Exiguus, memang sedikit meleset perhitungannya.
Karena rentang jarak yang sangat jauh, setara dengan jarak antara zaman kita
dengan zaman Majapahit. Jadi, memang wajar saja bila Dionysius membuat kesalahan
perhitungan. Kalender Masehi baru dususun pada tahun 525 Masehi, bukan tahun 1
Masehi. Setelah disusun pun tidak langsung diterima oleh orang Eropa. Masih
perlu waktu 500 tahun lagi sebelum kalender baru ini mulai populer dan bisa
diterima oleh seluruh negara Eropa. Sebelum itu orang masih memakai kalendar
bikinan Julius Caesar, hasil rembukannya dengan Cleopatra. Sembari bermesraan,
keduanya ternyata masih sempat juga berembuk soal kalender. Setelah itu
disusunkan oleh seorang ahli astronomi dari Alexandria yang bernama Sosigenes.
Caesar pun akhirnya menggunakan kalender matahari dari Mesir sebagai dasar
perhitungannya karena memang lebih akurat ketimbang kalendar bulan yang
dipergunakan di Roma saat itu. Perhitungan tahunnya dimulai pada awal berdirinya
kota Roma. Agar sesuai dengan perputaran musim dan untuk mengoreksi kesalahan
yang ada sebelumnya, maka tahun 46 SM diperpanjang oleh Caesar menjadi 445 hari.
Orang-orang Roma menyebut tahun itu sebagai “tahun kebingungan”. Barulah setelah
kesalahan itu dikoreksi, kalender pun dihitung normal 365 hari plus satu tahun
kabisat setiap empat tahun sekali. Kalender matahari asal Mesir itulah yang
kemudian dipakai sebagai dasar perhitungan kalender modern yang kita gunakan
saat ini.
Peradaban
antik yang pertama kali menyusun dan menggunakan kalender matahari memang
hanyalah Mesir, sedangkan yang lainnya semula menggunakan kalender bulan,
termasuk Roma. Sebagaimana kita ketahui, kalender bulan memang tidak bisa untuk
menghitung pergantian musim dengan tepat karena mesti bergeser maju rata-rata 12
hari setiap tahunnya. Bisa kita lihat misalnya di kalender Hijriah. Atau juga
kalender bulan lainnya. Tidak pernah sesuai dengan musim yang sebenarnya. Karena
musim di bumi berganti sesuai dengan perputaran matahari, bukan bulan. Yang
menyebabkan pergantian musim kan memang matahari yang silih berganti menyinari
bagian bumi satu dan lainnya. Yang terkena banyak sinar mengalami musim panas,
sedangkan yang terkena sedikit sinar mengalami musim dingin. Karena itulah
Julius Caesar kemudian ikut memakai kalender Mesir tersebut sehingga bisa
mengetahui pergantian musim dengan lebih tepat.
Karena
kalender Masehi itu salah hitung, maka sebenarnya sekarang sudah tahun 2010 atau
2012 Masehi (note: artikel ini saya tulis tahun 2006, untuk tahun sekarang
sesuaikan sendiri). Jadi, sia-sia juga sebenarnya perayaan besar-besaran
menyambut milenium baru tahun 2000 dulu itu, dan juga beragam prediksi heboh
untuk menyambut era milenium. Karena eh ternyata tahun itu sudah lewat dan tak
ada kejadian heboh apa-apa. Atau bisa jadi milenium baru itu ternyata baru
dimulai tahun ini (2006) bila Yesus itu ternyata lahir tahun 6 Masehi. Tanggal
dan tahun kelahiran Yesus memang tak pernah diketahui dengan jelas sehingga
memang sulit juga untuk menentukan kapan sebenarnya era milenium baru itu
dimulai.
Jadi,
jangan ada yang salah sangka bahwa kalender itu dibuat persis pada tahun 1
Masehi. Tidak demikian. Pada saat itu Yesus saja masih balita dan belum dikenal
orang. Juga tidak mungkin dibuat pada masa awal agama Kristen. Mereka tak sempat
memikirkan soal kalender karena untuk bertahan hidup saja agama Kristen saat itu
sudah susah setengah mati. Para pengikutnya diburu, dipanggang dan dicincang
tentara Romawi di mana-mana. Barulah setelah keadaannya cukup mapan orang
Kristen mulai sempat memikirkan soal kalender. Akhirnya disusunlah oleh
Dionysius Exiguus pada 525 tahun sesudah Masehi.
Bila
kemudian Yesus tidak lahir pada 25 Desember, lalu siapa sebenarnya gerangan yang
lahir pada tangal 25 Desember? Menurut sejarahnya, yang lahir pada tanggal itu
bukanlah Yesus Kristus, tetapi seorang Dewa Matahari yang berasal dari Persia,
bernama Dewa Mithra. Dewa Mithra ini adalah sekutu dari Ahura Mazda, sang dewa
kebaikan di dalam melawan dewa kejahatan yang bernama Ahriman. Tetapi, bila kita
runut lebih lanjut, sebenarnya usia Dewa Mithra ini sudah lebih tua lagi karena
terdapat baik di kitab Veda maupun Avesta, bahkan juga pada prasasti bangsa
Hittite di Anatolia. Jadi, Sang Dewa Mithra ini, bersama-sama dengan dewa-dewa
yang lainnya, agaknya sudah disembah oleh leluhur bangsa India dan Persia saat
mereka masih berupa satu bangsa.
Orang
India dan Persia (termasuk juga orang Pakistan, Tajikistan, Afghanistan dan
bangsa-bangsa kuno di Anatolia), memang berasal dari satu bangsa, yaitu bangsa
Arya. Persia sebenarnya sebutan dari orang luar, kalau mereka sendiri sejak dulu
menyebut dirinya bangsa Iran. Seperti kata Cina dan Tiongkok begitulah. Bangsa
Arya semula bertanah air di sekitar Laut Hitam dan Asia Tengah. Mengembara ke
sana kemari sambil menggembalakan ternak di sepanjang padang rumput yang
terbentang luas di sana sebelum akhirnya turun ke Anatolia, India dan Persia.
Tetapi, peranan dewa ini di India kemudian menjadi tak penting lagi dan
digantikan oleh dewa-dewa yang lainnya seperti Wisnu atau Brahma. Meski
demikian, Dewa Mithra ini masih tetap dianggap sebagai dewa kebajikan di India.
Karena perilakunya yang baik budi itulah dewa tersebut lalu dianggap sebagai
“teman” oleh sebagian rakyat di India.
Bila
kita boleh sedikit menyinggung masalah bahasa, kata mitra (tanpa huruf
h kalau di India) yang berarti teman itu kemudian dibawa oleh orang India
ke Indonesia dan masuk di dalam kosa kata Indonesia untuk menggantikan kata
partner. Maklumlah, kata para ahli Bahasa Indonesia, kata mitra
ini adalah asli bahasa pribumi. Katanya, sih. Dan memang seringkali para
ahli bahasa kita mengganti kosakata asing (bahasa Inggris) untuk digantikan
dengan kosakata “pribumi” (bahasa India). Malah dahulu saat kisah Superman lagi
populer, saya pernah membaca anjuran di majalah dan koran supaya anak-anak kita
jangan menggemari kisah Superman saja, tetapi tengoklah juga kisah jagoan
terbang pribumi dari negeri sendiri seperti misalnya Gatotkaca. Lho?? Kita ini
sebenarnya orang Indonesia atau India, sih? Bingung juga saya jadinya. Tapi,
sudahlah. Asal mereka jangan disuruh baca Kamasutra saja.
Atau
barangkali nama negara kita perlu dikembalikan jadi Nusantara lagi dan bukan
Indonesia (pulau-pulau India) biar tidak jadi rancu seperti ini. Meski demikian,
tentunya perlu diteliti dahulu apakah kata Nusantara ini memang asli bahasa
kita. Tapi, biarpun mungkin bahasa asing, bila ditinjau dari segi arti
sebetulnya kata Nusantara lebih tepat untuk dipakai. Entah kenapa para
founding fathers kita dulu menggunakan kata-kata asing (Yunani) dan bukan
bahasa sendiri saja untuk menyebut nama negara kita. Itu pun kurang tepat pula
bila ditinjau secara geografis karena seolah-olah membuat negara kita ini masih
termasuk bagian dari anak benua India, padahal tentu saja bukan. Jaraknya juga
jauh sekali dan penduduknya pun tidak ada persamaan ras sama sekali. Agaknya
para founding fathers kita dulu turut larut dalam salah kaprah
orang-orang Eropa yang menyebut kepulauan kita ini sebagai East Indies (India
Timur). Nama itu digunakan orang Eropa untuk membedakannya dengan wilayah West
Indies (India Barat), nama lama dari Kepulauan Karibia, yang penduduk pribuminya
kemudian dengan salah kaprah juga disebut sebagai Indian (orang India). Barulah
semenjak masa PD II nama Karibia itu dipakai untuk menggantikan West Indies.
Jadi, dulu tentu saja tak ada kisah Pirate of the Caribbean, tetapi
Pirate of the West Indies alias Bajak Laut dari India.
:D
Kemudian
kita kembali ke masalah Dewa Matahari yang tadi. Pada saat legiun Romawi masuk
ke Timur Tengah, Mithraisme adalah agama rakyat yang sudah sangat populer di
sana pada masa itu. Sudah menyebar hingga ke Anatolia, bahkan juga ke Syria dan
Mesopotamia yang penduduknya mayoritas terdiri dari bangsa Semit. Para raja di
Anatolia (Pontus dan Cappadocia) dan Persia (dinasti Arsacid) banyak yang
menggunakan nama Mithradates (Anugerah Dewa Mithra) sebagai nama gelarnya,
seperti misalnya Mithradates VI dari Pontus (132-63 SM) dan Mithradates I dari
Persia (masa pemerintahan 171-138 SM). Para raja di Armenia juga banyak yang
menggunakan nama tersebut. Armenia menganut Mithraisme hingga sekitar tahun 300
M sebelum kemudian beralih ke agama Kristen. Nama semacam ini memang lazim
digunakan oleh para raja pada masa itu. Agaknya mereka ingin agar tahtanya
mendapatkan berkah dari dewa matahari tersebut.
Setelah
berhasil menguasai berbagai wilayah Timur Tengah, banyak tentara Romawi yang
lalu menetap di sana. Para anggota legiun itu kemudian banyak pula yang menganut
kepercayaan setempat dan ketika pulang membawa serta kepercayaan tersebut ke
Roma. Mithraisme ini semula hanya dianut oleh kalangan tentara saja karena
mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan jiwa kemiliteran Roma. Tetapi, karena
ajaran-ajarannya yang dinilai menarik, maka akhirnya menyebar pula ke kalangan
rakyat banyak.
Kelahiran
Dewa Mithra ini diperingati setiap tanggal 25 Desember sebab pada tanggal itulah
matahari yang semula seolah-olah akan sirna ditelan musim dingin yang membeku
dan gelap malam yang semakin bertambah panjang, eh ternyata dia akhirnya mau
nongol lagi. Jadi, ya sudah. Anggap saja itu sebagai tanggal lahirnya. Gampang,
kan? Lha dewanya sendiri juga nggak pernah ada betulan. Cuma hasil karangan
orang Persia dewe. Jadi, tanggal lahirnya pun akhirnya dikarang dewe juga.
Tinggal diotak-atik matuk saja. Rasa syukur atas berkenannya sang Dewa Matahari
untuk mau nongol kembali itulah yang kemudian dirayakan secara besar-besaran di
seluruh wilayah Romawi pada masa itu. Rakyat berpesta-pora semalam suntuk untuk
merayakannya. Apalagi semenjak zaman Kaisar Aurelian (215-275) yang menyatakan
Dewa Matahari (Mithra) itu sebagai dewa pelindung dan penyatu kekaisaran Romawi,
maka keyakinan yang diambil dari Persia semenjak abad ke-1 M itu pun semakin
populer saja di kalangan rakyat Romawi. Boleh dikatakan Miithraisme adalah agama
resmi rakyat Romawi pada saat itu. Lihat kutipan dari Britannica dan Encarta di
bawah.
In
ancient Indo-Iranian mythology, the god of light, whose cult spread from India
in the east to as far west as Spain, Great Britain, and Germany. (See Mithraism.)
The first written mention of the Vedic Mitra dates to 1400 BC. His worship
spread to Persia and, after the defeat of the Persians by Alexander the Great,
throughout the Hellenic world. In the 3rd and 4th centuries AD, the cult of
Mithra, carried and supported by the soldiers of the Roman Empire, was the chief
rival to the newly developing religion of Christianity. The Roman emperors Commodus
and Julian
were initiates of Mithraism, and in 307 Diocletian
consecrated a temple on the Danube River to Mithra, “Protector of the Empire.”
("Mithra." Encyclopædia Britannica.
Chicago: Encyclopædia Britannica, 2010).
Mithraism,
one of the major religions of the Roman Empire, the cult of Mithra, the ancient
Persian god of light and wisdom. In the Avesta, the sacred Zoroastrian writings
(see Zoroastrianism) of the ancient Persians, Mithra appears as the chief yazata
(Avestan, “beneficent one”), or good spirit, and ruler of the world. It was a
rival to Christianity in the Roman world.
Mithraism
was similar to Christianity in many respects, for example, in the ideals of
humility and brotherly love, baptism, the rite of communion, the use of holy
water, the adoration of the shepherds at Mithra's birth, the adoption of Sundays
and of December 25 (Mithra's birthday) as holy days, and the belief in the
immortality of the soul, the last judenganment, and the resurrection.
(“Mithraism”, Microsoft Encarta Encyclopedia
2002).
Jadi,
perayaan pada tanggal 25 Desember itu memang tidaklah bermula semenjak awal
adanya agama Kristen. Pada mulanya orang Kristen sendiri tak pernah merayakan
Natal. Yesus, Paulus serta penyebar Kristen paling awal tak pernah menyuruh umat
Kristen untuk merayakannya. Di Bibel juga tidak ada perintah untuk merayakan
hari Natal. Tanggal lahir Yesus juga tak pernah disebut-sebut di Bible. Jadi,
hari Natal itu memang semula adalah perayaan orang Persia yang kemudian
diadaptasi oleh orang Kristen di Roma. Setiba di Eropa Utara, kemudian ditambah
lagi bercampur dengan tradisi suku-suku Jerman pagan seperti misalnya menghias
pohon cemara. Karena dianggap berbau pagan itulah, semenjak berkuasanya kaum
Puritan pada tahun 1600-an di Inggris dan New England (negara-negara bagian
Amerika yang paling awal) hari Natal dilarang untuk dirayakan karena dianggap
sebagai perayaan orang kafir.
Akan
tetapi, kaum Puritan yang berkuasa pada saat itu agaknya lupa bahwa mereka masih
tetap pergi ke gereja pada hari Minggu (Sun-Day = Hari Matahari). Padahal, kita
tahu bahwa Yesus tidak pernah pergi ke kuil pada hari Minggu, tetapi pada hari
Sabbath (Sabtu) karena Yesus memang orang Yahudi. Paulus dan murid-murid lainnya
juga tetap beribadah pada hari Sabtu. Padahal, Paulus masih hidup berpuluh tahun
sesudah kebangkitan Yesus, yakni hingga tahun 60 Masehi. Tapi, Paulus tidak
menjadikan hari kebangkitan itu sebagai acuan untuk hari ibadah. Paulus tetap
beribadah dan berkhotbah tiap hari Sabtu, bukan hari Minggu. Lihat ayat-ayat
Bibel di bawah.
Kisah
13: 42 Ketika Paulus dan Barnabas
keluar, mereka diminta untuk berbicara tentang pokok itu pula pada hari Sabat
berikutnya. 43. Setelah selesai ibadah,
banyak orang Yahudi dan penganut-penganut agama Yahudi yang takut akan Allah,
mengikuti Paulus dan Barnabas; kedua rasul itu mengajar mereka dan menasihati
supaya mereka tetap hidup di dalam kasih karunia Allah. 44. Pada hari Sabat berikutnya datanglah hampir
seluruh kota itu berkumpul untuk mendengar firman Allah.
Kisah
17:2 Seperti biasa Paulus masuk ke rumah
ibadat itu. Tiga hari Sabat berturut-turut ia membicarakan dengan mereka
bagian-bagian dari Kitab Suci.
Kisah
18:4 Dan setiap hari Sabat Paulus
berbicara dalam rumah ibadat dan berusaha meyakinkan orang-orang Yahudi dan
orang-orang Yunani.
Ayat
di atas saya kopi paste langsung dari Bibel digital. Jadi, isinya tepat dan
akurat, tidak ada yang melenceng secuil pun. Boleh Anda cek di Bibel online
juga, kan banyak di internet. Bila ada yang mencarinya di Bibel yang bahasa
Inggris, Kisah Para Rasul ini dalam bahasa Inggrisnya disebut Kitab Act of
Apostle atau disingkat Act saja. Jadi, bila kebangkitan Yesus dijadikan sebagai
alasan ibadah hari Minggu ternyata tidak tepat juga. Karena Paulus dan umatnya
yang hidup pada saat terjadinya kebangkitan dan masih hidup berpuluh tahun
sesudahnya tetap beribadah pada hari Sabat. Paulus juga tidak pernah mengajarkan
mengganti Sabat dengan Minggu.
Bahkan,
berabad setelah itu, yakni hingga zaman Kaisar Konstantin baru naik tahta,
mayoritas umat Kristen masih pergi ke Gereja hari pada hari Sabtu. Selama
abad-abad permulaan agama Kristen, umat Kristen memang pergi ke gereja pada hari
Sabtu, bukan hari Minggu. Kata Sunday sendiri adalah
terjemahan dari bahasa Latin dies solis yang berarti sun’s day.
Hampir semua bahasa Eropa juga menyebut hari Minggu dari hasil terjemahkan
bahasa latin tersebut, yang berarti Hari Matahari. Kenapa disebut sebagai hari
matahari (dies solis)? Karena pada hari itulah para penganut Dewa Mithra,
dewa yang disembah orang Persia dan Romawi itu, pergi ke kuil untuk menyembah
matahari. Hari Matahari (Sun-Day) inilah yang akhirnya diadaptasi oleh agama
Kristen. Hari baru ini lalu diresmikan dengan dekrit oleh Kaisar Konstantin.
Hari Sabbath, hari suci Yesus yang asli, akhirnya pun ditinggalkan untuk
selamanya. Perintah Tuhan di Bible akhirnya dikalahkan oleh dekrit seorang
kaisar. Lihat From Sabbath to Sunday
Bukan
hanya itu saja. Bahkan, lambang dewa matahari, yaitu lingkaran putih di atas
kepala, kemudian juga turut dikenakan di atas kepala Yesus. Lambang matahari
semacam ini baru ada pada lukisan-lukisan religius agama Kristen semenjak tahun
400-an. Lukisan para santo dan santa juga akhirnya turut diberi lingkaran
semacam itu di atas kepalanya. Malah juga turut dipakai oleh Simon Templar di
dalam film Return of the Saint. Lambang dewa matahari. Masih ingat nggak
film seri yang dibintangi oleh Ian Ogilvy itu? Tipe wajah Ogilvy ini agaknya
cocok juga untuk memerankan James Bond, tentunya kalau sekarang masih tetap
ganteng dan belum keriput. Tapi, saya dulu jarang nonton ini, film orang dewasa
sih, padahal saya dulu masih anak-anak. Apalagi diputarnya pada malam hari
sewaktu kita sudah pada ngantuk. Listrik saat itu belum masuk ke kampung saya
dan itu membuat orang cenderung cepat ngantuk. Tapi, saya masih ingat pembukaan
film seri itu dengan gambar orang-orangan yang memakai lingkaran suci ala
Ksatria Templar. Film seri detektif dengan tokoh detektif yang entah berasal
dari biro mana. Tak pernah diceritakan. Untunglah lingkaran itu tak turut
dipakai juga oleh the bear dalam film seri BJ and the Bear. :D
Entah
karena tak tahu atau tak mau peduli, kaum Puritan pada masa itu tak turut
mengganti hari Minggu dengan Sabbath, tetapi cukup melarang perayaan Natal saja.
Untuk beberapa lamanya Natal tak pernah dirayakan di Inggris dan di banyak
negara bagian Amerika Serikat. Barulah kemudian sekitar tahun 1800-an orang
mulai banyak yang merayakannya lagi, bersamaan dengan terjadinya revolusi
industri di Inggris yang tertarik untuk merayakan Natal antara lain untuk
kepentingan komersial. Perayaan yang bermula untuk memperingati hari lahirnya
Dewa Mithra, yakni Dewa Matahari bangsa Persia itu pun menjadi meriah kembali
hingga saat ini.
Oya,
Anda tahu tiara yang dipakai Paus? Itu juga berasal dari tradisi Persia. Silakan
Anda cari tahu di kamus dan ensiklopedi tentang asal-usul kata tiara. Saya kutip
salah satunya, yaitu dari Encarta. Boleh juga Anda cari di berbagai sumber
lainnya.
Tiara
(Latin, from Greek tiara, an ancient Persian headdress), in ecclesiastical
usage, the triple crown worn by Roman Catholic popes. The tiara is a tall ovate
headpiece that is topped by a small cross, encircled by three diadems, and has
two pendants at the back. It symbolizes the pope’s authority over the
church. (“Tiara”, Microsoft
Encarta Encyclopedia 2002).
Kalau
di kamus Encarta disebutkan begini:
ti·ar·a
noun
1. a small jeweled semicircular headdress worn by a woman on formal occasions
1. a small jeweled semicircular headdress worn by a woman on formal occasions
2.
a headdress consisting of three coronets with an orb and a cross on top, worn by
the pope or carried before him on ceremonial occasions
3.
a high headdress worn by an ancient Persian king
Kenapa
bisa demikian? Karena bukit Vatikan tempat bertahtanya Paus itu dulunya adalah
letak berdirinya kuil besar Mithra, kuilnya agama dari Persia tersebut, dan
banyak tradisinya turut diambil alih juga. Begitu
kisahnya.
Lalu yang terakhir, apa hukum mengucapkan selamat Natal? Wah, saya tak akan memberikan fatwa apa-apa. Lha wong saya ini bukan mufti atau ulama, cuma sejarawan. Terserah yang melakoni saja. Mau mengucapkan silakan, tidak mengucapkan ya silakan. Tidak usah saling menyalahkan dan mencaci maki. Saya di sini cuma bermaksud menerangkan sejarah hari Natal saja. Yang jelas tanggal 25 Desember itu memang bukan hari kelahiran Yesus, tapi bermula dari suatu perayaan yang telah ada semenjak zaman kuno dulu di negeri Persia atau yang juga dikenal sebagai Iran. Karena itu tulisan ini berjudul "Natal, Hari Raya Bangsa Iran".
Malang, 6 Januari 2006
Lalu yang terakhir, apa hukum mengucapkan selamat Natal? Wah, saya tak akan memberikan fatwa apa-apa. Lha wong saya ini bukan mufti atau ulama, cuma sejarawan. Terserah yang melakoni saja. Mau mengucapkan silakan, tidak mengucapkan ya silakan. Tidak usah saling menyalahkan dan mencaci maki. Saya di sini cuma bermaksud menerangkan sejarah hari Natal saja. Yang jelas tanggal 25 Desember itu memang bukan hari kelahiran Yesus, tapi bermula dari suatu perayaan yang telah ada semenjak zaman kuno dulu di negeri Persia atau yang juga dikenal sebagai Iran. Karena itu tulisan ini berjudul "Natal, Hari Raya Bangsa Iran".
Malang, 6 Januari 2006