Oleh:
Helmi Junaidi
Boleh saya bertanya sedikit? Bukan SARA tapi fakta.
1. Bisakah orang pribumi menjadi eksekutif dan direktur di
perusahaan-perusahaan milik pengusaha Cina? 2. Apakah gaji pegawai pribumi dan cina
sama di perusahaan-perusahaan tersebut untuk jabatan dengan level yang sama?
Well, sedihnya jawaban untuk kedua hal diatas adalah tidak.
Pegawai pribumi takkan pernah bisa menjadi direktur dan gaji mereka juga lebih
rendah. Ada diskriminasi jabatan dan gaji terhadap pegawai pribumi. Boleh cek.
Jadi, saudara-saudara, diskriminasi memang dilakukan oleh kedua pihak.
Orang-orang Cina bukan selalu jadi korban disini, tapi juga menjadi pelaku yang
antusias. Saya bahkan pernah membaca di koran bahwa di lingkungan pergaulan sesama Cina, mereka juga umumnya memberi
julukan-julukan yang buruk untuk menyebut pribumi, termasuk dengan julukan beragam hewan di bonbin. Etnis Cina juga umumnya menganggap pribumi sebagai
manusia yang lebih rendah derajatnya. Ini perilaku yang umum dan merata. Betul
bukan? Jadi, penghentian diskriminasi
memang harus dilakukan kedua pihak, bukan cuma sepihak. Karena pelakunya memang
kedua pihak.
Penyebab hal ini sejarahnya bisa dirunut hingga
zaman Belanda yang menempatkan pribumi di strata paling rendah. Warga kelas
satu adalah orang Eropa. Warga kelas dua adalah etnis Cina. Pribumi kelas
terakhir. Begitu pembagian kelas oleh Belanda. Dan sikap merendahkan pribumi
tersebut ternyata masih bertahan hingga kini. Secara umum tentu saja. Kalau
secara khusus sikap orang bisa berbeda-beda. Ada juga yang sudah membaur dan
menganggap sederajat. Saya tidak bicara SARA, tapi fakta yang ada di masyarakat
memang begitu. Jadi, bila ingin memperbaiki, maka harus dilakukan kedua pihak,
tidak sepihak
Keadaan ini bisa berbeda-beda pada suatu daerah.
Kalau di Yogya umumnya sudah membaur. Entah bagaimana sejarahnya. Hampir tak
ada perbedaan pri dan non pri di Yogya. Apakah karena Yogya bukan kota
industri, tak ada hubungan majikan vs buruh sehingga pembauran bisa terjadi
dengan mudah setelah Belanda pergi? Atau karena faktor-faktor lain? Tapi,
memang tak ada perusahaan-perusahaan besar milik pengusaha Cina di Yogya.
Toko-toko juga umumnya dimiliki pribumi. Sangat berbeda dengan daerah-daerah
lain, termasuk Jakarta dan Malang.
Jadi, kemungkinan besar karena adanya hubungan
majikan versus buruh yang membuat hubungan tetap buruk di hampir semua daerah
lainnya. Kita tahu, walau sesama
kulit putih pun, hubungan majikan vs buruh selalu buruk. Termasuk di Amerika
dan Eropa. Kemungkinan besar hal itu yang membuat kondisi di Yogya berbeda
dengan daerah-daerah lain, karena faktor sosial dan ekonomi pri dan non pri di Yogya yang
tak jauh berbeda. Sialnya, kebijakan pemerintah Orba hingga pemerintahan yang
sekarang bukannya memperbaiki kesenjangan tersebut, malah semakin
memperparahnya. Akibatnya hubungan pri dan non pri pun tetap buruk atau malah
semakin buruk. Inilah yang mesti kita perbaiki dengan memperhatikan akar
permasalahannya.