Oleh:
Helmi Junaidi
Sekitar
dua minggu yang lalu (tulisan ini saya buat tgl. 5-7 November 2002), sewaktu
saya berjalan-jalan melihat pameran komputer di Graha Saba, kebetulan di luar
gedung pameran ada orang yang berjualan buku-buku dan VCD. Dan di antaranya ada
beberapa VCD dari Harun Yahya. Karena saya waktu itu hanya bermaksud
berjalan-jalan, maka saya hanya membawa uang secukupnya saja, sekedar untuk
nanti pulangnya bisa mampir ke warung makan siang. Dan rencananya saya besoknya
saja balik lagi untuk membeli satu atau dua VCD. Sialnya, besoknya ternyata
pedagangnya lagi tak jualan. Sebenarnya ada juga pedagang yang lainnya, tetapi
koleksi yang dia punya tak cukup lengkap dan VCD yang saya cari agaknya sudah
terjual. Besoknya mau balik lagi juga sudah malas. Jarak UGM dari tempat saya
kan lumayan juga. Apalagi, cuaca mulai sering mendung saja. Jadi, terpaksa saya
besoknya pergi ke warnet terdekat saja. Untunglah, ternyata koleksi di internet
cukup lengkap juga walau memang hanya versi cetaknya saja. Tapi, yang penting
saya bisa tahu juga pendapat Harun Yahya tentang evolusi dari karyanya yang
asli. Perkara VCD-nya itu kan nanti bisa menyusul saja. Yang penting saya bisa
tahu juga pendapatnya. Terlebih lagi, untuk yang versi bahasa Inggris
buku-bukunya bisa di-download dengan gratis. Saya pindah hasil download ke
disket dan sebagian saya print di rumah.
Sebenarnya
sudah agak lama juga saya mendengar nama pena ini, tetapi memang baru setelah
melihat beberapa keterangan pada sampul beberapa VCD tersebut, saya lalu ingin
mempelajarinya lebih lanjut. Setelah saya kemudian membaca buku-buku tersebut,
ternyata banyak sekali pendapat mereka yang agaknya terinspirasi oleh Henry
Morris, pendiri ICR (Institute for Creation Research) yang mengembangkan ide
“scientific creationism”. Dalam banyak hal pendapat mereka memang persis sama
karena memang dikutip dari sana. Seperti masalah Archaeopteryx atau
Australopitechus misalnya. Atau juga yang lainnya. Mungkin karena Harun Yahya
ini merasa seide dengan mereka. Tetapi, sebenarnya pendapat-pendapat mereka itu
sudah dibantah oleh para ilmuwan karena dasar-dasarnya memang sangat lemah. Ini
antara lain bisa Anda lihat pada buku Darwinism Defended karya Michael Ruse, Bab
14, “Creationism Considered”. Ada di perpustakaan wilayah Yogya kalau ada yang
mau lihat. Dan saya sempat baca juga di situs Harun Yahya bahwa pernah beberapa
kali diadakan pertemuan di Istambul oleh mereka dan salah satu tokoh yang
diundang adalah Henry Morris. Jadi, hubungan mereka memang cukup dekat juga.
Maklumlah, satu aliran. Dan memang ada juga salah satu situs internet yang
menjuluki Harun Yahya ini sebagai pelopor “Islamic Creationism”. Tentu, ini
bukan berarti saya tak percaya dengan penciptaan. Saya percaya juga. Sayangnya,
saya ini agaknya tak terlalu berminat dengan ide “scientific” mereka. Ogah, ah.
Saya lebih suka yang scientific betulan saja.
Entah
kenapa Harun Yahya dan para pendukungnya ini begitu getol memusuhi evolusi. Itu
mungkin karena mereka hanya mau melihat dari sisi buruknya saja. Padahal, kita
kan tidak bisa berpikir secara hitam putih begitu. Atau mungkin juga itu karena
Harun Yahya ini sangat terpengaruh pemikiran kaum fundamentalis Kristen di
Amerika. Saya dulu mengira bahwa gerakan “scientific” semacam ini hanya ada di
Amerika, tetapi ternyata sudah lama juga ada juga di Istambul dan sekarang
agaknya mulai merambah ke Indonesia dan dunia Islam lainnya. Dan kalau saya baca
di situs tersebut, alasan penentangan mereka terhadap evolusi, seperti biasanya,
adalah berbagai alasan yang bersifat “standar” juga.
Sebenarnya
ada beberapa hal yang ingin saya tanggapi. Dan saya kemarin sempat download
beberapa buah buku juga dari situs www.harunyahya.com. Akan tetapi, untuk
sementara masalah ini dulu saja yang saya tanggapi, yang saya anggap paling
penting. Salah satu keberatan mereka tentang teori evolusi, kalau saya baca
adalah bahwa mahluk hidup ini terjadi secara kebetulan, by chance, begitu
istilah sononya dan tidak melalui kun fayakun seperti yang diyakini selama ini.
Memang banyak ilmuwan di Barat sana meyakini demikian. Dan banyak di antara
mereka yang atheis. Kalau saya pribadi tetaplah masih mempercayai kun fayakun.
Akan tetapi, kun fayakun ini menurut saya bukanlah sim salabim. Tuhan menurut
saya bukanlah tukang sulap. Tuhan menciptakan alam ini melalui
hukum-hukum abadi yang telah berlaku di alam. Atau bagi Anda yang masih menentang teori ini karena alasan-alasan keagamaan, silakan
membaca sekali lagi pendapat Muhammad Abduh tentang masalah ini. Ada di kitab
Al-Maraghi. Dari situ kita bisa tahu bahwa salah satu pembaharu Islam paling
terkemuka dari abad kemarin ini pun ternyata tak berkeberatan dengan pendapat
bahwa Adam bukan manusia pertama. Sebenarnya, pembaharu Islam dari Mesir ini
pemikirannya memang banyak yang cenderung kepada rasionalisme. Sayangnya, hingga
sekarang hal itu agaknya tak begitu diketahui oleh kebanyakan umat Islam.
Semangat filsafat Asyari’isme yang anti-rasionalisme, yang telah membawa umat
Islam kepada abad kegelapan, masih tetap kuat bercokol di banyak kalangan hingga
sekarang ini. Rasanya perlu kita ketahui bahwa selama kita masih menganut paham
filsafat semacam itu, maka kita akan sulit beranjak dari abad
kegelapan.
Melanjutkan soal by chance tadi, keberatannya biasanya adalah bagaimana mungkin segala
sesuatu yang bersifat acak dan kebetulan itu bisa menghasilkan berbagai mahluk
hidup yang bersifat sangat kompleks? Bahkan menghasilkan mahluk secerdas
manusia? Memang, bila kita berbicara masalah by chance, maka seakan-akan yang
terbayang di pikiran kita adalah suatu proses yang sepenuhnya bersifat acak dan
buta. Dan memang rata-rata kaum evolusionis di Barat sana hingga sekarang memang
berpendapat demikian, seperti yang antara lain diwakili oleh Richard Dawkins di
dalam bukunya yang cukup terkenal, yaitu The Blind Watchmaker. Akan tetapi, saya
tidak menyetujui pendapat seperti itu. Dan saya punya alasan yang cukup kuat
juga. Oleh karena itu, rasanya pendapat saya di bawah nanti bisa Anda
pertimbangkan juga. Ini masalah yang cukup penting. Boleh Anda nanti membacanya
ulang lebih dari sekali. Baiklah, silakan kemudian membaca
uraian berikut ini.
Proses
evolusi, sekilas memang akan terkesan demikian, buta dan acak. Sebenarnya tidak
demikian. Bila kita mau melihat secara lebih dekat dan mendalam lagi, maka
proses evolusi itu sebenarnya adalah suatu proses yang berjalan menurut aturan
hukum alam yang senantiasa bersifat tetap, pasti, teratur dan tak berubah. Bukan
suatu proses yang buta dan kacau. Bukan sekedar proses yang hanya bersifat by
chance. Ada hukum-hukumnya yang bersifat tetap juga. Dalam hal ini, hukum alam
yang mengatur proses evolusi itu adalah suatu hukum yang menetapkan bahwa:
Evolusi itu adalah suatu proses yang senantiasa bersifat PROGRESIF. Begitu
rumusnya. Tidak bersifat kacau. Tidak bersifat “asal evolusi”, pokoknya berubah.
Tidak demikian.
Sepanjang
sejarah evolusi mahluk hidup, yang kita temui memang adalah terjadinya suatu
progresi. (Lihat pendapat Lamarck mengenai masalah progresi ini di artikel
“Teori Evolusi dan Pengaruhnya”). Karena proses evolusi ini bersifat progresif,
maka pada akhirnya bisa menghasilkan sesuatu yang bersifat terbaik pula, suatu
jenis mahluk hidup yang bersifat ahsani takwim. Kata progress, bila kita lihat
di kamus Oxford berarti: advance or development toward completion, betterment,
etc; improvement. Kita bisa melihat bahwa bermula dari protozoa lalu ber-evolusi
menjadi ikan purba, menjadi amphibi, lalu menjadi reptil, lalu menjadi mamalia.
Pada akhirnya lahirlah manusia, sang ahsani takwim, puncak dari segala proses
progresi tersebut. Atau dalam skala yang lebih kecil dan bisa kita lihat secara
lebih jelas, kita bisa memperhatikan proses evolusi bangsa hominid secara
khusus. Semuanya menunjukkan adanya suatu progresi. Dan mekanisme yang mengatur
adanya progresi ini biasanya kita sebut sebagai seleksi alam (natural
selection). Proses seleksi alam ini, sebagaimana kita ketahui, selalu pada
akhirnya menghadirkan mereka yang paling baik, paling fit dan paling durable.
Survival of the fittest. Senantiasa menghadirkan suatu progresi. Kita tidak
pernah misalnya menemui Homo erectus ber-evolusi menjadi Neandertal, lantas
setelah itu menjadi Homo erectus lagi, lalu berubah menjadi Homo sapiens, dan
setelah itu berubah menjadi Australopithecus lagi dan setelah itu berubah lagi
menjadi ikan atau reptil. Tidak pernah terjadi demikian. Karena segalanya memang
telah berjalan menurut hukum alam yang bersifat tetap, dan dalam hal ini
senantiasa bersifat progresif. Bila dilihat sekilas saja memang proses evolusi
itu terlihat seperti berjalan acak dan buta, tetapi bila kita mau mengamati
secara lebih mendalam lagi, pada dasarnya semuanya itu berjalan menurut aturan
hukum alam yang bersifat rapi, tetap dan pasti. Senantiasa bersifat progresif
dan mengarah menuju kemajuan. Dan proses makhluk hidup menuju kesempurnaan
adalah dengan cara semacam ini.
Bila
kita teliti secara kasus per kasus memang akan terdapat beberapa hal yang
bersifat kurang progresif, seperti terjadinya stagnasi selama ratusan ribu atau
malah jutaan tahun pada beberapa jenis spesies, adanya fosil hidup atau mungkin
juga beberapa hal yang sekilas terkesan seperti mengalami degradasi. Tetapi, hal
ini sebenarnya lebih disebabkan bahwa tingkatan dan proses evolusi itu sangat
bervariasi pada setiap makhluk hidup. Proses evolusi itu sangat tergantung
kepada lingkungan yang ditempati mereka masing-masing. Tergantung tuntutan
keadaan dan lingkungan yang mereka hadapi. (Lihat artikel “Gradualisme atau
Punctuated Equilibria” di website saya). Hanya saja, yang jelas semua jenis
mahluk hidup yang ada dan survive hingga sekarang, semuanya saja, lebih durable
dan lebih fit ketimbang jenis yang ada sebelumnya. Kalau tidak tentunya mereka
sudah lama punah. Dan walau pada proses evolusi masing-masing mahluk hidup itu
memang terdapat berbagai tingkatan dan variasi, secara umum evolusi itu tetaplah
suatu proses yang bersifat progresif. Perubahan dari protozoa menjadi mamalia
adalah suatu progresi, bukan? Terlebih lagi bila itu menyangkut evolusi hominid
selama sekitar lima atau empat juta tahun terakhir. Kita bisa dengan jelas
melihat proses progresi tersebut. Kalau menyangkut evolusi manusia ini malah
bersifat “terlalu progresif” barangkali. Dari Homo habilis yang tinggal di
savana dan mencari makan berbekal senjata tulang dan batu, sekarang sudah
menjadi Homo sapiens yang memasak nasi pakai rice cooker dan menyimpan daging di
dalam kulkas. Dan kita di sini agaknya memang perlu sedikit memberi penekanan
untuk melihat kepada proses evolusi manusia. Ini karena yang selama ini kita
persoalkan adalah evolusi yang menyangkut umat manusia dan leluhurnya (hominid).
Seandainya saja evolusi ini tidak melibatkan manusia tentunya tak akan terjadi
perdebatan berlarut-larut. Berlarut-larutnya masalah ini karena manusia
dilibatkan di dalam proses tersebut, bukan?
Kemudian
kita sekarang membahas apa yang tadi saya sebut seperti mengalami degradasi.
Memang, sepanjang sejarah evolusi, ada mahluk hidup yang kehilangan kemampuannya
dalam suatu hal. Bila dilihat sekilas ini memang terkesan seperti degradasi.
Akan tetapi,bila dia mengalami degradasi pada suatu hal, maka itu akan diimbangi
suatu progresi dalam hal yang lain. Bila tidak demikian yang terjadi, maka
spesies tersebut akan punah. Seperti misalnya saja kita umat manusia. Kita
memang kehilangan kemampuan untuk memanjat dan berloncatan di atas pohon seperti
nenek moyang kita. Malah banyak di antara kita yang takut ketinggian. Ini suatu
degradasi, bukan? Akan tetapi, di pihak lain, kita mengalami kemajuan yang luar
biasa di dalam masalah kecerdasan. Dan kita tahu bahwa kecerdasan otak ini jauh
lebih penting untuk survive ketimbang keahlian berjumpalitan di atas pohon.
Kemampuan memanjat pohon itu hanya sekedar berfungsi untuk bisa lari menghindari
singa dan hyena. Akan tetapi, dengan kemajuan kecerdasan otak kita malah mampu
berburu singa dan memakan hyena. Oleh karena itu, secara umum kita tetaplah
mengalami suatu progresi. Hal semacam ini terjadi juga pada berbagai mahluk
hidup yang lainnya. Mereka mungkin juga kehilangan kemampuan di dalam satu atau
dua hal. Akan tetapi, mereka mengalami kemajuan dan perkembangan dalam hal yang
lainnya. Dan secara keseluruhan, mereka tetap bisa disebut mengalami progresi.
Oleh karena itu, mereka tetap bisa survive, memenangkan persaingan atau malah
mendominasi suatu lingkungan tertentu. Jadi, mereka tentunya adalah jenis yang
terbaik di lingkungan tersebut. Dan suatu kemajuan itu tentunya diukur menurut
lingkungan yang mereka tinggali dan dengan siapa mereka bersaing. Juga tentunya
diukur berdasarkan seberapa jauh hal tersebut bermanfaat bagi survival suatu
jenis spesies. Kalau suatu perubahan itu malah membawa kepunahan, maka itu tentu
bukan kemajuan namanya.
Demikianlah
teori progressive watchmaker ini. Saya lebih menyukainya
ketimbang blind watchmaker. Teori yang rasanya cukup bisa Anda pertimbangkan
juga, bukan? Bila pun nanti ada yang tak setuju ya boleh-boleh saja. Dan saya
tetap terbuka untuk perbedaan pendapat. Akan tetapi, sepanjang yang saya
ketahui, protozoa ber-evolusi menjadi mamalia itu tetaplah merupakan suatu
progresi. Homo habilis menjadi Homo sapiens juga tetaplah suatu progresi. Kalau
ada yang bilang itu bukan progesi ya terserah saja, tetapi saya kira sebagian
besar dari Anda akan setuju dengan pendapat saya bahwa itu merupakan suatu
progresi. Oleh karena itu pula, saya berpendapat bahwa proses evolusi ini adalah
suatu proses yang di dalamnya berlaku hukum alam yang bersifat tetap, teratur
dan senantiasa mengarah kepada suatu progres atau kemajuan. Tidak bersifat acak
dan buta, lantas bisa maju dan mundur semau-maunya. Tidak demikian. Dan
mekanisme yang mengatur terjadinya kemajuan secara terus-menerus ini, seperti
yang saya sebutkan tadi, adalah suatu mekanisme yang bernama seleksi alam.
Seleksi itu pada dasarnya suatu mekanisme untuk memilih yang terbaik, bukan?
Seperti juga halnya pada setiap kompetisi olahraga, selalu juaranya adalah
mereka yang paling tinggi rekornya. Dan umat manusia ini tentunya adalah spesies
yang terbaik dan paling tinggi rekornya di kalangan bangsa hominid. Oleh karena
itu, ia bisa menjadi juara, tetap survive hingga sekarang dan mendominasi setiap
relung di muka bumi ini. Sementara itu, jenis hominid yang lainnya, yang kurang
baik dan kurang memuaskan rekornya, mereka sudah lama punah. Hanya jenis yang
terbaik yang bisa survive.
Jadi, penciptaan manusia itu memang bukanlah hasil suatu proses yang bersifat kebetulan dan awur-awuran. Tetapi, proses evolusi itu memang telah diatur sedemikian rupa melalui suatu mekanisme seleksi alam yang senantiasa memilih yang terbaik. Oleh karena itu, pada akhirnya proses ini bisa menghasilkan suatu jenis makhluk hidup yang terbaik pula, yang bersifat ahsani takwim. Dan tentunya juga menghasilkan beragam amazing creatures lainnya yang bersifat sangat kompleks dan benar-benar amazing juga. Tentu, yang saya maksudkan dengan kata “terbaik” tadi bukanlah terbaik yang bersifat absolut alias superman, superanimal atau pun superplant. Terbaik yang saya maksudkan di sini adalah bersifat relatif. Terbaik bila dibandingkan dengan para pendahulunya. Paling fit bila dibandingkan mahluk-mahluk yang telah punah sebelumnya. Dan kata ter, paling itu memang selalu menunjukkan adanya perbandingan, bukan? Ter bila dibandingkan dengan siapa, paling bila dibandingkan dengan yang mana? Tanpa adanya perbandingan, maka kata ter dan paling itu tidak akan ada artinya apa-apa. Bukankah demikian?
Jadi, penciptaan manusia itu memang bukanlah hasil suatu proses yang bersifat kebetulan dan awur-awuran. Tetapi, proses evolusi itu memang telah diatur sedemikian rupa melalui suatu mekanisme seleksi alam yang senantiasa memilih yang terbaik. Oleh karena itu, pada akhirnya proses ini bisa menghasilkan suatu jenis makhluk hidup yang terbaik pula, yang bersifat ahsani takwim. Dan tentunya juga menghasilkan beragam amazing creatures lainnya yang bersifat sangat kompleks dan benar-benar amazing juga. Tentu, yang saya maksudkan dengan kata “terbaik” tadi bukanlah terbaik yang bersifat absolut alias superman, superanimal atau pun superplant. Terbaik yang saya maksudkan di sini adalah bersifat relatif. Terbaik bila dibandingkan dengan para pendahulunya. Paling fit bila dibandingkan mahluk-mahluk yang telah punah sebelumnya. Dan kata ter, paling itu memang selalu menunjukkan adanya perbandingan, bukan? Ter bila dibandingkan dengan siapa, paling bila dibandingkan dengan yang mana? Tanpa adanya perbandingan, maka kata ter dan paling itu tidak akan ada artinya apa-apa. Bukankah demikian?
Tentu,
setelah membaca uraian di atas tadi kaum kreasionis pastilah akan kecewa berat
sebab ternyata berbagai keajaiban makhluk hidup yang ada di alam ini bukanlah
menunjukkan adanya suatu kreasi khusus (special creation), tetapi semua makhluk
hidup itu menjadi sedemikian menakjubkan karena mereka semuanya adalah hasil
terbaik dari seleksi alam yang berlangsung selama jutaan tahun. Jadi, foto
“jerapah nungging”, yang menjadi maskot kaum kreasionis selama ini dan mesti
terdapat di website mereka, lebih baik segera disingkirkan saja. Lebih baik
sekarang ini pemasang fotonya nungging sendiri saja. :D
Demikian
pula, setelah membaca pembahasan di atas tadi, maka kita sekarang rasanya boleh
mempertanyakan kebenaran teori Richard Dawkins tentang blind watchmaker karena
kita sekarang ini tentunya menjadi tahu bahwa proses evolusi itu ternyata punya
arah tertentu juga, yaitu senantiasa menuju progresi. Tidak bersifat buta dan
acak sebagaimana yang diyakini oleh Dawkins dan juga sebagian besar evolusionis
pada saat ini. Seleksi alam itulah yang telah memberikan arah progresi di dalam
proses evolusi seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini sehingga alam
akhirnya senantiasa menghadirkan jenis-jenis makhluk hidup yang semakin maju dan
kompleks pula. Jadi, kalau Tuhan menciptakan manusia dengan berfirman kun
fayakun, itu tidak berarti lantas manusia hadir dengan cara langsung sekejap
begitu saja. Tetapi, melalui proses yang bersifat alami. Melalui hukum-hukum
alam yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Allah sendiri. Dan Allah tidak akan
melanggar hukum yang telah ditetapkannya karena Allah bersifat Maha Menepati
Janji. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa waktu itu bersifat rfelatif, waktu
yang bagi Allah hanya sedetik, bagi manusia bisa berarti jutaan
tahun.
Dan
akhirnya, untuk menutup tulisan ini saya ingin mengutip apa kata Ibnu Rusyd:
“Sebenarnya, jika mereka yakin betul bahwa alam itu diciptakan oleh Allah,
niscaya mereka akan mengakui bahwa tidak ada bukti yang lebih baik akan wujud
Sang Pencipta selain hadirnya benda-benda yang teratur dengan rapi.” Atau kalau
boleh saya tambahi di sini, yaitu dengan adanya hukum-hukum alam yang senantiasa
bersifat teratur, tetap dan rapi.
Yogyakarta,
5- 7 November 2002.