Oleh:
Helmi Djunaidi
Ignota
nulla curatio morbid. Do not attempt to cure what you do not understand.
(Andrzej Lobaczewski)
Evil is no longer only a moral issue; it can now be analyzed and
understood scientifically. (Henry See)
Knowing
the true problem is 90% of the solution (Bill Evans)
Peristiwa
pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan beberapa bulan yang lalu sempat
selama beberapa minggu lamanya menyedot perhatian masyarakat Indonesia. Bahkan,
banyak pula yang rasa ingin tahunya tak bisa terpuaskan dengan hanya membaca
berita di koran atau menonton televisi. Banyak yang langsung berdatangan ingin melihat langsung di tempat
kejadian. Kalau
yang saya lakukan? Seperti biasanya, saya langsung mencari tambahan berita di
internet. Setelah selesai browsing berita tentang Ryan, lalu saya
lanjutkan dengan pendalaman, mencari tahu lebih lanjut berita-berita tentang
psikopat dari artikel-artikel yang berbahasa Inggris. Semula saya hanya menemui
berita-berita tentang Ted Bundy, Jeffrey Dahmer, Elizabeth Bathory dll, yakni
para psikopat yang melakukan apa yang disebut violent crime. Setelah
browsing lebih lanjut ternyata saya menemui artikel-artikel yang membahas
bahwa psikopat itu ternyata tak hanya berupa manusia seperti Bathory, Ted Bundy
atau Jeffrey Dahmer. Para psikopat itu ternyata banyak juga berkeliaran di
mana-mana, termasuk di perusahaan-perusahaan besar seperti yang dibahas oleh
Robert Hare dan Paul Babiak dalam bukunya Snakes In Suits: When
Psychopaths Go To Work. Setelah saya lanjutkan membaca lagi, ternyata
pula saya menemukan bahwa para psikopat itu banyak yang berkeliaran di panggung
politik dan dunia militer seperti yang dibahas oleh Andrzej Lobaczewski di dalam
bukunya Political
Ponerology. Dan masih banyak lagi karya-karya menarik baik berupa
buku maupun artikel yang membahas masalah psikopat. Daftar bacaan itu antara
lain bisa Anda lihat pada halaman resources
ini
atau bisa juga Anda cari sendiri artikel-artikel yang lainnya. Salah satunya
yang cukup menarik saya upload bersama tulisan ini.
Kita
semua tentunya kadangkala terlintas bertanya dalam hati orang macam apakah yang
bisa tega melakukan kekejaman dan kejahatan seperti yang dilakukan para pembunuh
berantai itu. Juga kekejaman seperti yang dilakukan oleh para pendeta Aztec dan
Maya, yang membelah dada manusia hidup-hidup dan mengambil jantungnya yang masih
berdenyut. Atau juga beragam ritual kejam yang dilakukan oleh para pendeta
berbagai suku-suku kuno lainnya, seperti misalnya menyembelih manusia di atas
altar, atau menyiksa para tawanan perang sebelum kemudian akhirnya membunuhnya
juga. Apa yang ada di kepala orang-orang semacam itu? Padahal, rata-rata orang
normal jangankan melakukannya, melihat saja sudah merasa ngeri dan banyak yang
tak sanggup melihat hal semacam itu, bahkan bila itu cuma sekedar film di
televisi yang kita tahu hanya tipuan kamera belaka. Sekali lagi, orang normal
takkan sanggup melihat kekejaman semacam itu bahkan walau dia sudah tahu dan
sepenuhnya sadar bahwa itu cuma tipuan kamera!
Berbagai
kekejaman semacam itu, dengan beragam bentuknya, tentu saja tak hanya terjadi
pada zaman kuno, tetapi masih tetap berlangsung hingga saat ini. Baik itu di
jalanan yang dilakukan para kriminal biasa maupun di lembaga-lembaga resmi
pemerintahan, seperti misalnya penyiksaan, bahkan pembunuhan di penjara-penjara
di seluruh negara di dunia, termasuk di Indonesia juga. Saya dulu pun sering
heran kenapa para pejabat pemerintahan, termasuk para presidennya, tak ada yang
peduli dengan hal itu, seolah-olah dianggap tidak ada. Tetap tersenyum dan
ketawa-ketawa di televisi sementara kejahatan semacam itu terjadi di sekitar
mereka. Saya bertanya-tanya apa yang mereka pikirkan dan rasakan saat mendengar
berita semacam itu. Kenapa kok mereka bisa bersikap tak peduli?
Berikut
ini kita akan mencoba membahas semua permasalahan itu. Semoga nanti bisa membuat
kita memahami kenapa segala kejahatan itu terjadi di muka bumi. Kenapa
bisa ada orang yang sanggup berbuat jahat dan keji kepada sesamanya, baik itu
kejahatan kerah putih maupun kerah biru, yang dilakukan di jalanan, di dunia
bisnis, di panggung politik maupun di lembaga militer. Kita
akan mencoba mencari penjelasannya dari sudut pandang ilmiah, bukan dari sudut
pandang tradisional yang menyatakan bahwa semua itu akibat adanya setan
gentayangan yang menggoda manusia. Mungkin sudah saatnya kita menafsirkan setan
yang ada di kitab-kitab suci itu bukan lagi hanya sebagai lelembut yang menggoda
manusia, tetapi juga sebagai manusia psikopat. Dan itu agaknya jauh lebih tepat.
Saya
dulu sempat secara sekilas membahas masalah ini dalam naskah buku saya yang
kedua sub-bab “masalah kejahatan dan watak manusia” yang saya tulis sekitar satu
dekade yang lalu, tepatnya sekitar tahun 1997 atau 1998. Saya waktu itu tak
bermaksud membahas masalah psikologi karena saya dulu memang tak terlalu
tertarik dengan psikologi dan tidak pernah membaca buku-buku yang berkaitan.
Oleh karena itu, saya tidak membahasnya secara lebih mendalam lagi. Akan tetapi,
pengamatan saya dulu itu agaknya sudah lumayan tepat juga, yakni memang manusia
itu terbagi dalam dua golongan sifat dasar semenjak lahirnya, ada yang
berkecenderungan baik dan ada yang berkecenderungan jahat. Meski demikian, saya
saat itu nampaknya membuat suatu kesalahan, yaitu masih merasa optimis bahwa
orang semua orang yang berkecenderungan jahat itu nanti bisa diperbaiki bila
tinggal di lingkungan yang baik.
Untuk
menyegarkan kembali ingatan Anda tentang tulisan saya yang dulu, berikut ini
kita kutip kembali.
Banyak
orang yang berpendapat bahwa penyebab kejahatan antara lain adalah masalah
ekonomi. Ini memang ada benarnya mengingat kebutuhan pangan adalah salah satu
kebutuhan pokok manusia. Di dalam Islam sendiri terdapat kelonggaran apabila
orang yang melakukan kejahatan itu karena terpaksa, terdesak oleh perut yang
lapar, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar. Tetapi, masalah ekonomi
agaknya bukanlah penjelasan satu-satunya karena tidak bisa menjelaskan kenapa
banyak orang miskin yang tetap jujur dan memilih berjualan di kaki lima atau
jadi tukang semir sepatu daripada melakukan kejahatan. Juga tidak bisa
menerangkan kenapa seorang pejabat yang hidupnya sudah sangat berkecukupan masih
suka korupsi atau kenapa seorang pengusaha yang sudah sangat kaya raya, tetapi
masih suka serakah dan menggusur harta milik orang lain yang jauh lebih miskin.
Juga kenapa seorang penjahat yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara tidak
juga merasa jera, padahal seandainya saja uang hasil kejahatannya itu
dikumpulkan mungkin ia sudah bisa hidup dengan makmur.
Untuk
menerangkan penyebab dari kejahatan selain yang disebabkan oleh kesulitan
ekonomi ini, maka kita di sini perlu untuk memahami watak manusia. Pada
hakikatnya, watak manusia itu terbagi atas dua golongan. Ada orang yang
berkecenderungan baik dan ada yang berkecenderungan jahat. Akan tetapi, dua jenis watak yang berbeda ini tidaklah bisa kita samakan
dengan warna hitam dan putih. Orang yang berkecenderungan baik juga ada
kecenderungan jahatnya walaupun kecil. Orang yang berkecenderungan jahat juga
mempunyai kecenderungan berbuat baik walaupun kecil juga. Faktor lingkungan akan
sangat berpengaruh di dalam pembentukan watak manusia. Bila dua orang yang
kecenderungan wataknya berbeda itu tinggal di suatu lingkungan yang baik, maka
orang yang berkecenderungan baik itu akan semakin terbentuk sifat baiknya,
sedangkan yang berkecenderungan jahat ada kemungkinan dia akan terpengaruh
lingkungannya sehingga menjadi menjadi orang baik, atau mungkin juga dia tetap
menjadi jahat. Sebaliknya, bila dua orang yang tersebut tinggal di lingkungan
yang buruk, maka yang berkecenderungan jahat akan semakin terbentuk sifat
jahatnya, sedangkan yang berkecenderungan baik ada kemungkinan dia akan
terpengaruh menjadi jahat atau tetap menjadi baik.
Setelah saya saat ini mempelajari tulisan-tulisan karya para ahli
psikologi yang sudah menekuni masalah ini selama berpuluh tahun, maka saya
mendapati bahwa memang ada orang yang berkecenderungan jahat semenjak dari
lahirnya, yakni karena faktor keturunan (genetika). Yang karena faktor keturunan
ini ternyata sudah tidak bisa diperbaiki lagi sifatnya. Hanya mereka yang karena
terpengaruh lingkungan saja yang bisa diperbaiki. Mereka yang sudah tidak bisa
diperbaiki lagi itu di dalam ilmu psikologi disebut sebagai psikopat.
Jumlahnya
sekitar 1 sampai 4 persen dari populasi manusia atau kalau menurut Lobaczewski
sekitar 6 persen. Walau secara persentasi jumlah mereka relatif sedikit, tetapi
mereka bertanggung jawab atas lebih dari 50 persen kejahatan yang terjadi di
muka bumi. Bukan hanya itu saja, mereka juga selalu berusaha mempengaruhi
lingkungannya (orang lain/masyarakat) untuk turut berbuat jahat, baik itu dengan
cara halus maupun paksaan. Akibatnya, dunia pun akhirnya selalu saja dipenuhi
dengan beragam kejahatan.
Inherited
and acquired psychological disorders and ignorance of their existence and nature
are the primal causes of evil. The magic number of 6% seems to represent the
number of humans who either carry the genes responsible for biological evil or
who acquire such disorders in the course of their lifetime. This small percent
is responsible for the vast majority of human misery and crime, and for
infecting others with their flawed view of the world. (www.ponerology.com)
Artinya:
Penyakit psikologi yang disebabkan oleh faktor keturunan maupun lingkungan dan
ketidakpedulian kita atas keberadaan dan ciri-cirinya adalah faktor utama
penyebab kejahatan. Angka ajaib 6% nampaknya mewakili jumlah manusia yang jahat
tersebut, baik mereka yang membawa gen jahat tersebut semenjak lahir maupun yang
memperolehnya pada masa hidupnya. Persentasi yang cukup sedikit ini bertanggung
jawab atas sebagian besar kriminalitas dan penderitaan umat manusia, dan karena
mereka menginfeksi orang lain dengan pandangan mereka yang salah tentang
dunia.
Ada
pepatah “air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga”. Agaknya pepatah ini
memang ada benarnya. Pengamatan para simbah kita dulu ternyata lumayan akurat
juga, tak jauh beda dengan hasil pengamatan simbahnya orang Inggris yang juga
punya pepatah “like father like son”. Sebagian besar orang yang punya bakat
melukis, musik, berhitung matematika dan lain-lain itu karena menurun dari
orangtua atau kakeknya, walau bakat itu bisa lebih kuat atau lebih lemah. Tak
bisa sama persis, kecuali kalau dikloning. Sebuah artikel lain
menyatakan:
Genetics
and physiological factors also contribute to the building of a psychopath. One
study in Copenhagen focused on a group of sociopaths who had been adopted as
infants. The biological relatives of sociopaths were 4-5 times more likely to be
sociopathic than the average person. Yet genetics don't tell the whole story; it
only shows a predisposition to antisocial behavior. Environment can make or
break the psychopathic personality.
When
a psychopath does inherit genetically-based, developmental disabilities, its is
usually a stunted development of the higher functions of the brain. 30-38% of
psychopaths show abnormal brain wave patterns, or EEGs. Infants and children
typically have slower brain wave activity, but it increases as they grow up. Not
with psychopaths. Eventually, the brain might mature as the psychopath ages.
This may be why most serial killers are under 50. The abnormal brain wave
activity comes from the temporal lobes and the limbic system of the brain, the
areas that control memory and emotions. When development of this part of the
brain is genetically impaired, and the parents of the child are abusive,
irresponsible or manipulative, the stage is set for disaster. (Shirley Lynn
Scott, What Makes Serial Killers Tick?).
Artinya:
Faktor genetik dan fisiologi juga turut berperan membentuk seorang psikopat.
Sebuah studi di Kopenhagen meneliti satu kelompok psikopat yang telah diadopsi
semenjak bayi. Keluarga biologis dari para psikopat 4-5 kali lebih besar
kemungkinannya turut menjadi psikopat ketimbang rata-rata masyarakat normal.
Namun genetik bukan satu-satunya penyebab, itu hanya menunjukkan kecenderungan
sikap antisosial. Lingkungan bisa menciptakan atau memicu kepribadian yang
psikopat.
Bila
seorang psikopat memang mewarisi cacat perkembangan itu secara genetik, yang
berkembang secara kerdil biasanya adalah fungsi-fungsi tinggi dari otak.
30-38% psikopat menunjukkan pola-pola gelombang otak yang abnormal, atau
EEG. Bayi dan anak-anak umumnya mempunyai aktifitas gelombang otak yang lebih
lambat, yang kemudian meningkat saat mereka tumbuh dewasa. Tidak demikian halnya
dengan psikopat. Otak psikopat baru menjadi dewasa saat mereka sudah beranjak
tua. Inilah sebabnya kenapa sebagian besar pembunuh berantai usianya di bawah 50
tahun. Aktifitas gelombang otak yang abnormal ini berasal dari temporal lobes
dan sistem limbik, yakni area yang mengontrol memori dan emosi. Bila
perkembangan otak bagian tersebut sudah cacat secara genetik, kemudian ia diasuh
oleh orangtuanya yang kejam, tak bertanggung jawab atau manipulatif, maka ini
artinya bencana telah tercipta.
Selain karena faktor genetika, kecenderungan tadi ternyata bisa semakin
menjadi-jadi bila dipicu oleh kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya. Berikut
ini adalah faktor-faktor lingkungan lainnya yang menurut para ahli psikologi
bisa semakin membentuk kepribadian yang psikopat.
·
Studies
show that 60% of psychopathic individuals had lost a parent;
·
Child
is deprived of love or nurturing; parents are detached or absent;
·
Inconsistent
discipline: if father is stern and mother is soft, child learns to hate
authority and manipulate mother;
·
Hypocritical
parents who privately belittle the child while publicly presenting the image of
a "happy family". (Shirley Lynn Scott, What Makes Serial Killers
Tick?).
Artinya:
·
Studi
menunjukkan bahwa 60% psikopat kehilangan salah seorang orangtua;
·
Anak
kurang mendapatkan cinta kasih dan asuhan; hubungan dengan orangtua jauh atau
mereka tak ada.
·
Disiplin
yang tidak konsisten: jika ayah keras dan ibunya lemah lembut, maka anak akan
belajar untuk membenci kekuasaan ayahnya dan memanipulasi ibunya.
·
Orangtua
yang munafik, yang di rumah meremehkan anaknya, tetapi di muka umum menghadirkan
image "happy family". (Shirley Lynn Scott, What Makes Serial Killers
Tick?).
Demikian
faktor lingkungan yang menyebabkan semakin menjadinya sifat psikopat yang pada
dasarnya sudah diwarisi seseorang karena faktor genetika. Membuat semakin
berkembangnya sifat jahat yang ada pada diri seseorang, semakin menipisnya
kemampuan dia untuk mencegah impuls berbuat jahat yang ada pada dirinya. Baca
juga “Bullying Behavior May Be Genetic, A Study in Twins Finds” by B. Azar, www.apa.org.
Jadi,
kejahatan itu ternyata bukan sekedar karena masalah kemiskinan saja, tapi juga
karena adanya psikopat yang berkeliaran di sekitar kita. Karena ada orang yang
sudah punya bakat menjadi penjahat sejak dari lahirnya karena faktor genetika.
Suka melakukan kejahatan, kekejaman dan menikmati penderitaan orang lain. Jika
kejahatan itu memang semata-mata disebabkan oleh kemiskinan, maka tentunya semua
orang miskin akan menjadi penjahat dan semua orang kaya akan menjadi santo.
Faktanya tidak demikian, bukan? Banyak orang yang sudah punya uang jutaan bahkan
milyaran dolar, tetapi mereka tetap saja jadi penjahat, tak lantas lengser ke
pertapaan dan berubah menjadi santo. Mereka tetap saja gemar melakukan berbagai kejahatan tanpa henti sampai
mati. Padahal, kalau dipikir dengan panjang dia tentunya sudah tak perlu lagi
berbuat jahat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, uang yang dia punyai
itu sudah bisa menghidupi anak cucunya sampai tujuh turunan tanpa harus perlu
bekerja dan berbuat jahat lagi. Bila dia tak mengidap psikopat, maka sebenarnya
hidupnya bisa jauh lebih nyaman. Pada saat uangnya mencapai jumlah yang cukup
untuk pensiun, maka ia akan berhenti dan menikmati kekayaannya, tidak
terus-menerus bergelut dengan orang lain untuk menambah harta sampai
matinya.
Karena mengidap psikopat pula, seorang residivis yang sudah berkali-kali
keluar masuk penjara tidak juga merasa jera, padahal seandainya saja uang hasil
kejahatannya itu dikumpulkan mungkin ia sudah bisa hidup dengan makmur. Tetapi
tidak, setiap kali dapat “rezeki” mereka langsung menghamburkannya untuk
berjudi, mabuk-mabukan dan ke tempat pelacuran. Setelah habis mereka mencari
mangsa lagi. Tak ada pikiran menabung untuk masa depannya. Tak ada pula kata
menyesal dan bertobat karena para residivis umumnya memang melakukan kejahatan
berulang kali.
Atau kita juga bisa menyaksikan contoh lain, yakni ada orang yang tak
sanggup membayar hutang kemudian ia merampok dan membunuh untuk membayar
hutangnya tadi. Lho, ini kan jalan berpikir yang sangat kacau. Menghindari
kejahatan ringan dengan cara melakukan kejahatan yang sangat berat. Cara
berpikir yang sangat pendek dan awur-awuran. Padahal, kalau dipikir lebih
panjang tentunya tidak mampu membayar hutang adalah kejahatan yang lebih ringan
daripara perampokan dan pembunuhan. Jauh lebih ringan, paling-paling cuma
dituntut untuk segera membayarnya, tidak lantas masuk sel penjara
bertahun-tahun.
Bagaimana ada orang yang bisa melakukan hal tersebut? Menghabiskan
uangnya tanpa berpikir panjang. Membunuh dan merampok tanpa berpikir panjang
pula.
Itu semua ternyata karena mereka adalah para psikopat dan psikopat itu
tak punya konsep past and future di sistem otaknya, tak sanggup
memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan berdasarkan pengalaman yang sudah
dialaminya atau dialami orang lain.
They also seem to have no real conception of past or future, living
entirely for their immediate needs and desires. Because of the barren quality of
their inner life, they are often seeking new thrills, anything from feeling the
power of manipulating others to engaging in illegal activities simply for the
rush of adrenaline. (Silvia
Cattori, The Trick of the
Psychopath's Trade).
Clinicians
refer to the emotions of psychopaths as proto-emotions, that is, primitive
responses to immediate needs. (The Origins of Violence: Is Psychopathy an
Adaptation? by Ian Pitchford Ph.D. CBiol MIBiol).
Artinya: Mereka juga nampaknya tak punya konsep masa lalu dan masa depan,
sepenuhnya hidup hanya untuk menuruti kebutuhan dan keinginan sesaat. Karena
jiwa yang gersang semacam itu, maka mereka sering mencari hal-hal baru yang
mendebarkan, apa pun itu, mulai dari memanipulasi orang lain hingga melakukan
aktifitas ilegal hanya sekedar untuk menggetarkan adrenalin.
Para
ahli penyakit jiwa menyebut emosi para psikopat itu sebagai proto-emosi, yakni
respons primitif terhadap kebutuhan sesaat.
Mereka
tak punya wawasan ke depan. Dan bila mereka kemudian kebetulan punya kekuasaan
yang membuatnya bisa membabat hutan atau membakar hutan sampai habis demi
keuntungan sesaat, maka itu pun akan dilakukannya tanpa ragu-ragu. Mereka tak
ada yang peduli dengan hal yang berwawasan ke depan seperti kerusakan hutan atau
problem lingkungan lainnya, kecuali bila itu sekedar pura-pura untuk propaganda
belaka. Di dalam hatinya mereka tak peduli, karena sistem otak mereka memang tak
sanggup untuk berpikir ke arah itu. Malah setelah berpropaganda mereka melakukan hal yang bertentangan
dengan ucapannya. Orang psikopat tak sanggup memikirkan akibat dari tindakannya,
baik itu akibat bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Yang ada dipikirannya
hanyalah untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan sesaat saja.
Beberapa ciri lain psikopat menurut beberapa artikel adalah berikut
ini:
·
Sociopaths
have always existed in varying form and to various degrees. They have been known
by various titles. They have been studied using various techniques, and through
the years their ailment has been blamed on various causes. But one thing never
varies: all sociopaths share three common characteristics. They are all
very egocentric individuals with no empathy for others, and they are incapable
of feeling remorse or guilt. [The Sociopath, Rebecca Horton (April 1999)]
·
They
live a "predatory" lifestyle. They feel little or no regret, and little or no
remorse - except when they are caught. They need relationships, but see people
as obstacles to overcome and be eliminated. If not, they see people in terms of
how they can be used. They use people for stimulation, to build their
self-esteem and they invariably value people in terms of their material value
(money, property, etc..). (Michael G. Conner, Psy.D)
·
With
the lack of love, there is also a lack of empathy. The psychopath is unable to
feel sorry for others in unfortunate situations or put himself in another's
place, whether or not they have been harmed by him.[Gordon
Banks]
·
Not
only do they covet possessions and power, but they gain special pleasure in
usurping and taking from others (a symbolic sibling, for example); what they can
plagiarize, swindle, and extort are fruits far sweeter than those they can earn
through honest labor. (What Is a Psychopath? Special Research Project of the
Quantum Future School)
·
Callous,
deceitful, reckless, guiltless, often intimidating and sometimes violent is the
standard description of psychopaths, whose maladaptive patterns of thinking,
feeling and behaving impair their daily functioning and disrupt the lives of
those around them. (Atlanta Medical Psychology).
·
Psychopath
have a profound lack of symphaty. These are callous, cold-blooded individuals.
They use other people callously and remorsely for their own ends.
Artinya:
·
Sociopath (psikopat) ada dalam beragam bentuk dan tingkatan. Mereka
dikenal dengan beragam julukan. Mereka juga telah dipelajari dengan teknik yang
beragam, dan penyakit tersebut selama ini diklaim diakibatkan oleh beragam sebab
pula. Tetapi,
satu hal yang tak pernah beragam: semua sociopath mempunyai tiga sifat dasar.
Mereka semua adalah individu-individu yang sangat egois, tak punya empati untuk
orang lain, dan mereka tak bisa merasa menyesal atau bersalah. [The
Sociopath, Rebecca Horton (April 1999)]
·
Gaya
hidup mereka seperti "predator". Mereka hanya punya sedikit atau sama sekali tak
punya rasa menyesal dan bersalah, kecuali saat tertangkap. Mereka membutuhkan
hubungan, tetapi melihat orang lain sebagai hambatan yang harus disingkirkan.
Bila tidak, mereka melihat orang lain dari sudut pandang bagaimana mereka bisa
dimanfaatkan. Mereka menggunakan orang lain untuk stimulasi, untuk membangun
self-esteem dan mereka juga menghargai orang lain semata-mata berdasarkan materi
yang mereka punyai (uang, properti dll.). (Michael G. Conner, Psy.D)
·
Karena
tak punya cinta kasih, mereka juga tak punya empati. Para psikopat tak mampu
untuk merasakan penderitaan orang lain atau menempatkan dirinya sebagai orang
lain, baik dia disakiti atau tidak oleh orang tersebut.[Gordon
Banks]
·
Mereka
tak hanya menginginkan harta benda dan kekuasaan, tetapi mereka juga memperoleh
kesenangan luar biasa saat bisa merampas dan mencuri milik orang lain. Harta
hasil pemalsuan, penipuan dan pemerasan adalah buah yang jauh lebih manis
daripada harta yang mereka peroleh dari bekerja secara jujur. (What Is a
Psychopath? Special Research Project of the Quantum Future School)
·
Tak
punya perasaan, penipu, ceroboh, tak punya rasa bersalah, suka mengintimidasi
dan bersikap kasar adalah deskripsi standar dari psikopat, orang-orang yang pola
berpikirnya, perasaannya dan berperilakunya kacau, sehingga merusak kehidupan
mereka sehari hari dan juga mengganggu kehidupan orang lain yang berada di
sekitar mereka. (Atlanta Medical Psychology).
· Psikopat
tidak punya simpati sama sekali. Mereka orang-orang yang tak punya perasaan dan
berdarah dingin. Mereka memanfaatkan orang lain dengan dingin dan tanpa menyesal untuk
tujuan egois mereka sendiri.
Dr.
Hare juga punya checklist tentang ciri-ciri psikopat. Daftarnya cukup panjang,
bisa Anda lihat di bawah. Semakin banyak orang mendapat skor, maka semakin
tinggi tingkatan psikopatnya.
Untuk
tiap ciri-ciri yang ada, subyek diberi skor: 0 untuk "tidak," 1 untuk "agak,"
dan 2 untuk "sepenuhnya benar." (Please note that Dr. Hare does not advise that
the layman use this checklist for "diagnosing" friends and family; this
checklist, however, does give you a good idea how it is used).
1.
Glibness/superficial charm
2. Grandiose sense of self-worth
3. Need for stimulation/proneness to boredom
4. Pathological lying
5. Conning/manipulative
6. Lack of remorse or guilt
7. Shallow affect
8. Callous/lack of empathy
9. Parasitic lifestyle
10. Poor behavioural controls
11. Promiscuous sexual behaviour
12. Early behaviour problems
13. Lack of realistic, long-term plans
14. Impulsivity
15. Irresponsibility
16. Failure to accept responsibility for own actions
17. Many short-term relationships
18. Juvenile delinquency
19. Revocation of conditional release
20. Criminal versatility
2. Grandiose sense of self-worth
3. Need for stimulation/proneness to boredom
4. Pathological lying
5. Conning/manipulative
6. Lack of remorse or guilt
7. Shallow affect
8. Callous/lack of empathy
9. Parasitic lifestyle
10. Poor behavioural controls
11. Promiscuous sexual behaviour
12. Early behaviour problems
13. Lack of realistic, long-term plans
14. Impulsivity
15. Irresponsibility
16. Failure to accept responsibility for own actions
17. Many short-term relationships
18. Juvenile delinquency
19. Revocation of conditional release
20. Criminal versatility
Demikian
checklist dari Dr. Hare. Cukup panjang juga. Akan tetapi, kalau disebut secara
ringkasnya ciri-ciri mereka yang paling utama adalah suka merampas milik orang
lain, baik itu harta (uang, rumah, tanah dll.) maupun nyawa, baik dengan cara
halus maupun kasar. Dan setelah melakukan kejahatan mereka sama sekali tak bisa
merasa menyesal atau bersalah, kejam dan berdarah dingin. Itulah ciri-ciri utama
psikopat. Dengan kata lain, mereka itu adalah penjahat sampai ke lubuk hati.
Mereka
juga sama sekali tak punya empati, egois dan semua orang yang ada di sekitarnya
dianggap sebagai perkakas belaka untuk memuaskan keinginannya. Mereka bersedia
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, termasuk
mengorbankan semua orang di sekitarnya. Tak peduli dengan perasaan orang lain
dan segala kerugian yang ditimbulkannya. Bahkan, mereka ada yang suka
membanggakan “hasil kerjanya” kepada orang lain. Mereka juga tak punya tanggung
jawab, suka menyalahkan orang lain, baik teman, saudara atau bawahannya, suka
mencari kambing hitam atas segala kejahatan yang telah dilakukannya, atau
mencari-cari pembenar atas kelakuan jahatnya.
Semua
itu disebabkan karena emosi orang psikopat sangatlah dangkal atau istilahnya
buta emosi. Mereka seperti orang buta warna yang menghafalkan nyala lampu lalu
lintas. Bila lampu atas menyala mereka tahu itu artinya berhenti dan kalau bawah
menyala berarti jalan, tetapi mereka tak paham apa itu warna hijau dan merah.
Demikian pula halnya orang psikopat. Mereka bisa tahu dan menirukan rasa empati,
bahkan pura-pura menangis sampai tersedu-sedu, tetapi sebenarnya mereka tak bisa
merasakan apa-apa.
Like
a color blind man incapable of distinguishing red from green, a small minority
of the human population cannot experience or fully comprehend the normal range
of human emotions. And like those color blind who may conceal their condition by
using the correct words while not understanding their meaning (e.g., the top
traffic light is “red”, the bottom is “green”) - so does this minority conceal
their condition by playacting an emotion's exterior signs (facial expressions,
exclamations, body language). However, they do no actually experience the
emotion in question. Their deception is revealed in the laboratory, where they
respond to words like DEATH, CANCER, DISEASE, as if they were DAY, CREAM, or
PAPER. They lack the ability to comprehend the emotional “punch” that certain
words contain. They use others’ emotional reactions as cues, and they adjust
their behavior to portray the correct ‘emotional’ behavior. (Hare,
129-30)
These
individuals are known as psychopaths. Not only can they not feel the pain of
others, they often seem to deliberately cause others pain. Lobaczewski refers to
this disorder as an “essential psychopathy” to distinguish them from others with
deficits in their genetic/instinctual endowment, essential psychopathy being the
most severe and disturbing. (www.ponerology.com)
Artinya:
Seperti orang buta warna yang tak bisa membedakan warna merah dan hijau,
sejumlah kecil dari populasi manusia ada yang tak bisa mengalami atau memahami
sepenuhnya beragam bentuk emosi yang ada pada manusia normal. Dan mereka seperti
orang buta warna yang bisa menyembunyikan kondisi mereka dengan menggunakan
kata-kata yang benar walau mereka tak memahami maknanya (misalnya, lampu atas
menyala berarti “merah”, lampu bawah artinya “hijau”)-demikian pula cara orang
psikopat menyembunyikan penyakit mereka, dengan cara berakting menirukan
tanda-tanda emosi yang ada pada manusia normal (ekspresi wajah, teriakan, bahasa
tubuh). Akan tetapi, mereka sama sekali tak mengalami emosi yang dimaksud.
Kebohongan
mereka terungkap dalam laboratorium, mereka merespon kata-kata seperti DEATH,
CANCER, DISEASE, seakan itu adalah kata DAY, CREAM atau PAPER. Mereka tak
sanggup memahami kandungan emosial yang terdapat pada kata-kata tersebut. Mereka
menggunakan reaksi emosi orang lain sebagai contoh dan mereka lalu menyesuaikan
tindakan mereka supaya sesuai dengan “emosi” yang benar tersebut.
Orang-orang
ini disebut sebagai psikopat. Mereka bukan hanya tak bisa merasakan penderitaan
orang lain, tetapi juga seringkali mereka secara sengaja menyakiti orang lain.
Lobaczewski menyebut penyakit ini sebagai “essential psychopathy” untuk
membedakannya dari orang lain yang punya kekurangan dalam hal genetik/insting,
essential psychopathy adalah kasus yang paling parah dan mengganggu. (www.ponerology.com)
Bila
orang buta warna boleh dikatakan mengalami cacat visual, maka boleh dikatakan
orang psikopat itu mempunyai cacat emosi, empathy-impaired. Apa yang
mereka rasakan itu berbeda dengan orang normal yang apabila melihat orang lain
menderita, maka sistem syaraf di otaknya yang mengatur perasaan (emosi) akan
turut bereaksi sehingga ia bisa turut merasakan walau tentu tidak sehebat orang
yang mengalami secara langsung. Rasa turut merasakan (empati) ini pada akhirnya
akan menimbulkan rasa ingin turut membantu orang yang sedang menderita tersebut.
Reaksi seperti itu tidak dialami orang psikopat, tak ada sistem di otaknya yang
mengatur hal itu sehingga mereka tak bisa turut merasakan dan pada akhirnya
tentu saja tak ada rasa ingin membantu. Sebaliknya, mereka bahkan seringkali mengeksploitasi dan dan
memanfaatkan penderitaan orang lain.
(Seperti Anda lihat pada kata yang dikurung di atas, saya di sini
mengartikan emosi sebagai perasaan, perasaan apa saja, dan itu memang makna
aslinya dalam bahasa Inggris. Di
kamus World Book Encyclopedia tertulis emotion= a strong feeling of
any kind. Hate, fear, excitement, anger, love, joy, and grief are emotions.
Sinonim dengan kata feeling, tetapi yang dirasakan dengan sangat
kuat. Kalau di Indonesia kata ini memang agak berbeda maksudnya dan cenderung
dimaksudkan sebagai amarah saja. Saya
perlu memberikan penjelasan ini sebelumnya supaya nanti tidak menimbulkan salah
pengertian).
Sekedar
gambaran singkat tentang perbedaan mencolok antara perilaku psikopat dan orang
normal bisa Anda lihat pada cerita berikut ini. Rasanya cerita ini nanti bisa
memperjelas bagaimana psikopat itu memang tak punya empati sama sekali pada
orang lain, bahkan memanfaatkannya musibah yang menimpa orang lain. Cerita
lumrah dan mungkin juga sudah pernah Anda dengar di tempat lain. Saya ceritakan
kembali di sini untuk mengingatkan Anda lagi.
Dulu
ada teman saya yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Ia sedang naik becak
mengantar beberapa orang tamunya asingnya (ia seorang guide), tiba-tiba saja
becak yang sedang ditumpanginya diseruduk sepeda motor yang melaju kencang.
Ia kemudian pingsan tak ingat apa-apa lagi. Apa yang terjadi saat ia
mengalami kecelakaan dan pingsan? Seperti biasanya, orang-orang langsung
berlarian menuju TKP. Orang yang normal segera bergotong-royong membantu para
korban, termasuk teman saya tadi, ikhlas dan tanpa pamrih apa pun. Yang
dilakukan psikopat? Ikut berlarian menuju TKP juga, untuk.. mencuri sepatu dan
mencopet dompetnya. Setelah
siuman dua hari kemudian ia mendapati bahwa sepatu dan dompetnya telah raib.
Kebetulan sepatu teman saya itu masih baru dan bagus. Sangat berbeda
bukan perilaku psikopat dan orang normal? Bagaikan langit dan bumi. Atau
bagaikan surga dan neraka.
Reaksi spontan orang normal bila melihat orang lain sedang kesusahan
adalah langsung menolongnya, sedangkan reaksi spontan seorang psikopat adalah
memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk mencoleng milik orang lain, bahkan
tak peduli orang itu sedang ditimpa musibah. Tak peduli dengan keadaan yang
bagaimana pun, asal ada kesempatan berbuat jahat ya dia melakukannya. Dan
ternyata, orang-orang psikopat yang berperilaku semacam itu bukan hanya berada
di jalanan saja, tetapi banyak juga yang berkeliaran dengan bebas di
pemerintahan, militer, dunia hukum, dunia bisnis dan lain-lainnya. Lihat
pembahasan di bawah nanti.
Contoh lainnya dari perilaku psikopat semacam itu adalah misalnya saat
ada berita bencana, kecelakaan, kematian, kejahatan atau berita-berita buruk
lain semacamnya. Bukannya ingin menolong mereka, sebaliknya para psikopat dengan
tangkas segera memanfaatkan berita-berita itu untuk propaganda. Atau kalau perlu
mereka membuat berita semacam itu, merekayasa bencana atau memanipulasi orang
supaya berkelahi di pengadilan sehingga kemudian bisa mengeksploitasi
penderitaan dan pertengkaran orang lain untuk kepentingan propaganda. Seperti
misalnya kasus-kasus yang baru terjadi kemarin. Selalu berita bencana dan
pertengkaran yang mereka gunakan untuk propaganda sehingga membuat saya menjadi
yakin bahwa mereka memang sangat menyukai berita semacam itu. Merasa sangat
senang dan bahagia saat menonton orang kesusahan atau bertengkar. Agaknya memang
benar kata Harvey Cleckley bahwa para psikopat itu gemar “berlibur” dengan cara
menonton atau melakukan hal-hal yang kotor dan rendah, sebagaimana halnya orang
normal berlibur dengan cara melihat pemandangan yang indah atau pergi ke
tempat-tempat yang berbudaya. Cara berlibur dan refreshing mereka sangat berbeda
dengan orang normal. Bagaikan langit dan bumi. Atau
bagaikan surga dan neraka.
Kenapa
orang psikopat bersifat semacam itu? Seperti sudah disinggung sedikit di atas,
itu karena susunan otak mereka yang berbeda dengan manusia normal, sehingga cara
mereka memproses informasi yang masuk ke otaknya juga berbeda. Untuk gampangnya,
kita bayangkan saja otak manusia itu sebagai suatu sistem komputer. Bila
komputer itu normal, berjalan sesuai fungsinya, maka semua input yang masuk akan
dikelola dengan sebagaimana mestinya. Kita pencet huruf A, maka yang nampak di
layar adalah huruf A, kita pencet B akan muncul huruf B pula. Pada saat kita
print, maka output yang keluar adalah huruf-huruf tersebut pula. Pada orang
psikopat, ada malfungsi di sistemnya sehingga saat input yang masuk di otak
mereka adalah wajah orang sedih atau menderita, maka otak mereka tidak memproses
apa-apa, blank, tidak nampak apa-apa di “layar monitor” otak mereka, atau
mereka malah bergembira melihat hal itu, bukannya turut bersedih. Bahkan ada
yang menikmati melihat orang lain menderita, yakni sadisme. Ada darah berceceran
bukannya merasa ngeri, tetapi malah senang dan menikmatinya. Ada malfungsi di
sistem otak mereka. Akibatnya, otak mereka pun salah memproses informasi yang
masuk. Input A diproses jadi C, input B diproses jadi A, dan seterusnya.
Menurut
para ahli psikologi, di sistem otak mereka memang tak ada hardware untuk
merasakan empati. Bila pun ada, maka alat itu tidak berfungsi secara sempurna,
mengalami malfungsi. Misalnya adalah sebuah komputer yang tak ada
soundcard-nya atau ada tapi sudah terbakar rusak. Biar kita otak-atik
sampai elek, kita instal driver bolak-balik sampai tuwek, ya tentu saja takkan
bisa bunyi. Bisa kita baca hal itu pada wawancara Silvia Cattori dengan Henry See
dan Laura Knight-Jadczyk berikut ini:
Henry: Without the ability to empathize with others, these people cannot feel
that suffering, any more than a cat feels the suffering of a mouse when it toys
with it prior to killing it. Bush can order thousands of American troops into
Iraq or Afghanistan where they will be killed or permanently maimed, and where
they will kill thousands and destroy an entire country, can sanction the
torturing of prisoners, can support the actions of Israel in the Occupied
territories or Lebanon, and none of the suffering he is causing is real to him.
There is no hardware in these people that can process these emotions.
They are incapable at the physiological levels of doing so.
Laura: They don't have the hardware to run that program. (Silvia
Cattori, The Trick of the
Psychopath's Trade).
Artinya:
Henry: Tanpa kemampuan untuk berempati dengan orang lain, orang-orang ini tak
bisa merasakan penderitaan tersebut, mereka tak lebih seperti kucing yang tak
bisa merasakan penderitaan seekor tikus, saat kucing tersebut memainkan tubuh
korbannya sebelum kemudian memakannya. Bush bisa memerintahkan ribuan prajurit
Amerika ke Irak atau Afghanistan di mana mereka bisa terbunuh atau cacat
permanen, dan mereka juga bisa membunuh ribuan orang atau menghancurkan seluruh
negeri, bisa memerintahkan penyiksaan tawanan, bisa mendukung aksi Israel di Wilayah Pendudukan atau Lebanon, dan tak satu pun penderitaan
itu nyata baginya. Di kepala mereka tak ada hardware yang bisa memproses
emosi-emosi tersebut. Mereka tak mampu dalam tingkatan psikologis untuk
memikirkannya.
Laura: Mereka
tak punya hardware untuk menjalankan programnya.
Di www.ponerology.com
juga disebutkan bahwa hal itu memang disebabkan tak ada hardware di otak
para psikopat untuk bisa merasa empati dengan orang lain, merasakan apa yang
dirasakan oleh orang lain. Tak ada hardware-nya di kepala mereka, jadi ya
tentu saja driver yang diinstal tak bisa berguna.
Psychopaths
have little to no real choice in how they act as they cannot empathize or
sympathize; they cannot view other humans as anything other but objects to be
used for their advantage – they “lack the hardware,” so to speak. We should
offer token sympathy, because they literally have no choice in the matter. Their
very genetic code predisposes them toward predatory behavior. They are, as
Robert Hare terms them, an intraspecies predator. (www.ponerology.com)
Artinya:
Psikopat hanya punya sedikit atau bahkan tak punya sama sekali pilihan dalam
bertindak karena mereka tak bisa berempati atau bersimpati. Mereka tak bisa
memandang orang lain kecuali sebagai obyek yang bisa dimanfaatkan untuk
keuntungannya sendiri—mereka tak punya hardware, begitulah. Kita mungkin
bisa sedikit bersimpati kepada mereka, karena secara harfiah mereka memang tak
punya pilihan dalam hal tersebut. Kode genetik yang ada pada diri mereka telah mentakdirkan mereka
berkelakuan seperti predator. Sebagaimana istilah Robert Hare, mereka adalah
intraspecies predator.
Artinya intraspecies predator itu adalah manusia yang kerjanya
suka mengambil milik manusia lainnya, sesama spesies manusia, baik dengan cara
halus maupun kasar. Bahkan juga sampai mengambil nyawa manusia lain bila perlu.
Tidak pernah seorang psikopat itu akan suka memberi dengan sukarela, bila pun
mereka memberi akan ada udang di balik batunya. Pada ujungnya mereka akan ambil
lagi sejumlah yang sudah diberikan beserta bunganya.
Pada
saat ini, kesalahan proses itu sudah bisa dideteksi dengan scan otak.
Jadi, di dalam sistem otak mereka memang benar-benar telah terjadi
malfungsi, kacau jalannya.
Aristotle
thought there was something different in the physical makeup of such people.
Indeed, recent brain scan evidence shows some psychopaths do have altered
brain structure and functioning. (Norman Doidge, Beyond therapy: Some evil
can't be cured, National Post, Friday, January 07, 2000).
Artinya:
Aristotle berpikir bahwa ada sesuatu yang berbeda di dalam susunan fisik
orang-orang semacam itu. Ternyata benar, bukti-bukti yang didapat dari scan otak
menunjukkan bahwa psikopat memang mempunyai struktur dan fungsi otak yang
berbeda.
Di
dalam wawancaranya dengan Silvia Cattori, Laura Knight-Jadczyk juga menerangkan hal yang sama:
They are also incapable of deep emotions. In fact, when Hare, a Canadian
psychologist who spent his career studying psychopathy, did brain scans on
psychopaths while showing them two sets of words, one set of neutral words with
no emotional associations and a second set with emotionally charged words, while
different areas of the brain lit up in the non-psychopathic control group, in
the psychopaths, both sets were processed in the same area of the brain, the
area that deals with language. They did not have an immediate emotional
reaction.
Our whole emotional life is a mystery to them, while at the same time
providing a tremendous tool for them to manipulate us. Think of those moments
when we are strongly affected by our emotions and how our ability to think is
impaired. Now imagine that you were able to feign such emotion, remaining cool
and calculating, while the person you were exchanging with was really trapped in
an emotional cauldron. You could use tears or shouting to get what you wanted,
while your victim was driven to despair by the emotions they were living.
(Silvia
Cattori, The Trick of the
Psychopath's Trade).
Artinya: Mereka tak mempunyai emosi yang dalam. Faktanya, ketika Dr.Hare,
seorang ahli psikologi Kanada yang menghabiskan karirnya untuk mempelajari
psikopat, melakukan scan otak kepada para psikopat dengan cara menunjukkan dua
set kata-kata, satu set berisi kata-kata netral yang tak punya kandungan
emosional dan set kedua yang punya kandungan emosional. Pada orang-orang
non-psikopat kedua area otak yang berbeda menyala, sedangkan pada orang-orang
psikopat, kedua set kata-kata itu diproses pada area otak yang sama, yakni area
yang memproses bahasa. Mereka tak punya reaksi emosional.
Seluruh
cara kerja emosi kita merupakan misteri bagi mereka, dan pada saat yang sama
menyediakan alat yang sangat berharga bagi mereka untuk memanipulasi kita.
Pikirkanlah saat-saat kita sedang dipengaruhi emosi yang sangat kuat dan
kemampuan berpikir kita menjadi kacau. Sekarang bayangkan Anda sedang
berpura-pura dipengaruhi emosi tersebut, tetap dingin dan penuh perhitungan,
sementara orang yang sedang Anda ajak bicara benar-benar dalam kondisi
emosional. Anda bisa menggunakan air mata atau berteriak-teriak untuk
mendapatkan apa yang Anda inginkan, sedangkan korban Anda menjadi putus asa
karena emosi yang dialaminya.
Sebuah
artikel yang lain menyatakan:
Research
using brain scanning technology has revealed that the brain of a psychopath
functions and processes information differently. One famous brain imaging study
showed that psychopaths can remain calm looking photos of dead bodies in
automobile accidents where as other people were clearly upset. They don't use
their brain they way others do. This suggests that they may be physically
different from normal people. (Michael G. Conner,
Psy.D, Psy.D, Are You Involved With A Psychopath? Stop The
Madness).
Artinya:
Riset menggunakan teknologi scan otak mengungkapkan bahwa otak seorang psikopat
memang berfungsi dan memproses informasi dengan cara berbeda. Salah satu studi
scan otak yang terkenal menunjukkan bahwa para psikopat bisa tetap tenang saat
melihat foto-foto korban tewas akibat kecelakaan lalu lintas, padahal orang lain
jelas-jelas merasa ngeri. Mereka menggunakan otaknya tidak seperti orang lain.
Ini menunjukkan bahwa mereka mungkin secara fisik berbeda dengan orang
normal.
Demikianlah.
Setelah dilakukan scan otak, ternyata jalannya sistem yang ada di otak psikopat
memang berbeda dengan manusia normal. Mereka memproses input informasi yang
masuk ke otak mereka dengan cara yang berbeda dengan manusia normal. (Lihat juga
artikel “Scientists Search for the Seat of Evil” by Greg Barrett). Bahkan, pada
kutipan terakhir kita bisa melihat bahwa mereka sama sekali tak terpengaruh
dengan pemandangan orang mati yang berlumuran darah. Dalam kasus yang parah,
seorang bangsawan Hungaria bernama Elizabeth Bathory gemar mandi di dalam bak
yang berisi darah para korbannya. Supaya bisa awet muda katanya. Korbannya
sekitar 600 gadis muda. Mereka disiksa dengan sadis terlebih dahulu sebelum
kemudian disembelih dan dituangkan darahnya sampai kering ke bak
mandi.
Susunan
otak yang nyeleh seperti itu selain bisa disebabkan oleh faktor keturunan
(genetika) juga bisa disebabkan karena otak mereka mengalami trauma pada saat
proses kelahiran atau pada saat dia masih kecil sehingga perkembangan otaknya
tidak sempurna. Akibat susunan otak yang abnormal semacam itu, maka kepribadian
mereka pun berbeda dengan manusia normal pada umumnya. Bila manusia normal suka
melakukan kebaikan dan membuat orang lain tersenyum, maka para psikopat itu
senang berbuat kejahatan dan membuat orang lain menderita.
Without
wandering too far afield into spiritual speculations - a problem Cleckley also
faced - we can only say that it seems to be that the psychopath ENJOYS making
others suffer. Just as normal humans enjoy seeing other people happy, or doing
things that make other people smile, the psychopath enjoys the exact opposite.
(The Psychopath: The Mask
of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future
School).
Artinya:
Tanpa melangkah terlalu jauh ke bidang spekulasi spiritual – sebuah problem yang
juga mesti dihadapi Cleckley – kita hanya bisa berkata bahwa nampaknya psikopat
menikmati membuat orang lain menderita. Sebagaimana manusia normal yang senang
membuat orang lain berbahagia, atau melakukan sesuatu yang membuat orang lain
tersenyum, seorang psikopat menikmati hal yang sama sekali
sebaliknya.
Atau dalam kata lain mereka itu mengidap sadisme, suka mengganggu dan
menganiaya orang lain. Baik itu menganiaya secara langsung dengan tangannya
sendiri atau melalui tangan orang lain. Itu semua malah dianggap sebagai hiburan
oleh mereka. Atau bagi yang tidak terlalu parah, maka minimal mereka tidak
merasa apa-apa, tak bisa merasakan empati. Hobi
para psikopat itu memang berbeda dengan manusia normal pada umumnya.
It
seems that the psychopath has a regular need to take a "vacation into filth and
degradation" the same way normal people may take a vacation to a resort where
they enjoy beautiful surroundings and culture. To get a full feeling for this
strange "need" of the psychopath - a need that seems to be evidence that "acting
human" is very stressful to the psychopath - read more of The Mask of Sanity,
chapters 25 and 26.
Also,
read Cleckley's
speculations on what was "really wrong" with these people. He comes
very close to suggesting that they are human in every respect - but that they
lack a soul. This lack of "soul quality" makes them very efficient "machines."
They can be brilliant, write scholarly works, imitate the words of
emotion, but over time, it becomes clear that their words do not match their
actions. They are the type of person who can claim that they are devastated by
grief who then attend a party "to forget." The problem is: they really DO
forget. (The Psychopath: The Mask
of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future
School).
Artinya:
Nampaknya seorang psikopat mempunyai kebutuhan rutin untuk “berlibur melakukan
hal-hal yang kotor dan rendah”, sebagaimana halnya orang normal suka berlibur ke
tempat wisata untuk menikmati pemandangan yang indah dan berbudaya. Untuk
mengetahui “kebutuhan” aneh dari seorang psikopat itu lebih lanjut baca The Mask of Sanity,
chapters 25 and 26. Hal itu menunjukkan bahwa bertingkah laku sebagai
manusia normal sangatlah membuat stress seorang psikopat.
Juga,
baca Cleckley's
speculations tentang apa yang salah dengan orang-orang ini. Dia
menyatakan bahwa mereka manusia dalam segala hal- kecuali bahwa mereka tak punya
perasaan. Tak adanya perasaan ini membuat mereka menjadi mesin yang sangat
efisien. Mereka bisa menjadi orang yang brilian, menulis karya-karya ilmiah,
menirukan kata-kata yang penuh perasaan, tetapi sejalan dengan waktu, menjadi
jelaslah bahwa kata-kata mereka ternyata tidak pernah sejalan dengan
tindakannya. Mereka adalah tipe orang yang bisa berkata bahwa mereka sedang
sangat berduka dan kemudian pergi ke pesta untuk melupakannya. The problem is:
Mereka benar-benar melupakannya.
Bila
pengidapnya adalah orang sipil, maka dia akan mencari mangsa di jalan-jalan
untuk melampiaskan bakat sadisnya, sedangkan bila pengidapnya adalah pegawai
pemerintah atau anggota polisi/tentara, mereka bisa melampiaskan bakatnya itu
kepada para tahanan. Sementara itu, pihak berwenang/para pejabat pemerintah yang
membiarkan kejahatan semacam itu terjadi di lembaga-lembaga pemerintah atau di
penjara-penjara juga adalah para psikopat, sistem di otak mereka tak berfungsi
sempurna sehingga mereka tak bisa turut berempati dengan para korban dan
berusaha memperbaiki hal semacam itu.
Ringkasnya,
para pelaku kejahatan dan mereka yang menganggapnya sebagai hal yang normal saja
adalah para psikopat karena mereka merasa tak ada yang salah dengan semua itu.
Semua kejahatan itu dianggap baik-baik saja karena sistem di otak mereka memang
tak sanggup menjangkau hal semacam itu. Jadi, problemnya adalah bukan karena
mereka tak mau berbuat baik, tetapi karena mereka tak mampu berbuat baik. Mereka
tak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan atau saksikan itu adalah sesuatu
yang salah karena sistem di otak mereka tak sanggup menjangkaunya. Karena tak
menganggapnya sebagai suatu kesalahan, maka tentu saja mereka tak tergerak untuk
melakukan perbaikan, baik itu memperbaiki kepribadiannya maupun memperbaiki
sistem yang ada.
Pada
zaman antik dulu, Aristotle juga sudah berpikir tentang beragam kepribadian yang
ada pada manusia. Dia membaginya menjadi empat macam tingkatan.
In
ancient times, Aristotle made those distinctions, and developed a hierarchy of
virtue and vice. At the top of the ladder is the virtuous person, who only aims
toward good things; he is not "conflicted," as we would say, because there is no
war between virtue and vice in his soul. Next, comes the continent person, who
behaves well, but is always a bit tense because he is struggling, albeit
successfully, to control his vices. Then comes the incontinent person, who knows
what is right, but who frequently slips up, failing in his struggle. At the
bottom of the hierarchy is the brute -- our psychopath. Like the virtuous
person, he, too, is not at war with himself, is not "conflicted." Unlike the
virtuous person, it is vice, and not virtue, that rules. (Norman Doidge,
Beyond therapy: Some evil can't be cured, National Post, Friday, January
07, 2000).
Artinya: Pada zaman antik dulu, Aristotle membuat beberapa tingkatan, dan
mengembangkan hirarki sifat baik dan jahat. Pada tangga tertinggi adalah orang
baik, yang segala tindakannya ditujukan untuk kebaikan; dia tidak berkonflik
dengan dirinya karena tak ada perang antara sifat baik dan jahat di dalam
dirinya. Berikutnya, continent person, yang berperilaku baik, tetapi selalu agak
tegang karena ia harus berjuang, walaupun akhirnya sukses, untuk mengontrol
sifat jahatnya. Berikutnya incontinent person, yang tahu mana yang benar, tetapi
dia seringkali tergelincir, gagal di dalam perjuangannya. Kemudian pada dasar
hirarki adalah si brutal—yakni psikopat. Sebagaimana orang baik yang di atas
tadi, dia juga tak pernah berperang dengan dirinya, tak ada konflik di dalam
dirinya. Bedanya adalah kejahatan yang selalu menjadi jalan
hidupnya.
Tingkatan yang terbawah itu sangat mengerikan bukan, yakni the brute,
our psychopath. Dia tidak pernah ada konflik di dalam dirinya. Tidak pernah
bingung memilih antara dua pilihan, baik atau jahat. Yang selalu dipilihnya
adalah jalan kejahatan. Dan dia tidak pernah bersalah apalagi menyesal telah
melakukan kejahatan. Tak ada konflik di dalam hatinya.
Pada zaman modern sekarang ini, ahli psikologi Dr. Hare juga membagi
kepribadian manusia dalam beberapa tingkatan. Tak semua psikopat memang seperti
tokoh fiksi Hannibal Lecter atau tokoh nyata seperti Jeffrey Dahmer. Ada suatu
continuum, yakni tingkatan berangsur-angsur dari yang ganas seperti
Dahmer yang doyan makan daging manusia, mereka yang suka menghajar korbannya
sampai kelenger sebelum mengambil uangnya, hingga yang mencuri tanpa kekerasan
seperti koruptor yang halus lembut yang berkeliaran di kantor-kantor yang cuma
doyan makan duit, atau juga para penipu yang berkeliaran di jalan. Para penipu
itu kan rata-rata tutur katanya lemah lembut menghanyutkan, pakaian mereka juga
biasanya cukup keren sehingga bisa memikat mangsanya. Tetapi, dari yang luarnya
ganas sampai yang luarnya lembut itu, pada hakikatnya isi hati mereka sama,
yakni mereka tak punya hati nurani.
But
wait, you say: Don't bona fide psychopaths become serial killers or other kinds
of violent criminals, rather than the guys in the next cubicle or the corner
office? That was the conventional wisdom. Indeed, Hare began his work by
studying men in prison. Granted, that's still an unusually good place to look
for the conscience-impaired. The average Psychopathy Checklist score for
incarcerated male offenders in North America is 23.3, out of a possible 40. A
score of around 20 qualifies as "moderately psychopathic." Only 1% of the
general population would score 30 or above, which is "highly psychopathic," the
range for the most violent offenders. Hare has said that the typical citizen
would score a 3 or 4, while anything below that is "sliding into sainthood."
On
the broad continuum between the ethical everyman and the predatory killer,
there's plenty of room for people who are ruthless but not violent. This is
where you're likely to find such people as Ebbers, Fastow, ImClone CEO Sam
Waksal, and hotelier Leona Helmsley. We put several big-name CEOs through the
checklist, and they scored as "moderately psychopathic"; our quiz on page 48
lets you try a similar exercise with your favorite boss. And this summer,
together with New York industrial psychologist Paul Babiak, Hare begins
marketing the B-Scan, a personality test that companies can use to spot job
candidates who may have an MBA but lack a conscience. "I always said that if I
wasn't studying psychopaths in prison, I'd do it at the stock exchange," Hare
told Fast Company. "There are certainly more people in the business world who
would score high in the psychopathic dimension than in the general population.
You'll find them in any organization where, by the nature of one's position, you
have power and control over other people and the opportunity to get something."
(Alan Deutschman, Is Your Boss a
Psychopath?)
Artinya:
Tetapi tunggu, kau bilang: Bukankan seorang psikopat yang bonafid akan menjadi
pembunuh berantai atau pelaku kriminal dengan kekerasan, dan bukan mereka yang
bekerja di samping ruangan kita atau di suatu sudut kantor? Itu adalah pandangan
konvensional. Dan Hare memang memulai kerjanya dengan mempelajari para penghuni
penjara. Dijamin, itu adalah tempat yang masih cukup menjanjikan untuk menemukan
orang-orang yang tak punya hati nurani. Rata-rata nilai yang didapat oleh para
penghuni bui menurut Psychopathy Checklist adalah 23.3 dari kemungkinan 40.
Nilai sekitar 20 artinya psikopat kelas menengah. Hanya 1% populasi manusia yang
akan mendapat nilai 30 ke atas, yang artinya psikopat kelas berat, angka yang
umum bagi pelaku kejahatan dengan kekerasan. Hare mengatakan bahwa nilai
rata-rata masyarakat umum adalah 3 atau 4, sementara yang mendapat angka di
bawah itu artinya dia menjurus menjadi orang suci.
Dalam
kontinum yang cukup lebar antara orang normal dan pembunuh yang bersifat
predator, terdapat ruang yang cukup luas bagi kita untuk menemui orang-orang
yang hatinya kejam tapi tidak berperilaku berangasan. Di sinilah Anda bisa
menemui orang semacam Ebbers, Fastow, ImClone CEO Sam Waksal dan pengusaha hotel
Leona Helmsley. Kami menaruh beberapa nama besar CEO di dalam checklist dan
mereka mendapat nilai psikopat kelas menengah: kuis kami pada halaman 48
mempersilakan Anda untuk mencoba tes tersebut pada bos favorite Anda. Dan musim
panas ini, bersama dengan New York industrial psychologist Paul Babiak, Hare
mulai memasarkan B-Scan, sebuah tes kepribadian yang bisa dipergunakan
perusahaan-perusahaan untuk menemukan kandidat yang mempunyai gelar MBA tetapi
tak punya hati nurani. "Aku selalu berkata bahwa bila aku tidak mempelajari para
psikopat di penjara, maka aku akan melakukannya di pasar bursa," kata Hare
kepada Fast Company. "Bisa dipastikan bahwa lebih banyak orang di dunia bisnis
yang akan mendapat nilai tinggi di dalam tes psikopat ketimbang di masyarakat
umum. Anda bisa menemui mereka di setiap organisasi di mana karena sifat dari
kedudukannya, mereka bisa mempunyai kekuasaan dan kontrol atas orang lain dan
kesempatan untuk mendapatkan sesuatu.
Jadi,
para psikopat itu memang ada di mana-mana, bukan hanya di jalanan saja. Mereka
terutama akan banyak berkerumun di tempat-tempat yang memungkinkan mereka bisa
mendapatkan sesuatu, baik itu yang halal maupun yang haram
In
popular culture, the image of the psychopath is of someone like Hannibal Lecter
or the BTK Killer. But in reality, many psychopaths just want money, or power,
or fame, or simply a nice car. Where do these psychopaths go? Often, it's to the
corporate world. (Snakes In Suits: When
Psychopaths Go To Work).
Artinya:
Dalam
budaya populer, gambaran seorang psikopat adalah orang seperti Hannibal Lecter
atau pembunuh BTK. Pada kenyataannya, banyak psikopat hanya menginginkan uang,
kekuasaan, kemasyhuran atau sebuah mobil bagus. Kemana para psikopat ini pergi?
Seringkali, mereka pergi ke dunia bisnis.
Menurut
hasil Checklist Dr. Hare para corporate psychopaths ini skornya kurang
lebih sama dengan psikopat yang melakukan kejahatan di jalanan. Hanya saja
mereka memang lebih halus tindak-tanduknya, tidak berangasan seperti mereka yang
ada di jalanan, tak suka memakai tato di sekujur tubuh atau beragam aksesoris
seram lainnya. Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan di atas tadi, pada
pada hakikatnya isi hati mereka sama, yakni mereka semuanya tak punya hati
nurani, kejam dan berdarah dingin.
Walau
yang lebih sering diulas di media massa adalah kejahatan di jalanan yang
seringkali disertai kekerasan, seperti misalnya yang terdapat dalam acara Buser
atau Sergap, ternyata data di Amerika menunjukkan bahwa kejahatan kerah putih
menimbulkan kerugian yang jauh lebih besar daripada kejahatan di jalanan.
Nampaknya demikian pula di Indonesia sini, salah satunya adalah 30 persen
anggaran negara kita bocor tiap tahun, dan itu artinya ratusan triliun rupiah.
Belum ditambah lagi kasus BLBI atau beragam kasus semacamnya. Meski demikian,
saya belum punya data tepatnya di Indonesia. Untuk sementara Anda bisa melihat
data yang di Amerika dulu sebagaimana yang dicatat oleh kriminologis Georgette
Bennett:
The consequences to the average citizen from business crimes are
staggering: The combined burglary, mugging and other property losses induced by
the country's street punks come to about $4 billion a year. However, the
seemingly upstanding citizens in our corporate board rooms and the humble clerks
in our retail stores bilk us out of between $40 and $200 billion a
year.
Artinya: Kerugian yang ditanggung oleh masyarakat umum karena kejahatan di
dunia bisnis sangatlah besar: jumlah total kerugian yang diakibatkan oleh
pencurian, perampokan dan lain-lain yang dilakukan oleh penjahat jalanan sekitar
$4 milyar per tahun. Akan tetapi, total kerugian akibat penipuan oleh bisnismen
di perusahaan-perusahaan besar hingga pegawai rendahan di toko retail mencapai
sekitar $40 hingga $200 milyar per tahun.
Bukan hanya itu saja, kita juga seringkali mendengar berita tentang
produk-produk pabrik yang mengandung bahan-bahan berbahaya. Baik itu mulai kosmetik, mainan, bahkan makanan dan minuman yang kita
konsumsi. Berapa milyar lagi kerugian yang timbul akibat kejahatan semacam ini?
Belum lagi penderitaan baik secara fisik maupun psikologis yang diakibatkannya.
Sebagai
contoh misalnya, hingga awal 1990-an hampir tidak pernah terdengar berita anak
penderita autis, tetapi sekarang sudah menjadi epidemi. Itu karena produk-produk
yang mengandung terlalu banyak zat besi atau zat-zat berbahaya lainnya yang
dikonsumsi ibu-ibu hamil. Atau misalnya lagi produk yang mengandung melamin
seperti di Cina baru-baru ini yang juga memakan korban cukup banyak.
Atau Anda bisa mencari lagi banyak contoh lainnya. Dan produsen tentu
saja tak mau berterus-terus akan efek samping dari produk-produknya. Karena
pemilik dan manajemen pabrik dikuasai kaum psikopat yang tak peduli dengan nasib
orang lain. Asal mereka untung besar, habis perkara.
Pada umumnya, corporate psychopaths itu menjalin kerja sama yang
sangat rapat dengan rezim-rezim patokrat, yakni para psikopat yang memegang
kekuasaan politik. (Lihat
uraian pada bagian setelah ini). Hal yang biasa kita sebut sebagai kolusi. Kerja
sama semacam itu pada masa ini telah menimbulkan berbagai bencana di muka bumi
ini, apalagi bila corporate psychopaths itu menguasai
perusahaan-perusahaan besar multinasional. Ke belahan dunia mana pun mereka
pergi berbisnis, maka penindasan dan penderitaan segera saja menimpa masyarakat
luas di tempat yang mereka hinggapi. Karena rezim-rezim patokrat akan semakin
memperhebat penindasan atas rakyat mereka sendiri untuk memuaskan klien mereka,
yakni corporate psychopaths. Dan itu tentu saja karena rezim-rezim patokrat tersebut turut mendapat
keuntungan dari klien mereka.
Untuk gampangnya, kerjasama semacam itu bisa kita temui di
republik-republik pisang di Amerika Latin. Atau untuk di Indonesia sini kita
bisa melihat apa yang dikerjakan Freeport di Papua. Atau perusahaan pemegang HPH
yang berkolusi dengan para patokrat di pusat maupun daerah menghancurkan semua
hutan di Indonesia. Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya.
Corporate psychopaths dan rezim-rezim patokrat itu juga seringkali bekerja sama dengan
tokoh-tokoh agama bila diperlukan. Tentu saja itu bukan karena mereka orang yang
religius, karena pada dasarnya para psikopat tak peduli dengan moral, tetapi itu
hanya sekedar memanfaatkan agama untuk kepentingan egoisnya sendiri.
Selain itu, karena media massa baik cetak maupun elektronik pada umumnya
banyak bergantung kepada iklan, maka mau tak mau para corporate
psychopaths pun menguasai media massa juga. Bagaimana
itu dengan istilah kebebasan pers, pengawal demokrasi atau
istilah-istilah indah semacamnya? Dengan sedih terpaksa saya katakan
bahwa itu cuma ilusi belaka sepanjang masa. Sekali lagi, ilusi. Bahkan di negara-negara yang telah lama menjadi
demokratis seperti di Amerika dan Uni Eropa. Bila pun itu bisa disebut
kebebasan, maka itu adalah kebebasan bagi para pemilik media dan para
corporate psychopaths yang punya dana milyaran rupiah, mereka bebas untuk
menyuruh pasang berita apa saja yang mereka sukai untuk bisa dimuat di
headline suratkabar atau radio dan televisi. Anak buah mereka, yakni para
wartawan biasa, walau mungkin ada yang tidak setuju, mau tidak mau akan menurut
apa kata bos mereka.
Bagaimana
kemudian dengan kebebasan pers bagi masyarakat umum? Sebagaimana kita telah
maklum bersama, masyarakat umum akan sulit sekali mengutarakan suaranya di media
massa, bahkan walau itu cuma sekedar di surat pembaca. Memang benar bahwa Anda bebas untuk mengirimkan surat pembaca atau
artikel untuk mengutarakan pendapat Anda. Sialnya, walau ratusan kali Anda
mengirimkan surat pembaca belum tentu bisa dimuat. Entah itu karena terbatasnya
ruang halaman yang ada, atau karena pandangan Anda tidak sesuai dengan
redaksinya, atau karena sebab-sebab lain. Ringkasnya, Anda bebas mengirim tetapi
mereka bebas pula untuk tidak memuatnya. Sangat bebas, bukan? Itulah makna yang
hakiki dari kebebasan pers bagi masyarakat umum. Oleh karena itu, tak ada
salahnya saya kutip sekali lagi apa kata John Stockwell.
I
urge you to read. In television you get capsules of news that someone else puts
together what they want you to hear about the news. In newspapers you get what
the editors select to put in the newspaper. If you want to know about the world
and understand, to EDUCATE YOURSELF, you have to get out and dig, dig up books
and articles for yourself. Read, and find out for yourselves.
Artinya:
Saya menganjurkan Anda dengan sangat untuk membaca. Di televisi Anda mendapatkan
potongan-potongan berita yang ditaruh orang lain, berita menurut versi mereka
sendiri, yang mereka inginkan bagi Anda untuk mendengarkannya. Di surat kabar
Anda membaca berita-berita yang telah diseleksi oleh para editor. Jika Anda ingin mengetahui dan memahami dunia, mendidik diri Anda
sendiri, Anda harus menggali dan menggali buku-buku dan artikel-artikel sendiri.
Bacalah dan dapatkan sendiri berita-berita tersebut.
Ini bukan berarti saya melarang Anda untuk menonton TV, mendengar radio,
atau membaca koran. Bila
demikian, lantas apa bedanya saya nanti dengan Stalin, Mao atau Hitler? Maksud
saya di sini adalah supaya Anda jangan menelan mentah-mentah semua berita yang
ada. Tetaplah selalu bersikap kritis. Dengan adanya media alternatif berupa
internet, maka itu sekarang bisa kita manfaatkan sebagai penyeimbang dari
berita-berita yang kita baca di media-media besar (mainstream media).
Supaya kita tak mudah disesatkan begitu saja. Apalagi, kita tahu bahwa di
internet semua orang bisa jauh lebih bebas mengutarakan suaranya karena ruang
halaman yang tidak terbatas. Juga tanpa melalui seleksi redaksi. Dengan demikian, boleh dikatakan
internet itu merupakan demokratisasi di bidang informasi. Semua orang bisa
mengutarakan pendapatnya di sana dengan bebas dan seberapa halaman pun dia mau.
Meski demikian, kita tentu tetap harus bersikap kritis juga saat membaca
artikel-artikel di internet. Banyak juga artikel-artikel yang ngaco di sana.
Jelasnya, di mana saja kita berada, tetap harus senantiasa bersikap kritis dan
bijaksana. Jangan lantas membaca ini ikut pendapat yang ini, membaca yang itu
langsung ikut yang itu, tanpa teliti dan periksa lagi.
Untuk psikopat di dunia bisnis ini untuk sementara saya bahas secara
singkat dulu saja. Ada artikel yang saya kira bisa menerangkan dengan lebih
jelas, yaitu Is Your Boss a Psychopath? oleh Alan Deutschman. Silakan Anda baca. Bila
Anda tertarik ingin membacanya, tetapi bahasa Inggris kurang lancar, boleh juga
minta bantuan teman Anda. Atau bisa juga minta bantuan ke biro penterjemah. Cuma
sekitar 10 atau 11 halaman A4 kalau jarak 2 spasi, jadi biayanya saya kira murah
saja. Akan tetapi, yang paling baik sebenarnya adalah kalau Anda mau mencoba
menerjemahkannnya sendiri sambil nyambi belajar. Apalagi, saat ini sudah banyak
program kamus untuk komputer sehingga sangat membantu kita untuk belajar, tak
lagi harus membolak-balik kamus tebal seperti dulu lagi. Tinggal copy &
paste sudah dapat kata-kata yang dimaksud. Banyak sekali artikel dan e-book
menarik di internet yang bisa Anda baca dan pelajari bila menguasai bahasa
Inggris – atau juga bahasa-bahasa Eropa lainnya. Bisa semakin memperluas
pengetahuan kita dan menemukan banyak sekali bacaan menarik yang tidak/belum
beredar di Indonesia sini.
Banyak
orang yang sering bertanya-tanya dalam hati kenapa umat manusia dari beragam
bangsa di dunia ini selalu sama saja nasibnya? Lepas dari penjajahan yang satu
lalu dibelenggu oleh penindasan yang lainnya. Selepas keluar dari mulut macan
langsung ditelan para buaya. Selalu saja begitu. Kenapa sebabnya itu bisa
terjadi? Sejarah umat manusia pun selalu dipenuhi dengan perang dan bencana
buatan manusia yang seolah tiada habisnya, baik itu dalam skala kecil maupun
skala besar. Tiada hari tanpa perang di dunia ini. Bahkan, abad ke-20 kemarin,
di mana kemajuan teknologi berkembang sangat tinggi, juga adalah abad yang
paling berdarah sepanjang sejarah umat manusia. Beragam perang besar tetap
terjadi dan beragam diktator haus darah tetap bermunculan di mana-mana.
Kriminalitas di jalan-jalan juga makin berkembang biak. Kemajuan teknologi
ternyata tak mengubah apa-apa, sejarah umat manusia hingga saat ini tetap
dipenuhi kejahatan dan peperangan tanpa henti.
Mereka
yang bertanya-tanya tadi akhirnya mendapat penerangan setelah membawa buku-buku
dan artikel tentang psikopat. Itu bisa kita baca antara lain dalam dua kutipan
berikut ini. Tulisan lengkapnya bisa Anda klik link-nya.
I
make the effort to share this information because it gives me, at last, a
plausible answer to a long-unanswered question: Why, no matter how much
intelligent goodwill exists in the world, is there so much war, suffering and
injustice? It doesn't seem to matter what creative plan, ideology, religion, or
philosophy great minds come up with, nothing seems to improve our lot. Since the
dawn of civilization, this pattern repeats itself over and over again. (Clinton
Callahan, Beware of the
Psychopath).
In the end, again, the real problem is that the knowledge of psychopathy
and how psychopaths rule the world has been effectively hidden and people do not
have the adequate, nuanced knowledge they need to really make a change from the
bottom up. Again and again, throughout history it has been "meet the new boss,
same as the old boss." (Silvia
Cattori, The Trick of the
Psychopath's Trade).
Artinya:
Saya berusaha untuk turut menyebarluaskan informasi ini, karena inilah yang pada
akhirnya bisa memberikan aku jawaban yang sangat memuaskan atas satu pertanyaan
yang selama ini tak pernah terjawab: Kenapa, tak peduli berapa pun keinginan
baik yang hadir di muka bumi ini, tetap saja selalu ada peperangan, penderitaan
dan ketidakadilan? Tak peduli apa pun rencana kreatif, ideologi, agama atau
filosofi yang datang dari orang-orang bijaksana, semuanya tak sedikit pun bisa
mengubah nasib kita. Semenjak awal peradaban, pola semacam ini selalu berulang
dan berulang lagi.
Pada
akhirnya, sekali lagi, problem utamanya adalah pengetahuan tentang psikopati dan
bagaimana psikopat menguasai dunia selama ini secara efektif tersembunyikan dan
orang tak punya pengetahuan yang cukup, yang mereka butuhkan untuk benar-benar
bisa melakukan perubahan dari bawah ke atas. Lagi dan lagi, sepanjang sejarah
orang menemui bos baru, yang sama saja tabiatnya dengan bos yang lama.
Selanjutnya
kita akan mengutip kata-kata Andrzej Lobaczewski, seorang ahli psikologi dari
Polandia yang telah meneliti masalah Ponerologi atau “the science of evil”
selama berpuluh tahun. Ia beserta rekan-rekannya terdorong untuk meneliti
masalah ini setelah mereka mengalami penderitaan hidup di bawah penindasan rezim
Nazi, yang setelah itu dilanjutkan dengan penindasan rezim komunis Polandia.
Pada
mulanya ia pun menyangka bahwa semua manusia itu semenjak dari lahirnya bersifat
baik, tetapi karena beragam pengalaman pahit yang dialami saat berada di bawah
penindasan dua rezim brutal tersebut, ia kemudian mulai mengadakan penelitian
tentang kepribadian manusia. Penelitiannya itu akhirnya membuktikan bahwa ia
keliru, ternyata tak semua orang dari lahirnya bersifat baik, berusaha berbuat
baik dan untuk tujuan yang baik-baik pula. Penelitian Lobaczewski inilah antara
lain yang kemudian bisa memberikan jawaban atas pertanyaan dua orang yang
tulisannya baru saja kita kutip di atas tadi. Berikut kata
Lobaczewski.
…my
work has shown me that the vast majority of people want to do good, to
experience good things, think good thoughts, and make decisions with good
results. And they try with all their might to do so! With the majority of people
having this internal desire, why the Hell isn't it happening?
Artinya:
…pekerjaanku telah menunjukkan kepadaku bahwa sebagian besar umat manusia ingin
melakukan hal-hal yang baik, mengalami hal-hal yang baik, memikirkan hal-hal
yang baik dan membuat keputusan dengan hasil yang baik pula. Dan mereka berusaha
sekuat tenaga untuk melakukannya. Dengan sebagian besar manusia mempunyai
keinginan semacam ini, lalu kenapa hal itu tak pernah bisa terwujud?
Bila
kita renungkan, maka keluhan Lobaczewski ini
adalah keluhan sebagian besar umat manusia juga, yang seperti terasa mengiang
berabad-abad lamanya.
Selanjutnya
ia menulis:
I
was naïve, I admit. There were many things I did not know that I have learned
since I penned those words. But even at that time I was aware of how our own
minds can be used to deceive us.
The
word “psychopath” generally evokes images of the barely restrained - yet
surprisingly urbane - Dr. Hannibal Lecter of “Silence of the Lambs” fame. I will
admit that this was the image that came to my mind whenever I heard the word.
But I was wrong, and I was to learn this lesson quite painfully by direct
experience. The exact details are chronicled
elsewhere; what is important is that this experience was probably one
of the most painful and instructive episodes of my life and it enabled me
to overcome a block in my awareness of the world around me and those who inhabit
it.
Now,
what beliefs did I hold that made me a victim of a psychopath? The first and
most obvious one is that I truly believed that deep inside, all people
are basically “good” and that they “want to do good, to experience good
things, think good thoughts, and make decisions with good results. And they try
with all their might to do so…”
As
it happens, this is not true as I - and everyone involved in our
working group - learned to our sorrow, as they say. But we also learned to our
edification. In order to come to some understanding of exactly what kind of
human being could do the things that were done to me (and others close to me),
and why they might be motivated - even driven - to behave this way, we began to
research the psychology literature for clues because we needed to understand for
our own peace of mind.
Artinya:
Aku dulu memang naïf, kuakui. Banyak hal yang tak kuketahui yang kemudian
kupelajari semenjak aku menuliskan kata-kata ini. Tetapi, pada saat itu aku pun
telah sadar bahwa pikiran kita ternyata bisa digunakan untuk menipu diri kita
sendiri.
Kata
“psikopat” umumnya akan mengingatkan kita kepada wajah Dr. Hannibal Lecter di
film “Silence of the Lambs”, seseorang yang tak bisa mengekang hawa nafsunya
namun anehnya dia sangat sopan santun. Kuakui bahwa wajah semacam inilah yang
akan datang ke pikiranku setiap kali kudengar kata ini. Tetapi, ternyata aku
keliru, dan aku mempelajarinya dari pengalaman pahit yang kualami sendiri.
Detil tepatnya chronicled
elsewhere; yang paling penting adalah pengalaman ini merupakan salah
satu episode yang paling menyakitkan sekaligus instruktif pada masa
hidupku, dan membuatku bisa untuk mengatasi hambatan yang ada di alam sadarku
tentang dunia di sekitarku dan mereka yang menghuninya.
Sekarang,
keyakinan macam apa yang kupegang yang bisa membuatku menjadi korban seorang
psikopat? Yang pertama dan paling jelas adalah bahwa aku sungguh-sungguh percaya
bahwa di lubuk hati mereka yang terdalam, semua orang pada dasarnya “baik” dan
mereka “ingin berbuat baik, mengalami hal-hal baik, memikirkan hal-hal baik,
dan membuat keputusan dengan hasil yang baik pula. Dan mereka berusaha sekuat
tenaga untuk melakukannya…”
Pada
kenyataannya, itu tidak benar, seperti yang aku- dan juga semua orang
yang terlibat dalam kelompok kerja ini- telah mempelajarinya dalam penderitaan
yang kami alami. Tetapi kami juga mempelajari manfaatnya bagi kami. Supaya
akhirnya nanti bisa memahami dengan tepat manusia-manusia semacam apa yang bisa
melakukan hal-hal jahat kepadaku (dan mereka yang dekat dengan aku), dan kenapa
mereka termotivasi- bahkan terdorong- untuk berkelakuan semacam itu, kami
memulai riset melalui literatur psikologi guna mendapatkan jawaban yang kami
perlukan untuk memahaminya, demi kedamaian pikiran kami.
Seperti
yang telah disebutkan di atas, memang janganlah kita menyangka bahwa para
psikopat itu hanya ada di film Silence of the Lamb, tetapi mereka
ternyata ada di semua profesi yang ada di masyarakat walau tingkatan patologi
mereka memang berbeda-beda. Mereka itu terutama banyak mendominasi jabatan-jabatan penting yang ada
di pemerintahan, militer dan korporasi.
It
is estimated that approximately one percent of the general population are
psychopaths. They are overrepresented in prison systems, politics, law
enforcement agencies, law firms, and in the media. (Psychopathy,
Wikipedia)
Cleckley
also gives grounds for the view that psychopathy is quite common in the
community at large. He has collected some cases of psychopaths who generally
function normally in the community as businessmen, doctors, and even
psychiatrists. (The Psychopath: The Mask
of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future
School).
As
with judges and juries, so too with those charged with decisions concerning who
to promote and who not to promote in corporate, military and governmental
hierarchies. The result is that all hierarchies inevitably become top-heavy with
psychopaths. (Kevin Barrett, Twilight of the
Psychopaths)
Psychopaths
often make successful businessmen or world leaders. (Shirley Lynn Scott, What
Makes Serial Killers Tick?).
Artinya:
Diperkirakan sekitar satu persen dari populasi manusia adalah psikopat. Mereka
terwakili secara berlebihan di penjara-penjara, di dunia politik, di lembaga
penegak hukum, firma hukum dan di media massa.
Cleckley
juga memberikan dasar bagi pendapat bahwa psikopati itu cukup banyak terdapat di
masyarakat umum. Dia telah mengumpulkan beberapa kasus psikopat yang berfungsi
secara normal di masyarakat sebagai bisnismen, doctor bahkan psikiatris.
Sebagaimana hakim dan juri, demikian pula dengan mereka yang diberi
wewenang untuk menentukan promosi kenaikan pangkat dalam hirarki perusahaan,
militer dan pemerintahan. Hasilnya
adalah: jajaran atas semua hirarki akhirnya dipenuhi dengan para
psikopat.
Psikopat
seringkali berhasil menjadi bisnismen yang sukses atau pemimpin dunia.
Jadi,
itulah agaknya penyebab kenapa sebagian besar negara di dunia ini selalu kacau
balau saja keadaanya, termasuk juga negara kita. Saya dulu, seperti juga Anda
semua, menyangka bahwa beragam kekacauan itu karena sistem negaranya yang salah
dan karenanya mesti diperbaiki. Ternyata bukan. Itu terutama karena sepanjang
sejarah umat manusia, kekuasaan lebih sering berada di tangan para psikopat,
yang oleh Lobaczewski disebut sebagai patokrasi, pemerintahan yang isinya
didominasi orang-orang sakit jiwa.
Ringkasnya, orang-orang yang seharusnya menjalani rawat-inap di RSJ malah
berkeliaran dengan bebas di berbagai lembaga pemerintahan, baik itu di lembaga
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Kacau dah dunia.
A
pathocracy is a social movement, society, nation, or empire wherein a small
pathological minority takes control over a society of normal people. The
pathological minority habitually perpetrates evil deeds on its people and/or
other people.
Almost
everyone knows that pathocracies have been responsible for tremendous death and
destruction throughout history. What less people are willing to acknowledge is
that pathocracies continue to perpetrate death and destruction today. Billions
of people throughout the world live in perpetual poverty and
hunger or lack
access to safe water, despite the fact that the resources exist to
provide adequate food and safe water to all of the world’s citizens. Millions of
others are perpetually exposed to the horrors of war
Therefore,
it would behoove us all to understand how pathocracies develop and perpetrate
their damage, and how to recognize them. (How Societies Regress to
Become Pathocracies)
Artinya:
Patokrasi adalah suatu gerakan sosial, masyarakat, negara, imperium di mana
suatu minoritas yang mengidap patologi (sakit jiwa) memegang kontrol atas sebuah
masyarakat yang normal. Minoritas yang mengidap patologi ini mempunyai kebiasaan
melakukan perbuatan jahat kepada rakyatnya dan/atau rakyat negara
lain.
Hampir
semua orang tahu bahwa patokrasi bertanggung jawab atas kematian dan kehancuran
besar yang terjadi sepanjang sejarah. Apa yang tak begitu diakui oleh orang
adalah patokrasi hingga saat ini terus saja melanjutkan kerja mereka menimbulkan
kematian dan kehancuran. Milyaran orang di muka bumi terus-menerus hidup dalam
kemiskinan dan kelaparan atau kekurangan air bersih, walaupun sebenarnya
terdapat sumber-sumber yang cukup untuk memenuhi kebutuhan makanan dan minuman
bagi seluruh umat manusia di muka bumi. Sedangkan jutaan yang lainnya terus-menerus dihadapkan kepada horor
peperangan.
Oleh karena itu, sangatlah perlu bagi kita semua untuk memahami
bagaimana patokrasi berkembang dan membuat kerusakan, dan bagaimana untuk bisa
mengenali mereka.
Sebuah
artikel lain menyatakan:
Lobaczewski says that for centuries, evil has been regarded with a
moralistic interpretation that did nothing to help humanity counteract it. His
scientific study led him to observe that "evil" acts were most often perpetrated
by psychopaths, essentially those with mental diseases, causing him to study
evil as a disease not a concept surrounded in moral fluff. According to
Lobaczewski, a small percentage of psychopaths has the ability to infect certain
personalities within populations to go along with their deviant worldview by
manipulating them with propaganda and "patriotic buffoonery."
Causing a sort of neurosis within such personalities, psychopathic
regimes - whose desire is to rule and be served - have used these pawns to
inflict enormous suffering on the majority of "normal" people throughout
history. Lobaczewski calls this "macrosocial evil' where large scale evil
overtakes whole nations affecting social, political and religious movements time
and time again. (Keaven Van Lom, Around the World, Political Ponerology book
review).
Artinya: Lobaczewski mengatakan bahwa selama berabad-abad kejahatan diperlakukan
menurut interpretasi moral sehingga tidak sedikit pun membantu umat manusia
untuk mengatasinya. Studi ilmiahnya mengamati bahwa aksi kejahatan sebagian
besar dilakukan oleh para psikopat, terutama mereka yang punya penyakit mental.
Hal itu menyebabkannya mempelajari kejahatan itu sebagai suatu penyakit dan
bukan suatu konsep yang berkaitan dengan moral. Menurut Lobaczewski, psikopat
yang secara persentasi jumlahlah cuma sedikit itu mempunyai kemampuan untuk
menginfeksi orang-orang yang mempunyai kepribadian tertentu di masyarakat untuk
menerima pandangan dunia mereka yang menyimpang, dengan cara memanipulasi mereka
dengan propaganda dan "perbadutan
patriotik."
Setelah menginfeksi orang-orang yang berkepribadian semacam itu dengan
semacam penyakit syaraf, maka rezim-rezim psikopat tersebut - yang selalu
bernafsu untuk berkuasa dan dilayani - menggunakan pion-pion tersebut untuk
menyebabkan penderitaan besar kepada mayoritas orang normal sepanjang sejarah.
Lobaczewski menyebut hal ini "kejahatan makrososial” di mana kejahatan dalam
skala besar menguasai seluruh negara dan mempengaruhi gerakan sosial, politik
maupun agama secara berulang kali.
Sepanjang
sejarah umat manusia, bahkan hingga saat ini, sebagian besar pemerintahan di
dunia memang didominasi oleh patokrasi. Janganlah Anda kemudian berhalusinasi
bahwa patokrasi itu hanya ada di negara-negara berkembang. Di Amerika pun,
sebuah negara demokrasi yang telah berusia beratus tahun, di bawah pemerintahan
psikopat seperti George Bush kembali mengesahkan penyiksaan dan pembunuhan di
penjara-penjara. Sementara itu seorang psikopat lainnya, yakni mantan walikota
New York Rudolph Giuliani, pernah mendefinisi ulang apa arti
kebebasan.
Freedom
is not a concept in which people can do anything they want, be anything they can
be. Freedom is about authority. Freedom is about the willingness of every single
human being to cede to lawful authority a great deal of discretion about what
you do. (rudy-giuliani-on-freedom)
Artinya:
Kebebasan bukanlah suatu konsep di mana orang bisa melakukan apa pun yang mereka
mau dan menjadi apa pun yang mereka inginkan. Kebebasan adalah tentang
kekuasaan. Kebebasan adalah tentang kesediaan tiap-tiap manusia untuk
menyerahkan sebagian besar keputusan yang ingin diperbuatnya kepada penguasa
yang sah.
Jadi,
walaupun sistemnya sudah benar, di tangan orang-orang psikopat semuanya bisa
dibengkokkan menjadi tidak benar, lalu dicarikan beragam alasan sebagai pembenar
perbuatan atau pendapat yang salah tersebut. Psikopat seperti Rudolph Giuliani
tadi berusaha membengkokkan definisi kebebasan menjadi kediktatoran.
Demikian
pula di Indonesia sini, jelas-jelas tertulis di UUD 45 bahwa kebebasan berkumpul
dan berpendapat dijamin sepenuhnya, tapi toh dulu bisa juga dibengkokkan oleh
para penjahat psikopat menjadi kediktatoran dengan dicarikan berbagai alasan
pembenaran. Atau misalnya lagi tertulis bahwa semua hasil bumi dan tambang harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, tapi nyatanya
dipelintir juga demi kesejahteraan segelintir golongan saja, atau demi
kesejahteraan keluarga dhewe-dhewe. Tentu lalu dicarikan alasan pembenarnya
juga. Walau suatu sistem yang salah tentu saja perlu diperbaiki, tetapi
persoalannya ternyata memang bukan terutama pada sistem, tetapi pada bercokolnya
manusia-manusia psikopat di panggung kekuasaan.
It is not power that corrupts, it is that corrupt individuals seek
power. (Silvia
Cattori, The Trick of the
Psychopath's Trade)
Karena
banyaknya psikopat yang berada di panggung kekuasaan, maka negara pun tak pernah
bisa benar jalannya, selalu saja kacau balau. Sejarah pun akhirnya berjalan
menurut apa kata Edward Gibbon, yakni “History…is,
indeed, little more than the register of the crimes, follies, and misfortunes of
mankind.”
Kita
tahu bahwa Indonesia juga semenjak reformasi sudah mengalami perubahan sistem,
dan bila dihitung pada zaman modern ini kita sudah mengalami tiga kali masa
huru-hara dan revolusi, tahun 1945, tahun 1965 dan tahun 1998. Tetapi, tetap
juga tak ada yang berubah, nasib negara dan rakyatnya tetap tak berubah. Malah
semakin menambah daftar panjang bahwa “En
effet, l’histoire n’est que le tableau des crimes et des malheurs.”
Zaman Belanda dijajah orang kulit putih, zaman “merdeka” dijajah londo ireng.
Oke, kata merdekanya tadi saya kasih tanda kutip. Jangan lupa itu, karena
faktanya memang tak ada yang berubah. Keluar dari mulut macan masuk mulut buaya.
Lepas dari bos rakus yang satu, ganti diperas bos serakah yang lainnya.
Dan
itu tak hanya terjadi di Indonesia. Hampir semua negara di Asia dan Afrika yang
baru bebas dari penjajahan bangsa-bangsa Eropa segera saja dijajah oleh para
londo ireng di negaranya masing-masing, terlebih lagi di negara-negara Afrika.
Wilayah Amerika Latin pun nasibnya tak jauh berbeda. Selepas perginya orang
Spanyol dan Portugal, segera saja kekuasaan diambil alih oleh para diktator
lokal, yang ternyata sama kejam dan rakusnya dengan pemerintahan Spanyol dan
Portugal. Ironisnya, semua negara itu tiap tahun tetap saja sibuk merayakan hari
kemerdekaan. Halusinasi. Dan dengan penuh semangat menyanyikan lagu-lagu
kemerdekaan, dengan rantai yang masih membelenggu di kedua belah kaki dan
tangannya….
Tentu
saja segala perbudakan, perampokan, penjajahan, kekejaman dan kejahatan itu tak
boleh langsung diungkapkan mentah-mentahan, tetapi mesti dibuatkan filosofinya
dulu, dibuatkan pembenarannya dengan beragam ungkapan (baca: topeng) yang
indah-indah, yang bisa membuaikan dan meninabobokan orang-orang pandir bila
mereka mendengarnya.
When you conquer somebody and suppress them, you have to have a reason.
You can't just say, "I'm a son of a bitch and want to rob them". You have
to say it's for their good, they deserve it, or they actually benefit from it.
That was the attitude of the slave owners. Most of them didn't say, "Look, I'm
enslaving these people because I want easily exploitable cheap labor for my own
benefit." (Noam Chomsky, What
we Say Goes, Conversations on U.S. Power in a Changing World).
Artinya: Ketika kamu menaklukkan seseorang dan kemudian menindasnya, kamu harus
punya alasan. Kamu tak bisa hanya berkata, “Aku anak wanita jalang dan aku ingin
merampok mereka”. Kamu harus berkata bahwa itu untuk kebaikan mereka, mereka
layak diperlakukan seperti itu, atau mereka itu sebenarnya malah diuntungkan.
Ini adalah sikap para pemilik budak. Sebagian besar mereka tidak berkata,
“Lihat, aku memperbudak orang-orang ini karena aku ingin mengeksploitasi tenaga
kerja murah untuk kepentinganku sendiri”.
Pada
zaman kolonialisme Eropa dulu penjajahan dibuatkan filosofi pembenarannya dengan
sacred mission of civilization. Bahkan, perbudakan di Amerika dulu pembenarannya diambilkan dari ayat
Bibel. Indah sekali, bukan? Setelah orang Eropa pergi perbudakan pun dilanjutkan
oleh para pemimpin lokal sendiri dengan filosofi patrotisme atau semacamnya.
Semuanya terdengar sangat indah, tetapi itu hanyalah sekedar topeng belaka,
sebab isinya tetaplah penjajahan dan perbudakan, penghisapan tenaga dan hasil
alam negara untuk keuntungan segelintir orang saja, sementara nasib mayoritas
rakyat tetaplah tak berubah dari waktu ke waktu. Sebab di balik topeng yang
serba indah itu tersembunyilah wajah monster psikopat yang rakus dan haus darah.
Semua
memang mesti ada filsafatnya, ada pembenarannya. Tentara Merah pergi Eropa Timur
untuk misi pembebasan, Kim Il Sung juga punya misi pembebasan, George Bush juga
punya misi pembebasan di penjara Guantanamo, Baghram, dan Abu Ghraib. Pol Pot
pun berminat membebaskan rakyat Kamboja, ia sama sekali tak pernah punya misi
membantai mereka, itu cuma sekedar “efek samping” saja, alias collateral
damage. 1,5 juta rakyat Iraq mati pun di mata psikopat semacam Clinton dan
Madelein Albright hanyalah sekedar efek samping belaka. What to others would
be a disaster is to psychopats merely a fleeting inconvenience. Apalagi,
mereka toh punya “misi mulia”, yakni membebaskan rakyat Irak. Katanya. Jadi,
semuanya bermisi membebaskan umat manusia, bermisi patriotisme, membela bangsa
dan tanah air atau bermisi menyebarkan demokrasi. Bahkan, di gerbang Auschwitz
pun tertulis “Arbeit Mach Frei”, bekerja bisa membuatmu merdeka. Enam juta
Yahudi mati itu pun, yah, sekedar collateral damage belaka. Toh, tujuan
Himmler adalah membebaskan bangsa Yahudi, perkara Soros dan Madelein Albright
cs. tak mau akur ya terserah.
Cleckley's
seminal hypothesis concerning the psychopath is that he suffers from a very real
mental illness indeed: a profound and incurable affective deficit. If he really
feels anything at all, they are emotions of only the shallowest kind. He does
bizarre and self-destructive things because consequences that would fill the
ordinary man with shame, self-loathing, and embarrassment simply do not affect
the psychopath at all. What to others would be a disaster is to him merely a
fleeting inconvenience. (The Psychopath: The Mask
of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future
School).
Artinya:
Hipotesa
penting Cleckley mengenai psikopat adalah bahwa ia memang benar-benar menderita
sakit jiwa, yaitu tak punya rasa cinta kasih dalam stadium yang sangat parah dan
tak bisa disembuhkan. Seandainya pun ia bisa merasakan sesuatu, itu hanyalah
emosi yang paling dangkal. Dia melakukan beragam hal aneh dan self-destruktif
karena ia sama sekali tak peduli dengan akibat-akibat yang ditimbulkan akibat
perbuatannya, padahal hal-hal semacam itu bagi orang normal adalah sangat
memalukan dan menjijikkan. Apa yang bagi orang lain adalah bencana, bagi seorang
psikopat itu hanyalah gangguan ringan saja.
Jadi,
beragam kejahatan itu ternyata dilakukan oleh para psikopat, orang-orang yang
secara klinis memang menderita sakit jiwa, yang lalu gemar mengenakan topeng
untuk menutupi kejahatannya. Dan sekarang terserah kepada kita, apakah kita mau
percaya dan memuja topeng indah tersebut, ataukah kita bertekad membuka semua
topeng itu dan menemukan wajah monster haus darah dibaliknya yang tepat di
keningnya ada tulisan besar berbunyi “I'M A SON OF A BITCH AND I WANT TO ROB
YOU." Merampok hartamu, merampok nyawamu dan anak cucumu, merampok tenagamu,
merampok kebebasanmu dan merampok semua segala yang kau punyai. Dan itu ada tertulis besar-besar di jidat yang berada di balik topeng
tersebut.
Berikut ini kita akan berikan contoh ucapan seorang psikopat yang
menduduki jabatan tinggi di militer. Dengan dingin dan brutal ia bisa
memerintahkan percobaan kejam di masyarakat. Ini supaya Anda bisa menjadi yakin
bahwa para psikopat itu memang banyak bercokol di puncak-puncak jabatan
eksekutif dan sialnya hanya sedikit di antara kita selama ini yang menyadari hal
itu.
The
psychopaths, those human-looking predators without conscience, have no love for
the rest of humanity. It is a life and death struggle between them and us
because they know that if the true nature of their existence as humanity's
natural predator ever come to light, they would lose everything. Every once in
awhile, their real aims slip through the filters and appear in the media. It may
be because the media have been subjected to the process of ponerization for so
long that statements such as those below no longer register to the journalists
and editors who manage the news as the vile, hateful words that they are. In
this case, CNN had the kindness to report on some honest, but no less
frightening for that, words spoken by US Air Force Secretary Michael
Wynne:
Air Force chief: Test weapons on testy U.S. mobs POSTED:
7:56 p.m. EDT, September 12, 2006 WASHINGTON (AP) -- Nonlethal weapons such as
high-power microwave devices should be used on American citizens in
crowd-control situations before being used on the battlefield, the Air Force
secretary said Tuesday. The object is basically public relations. Domestic use
would make it easier to avoid questions from others about possible safety
considerations, said Secretary Michael Wynne. "If we're not willing to use it
here against our fellow citizens, then we should not be willing to use it in a
wartime situation," said Wynne. "(Because) if I hit somebody with a nonlethal
weapon and they claim that it injured them in a way that was not intended, I
think that I would be vilified in the world press." The Air Force has paid for
research into nonlethal weapons, but he said the service is unlikely to spend
more money on development until injury problems are reviewed by medical experts
and resolved. Nonlethal weapons generally can weaken people if they are hit with
the beam. Some of the weapons can emit short, intense energy pulses that also
can be effective in disabling some electronic devices.
The cold-blooded, ruthless, and arrogant nature of our rulers is
beautifully captured in his words. Especially the phrase, "If we're not willing
to use it here against our fellow citizens, then we should not be willing to use
it in a wartime situation". Following Wynne's logic, one might also conclude
that the interrogation techniques practised in the secret, and not-so-secret, US
detention centres around the globe are also worthy of use in the United States
and on citizens of the United States. (Henry See)
Boleh jadi berbagai percobaan brutal selama ini telah dilakukan militer
Amerika di mana-mana, baik itu ditujukan kepada rakyatnya sendiri maupun kepada
rakyat di negara-negara lain. Baik kepada rakyat sipil maupun anggota militer.
Yang sempat terucapkan oleh Kepala Staf USAF tadi nampaknya hanya salah satu
dari banyak kasus lain yang tak pernah diungkapkan. Dan kita tahu bahwa banyak
prajurit Amerika yang pulang dari Perang Teluk I menderita apa yang disebut Gulf
War Syndrome. Sindrom ini ada yang cukup ringan tapi ada pula yang sangat parah
hingga mereka ada yang sampai sekarat. Tentu saja hal itu lalu ditutup-tutupi
oleh Pentagon. Lihat antara lain artikel Philip Shenon, “The Mystery of Gulf War
Syndrome” di Encarta.
Ini
pertanyaan yang masuk akal juga, yakni kenapa para psikopat itu bisa sampai
tampil di tampuk kekuasan tertinggi suatu negara atau kerajaan sepanjang
sejarah?
Jawabannya,
sebagian besar adalah karena para psikopat itu bersedia menghalalkan segala cara
untuk mencapainya, termasuk dengan membunuh, menyiksa, menipu, mengadakan
peperangan dan segala macam kejahatan lainnya.
Psychopaths
have played a disproportionate role in the development of civilization, because
they are hard-wired to lie, kill, cheat, steal, torture, manipulate, and
generally inflict great suffering on other humans without feeling any remorse.
Evidently,
psychopaths exercised an enormous amount of power in seemingly sane, normal
society.
How
could that be? In Political Ponerology, Andrzej Lobaczewski explains that
clinical psychopaths enjoy advantages even in non-violent competitions to climb
the ranks of social hierarchies. Because they can lie without remorse (and
without the telltale physiological stress that is measured by lie detector
tests) psychopaths can always say whatever is necessary to get what they want.
In court, for example, psychopaths can tell extreme bald-faced lies in a
plausible manner, while their sane opponents are handicapped by an emotional
predisposition to remain within hailing distance of the truth. Too often, the
judge or jury imagines that the truth must be somewhere in the middle, and then
issues decisions that benefit the psychopath. As with judges and juries, so too
with those charged with decisions concerning who to promote and who not to
promote in corporate, military and governmental hierarchies. The result is that
all hierarchies inevitably become top-heavy with psychopaths. (Kevin Barrett, Twilight of the
Psychopaths)
Artinya:
Psikopat
memegang peranan yang tidak proporsional di dalam perkembangan peradaban
karena hardware di kepala mereka terprogram untuk berdusta, membunuh,
menipu, menyiksa, manipulasi dan secara umum menimbulkan penderitaan yang sangat
besar kepada orang lain tanpa sedikit pun merasa menyesal.
Jelasnya,
psikopat memiliki kekuasaan yang terlampau besar di masyarakat yang kelihatannya
normal dan waras.
Bagaimana
hal itu bisa terjadi? Di Political Ponerology, Andrzej Lobaczewski
menerangkan bahwa orang yang secara klinis adalah psikopat mempunyai banyak
keuntungan, bahkan dalam persaingan yang tidak disertai kekerasan, untuk menaiki
tangga suatu hirarki sosial. Karena mereka bisa berdusta tanpa menyesal (dan
tanpa disertai stres psikologis yang bisa tercatat di lie detector).
Psikopat selalu bisa mengatakan apa pun yang diperlukan untuk mendapatkan apa
yang diinginkannya. Di pengadilan misalnya, psikopat bisa berdusta habis-habisan
dengan cara yang masuk akal, sementara seterunya yang normal tak bisa melakukan
hal semacam itu karena emosinya selalu menjaganya supaya dia tetap berada tak
terlalu jauh dari kebenaran. Seringkali hakim atau juri membayangkan bahwa
kebenaran itu mestilah berada di tengah-tengah, dan keputusan yang diambil
akhirnya menguntungkan seorang psikopat. Sebagaimana hakim dan juri, demikian pula dengan mereka yang diberi
wewenang untuk menentukan promosi kenaikan pangkat dalam hirarki perusahaan,
militer dan pemerintahan. Hasilnya adalah: jajaran tingkat atas di semua hirarki
akhirnya dipenuhi dengan para psikopat.
Di pihak lain, manusia normal pada umumnya akan berpikir panjang untuk
menipu dan melakukan beragam kejahatan dengan mengorbankan orang lain, seperti
menganjurkan peperangan dan pembunuhan demi mencapai tujuannya. Hal itu karena
terdapatnya sistem pencegah di otak mereka. Orang normal melakukan penganiayaan
atau pembunuhan hanya bila dalam kondisi takut atau marah yang tidak terkontrol
karena pada saat itu sistem di otaknya yang mencegah dia melakukan kekerasan
terbuka kuncinya. Hal ini berbeda dengan para psikopat yang melakukannya dengan
darah dingin dan terencana, dan bisa mereka lakukan berulang-ulang, karena
sistem pencegah di otak mereka tidak ada. Bisa
kita lihat apa kata Lt. Col. David Grossman berikut ini.
We
all know that you can't have an argument or a discussion with a frightened or
angry human being. Vasoconstriction, the narrowing of the blood vessels, has
literally closed down the forebrain--that great gob of gray matter that makes
you a human being and distinguishes you from a dog. When those neurons close
down, the midbrain takes over and your thought processes and reflexes are
indistinguishable from your dogs. If you've worked with animals, you have some
understanding of what happens to frightened human beings on the battlefield. The
battlefield and violent crime are in the realm of midbrain responses.
Within
the midbrain there is a powerful, God-given resistance to killing your own kind.
Every species, with a few exceptions, has a hardwired resistance to killing its
own kind in territorial and mating battles. When animals with antlers and horns
fight one another, they head butt in a harmless fashion. But when they fight any
other species, they go to the side to gut and gore. Piranhas will turn their
fangs on anything, but they fight one another with flicks of the tail.
Rattlesnakes will bite anything, but they wrestle one another. Almost every
species has this hardwired resistance to killing its own kind.
When
we human beings are overwhelmed with anger and fear, we slam head-on into that
midbrain resistance that generally prevents us from killing. Only
sociopaths--who by definition don't have that resistance--lack this innate
violence immune system. (David Grossman, Trained To Kill)
Artinya:
Kita
semua tahu bahwa kita tidak bisa berargumentasi atau berdiskusi dengan seseorang
yang sedang marah atau ketakutan. Vasoconstriction, yaitu penyempitan pembuluh
darah, pada saat itu sepenuhnya menutup otak depan—gumpalan besar berwarna
abu-abu yang membuat Anda disebut manusia dan membedakan Anda dari seekor
anjing. Ketika neuron tersebut menutup, maka otak tengah mengambil alih. Proses
berpikir dan reflek Anda pun tak bisa dibedakan lagi dengan seekor anjing. Bila
Anda pernah bekerja bersama binatang, maka Anda akan bisa memahami apa yang
terjadi pada manusia yang sedang berada di medan perang. Medan perang dan
kejahatan disertai kekerasan adalah respons yang diproses di otak
tengah.
Di
otak tengah terdapat sistem pencegah yang sangat kuat, yang diberikan Tuhan
kepada kita, yang akan mencegah kita untuk membunuh sesama manusia. Setiap
spesies, dengan sedikit perkecualian, mempunyai hardware pencegah yang
terpatri di otaknya yang akan mencegah mereka membunuh sesama jenisnya saat
berkelahi memperebutkan wilayah atau pasangan. Ketika binatang yang bertanduk
atau bercula bertarung dengan sesama jenisnya, mereka akan bertumbukan kepala
dengan cara yang tidak berbahaya. Tetapi, bila mereka bertarung dengan spesies lain, mereka akan menyerang
sampai menimbulkan luka yang parah dan berdarah. Piranha akan menggunakan
taringnya untuk menyerang apa saja, tetapi mereka bertarung dengan sesama
jenisnya hanya dengan saling memukulkan ekornya. Ular
rattle akan mematuk apa saja dengan bisa mautnya, tetapi mereka hanya bergulat
dengan sesamanya. Hampir semua spesies mempunyai hardware pencegah yang
terpatri di otaknya untuk tidak membunuh sesama jenisnya.
Ketika
kita manusia sedang dilanda amarah atau ketakutan, kita langsung mematikan
sistem pencegah yang ada di otak tengah tadi, yang pada saat normal berfungsi
untuk mencegah kita membunuh sesama manusia. Hanya sosiopat—yang secara definisi
tidak mempunyai pencegah tersebut—tidak mempunyai immune sistem untuk berbuat
kekerasan di otaknya.
Setelah
membaca artikel ini saya jadi tersadar bahwa kita selama ini membuat kesalahan
besar dengan apa yang biasanya kita sebut sebagai “hukum rimba”. Pada saat kita
menonton acara fauna di TV dan menyaksikan adegan berburu yang dilakukan oleh
singa atau harimau, maka kita langsung akan menyebutnya sebagai hukum rimba. Dan
secara di bawah sadar kita pun langsung akan mengaitkannya dengan peradaban
manusia juga, yang selalu dipenuhi dengan pembunuhan dan peperangan antara
sesama manusia. Itu ternyata salah besar saudara-saudara. Lihatlah, apa yang
dibunuh dan dimangsa oleh singa atau harimau tersebut? Apakah sesama harimau
atau singa juga? BUKAN. Para predator itu membunuh spesies lain seperti kijang,
zebra atau lainnya. Mereka TIDAK PERNAH membunuh sesama jenisnya, mereka tak
pernah menjadi intraspecies predator. Artikel di Encarta juga menyatakan
hal yang sama.
Because
combat is dangerous and can lead to serious injury or death, evolutionary
mechanisms tend to restrain the intensity of intraspecific aggressive behavior.
One way aggression is minimized is through a genetically programmed tendency to
establish territories. In this way conflicts are usually limited to occasional
border skirmishes. The ritualization of aggressive behavior is another
genetically programmed restraint on combat. Poisonous snakes wrestle without
using their fangs; mountain sheep butt with well-armored heads without
inflicting injury; some lizards make threat displays by expanding a skin fold in
the throat; and apes shake branches, gesture, and shout fearsomely. The
advantage of ritualization of combat is that even a sure winner has a great deal
to lose if it becomes debilitated as a result of a fight. (The advantage to the
probable loser in having the stronger animal not push its advantage is obvious.)
An injured or exhausted victorious animal may not be able to defeat the next
opponent and may become vulnerable to predation by other species. Therefore,
most species have clear signals that indicate acceptance of defeat and terminate
combat before injury occurs: A lizard will crouch; a cichlid fish will retract
its fins; a stickleback will adopt a vertical posture; a dog will expose its
unprotected belly; and a gull will offer the unguarded back of its neck to its
opponent. Each of these maneuvers signals acceptance of defeat and immediately
halts further aggression. (Aggression, Microsoft Encarta Encyclopedia 2002).
Jadi,
apa yang kita sebut sebagai “hukum rimba” tadi ternyata jauh lebih beradab
daripada yang sering dilakukan oleh manusia, yakni membunuh sesamanya sendiri.
Apa yang dilakukan singa dan harimau tadi sebenarnya kurang lebih sama saja
dengan yang kita lakukan kepada ayam, sapi atau kambing, membunuhnya untuk
dibuat slametan atau dimakan sendiri. Tak ada satu pun agama yang menganggap
perbuatan memakan ayam, kambing atau sapi tadi sebagai perbuatan kejam, kecuali
mereka yang menganut vegetarian. Kenyataan yang mengejutkan, bukan? Ada di
hadapan kita sehari-hari, tetapi kita selama ini tak pernah memperhatikannya.
Saya sendiri pun baru tersadar setelah membaca artikel Lt. Col. David Grossman
ini. Lengkapnya bisa Anda lihat di internet.
Dengan
demikian, pendapat Freud bahwa manusia menjadi stress atau sakit jiwa karena
peradaban mencegah dia melakukan agresi dengan bebas ternyata tidak benar. Saya
lebih setuju dengan pendapat para ahli psikologi evolusioner saat ini bahwa
“a
larger threat to mental health may be the way civilization thwarts civility”,
seperti misalnya hidup sendirian di kota-kota besar, merasa kesepian dan jarang
bertemu dengan keluarga dan teman-teman dekat. (Silakan Anda baca lagi
Robert
Wright, “Evolution
of Despair”, Time, August 28, 1995). Jadi, bukan karena manusia tak bisa
melampiaskan nafsu agresifnya. Sebaliknya, secara
genetik sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia, di otaknya terdapat
program untuk mencegah dia berbuat agresi secara berlebihan, termasuk membunuh
sesamanya. Lihat kalimat awal kutipan dari Encarta di atas. Hanya para psikopat,
yang secara genetik ada kelainan di otaknya, yang suka membunuh sesamanya. Bila
memang ada manusia yang jadi stres karena tak bisa melampiaskan nafsu agresinya,
mereka itu ya para psikopat. Salah satu contoh bagaimana sistem pencegah itu
bekerja bisa kita lihat di bawah ini.
In
more modern times, the average firing rate was incredibly low in Civil War
battles. Patty Griffith demonstrates that the killing potential of the average
Civil War regiment was anywhere from five hundred to a thousand men per minute.
The actual killing rate was only one or two men per minute per regiment (The
Battle Tactics of the American Civil War). At the Battle of Gettysburg, of
the 27,000 muskets picked up from the dead and dying after the battle, 90
percent were loaded. This is an anomaly, because it took 95 percent of their
time to load muskets and only 5 percent to fire. But even more amazingly, of the
thousands of loaded muskets, over half had multiple loads in the barrel--one
with 23 loads in the barrel.
In
reality, the average man would load his musket and bring it to his shoulder, but
he could not bring himself to kill. He would be brave, he would stand shoulder
to shoulder, he would do what he was trained to do; but at the moment of truth,
he could not bring himself to pull the trigger. And so he lowered the weapon and
loaded it again. Of those who did fire, only a tiny percentage fired to hit. The
vast majority fired over the enemy's head. (David Grossman, Trained To
Kill)
Artinya:
Pada
zaman yang lebih modern, semasa Perang Saudara Amerika, rata-rata jumlah
tembakan sangatlah rendah pada setiap pertempuran. Patty Griffith menunjukkan
bahwa potensi membunuh rata-rata pada tiap resimen saat Perang Saudara sekitar
500 sampai 1.000 manusia per menit. Tetapi, angka pembunuhan yang terjadi hanya
satu atau dua orang per menit per resimen (The Battle Tactics of the American
Civil War). Pada Pertempuran Gettysburg, dari 27.000 senapan yang diambil
dari mereka yang tewas atau sekarat setelah perang selesai, 90 persen terisi
peluru. Ini adalah suatu kejanggalan, karena tiap-tiap prajurit menggunakan 95
waktunya untuk mengisi senapan dan hanya 5 persen untuk menembakkannya. Tetapi
yang jauh lebih mengherankan lagi adalah dari ribuan senapan yang terisi, hampir
setengahnya berisi lebih dari satu peluru–salah satunya bahkan berisi 23
peluru.
Kenyataan
di medan perang menunjukkan bahwa rata-rata prajurit akan mengisi senapannya,
memanggulnya di pundak, tetapi ia ternyata tak sanggup untuk membunuh manusia
lainnya. Dia diperintahkan untuk berani, berjuang bahu membahu, melakukan apa
yang telah diajarkan pada saat latihan, tetapi pada saat pertempuran benar-benar
terjadi, ia tak sanggup untuk menarik pelatuk senapannya. Maka ia kemudian
merendahkan senapannya lagi, dan mengisinya lagi. Dari mereka yang lalu
menembakkan senapannya, hanya sebagian kecil saja yang menembak untuk membunuh
sasaran. Sebagian besar menembakkannya di atas kepala musuh.
Walau
dalam kondisi perang pun, di mana orang bebas membunuh tanpa takut terkena
sangsi apa pun, manusia normal yang non-psikopat ternyata rata-rata tetap enggan
membunuh sesamanya. Karena adanya sistem pencegah di otak mereka dan sistem itu bekerja
dengan baik. Within
the midbrain there is a powerful, God-given resistance to killing your own
kind.
Orang non-psikopat bila masuk dinas militer perlu dilatih untuk membunuh guna
menghilangkan sistem pencegah tadi pada saat dia maju ke medan perang. Harus
dikondisikan supaya dia sanggup membunuh lawan saat bertempur. Lt. Col. David
Grossman adalah salah seorang pelatih para tentara tadi sehingga ia tentunya
sangat paham dengan masalah tersebut. Oleh karena itu, ia lalu berjuang
menentang film dan video game kekerasan untuk anak-anak, karena itu bisa
mengondisikan mereka menjadi pembunuh. Bila dia melatih para tentara itu dengan
juga memberikan batasan-batasan sehingga mereka tak melakukannya di luar perang,
maka film dan video game tadi mendidik anak-anak untuk membunuh tanpa mengajari
batasan-batasannya. Baca juga tentang Pavlovian conditioning, hasil
penelitian dari Ivan Pavlov.
Bila
pada anak-anak bisa banyak berpengaruh, tetapi pada orang dewasa agaknya sudah
tidak lagi. Seperti juga pada kasus smackdown dulu, korbannya semua
adalah anak-anak, tidak ada yang orang dewasa. Kebetulan saya juga termasuk
orang yang suka main video game perang-perangan seperti game strategi Praetorian
atau yang FPS seperti MOHAA, Max Payne, COD dan lain-lain. Akan tetapi, saya
punya komputer dan mulai main game pada saat sudah dewasa, hampir usia 30-an,
bukan anak-anak lagi. Karena usia yang sudah dewasa dan sudah terbentuk
kepribadiannya, maka game tersebut tak ada pengaruhnya kepada saya. Saya sudah
bertahun-tahun main game, tetapi saya tak lantas tiba-tiba berubah jadi
pembunuh. Biasa-biasa saja, tak ada perubahan apa-apa pada diri saya. Malah
mungkin ada gunanya untuk melatih reflek dan composure, juga bisa
menambah pengetahuan tentang sejarah PD II dan beragam senjata yang digunakan.
Juga bisa mengetahui pemandangan desa-desa di Eropa. Itu kalau usia sudah
dewasa, bisa ada gunanya. Kalau pada anak-anak sebaiknya memang dicarikan game
yang tidak berisi kekerasan, bila pun terpaksa harus selalu dibimbing dan
diawasi oleh orang tuanya.
Jadi,
membunuh sesama manusia itu memang tidak natural, bahkan tentara pun mesti
dilatih dulu, itu pun masih banyak juga yang tidak sanggup melakukannya. Di
padang Afrika pun tak ada singa yang membunuh sesama singa. Dengan demikian, apa
yang dilakukan oleh para psikopat terhadap sesamanya tidak bisa kita sebut
sebagai hukum rimba, tetapi kriminalitas. Atau apakah istilah “hukum rimba” itu
sekarang kita ganti saja, yakni menjadi “hukum manusia.” Karena faktanya memang
tidak terjadi di rimba raya, tetapi di masyarakat manusia. Dan “hukum manusia”
ini masih sering dilakukan oleh para psikopat sampai sekarang untuk meraih
keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara mengorbankan orang lain. Menjadi
intraspecies predator. Termasuk juga dalam peristiwa 11 September, suatu
bentuk manipulasi dan penipuan gaya psikopat yang sebenarnya sudah terjadi
semenjak zaman purbakala. Rasanya tak ada salahnya bila kita mau mengulang
kembali apa kata Robert Hare yang juga saya kutip pada artikel 11 September
.
In this intimate environment, an unintelligent psychopath who actualized
a criminal desire to kill or steal from his fellow tribesmen, would obviously be
maladaptive as well as easily detected. However, a more clever individual with
the psychopathic personality syndrome could find himself in an advantaged
position in a tribal society.
With respect to a neighboring tribe--a well-timed lie about their
intentions, or false allegations of evil actions on their part, could inflame
the passions of the psychopath's own tribe. This would have tremendous
advantages in terms of the outcome of prehistoric
warfare-- the ability to carry out an attack with surprise at a time
of one's own choosing. A psychopath could satisfy his blood-lust, and emerge as
a hero of his tribe as well--while a non-psychopathic leader would spend time
pondering the pain and suffering of the neighboring tribe, as well as the risks
to his own people. (Robert Hare, Without Conscience)
Artinya: Dalam lingkungan yang akrab ini, seorang psikopat bodoh yang
mewujudkan nafsu kriminalnya dengan mencuri dan membunuh orang sesukunya, jelas
akan tidak disukai selain juga mudah dideteksi. Akan tetapi, seorang pengidap
sindrom psikopat yang cukup pandai akan bisa menempati posisi yang menguntungkan
di dalam sukunya.
Di sekeliling mereka tentu ada suku-suku lain yang menjadi tetangganya.
Suatu dusta yang menyatakan bahwa mereka bermaksud jahat, atau tuduhan palsu
bahwa mereka telah melakukan tindakan jahat, akan bisa menyalakan api peperangan
pada suku dari seorang psikopat. Ini akan memberikan keuntungan yang sangat
besar pada hasil akhir dari peperangan zaman purba tersebut, yaitu kemampuan
untuk mengadakan serangan mendadak pada saat yang tepat. Seorang psikopat bisa
memuaskan nafsu haus darahnya dan juga tampil sebagai pahlawan bagi sukunya.
Sementara itu, seorang pemimpin yang non-psikopat akan menyempatkan diri untuk
berpikir tentang rasa sakit dan penderitaan suku tetangganya dan juga risiko
yang dihadapi sukunya sendiri.
Dengan memanipulasi rasa patriotisme, kesukuan atau kebangsaan, para
psikopat sering menganjurkan peperangan sehingga mereka kemudian bisa menjadi
pahlawan bagi suku atau bangsanya. Dengan demikian, akan terbukalah peluang yang
sangat lebar bagi dirinya untuk menjadi pemimpin. Dan kita tahu bahwa para
pembunuh brutal seperti misalnya Henry Morgan, Angria, Cortez bisa menjadi
pahlawan bagi masing-masing bangsanya. Kita lihat di sini contoh tindakan Henry
Morgan.
Women
didn't escape tortures as brutal as those inflicted on men. One Spaniard
reported Henry Morgan and his crew set a naked woman "upon a baking stove and
roasted [her], because she did not confess" where she stashed her money. Some
women endured repeated rapes, and if they survived and returned to society,
society often considered them damaged goods. (www.cindyvallar.com)
Artinya:
Kaum
wanita pun tidak luput dari penyiksaan brutal sebagaimana yang ditimpakan
pada kaum pria. Seorang Spanyol melaporkan bahwa Henry Morgan dan anak buahnya
menelanjangi seorang wanita dan meletakkannya di atas kompor lalu memanggangnya
karena ia tidak mau mengaku di mana dia menyimpan uangnya. Beberapa wanita
diperkosa berulang kali, bila mereka bisa selamat dan kembali ke masyarakat,
maka masyarakat seringkali menganggap mereka sebagai barang yang sudah
rusak.
Itu hanyalah salah satu dari beragam kekejaman yang pernah dilakukannya.
Karena perbuatannya yang banyak merugikan musuh-musuh Inggris, Henry Morgan
kemudian
diangkat oleh Raja Charles II menjadi Gubernur Yamaica setelah sebelumnya
mendapat gelar ksatria. Hal yang sama juga terjadi pada Francis Drake. Keduanya
mendapat gelar “Sir” di depan namanya.
In
some respects, Angria was much like Sir Francis Drake. Both were national
heroes. Both were also pirates. Drake served in the Royal Navy, was a Member
of Parliament, and a successful merchant. He circumnavigated the globe,
received a knighthood, and fought against the Spanish Armada. He was also one
of Queen Elizabeth I’s Sea Dogs, privateers who sometimes blurred the lines
between legal privateering and illegal piracy. (www.cindyvallar.com)
Artinya:
Dalam beberapa hal, Angria mirip seperti Sir Francis Drake. Keduanya pahlawan
nasional. Keduanya juga bajak laut. Drake berdinas di Angkatan Laut Kerajaan
Inggris, seorang anggota Parlemen dan juga seorang saudagar yang sukses.
Dia mengelilingi bumi, menerima gelar ksatria dan berperang melawan
Armada Spanyol. Dia
juga salah seorang Sea Dog dari Ratu Elizabeth I, yaitu privateer yang
kadang-kadang mengaburkan garis batas antara privateering legal dan pembajakan
yang ilegal. (privateer= kapal pribadi yang pada masa perang mendapat surat izin
resmi dari negara untuk menyerang dan membajak kapal-kapal musuh).
Demikian pula yang terjadi pada Cortez, Napoleon dan berbagai “pahlawan”
lainnya. Di lain pihak, karena orang non-psikopat mencintai sesama manusia, maka
ia tak suka menganjurkan peperangan dan pembunuhan. Ia sulit untuk melakukan
manipulasi semacam itu. Akibatnya, orang non-psikopat pun sukar untuk menjadi
“pahlawan”, ia tak berpeluang untuk bisa populer di mata rakyat melalui jalan
peperangan. Pada akhirnya, kursi kepemimpinan suatu bangsa pun didominasi oleh
para psikopat, orang-orang yang haus darah, yang gemar melakukan pembunuhan dan
peperangan.
Being
very efficient machines, like a computer, they are able to execute very complex
routines designed to elicit from others support for what they want. In this way,
many psychopaths are able to reach very high positions in life. It is only over
time that their associates become aware of the fact that their climb up the
ladder of success is predicated on violating the rights of others. "Even when
they are indifferent to the rights of their associates, they are often able to
inspire feelings of trust and confidence."
Artinya:
Mereka mesin yang sangat efisien, seperti komputer, bisa mengerjakan rutinitas
yang sangat komplek yang ditujukan untuk mendapatkan dukungan atas apa yang
mereka inginkan. Dengan cara ini, banyak psikopat sanggup mencapai kedudukan
yang sangat tinggi dalam hidupnya. Sejalan dengan waktu barulah rekan-rekannya
menjadi sadar bahwa dia mencapai tangga kesuksesan itu dengan banyak melanggar
hak orang lain. “Bahkan saat mereka tak peduli dengan hak rekan-rekannya, mereka
seringkali bisa menanamkan rasa kepercayaan dan percaya diri.”
Selain itu, di dalam persaingan bebas yang brutal orang normal yang
menggunakan hati nurani bisa dengan mudah disingkirkan oleh para psikopat.
Karena ia tak mudah membunuh manusia lainnya, padahal lawannya sangat buas dan
gemar membunuh. Mereka bisa dengan cepat disingkirkan baik dengan cara halus
maupun kasar. Dalam permainan kill or to be killed, para psikopat dengan
mudah bisa membantai lawan-lawannya tanpa banyak pertimbangan, mereka tak pernah
berpikir dua kali untuk menghilangkan nyawa orang lain, termasuk teman-teman
dekatnya sendiri. Hal yang dengan gamblang diajarkan oleh Machiavelli di dalam
bukunya Il Principe. Atau kita juga bisa membacanya di dalam kisah keris
Empu Gandring. Boleh
dikatakan Ken Arok adalah contoh sempurna seorang patokrat. Semua ciri patokrat
ada padanya. Mengawali karirnya dengan menjadi seorang perampok. Setelah itu dia
masuk ketentaraan Singosari dan kemudian merebut kekuasaan dengan cara-cara
berikut: membunuh raja, mengkambinghitamkan dan mengkhianati teman sendiri, lalu
merampas istri raja. Segala cara dihalalkan asal tujuannya tercapai.
Oleh
karena itu, sepanjang sejarah manusia, para psikopat bisa dengan mudah menduduki
posisi-posisi penting di sebuah negara atau kerajaan. Bahkan, menjadi pemimpin
yang tertinggi. Dan kedudukan itu biasanya dimanfaatkan oleh mereka untuk
semakin melampiaskan nafsu serakah dan haus darahnya. Menganjurkan perang dan
perampokan atas bangsa-bangsa lainnya, selain juga merampok dan membunuhi
bangsanya sendiri. Oleh karena itu, sejarah manusia hanya didominasi oleh
peperangan, perbudakan dan perampokan. Karena para psikopatlah yang mendominasi
jalannya sejarah, mereka yang oleh Grossman tadi disebutkan tak mempunyai sistem
pencegah di dalam otaknya.
Perploncoan
juga nampaknya hasil karya para psikopat. Bahasa yang dikenal oleh para psikopat
untuk mengatur masyarakat atau bawahannya adalah bahasa intimidasi, teror,
penipuan, ancaman supaya masyarakat atau bawahannya menjadi patuh. Mereka tak
mengenal bahasa cinta kasih, kasih sayang dan persahabatan untuk menumbuhkan
rasa hormat dan kepatuhan. Begitu mereka menduduki kekuasaan, mereka berusaha
mempertahankannya dengan cara itu pula: intimidasi, teror, penipuan, ancaman.
Demikian pula cara mereka untuk menumbuhkan rasa takut dan hormat kepada para
pendatang baru yang akan masuk ke lingkungannya. Tidak dengan bahasa cinta
kasih, kasih sayang dan persahabatan.
Perploncoan
ini juga adalah ritual yang umum terjadi pada gang remaja. Pada dasarnya, gang
itu adalah wadah para psikopat untuk berkumpul. Remaja yang bukan psikopat TIDAK
PERNAH membentuk gang-gang semacam itu. Para remaja non-psikopat memang suka
juga berkumpul rame-rame, jalan-jalan rame-rame atau hal-hal semacamnya yang
serba rame-rame dan meriah, tetapi mereka tidak akan pernah membentuk gang.
Jadi, itu bukanlah proses mencari jati diri seperti yang seringkali disebut
selama ini. Bukan, sama sekali bukan. Itu karena mereka adalah remaja psikopat
dan bila tidak dicegah mereka akan menginfeksi para remaja di sekeliling mereka
untuk turut menjadi psikopat pula, baik dengan cara bujukan maupun ancaman.
Seandainya pun itu bisa disebut proses “pencarian jati diri”, maka itu adalah
proses pencarian para psikopat remaja untuk menjadi psikopat dewasa. Tak
percaya? Silakan para remaja anggota gang itu Anda bawa ke laboratorium dan scan
otaknya. Dijamin hasilnya akan menunjukkan bahwa mereka memang
psikopat.
Perploncoan,
tradisi psikopat itu, sampai sekarang sialnya masih tetap menginfeksi sebagian
besar sekolah, akademi dan universitas. Padahal, sekolah, akademi dan universitas tentulah bukan lembaga yang
ditujukan untuk mencetak kaum gangster. Mereka seharusnya sudah menghapus
tradisi kekerasan semacam itu. Tapi, hingga sekarang tradisi buruk tadi tetap
subur juga, tentu dengan ditopengi dengan beragam nama-nama yang indah. Tapi,
toh isinya tetap sama. Gebukan dan bentakan tanpa alasan yang jelas, kecuali
untuk sekedar memuaskan nafsu kekerasan dan merasa berkuasa. Bagaimana dengan
alasan mereka bahwa itu dimaksudkan untuk menumbuhkan disiplin dan melatih
mental? Masih
banyak cara lain untuk menumbuhkan hal itu, tidak harus dengan cara kekerasan.
Banyak yang mati dan luka parah akibat perploncoan. Apa pun topeng
pembenarannya, pembunuhan dan penganiayaan tetap tidak bisa dibenarkan. Itu
adalah bahasa para psikopat dan yang melakukan serta membenarkannya, memberinya
nama-nama yang indah, tentunya adalah para psikopat pula, atau paling tidak
orang yang telah terinfeksi dengan cara-cara berpikir psikopat. Bagi para
psikopat kekerasan itu adalah keindahan. Berbeda maksudnya dengan manusia
normal.
Bila
dalam suatu sistem persaingan yang brutal kemenangan psikopat atas orang normal
bisa dipahami, lalu bagaimana bisa para psikopat itu tetap saja bercokol di
dalam sistem yang sudah demokratis?
Kita
tadi sudah membahas tentang topeng yang menghiasi wajah kaum psikopat untuk
menutupi kebusukan mereka. Sialnya, sepanjang sejarah demokrasi ternyata banyak
orang-orang pandir yang yakin sepenuhnya bahwa itu bukan topeng, tetapi wajah
aslinya. Bukan saja mereka tak ada tekad untuk membuka topeng tersebut, tapi
mereka haqqul-yakin bahwa itulah wajah aslinya! Banyak orang pandir yang
dengan mudah percaya begitu saja segala dusta yang diucapkan oleh para pemimpin
psikopat. Seandainya pun topeng itu akhirnya dibuka lebar-lebar, maka
orang-orang pandir itu pun akan memalingkan muka, tak mau membaca tulisan yang
terukir besar-besar di jidat tadi, “I'M A SON OF A BITCH AND I WANT TO ROB YOU.”
Mereka tetap lebih suka berhalusinasi bahwa topeng itu adalah wajah yang asli.
Psychologist
Robert Hare cites a famous case where a psychopath was "Man of the Year" and
president of the Chamber of Commerce in his small town. (Remember that John
Wayne Gacy was running for Jaycee President at the very time of his first murder
conviction!) The man in question had claimed to have a Ph.D. from Berkeley. He
ran for a position on the school board which he then planned to parlay into a
position on the county commission which paid more.
At
some point, a local reporter suddenly had the idea to check up on the guy - to
see if his credentials were real. What the reporter found out was that the only
thing that was true about this up and coming politician's "faked bio" was the
place and date of birth. Everything else was fictitious. Not only was the man a
complete impostor, he had a long history of antisocial behavior, fraud,
impersonation, and imprisonment. His only contact with a university was a series
of extension courses by mail that he took while in Leavenworth Federal
Penitentiary. What is even more amazing is the fact that before he was a
con-man, he was a "con-boy." For two decades he had dodged his way across
America one step ahead of those he had hoodwinked. Along the way he had married
three women and had four children, and he didn't even know what had happened to
them. And now, he was on a roll! But darn that pesky reporter!
When
he was exposed, he was completely unconcerned. "These trusting people will stand
behind me. A good liar is a good judge of people," he said. Amazingly, he was
right. Far from being outraged at the fact that they had all been completely
deceived and lied to from top to bottom, the local community he had conned so
completely to accrue benefits and honors to himself that he had not earned,
rushed to his support!
I
kid you not! And it wasn't just "token support." The local Republican party
chairman wrote about him: "I assess his genuineness, integrity, and devotion to
duty to rank right alongside of President Abraham Lincoln." As Hare dryly notes,
this dimwit was easily swayed by words, and was blind to deeds.
What
kind of psychological weaknesses drive people to prefer lies over truth? (The Psychopath: The Mask
of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future
School).
Artinya:
Ahli psikologi Robert Hare mengutip sebuah kisah terkenal dimana seorang
psikopat diangkat sebagai "Man of the Year" dan presiden Kamar Dagang di kota
kecilnya. (Ingat bahwa John Wayne Gacy sedang mencalonkan diri menjadi presiden
di Jaycee pada saat dia melakukan pembunuhannya yang pertama!) Orang ini
mengklaim punya gelar Ph.D. dari Berkeley. Dia memperoleh posisi di dewan
sekolah dan sekarang berencana untuk meraih posisi di pemerintahan daerah yang
gajinya lebih tinggi.
Pada
saat itu, seorang wartawan lokal tiba-tiba punya ide untuk mengecek pria
tersebut - untuk mengetahui apakah data yang ada di surat mandatnya memang
benar. Ternyata wartawan itu mendapati bahwa satu-satunya yang benar hanyalah
tempat dan tanggal lahirnya. Lainnya palsu semua. Bukan saja orang ini penipu
tulen, dia juga punya sejarah panjang tindakan antisosial, penggelapan, mengaku
jadi orang lain dan masuk penjara. Satu-satunya kontaknya dengan universitas
adalah melalui kursus ekstensi melalui surat yang diambilnya saat berada di
Penjara Federal Leavenworth. Yang lebih mengejutkan lagi adalah fakta bahwa
sebelum menjadi con-man dia adalah seorang con-boy. Selama dua dekade dia
berhasil menghindari orang-orang yang telah diperdayainya di seantero Amerika.
Sepanjang karir jahatnya itu dia menikahi tiga wanita dan punya empat anak, dan
dia sama sekali tak tahu bagaimana nasib mereka. Dan sekarang dia sedang ikut
pencalonan! Tetapi wartawan sialan itu mengacaukannya!
Ketika
berita itu diekspos dia ternyata sama sekali tak peduli. “Orang-orang yang percaya ini akan berdiri di belakangku. Pendusta yang
baik adalah hakim yang baik bagi rakyatnya”. Dan ajaibnya, dia benar. Rakyat di
sana sama sekali tak marah menghadapi fakta bahwa mereka telah ditipu dari atas
sampai bawah. Sebaliknya, rakyat yang telah ditipunya habis-habisan itu malah
mendukungnya habis-habisan pula dan melimpahkan segala keuntungan dan
penghargaan yang sebenarnya tak layak didapatkannya.
Saya tidak bergurau. Dan itu bukanlah dukungan yang dibuat-buat. Ketua
partai republik di kota itu menuliskan pendapatnya tentang orang tersebut: “Saya
menghargai ketulusan, integritas, kesetiaannya kepada tugas dan ia selalu siap
berjuang di sisi Presiden Abraham Lincoln." Seperti yang dicatat Hare, “Orang
pandir ini mudah sekali terbuai dengan kata-kata dan membutakan diri terhadap
perbuatan.”
Kelemahan psikologi macam apa yang membuat orang lebih mernyukai dusta
ketimbang kebenaran?
Begitulah.
This dimwit was easily swayed by words, and was blind to deeds.
Orang-orang pandir itu mudah sekali terbuai dengan kata-kata gombal dan
membutakan diri terhadap kenyataan yang tepat persis ada di depan hidungnya.
Orang-orang pandir dan orang-orang psikopat, what a perfect
match!
Sistem
demokrasi pun, di tangan orang-orang yang salah, yakni orang pandir dan
psikopat, akhirnya bisa menjadi kacau juga. Walaupun sudah diberi kebebasan,
ternyata orang-orang pandir tetap saja salah memilih pemimpin. Akibatnya, nasib
kaum pandir itu pun dari masa ke masa tetap senantiasa sengsara pula. Bagaimana
tidak, karena mereka itu dengan sukarela dan penuh semangat gemar memilih
pemimpin-pemimpin yang kerjanya justru menyengsarakan nasib mereka sendiri.
Orang-orang non-pandir pun mau tak mau akhirnya turut serta terseret mengalami
kesengsaraan akibat pilihan keliru yang diambil oleh para pandir tersebut.
Oh,
duniaku yang pandir. Kacau dah dunia.
Begitu
sulitkah bagi kita semua untuk bersikap bijaksana sedikit saja? Minimal, yah,
setidaknya lima atau empat tahun sekali sajalah, tiap musim pemilu. Selepas itu
bila mereka semuanya mau berpandir-ria terserah sajalah. Saya tak mengurusi.
Ringkasnya, jangan sampai kepandiran mereka itu lantas menyeret-nyeret orang
lain untuk turut merasakan akibatnya.
Ada
satu pepatah Arab yang sangat populer dan masih diajarkan hingga saat ini, yakni
undzur maa qaala wa laa tandzur man qaala (lihatlah apa yang dikatakan
dan jangan melihat orang yang mengatakan). Agaknya sekarang sudah saatnya
dirubah menjadi undzur maa ‘amila wa laa tandzur maa qaala (lihatlah
perbuatan seseorang dan jangan melihat apa yang dikatakannya). Dan itu rasanya
jauh lebih tepat, supaya kita tak menjadi orang pandir dan melihat seseorang itu
bukan dari bualannya, tetapi perbuatannya. Atau dalam kata lain, lan tardlo
min rojulin halaawata qoulihi, hatta yuzayyina maa yaquulu fi’aal.
Janganlah kamu tertarik dengan perkataan manis dari seseorang sampai dia
menghiasi ucapannya itu dengan perbuatan. Demikian lantunan sebuah
syair.
Patut kita camkan dan renungkan, apalagi inkonsistensi antara perkataan
dan perbuatan itu termasuk salah satu ciri-ciri utama psikopat. Hal
itu bisa Anda lihat di Discussion of Psychopathy Traits, The Mask of
Sanity, by Hervey Cleckley. Di situ juga diberikan banyak contoh serta
penjelasannya secara panjang lebar.
Bila
seorang atau sekumpulan psikopat kemudian berhasil menguasai suatu negara, baik
itu melaui perebutan kekuasaan berdarah atau melalui sistem yang demokratis,
maka yang terjadi kemudian adalah apa yang disebut Lobaczewski sebagai
ponerisasi, yakni proses pembusukan di dalam sistem negara yang pada akhirnya
akan membawa seluruh rakyatnya untuk turut membusuk pula.
When (normal) human beings fall into a certain state: the psychopaths,
like a virulent pathogen in a body, strike at their weaknesses, and the entire
society is plunged into conditions that lead to horror and tragedy on a very
large scale. (Andrzej Lobaczewski)
Artinya: Ketika manusia (normal) jatuh dalam kondisi tertentu, maka para
psikopat, bagaikan penyakit ganas yang ada di tubuh manusia, akan menyerang
kelemahan mereka, dan seluruh masyarakat akan diceburkan ke dalam horor dan
tragedi dalam skala besar.
Sebagaimana
kita ketahui, manusia pada dasarnya senang berkumpul dengan orang-orang yang
punya hobi, ide dan bakat yang sama. Seorang pemain bola secara otomatis akan
mencari teman dan berkumpul dengan orang-orang yang suka main bola. Seorang
pelukis, pemusik, atlet, pelawak, guru atau orang yang berprofesi apa saja akan
merasa gembira bila berkumpul dan mengobrol dengan orang yang sama bidangnya.
Bisa nyambung omongan dan tindakannya. Demikian pula halnya dengan penjahat.
Seorang pemabuk, perampok, pencuri tidak akan merasa bahagia bila berkumpul
dengan orang baik-baik. Tidak merasa cocok. Sebagaimana juga pemain sepakbola
akan mencari teman yang bisa menyambut gembira bila diajak main bola rame-rame,
maka penjahat pun akan mencari teman yang sama-sama jahatnya, yang akan
menyambut gembira bila diajak mabuk rame-rame atau merampok bareng-bareng.
Jadi,
sekali saja seorang atau sekumpulan psikopat menduduki jabatan puncak di suatu
negara, maka seluruh sistem negara akan dengan segera dipenuhi dengan para
psikopat pula, mengalami ponerisasi. Karena tentu saja para psikopat itu akan
mencari bawahan yang bisa selalu akur untuk diajak bekerja sama melakukan
beragam kejahatan. Bawahan yang akan menyambut gembira bila diajak maling
rame-rame atau mencoleng bareng-bareng. Yang tidak mau akan dipaksa untuk mau,
sedangkan yang benar-benar bersikeras tidak mau akan disingkirkan. Akhirnya
seluruh sistem akan diisi para penjahat psikopat.
New
members are psychologically screened. No one with too much independence or
psychological normality is allowed in the group. Detractors are treated with
paramoral condemnation. In short, the patients have overtaken the asylum. (www.ponerology.com)
Artinya:
Anggota
baru disaring secara psikologis. Orang-orang yang berpikiran terlalu independen
atau secara psikologis termasuk normal tak diizinkan memasuki kelompok tersebut.
Mereka yang kritis akan dibungkam dengan hukuman paramoral. Ringkasnya,
pasien telah menguasai RSJ.
Untuk gampangnya kita beri ilustrasi begini. Misalnya saja seorang
pemabuk ingin mencari mencari teman untuk mabuk. Kebetulan ia berbadan tinggi
besar, galak dan suka main pukul pula, maka orang yang diajaknya rata-rata akan
takut dan menurut. Tentu ada di antara mereka yang ikut mabuk bukan karena
takut, tetapi karena memang sudah pada dasarnya suka bermabuk-mabukan. Sedangkan
mereka yang ikut-ikutan karena takut itu sebenarnya terbagi atas dua golongan.
Golongan yang pertama mula-mula ikut mabuk karena takut, tapi ternyata lama-lama
jadi keenakan, akhirnya mereka jadi pemabuk betulan. Golongan yang kedua juga
ikut karena takut, tetapi ia tetap tak pernah suka mabuk-mabukan. Bila ia
bersikeras tidak mau tentu akan dipukuli oleh para pemabuk tadi, atau dimaki
sebagai pengecut, sok alim dsb. Akhirnya, seluruh pemuda di kampung tersebut
jadi pemabuk semua.
Demikian pula yang berlaku dalam suatu sistem negara bila jabatan puncak
diduduki oleh seorang psikopat. Bila pemimpin psikopat itu suka korupsi, dan ini
memang hobi utama para psikopat, yakni merampok harta yang bukan miliknya, maka
semua bawahannya sampai ke tingkat kelurahan pun akan suka korupsi. Yang tidak
suka korupsi akan dicap sebagai bodoh, sok jujur, tak mau memanfaatkan
kesempatan dsb. Atau bahkan didepak dari jabatannya dan diganti dengan yang
korup. Akhirnya, seluruh pejabat dan pegawai negara pun adalah koruptor
semua.
The actions of [pathocracy] affect an entire society, starting with the
leaders and infiltrating every town, business, and institution. The pathological
social structure gradually covers the entire country creating a “new class”
within that nation. This privileged class [of pathocrats] feels permanently
threatened by the “others”, i.e. by the majority of normal people. Neither do
the pathocrats entertain any illusions about their personal fate should there be
a return to the system of normal man. (Andrzej Lobaczewski)
Artinya:
Tindakan-tindakan
(patokrasi) ini mempengaruhi seluruh masyarakat, dimulai dengan para
pemimpinnya, kemudian merasuki setiap kota, bisnis dan institusi. Struktur
sosial yang patologis ini secara perlahan menguasai seluruh negara dan
menciptakan “kelas baru” di dalam masyarakat. Kelas istimewa (patokrat) ini
merasa terancam secara permanen oleh “orang lain”, yaitu mayoritas masyarakat
normal. Para patokrat juga tak pernah menginginkan nasib mereka dikembalikan ke
sistem yang dibuat orang normal.
Bila
kebetulan pemimpin itu suka berperang, dan hobi utama lainnya para psikopat
memang adalah membantai sesama manusia, maka semua bawahannya pun akan diajaknya
untuk berperang. Yang tidak mau akan dicap tidak patriotik, pengkhianat bangsa,
pengecut dan sebagainya. Akibatnya, rusaklah negara itu. Rusaklah negara-negara
lainnya karena diobrak-abrik. Binasalah rakyatnya, baik rakyatnya sendiri maupun
rakyat negara musuhnya, hancur pula ekonominya, seperti yang saat ini juga
terjadi di Amerika.
Pada
kutipan tadi juga disebutkan bahwa mereka feels permanently threatened by the “others”, i.e. by the
majority of normal people. Mengidap paranoia. Itulah sebabnya kenapa sebuah
negara yang dikuasai patokrat, terutama di negara-negara totaliter, biasanya
akan terus-menerus mengawasi rakyatnya. Membentuk polisi-polisi rahasia,
merekrut agen rahasia dalam jumlah yang sangat besar, menyadap rumah-rumah orang
yang dianggap berseberangan, bahkan anak disuruh memata-matai orang tuanya
sendiri. Mereka juga siap memenjarakan dan membantai siapa pun yang dicurigai,
entah dia benar bersalah atau tidak. Sedangkan kalau dalam negara yang sistemnya
sudah demokratis, maka pengawasan itu bisa dilakukan dengan cara terus-menerus
menyuplai rakyat melalui media massa dengan informasi yang telah disesatkan
sehingga rakyat tak benar-benar mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Hanya
mengetahui berita versi sepihak saja. Dan itu biasanya mereka lakukan bekerja
sama dengan corporate psychopaths karena mereka mempunyai kepentingan
yang tak jauh berbeda.
Dengan terbongkarnya kedok para psikopat sekarang ini, bahwa mereka suka
melakukan kejahatan itu karena sistem otak mereka yang kacau, maka kita sekarang
bila diajak melakukan beragam kejahatan bisa menjawab: Kau sakit jiwa,
berobatlah ke RSJ.
Orang
normal, yakni orang yang sistem otaknya sehat dan berjalan dengan baik dan
benar, walaupun mereka tak mengenal agama dan ideologi apa pun akan tetap
menjadi orang yang baik-baik, karena di sistem di otaknya mereka punya
hardware yang mengatur dan mengatakan bahwa sesuatu perbuatan itu salah
atau benar, juga mengatur bahwa dia akan merasa bersalah dan menyesal bila
melakukan kejahatan sehingga dia tidak melakukannya. Sistem itu juga mengatur
manusia untuk tidak membunuh sesamanya. Within the midbrain there is a
powerful, God-given resistance to killing your own kind. Demikian kata
Grossman.
Jadi,
moral itu sebenarnya adalah perkara sistem yang ada di otak manusia. Perkara
beres atau tidaknya sistem yang ada di kepala seseorang. Sedangkan agama dan
ideologi hanyalah berfungsi sebagai penegas saja, menegaskan bahwa ini memang
benar atau itu memang salah, bukan sebagai sistem sentral atau sumber moral
seperti yang kita anggap selama ini. Sumber dari segala sumber moral yang
hakiki adalah sistem otak yang sehat dan berjalan dengan baik dan benar, bukan
ideologi atau agama apa pun. Bahkan, bila itu boleh dibilang agama, maka
agama yang pertama kali diturunkan Tuhan kepada manusia adalah sistem yang ada
di otak manusia yang sehat dan normal tersebut. Bila sistem di otak seseorang
berjalan baik, maka dia akan menjadi orang yang bermoral karena sistem pencegah
berbuat jahat yang ada di otaknya berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila sistem
di otak tadi berjalan kacau, maka tentunya mustahil dia akan menjadi orang yang
bermoral. Begitu kira-kira definisi dari moral itu.
Apalagi,
kita selama ini toh sudah bisa melihat dengan mata kepala kita sendiri bahwa
para psikopat, orang-orang yang sistem otaknya kacau itu, memang takkan pernah
bisa menjadi orang baik biarpun mereka didoktrin dengan ajaran agama surgawi
setiap hari atau ditatar setiap detik dengan ideologi luhur mana pun. Percuma.
Karena di kepala mereka memang tak ada hardware-nya untuk berbuat baik.
Jadi, diinstali driver se-surgawi dan seluhur apa pun ya tetap tidak bisa
nyambung, karena hardware-nya memang tak ada. Sia-sia, bagaikan
menegakkan benang basah. Coba lihat, Ryan adalah guru ngaji dan Puji adalah
tukang azan di kampungnya. Dan banyak di antara para koruptor setiap hari ke masjid atau setiap
minggu rajin ke gereja. Para penganjur penataran P4 dulu juga adalah koruptor
semua, bahkan mereka tak segan-segan membunuh rakyatnya sendiri bila maksudnya
dihalangi. Ajaran terluhur macam apa pun takkan bisa masuk di kepala para
psikopat. Tidak bisa nyanthol. Karena
hardware-nya memang tak ada, bahkan slot PCI-nya pun tak ada pula.
Maklumlah, komputer yang ada di kepala mereka itu memang keluaran zaman purba,
zaman kejayaan bangsa reptilia. Tidak
uptodate tenan. Mau di-upgrade pun tetap tak bisa juga. Jadi,
satu-satunya yang bisa kita lakukan hanyalah membuat sistem yang seefektif
mungkin untuk mencegah mereka melakukan kejahatan dan meminimalkan kerusakan
yang bisa mereka perbuat.
Sekedar
perbandingan, sistem pencegah untuk membunuh sesama manusia dan juga sistem yang
bisa membuat rasa menyesal dan bersalah itu mungkin bisa kita bandingkan dengan
sistem lainnya yang juga ada di otak kita. Walau dalam masalah yang berbeda, ini
saya kira akan bisa memberikan gambaran yang lebih jelas kepada Anda bahwa moral
itu memang adalah perkara sistem yang ada di otak manusia, dan sama sekali tidak
berkaitan dengan ideologi atau agama mana pun.
Kita
tahu bahwa manusia, baik laki-laki maupun perempuan, sedikit pun tidak memiliki
rasa tertarik kepada saudara kandungnya. Walau saudara kandung Anda itu adalah
pemuda/pemudi yang sangat cantik/tampan dan seksi bagaikan bidadari yang turun
ke bumi, menjadi idola pemuda/pemudi di mana-mana, mustahil Anda bisa tertarik
kepada saudara Anda yang cantik/ganteng dan seksi itu. Betul, bukan? Padahal,
orang lain yang bukan saudara kandungnya akan bisa langsung “pusing” tujuh
keliling melihat kecantikan/kegantengannya. Makan tak enak, tidur tak nyenyak.
Tapi, saudara kandungnya sama sekali tidak merasakan hal semacam itu. Apa
sebabnya? Karena sistem di otak kita telah memprogram hal itu, mencegah kita
supaya tidak tertarik kepada saudara kandung. Dan ini adalah fakta yang dengan
jelas kita alami sendiri.
Jadi,
moral itu memang perkara sistem yang ada di otak, bukan? Walau seandainya
agama-agama di dunia ini tak menyebut hal itu sebagai dosa dan tidak
melarangnya, kita tetap tak bisa tertarik kepada saudara kandung. Bahkan,
seandainya Tuhan turun langsung ke bumi dan memerintahkan Anda untuk menikah
dengan saudara kandung Anda yang cantik/ganteng dan seksi itu, dapat pahala
berlipat di surga, maka Anda tetap tak akan bisa melakukannya. Walau sudah
menikah sepuluh tahun pun Anda tak akan bisa punya anak. Bagaimana bisa,
terangsang saja tidak. Tentu itu bagi orang yang sistem di otaknya yang mengatur
hal itu berjalan normal. Bagi yang sistem otaknya menyimpang ya tentu saja bisa.
Perlu kita catat juga bahwa semua suku-suku primitif yang tak pernah mengenal
satu agama pun dan satu kitab suci pun, juga menganggap incest sebagai
penyimpangan. Hal itu bisa Anda baca di buku-buku antropologi yang mengupas
kehidupan suku-suku purba dan terasing. Incest juga adalah hal yang
dianggap tercela pada zaman Yunani-Romawi kuno yang juga masih pagan, tak
mengenal agama apa pun.
Anak-anak
yang tinggal di kibbutz juga mengalami hal serupa. Kibbutz adalah sistem komunal
yang didirikan oleh imigran Yahudi asal Eropa. Rata-rata mereka adalah penganut
paham sosialisme sehingga menerapkan sistem semacam itu di Palestina. Anak-anak
di kibbutz diasuh secara komunal, terpisah dari orangtuanya. Karena diasuh
bersama-sama secara komunal semenjak kecil, semenjak bangun tidur sampai tidur
kembali, secara di bawah sadar otak mereka langsung memprogram bahwa teman-teman
mereka itu seolah-olah saudara kandungnya. Mereka pun setelah dewasa tidak bisa tertarik kepada teman-temannya.
(Mate
Selection Among Second Generation of Kibbutz Adolescent and Adults: Incest
Avoidance and Negative Imprinting by Joseph Sepher). Fenomena semacam itu
disebut sebagai Westermack effect karena berdasarkan penelitian Edvard
Westermack, seorang ahli sosiologi asal Finlandia, anak-anak yang diasuh bersama
semenjak kecil memang tidak bisa tertarik secara seksual satu sama lain, entah
itu saudara kandung atau orang lain. (Edvard Westermack, Wikipedia).
Hal
seperti itu juga terjadi di Taiwan dalam sistem perkawinan Shim-pua di Taiwan di
mana anak-anak dijodohkan semenjak bayi dan mereka tumbuh besar bersama.
Perkawinan tersebut biasanya berjalan kacau dan sering berakhir dengan
perceraian karena tiadanya rasa tertarik satu sama lain. (Imprinting
(psychology), Wikipedia). “Minor couples frequently refuse to consummate the
marriage, so the fathers would stand outside their door until they did”,
demikian kata Debra Lieberman, evolutionary psychologist dari University of
Hawaii.
Barangkali
ada yang berargumen bahwa insting tidak bisa tertarik kepada saudara kandung itu
karena semenjak kecil kita dididik oleh agama dan adat supaya tidak berlaku
demikian? Tidak juga. Walaupun agama dan adat menyetujui kita menikah dengan
saudara kandung, sistem di otak kita tetap tak bisa menerimanya. Anda pernah
dengar yang namanya kembar dampit? Itu adalah anak kembar yang berbeda jenis
kelaminnya, yang satu laki-laki yang satu perempuan. Adat dan agama orang-orang
Jawa kuno mengajarkan bahwa saudara kandung kembar dampit itu sudah dijodohkan
oleh Hyang dari sononya. Jadi, agama dan adat malah mewajibkan supaya saudara
kandung kembar dampit itu menjadi suami istri. Sebagian masyarakat Jawa penganut
kejawen bahkan masih menganutnya hingga saat ini.
Masyarakat
Jawa kuno pun, walau belum mengerti ilmu psikologi, khususnya Westermack effect,
ternyata sudah memahami bahwa saudara kandung yang diasuh bersama semenjak kecil
tidak bisa tertarik satu sama lain. Atau mungkin juga mereka belajar dari
pengalaman, yakni anak kembar dampit yang diasuh bersama sejak kecil ternyata
tidak mau dinikahkan, akibatnya tradisi itu pun tak bisa dilaksanakan. Oleh
karena itu, supaya mereka bisa dan mau menjadi suami istri, maka anak kembar
dampit itu biasanya dipisahkan semenjak bayi. Mereka baru dipertemukan lagi
setelah dewasa, kemudian dijodohkan dan menjadi suami istri. Karena mereka tak
pernah saling mengenal, maka sistem di otak mereka juga memprogram seolah-olah
mereka bukan saudara kandung sehingga bisa tertarik satu sama lain, bisa
berhubungan dan punya keturunan. Ini disebut Genetic Sexual Attraction (GSA),
kebalikan dari Westermack effect yang terjadi di kibbutz tadi. Jadi, walau agama
dan adat menyetujui, bahkan tradisi masyarakat Jawa kuno mewajibkan perkawinan
semacam itu, ternyata mereka tetap tak bisa tertarik satu sama lain kalau diasuh
bersama-sama sejak kecil. Mereka harus dipisahkan dulu supaya otak mereka tidak
membentuk program yang membuat tradisi Jawa kuno tadi tak bisa dilaksanakan.
Menurut
penelitian, masa kritis itu terjadi pada usia 1 sampai 6 tahun, atau hingga
sebelum masa puber. Selepas itu, bila saudara kandung bertemu saat sudah dewasa,
mereka bisa tertarik satu sama lain, seperti yang bisa terjadi pada anak-anak
Asia yang diadopsi sejak bayi di Amerika dan hidup terpisah dengan
saudara-saudara kandungnya. Bisa terjadi GSA juga.
Selain
dengan saudara kandung, sistem di otak tadi juga mengatur manusia supaya tidak
bisa tertarik dengan anak atau orangtua kandung bila mereka berkumpul bersama
semenjak si anak masih kecil. Jadi, biar secantik dan se-seksi apa pun anaknya,
sang ayah (ayah yang normal maksudnya) tidak akan bisa merasa tertarik kepada
anak kandungnya. Mereka biasanya hanya sekedar membanggakan kecantikan anaknya
kepada orang lain. Sekedar merasa senang dan bangga dengan kecantikan anaknya. Tak lebih
dari itu. Otak manusia yang normal juga mengatur bahwa anak laki-laki tidak bisa
tertarik kepada ibunya. Anak laki-laki katakanlah yang berusia 17 tahun tentu
sudah ada rasa tertarik kepada lawan jenisnya. Bila seorang ibu menikah pada
usia 20 tahun, maka saat anak laki-lakinya berusia 17 tahun ibu itu masih
berusia 38 tahun. Tentu ibu seusia itu masih bisa menarik bagi lawan jenisnya.
Akan tetapi, walaupun ibu itu kebetulan adalah wanita yang cantik, mulus dan
seksi, anak laki-lakinya mustahil bisa tertarik kepada dia. Seratus persen
mustahil, dijamin. Bahkan, walaupun ia melihat ibunya yang cantik dan seksi itu
sedang telanjang bulat, pemuda itu tak akan merasakan apa-apa sama sekali.
Padahal,
orang lain bisa langsung panas dingin bila melihat pemandangan semacam itu.
Biarpun seandainya agama-agama di dunia ini tak melarang hubungan anak dengan
ibu, mereka tetap tak bisa melakukannya. Bahkan, seandainya saja Tuhan tiba-tiba
turun langsung ke bumi dan mewajibkan pemuda itu supaya menikah dengan ibunya
yang cantik molek dan seksi itu, diberi janji pahala berganda di surga pula,
pemuda itu tetap tak akan bisa melakukannya. Tetap lemes saja, tak bisa ON.
Betul, bukan? Seandainya pemuda itu lalu dipaksa berhubungan dengan ibunya boleh
jadi setelah itu dia mengalami gangguan jiwa, terjadi kortsleting di otaknya.
Karena sistem di otaknya memang telah terprogram tak bisa menjalankan hal
semacam itu, bila dipaksa akan bisa hang, dia bisa pingsan atau jadi
pasien RSJ.
Karena
sebagian besar manusia itu perilaku seksualnya normal, maka hubungan
incest semacam itu memang sangatlah jarang terjadi. Dan itu bukanlah
karena dilarang peraturan agama, negara atau ideologi mana pun, tetapi itu
karena sistem di otak manusia yang normal memang tidak ada program untuk
menjalankan hal tersebut. Jadi, biar dipaksa sekali pun tetap tak akan bisa berjalan. Mereka yang
bisa melakukannya nampaknya karena bagian otak mereka yang mengatur semacam
Westermack effect untuk mengatur hubungan orang tua dan anak tidak berfungsi
dengan baik.
Fenomena yang berbeda adalah bila orang tua dan anak kandungnya terpisah
saat si anak masih kecil, kemudian mereka bertemu kembali saat si anak sudah
dewasa. Hal yang juga bisa terjadi pada saudara kandung sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas tadi. Walaupun mereka normal, mereka bisa tertarik secara
seksual satu sama lain, bisa terjadi GSA juga, ibu bisa saling tertarik dengan
anak laki-lakinya atau ayah dengan anak perempuannya. Kalau
saya baca di internet, ternyata banyak juga kejadian seperti itu. Akan tetapi,
ini memang hanya kejadian yang berupa perkecualian saja karena sebagian besar
anak semenjak kecil hidup bersama dengan orantuanya. Jadi, memang harap
berhati-hati, jangan sampai orangtua dan anak kandung yang baru ketemu setelah
dewasa kemudian bergaul terlalu akrab, apalagi hidup serumah, bisa terjadi GSA
alias incest. Silakan Anda baca kisah-kisah semacam itu di internet.
Satu hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah bila ada ibu yang menikah lagi
sambil membawa anak perempuannya yang sudah dewasa atau remaja. Sebaiknya
dihindari, tidak membawa anak perempuannya yang sudah besar itu hidup serumah
dengan suami barunya. Walau itu tidak disebut GSA, namun kan bisa menimbulkan
skandal yang tidak senonoh juga.
Oleh
karena sebagian besar manusia memang tidak bisa tertarik kepada orangtuanya,
yakni melakukan incest, maka saya jadi bertanya-tanya apakah Sigmund
Freud (bacanya: froid) adalah pengidap gangguan seksual. Dia menyatakan bahwa
sebagian besar problem psikologi manusia itu disebabkan karena anak semenjak
kecil sudah merasa tertarik secara seksual kepada ibu atau bapaknya.
Yang dimaksud oleh Freud ini adalah mereka yang hidup bersama semenjak
kecil, bukan yang baru ketemu setelah dewasa. Anak-anak itu kemudian mengalami
tekanan jiwa karena terpaksa menekan rasa tertarik kepada ayah atau ibunya. Rasa
tertarik anak laki-laki kepada ibunya disebutnya Oedipus complex sedangkan anak
perempuan kepada ayahnya disebut Elektra complex. Hal itu juga kemudian
menimbulkan perasaan bersalah kepada anak-anak yang diiringi rasa cemburu kepada
bapak atau ibunya. Demikian kata Freud.
Well... teori yang aneh. Setahu saya teman-teman saya dulu tak pernah
ada yang bilang merasa tertarik kepada ibunya atau bapaknya. Tentu saja saya
demikian pula, tidak sama sekali. Apalagi rasa cemburu kepada bapak, tidak ada
itu. Benar-benar teori yang aneh karya Freud ini. Cobalah cek juga diri Anda
sendiri, apakah semasa balita dulu ada di antara Anda yang ingin berhubungan
seksual dengan ayah atau ibu Anda? Saya
kira jawabannya adalah tidak, kecuali mereka yang sinting alias topnut.
Kalau
saya perhatikan, hal yang paling mendominasi pikiran balita hanyalah keinginan
untuk bermain, terutama bermain dengan saudara atau teman-teman sebayanya. Baik
itu permainan yang bersifat aktif seperti berlari kejar-kejaran kian kemari,
atau yang bersifat tenang seperti bermain ular tangga, boneka atau lainnya.
Malah sepertinya hanya itu yang ada di pikiran balita, bermain dan cuma bermain.
Tak ada yang lainnya. Dan mereka akan sangat gembira bila keinginan
bermain itu bisa tersalurkan. Hal itu bisa berlangsung sampai anak berusia
kira-kira sepuluh tahun. Insting suka bermain semacam itu agaknya sudah dibentuk
oleh proses evolusi, tujuannya untuk menstimulasi perkembangan otak, memperkuat
otot-otot tubuh dan melatih interaksi sosial.
Karena yang mendominasi pikiran anak-anak hanyalah hal semacam itu, maka
saya cenderung menduga bahwa apa yang dinyatakan Freud itu adalah perasaan dia
sendiri. Dia mengidap kelainan seksual dan perasaannya itu kemudian
digeneralisirnya, dia menyangka bahwa semua orang mengalami hal yang sama
seperti dirinya. (Lihat artikel Freud di Wikipedia, dia memang abnormal,
mencintai ibunya dan membenci bapaknya). Padahal, itu tidak benar dan tak semua
orang seperti dirinya. Apalagi, kita tahu bahwa rasa tertarik secara seksual itu
tidaklah dimulai semenjak kecil, apalagi semenjak balita seperti yang dinyatakan
Freud. Anak balita tak paham apa-apa soal itu. Pikiran dan insting balita belum
menjangkau ke arah sana karena di dalam sistem otak mereka memang belum
terbentuk insting semacam itu. Cobalah
Anda undang Pam Anderson atau Shakira untuk menari stripstease di hadapan
anak-anak TK. Dijamin mereka tak akan merasakan apa-apa, tak terangsang sedikit pun.
Yang “nyoos” malah guru-gurunya nanti, bukan anak-anak asuhnya. Bahkan, anak
kelas 4 atau 5 SD pun masih belum begitu paham, masih samar-samar. Banyak di
antara anak SD, terutama yang masih tingkat-tingkat awal, baik yang laki-laki
maupun perempuan, masih belum merasa malu telanjang di muka umum. Sehabis atau
sebelum mandi mereka bisa saja seenaknya pergi berlari-lari sambil telanjang
bulat ke halaman atau ke ruang tamu tanpa merasa malu sama sekali walau di sana
sedang banyak orang. Tak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Orang-orang yang
melihatnya pun biasanya pada maklum saja, tidak lantas menganggap anak itu gila.
Suatu hal yang sudah lumrah. Barulah kalau setelah dewasa dia masih tetap
begitu, suka berlari ke jalan sambil telanjang bulat, maka orangtuanya akan
segera mengirim dia ke RSJ. Tak percaya? Cobalah sendiri.
Hal-hal yang menyangkut masalah seksualitas memang masih belum
terpikirkan sama sekali oleh anak-anak, apalagi yang masih balita. Belum ada
SAMA SEKALI. Itu karena sistem di otak mereka masih belum terbentuk secara
sempurna, masih dalam taraf perkembangan, sehingga fungsi-fungsi otak yang
terdapat pada orang dewasa masih belum terdapat di dalam otak anak-anak. Dan
perlu kita ketahui bahwa besar otak anak yang baru lahir hanya 25 persen dari
orang dewasa. Anak yang baru lahir kepalanya tidak langsung besar, bukan? Jadi,
memang banyak sekali fungsi otak yang masih belum terdapat pada anak-anak,
termasuk yang terkait dengan masalah seksual. Barulah kalau anak memasuki usia
SMP mereka mulai ada rasa tertarik secara seksual kepada lawan jenis, karena
mereka memang sudah memasuki usia remaja. Sudah mulai akil baligh.
Jadi, teori Freud itu memang salah besar, totally wrong, tidak
sesuai dengan fakta yang ada. Bagaimana mungkin anak balita bisa tertarik secara
seksual kepada bapak atau ibunya, padahal di dalam sistem otaknya belum
terbentuk insting semacam itu? Atau analogi gampangnya, bagaimana mungkin
lagu-lagu di komputer bisa berbunyi, padahal winamp - atau program audio
semacamnya - belum diinstal? Belum ada programnya, jadi ya tak mungkin bisa
jalan, baik itu secara sadar (conscius) maupun di bawah sadar
(subconscius). Atau seandainya pun sudah ada, maka program itu belum
dijalankan. Oleh gen kita program di otak itu disetel autorun pada “jam”
tertentu, ada scheduler-nya di otak kita, yakni baru berjalan pada saat
anak mulai beranjak remaja, rata-rata sekitar umur 11 hingga 15 tahun. Dan
memang baru pada usia itulah bagian otak yang bernama hypothalamus mulai
memerintahkan tubuh untuk meningkatkan pengeluaran hormon-hormon seksual dalam
jumlah besar, yang lalu mempengaruhi perilaku dan perkembangan bentuk fisik para
remaja, termasuk juga perubahan suara. (“Hormone”,
World Book Millenium, 2000). Anak laki-laki nada suaranya menjadi berat sedang
perempuan nadanya lebih tinggi. Dan beragam perubahan lainnya. Semua perubahan
itu pun berjalan secara berangsur-angsur selama beberapa tahun sejalan dengan
pertumbuhan badan, tidak secara mendadak. Program untuk meningkatkan pengeluaran
hormon-hormon seksual itu belum berjalan pada saat anak masih balita, atau
mungkin juga belum ada. Bila programnya sudah ada, tapi scheduler-nya
berjalan terlalu awal, maka yang terjadi adalah abnormalitas. Misalnya anak umur
lima tahun tiba-tiba sudah berkumis lalu minta kawin dengan anak tetangga.
Pusing deh ortunya. Atau misalnya lagi, tiba-tiba saja program untuk beruban dan
keriput di tubuh Anda scheduler-nya berjalan terlalu awal, umur 20-an
tiba-tiba rambut Anda sudah penuh uban dan kulit keriput semua. Anda pun pasti
akan pusing juga.
Semua
itu memang sudah ada scheduler-nya, sudah dijadwal secara otomatis oleh
otak kita kapan suatu program itu berjalan. Bila sudah tiba saatnya, maka
langsung autorun. Kalau suatu schedule itu berjalan terlalu awal
atau terlalu lambat, maka yang terjadi adalah abnormalitas.
Dari
sini jelaslah bahwa Freud tidak memahami tahap-tahap perkembangan otak manusia
dan pengaturan pengeluaran hormon-hormon yang ada pada manusia semenjak mulai
dari balita, remaja, sampai dewasa yang tentu saja punya pengaruh besar kepada
perilaku manusia dan bentuk fisiknya pada tiap-tiap tahapan usia tersebut. Rasa
tertarik kepada ibunya itu mungkin perasaan Freud sendiri, dia abnormal,
mengidap kelainan seksual, lalu digeneralisirnya kepada semua orang. Disangkanya
semua orang seperti dia. Itu tidak benar. Anak-anak yang normal tidak memiliki
rasa tertarik sama sekali kepada ibu atau bapaknya, baik secara sadar maupun di
bawah sadar, apalagi yang masih balita. Mustahil. Sialnya, banyak orang,
termasuk sebagian ilmuwan, yang dengan membuta tuli lalu mengikut saja apa kata
Freud tanpa meneliti lagi, termasuk meneliti dirinya sendiri.
Menurut
penelitian, insting menghindari incest itu memang bersifat genetik, sudah
diatur berjalan secara otomatis di otak manusia (autorun), dan
bukan karena tekanan sosial atau agama. Hewan-hewan primata, termasuk
simpanse, spesies yang paling dekat hubungannya dengan manusia, juga menghindari
incest. Padahal, tentu saja simpanse tidak mempunyai agama, ideologi atau
peraturan pemerintah yang melarangnya. (When Daddy Loves Daughter: Exploring
the Incest Taboo, Incest Taboo is Hard-Wired, Most Researchers Say, by Dan
Child, ABC News Medical Units, 9 April 2008). “Evolution weed out the things
that don’t work,” demikian kata David Spain, Profesor Emeritus jurusan
Anthopology dari University of Washinton yang telah mengadakan penelitian
tentang masalah incest semenjak tahun 1968. Hal ini karena besarnya
resiko cacat genetika yang diakibatkan oleh perkawinan semacam itu. Karena
banyak yang menderita cacat genetika, maka mereka yang suka melakukan
incest itu akhirnya disingkirkan oleh seleksi alam, kalah bersaing dengan
mereka sehat. Dan kita umat manusia adalah keturunan dari mereka yang sukses di
dalam persaingan tersebut, yakni mereka yang sehat karena tidak suka melakukan
incest. Oleh karena itu, kita juga tidak suka melakukannya dan insting
semacam itu sudah bersifat genetik, sudah hard-wired di otak kita, hasil
dari seleksi alam. (Incest Not So Taboo In Nature, LiveScience). Kedua
artikel yang saya jadikan rujukan pada paragraf ini saya rekomendasikan kepada
Anda untuk membacanya. Dengan demikian, teori Oedipus complex dari Freud memang
sudah saatnya ditarik dari peredaran karena tidak sesuai dengan bukti-bukti
ilmiah. Secara genetika, anak ternyata tidak bisa tertarik kepada orangtuanya
sehingga Oedipus complex tadi mustahil ada, baik secara sadar maupun di bawah
sadar, kecuali tentunya pada mereka yang abnormal. Karena itu, sekarang ini bisa
kita ucapkan: bye-bye.. Opa Freud.
Program
autorun semacam itu bisa kita lihat juga pada pola pertumbuhan bulu wajah
atau badan. Satu hal yang dulu seringkali membuat saya heran juga. Bagaimana
caranya tubuh kita mengetahui bahwa bulu itu sudah mencapai panjang tertentu dan
lantas berhenti? Padahal, kalau dicukur, otomatis langsung bisa memanjang lagi.
Kenapa kok tidak memanjang terus pada saat kita tidak bercukur? Kok bisa tahu
kalau kita potong sehingga dia lalu tumbuh memanjang lagi. Ini misalnya bisa
kita lihat pada saat kita tidak pernah mencukur kumis. Program menumbuhkan kumis itu secara otomatis akan mengatakan “stop”
pada saat kumis mencapai panjang tertentu. Tidak pernah kumis lantas memanjang
sampai ke tanah. Mesti selalu berhenti pada saat mencapai panjang tertentu.
Sudah ada program yang secara rapi mengaturnya. Kemudian, pada saat kita kita
ingin bertampang kelimis, maka kita setiap hari mesti rajin bercukur juga sebab
setiap kali kumis selesai dicukur program penumbuh kumis tadi mulai menjalankan
autorun lagi dan mengatakan “start”. Hal
serupa juga terjadi pada alis, bulu mata dan lain-lainnya. Apa pernah alis mata
Anda memanjang sampai ke tanah? Tentu tidak. Akan tetapi, kalau kita cukur habis
atau potong sedikit saja, langsung program penumbuh itu memerintahkan “start”
lagi. Berjalan secara otomatis sampai alis mata kita panjang seperti
sediakala.
Saya
kemudian berpikir bahwa mungkin program pengatur tumbuhnya rambut tadi berjalan
seperti kalau kita bermain game Praetorian atau Age of Empire
misalnya. Pada saat pasukan mencapai jumlah tertentu, maka kita tak bisa membuat
pasukan lagi. Keluarlah kalimat “population limit have been reached”. Bila
kemudian pasukan kita berkurang karena dipotong musuh, maka secara otomatis
program penambah pasukan tadi berjalan lagi. Mungkin program seperti itulah yang
ada di tubuh kita untuk mengatur panjangnya rambut. Sudah diprogram untuk
“start” dan “stop” pada kondisi tertentu, yakni pada saat sel-sel yang
ada pada satu helai rambut itu mencapai jumlah tertentu.
Demikian
pula agaknya program yang mengatur beragam proses pada tubuh manusia, sudah
diprogram untuk berjalan secara otomatis ketika mencapai kondisi atau usia
tertentu. Bila suatu saat manusia sudah bisa mengetahui cara untuk mencegah agar
program yang mengatur proses penuaan tidak melakukan “start”, bisa kita klik
tombol cancel-nya, maka orang tentu nanti tak perlu mencari fountain of
youth lagi seperti yang dulu pernah dilakukan oleh Juan Ponce de León.
Tinggal klik “cancel” saja sudah awet muda selamanya.
Saya
memang suka membandingkan proses kerja kerja otak manusia dengan program yang
ada di komputer karena memang tak jauh berbeda. Sama-sama dijalankan oleh
program yang sudah ada dan program itu banyak yang berjalan secara otomatis.
Satu contoh yang paling jelas adalah kalau kita sedang main game sepakbola. Para
pemain bola di game itu gerak-gerik, respon dan cara mereka bermain bola persis
seperti manusia betulan. Bahkan, manusia kadang bisa kalah melawan para pemain
bola AI tersebut. Marvin Minsky membahas hal semacam itu juga di dalam
tulisan-tulisannya.
Rasa
tidak bisa tertarik kepada saudara/orangtua kandung itu bisa juga kita
bandingkan dengan rasa tidak tertarik kepada sesama jenis. Sebagaimana kita
ketahui, sebagian besar manusia tidak punya rasa tertarik sama sekali kepada
sesama jenisnya. Seandainya saja ada pemuda normal dipaksa berhubungan dengan
sesama pria, maka ia tak bisa melakukannya. Walaupun pria yang ada di depannya
itu setampan Tom Cruise atau Brad Pitt, maka ia tetap tak akan bisa
melakukannya. Dan itu juga bukanlah karena dilarang oleh agama dan ideologi mana pun.
Seandainya Tuhan tiba-tiba juga turun langsung ke bumi, merevisi kitab sucinya
dan mewajibkan pemuda itu supaya menikah dengan Tom Cruise, ia tetap tak bisa
melakukannya. Bila ia kemudian dipaksa untuk mencumbu dan mencium bibir Tom
Cruise boleh jadi ia malah akan muntah-muntah. Karena sistem di otaknya telah
terprogram tak bisa menjalankan hal semacam itu. Jadi persoalannya memang bukan
dengan agama atau ideologi, bukan? Tetapi dengan sistem yang ada di otak
manusia. Seandainya pun Tuhan hendak mengubah peraturan yang ada di kitab suci,
maka Dia juga harus memprogram ulang otak manusia. Bila tidak, maka peraturan
itu takkan pernah bisa dijalankan dan dipatuhi manusia.
Hal tadi berbeda dengan kalangan cewek tentunya. Cewek yang normal,
seandainya saja mereka dicium Tom Cruise atau Brad Pitt, maka pipinya tak akan
dicuci selama seminggu.
Selain dengan keluarga kandung dan sesama jenis, manusia yang normal
juga tak akan tertarik melakukan hubungan seksual dengan anak-anak di bawah
umur, apalagi yang masih balita. Mustahil. Oleh karena itu, peristiwa semacam
itu sangat jarang terjadi juga, tidak lantas terjadi di setiap kampung dan
setiap rumah tangga. Orang normal bila mendengar berita semacam itu biasanya
hanya nggumun dan berkata, “kok bisa ya.” Mereka bilang begitu karena
mereka tak bisa melakukannya. Walaupun melihat anak-anak balita berlarian
telanjang bulat di halaman, manusia yang normal tak akan merasakan apa pun.
Jadi, seandainya tak ada peraturan apa pun yang melarangnya, baik itu peraturan
agama maupun negara, manusia yang normal tetap tak akan melakukannya karena
mereka tak merasa tertarik sama sekali. Di otak mereka tak ada program yang
membuat mereka tertarik kepada balita karena proses evolusi memang tidak
menyusun program semacam itu di otaknya. Program yang ada di otak manusia normal
kalau melihat anak-anak balita itu adalah semacam kalau mereka melihat
pet yang lucu. Atau menganggap mereka sebagai boneka-boneka hidup yang
lucu. Tak lebih dari itu. Karena memang hanya itu yang terprogram di otaknya.
Jadi, para pelanggarnya, yang suka melakukan hubungan seksual dengan anak di
bawah umur itu jelas adalah mereka yang sistem di otaknya mengalami
penyimpangan, tidak normal. Dan peraturan yang ada sebenarnya diperuntukkan bagi
orang-orang tidak normal. Bukan untuk manusia yang normal. Karena manusia yang
normal memang tidak merasa tertarik sama sekali sehingga tentu saja mustahil
melanggarnya.
Jadi,
moral itu memang adalah perkara sistem yang ada di otak kita, bukan? Perkara
beres atau tidaknya sistem yang ada di kepala seseorang. Bila sistem di otak
seseorang itu berjalan beres, ia akan menjadi orang yang bermoral. Bila sistem
itu kacau, maka ia pun akan menjadi orang yang kacau pula.
Hmmm..
semua penjelasan tentang moral di atas mempunyai dasar yang sangat kuat, bukan?
Karena Anda semua turut merasakan dan memahaminya dalam kehidupan sehari-hari
yang Anda alami.
Dan memang hanya begitulah yang dimaksud dengan moral itu. Tak lebih dan
tak kurang. Hanyalah sekedar soal beres tidaknya sistem di otak yang
mengelola input dan ouput yang ada. Sama sekali tak ada
hubungannya dengan agama atau ideologi mana pun. Input itu adalah
informasi yang masuk ke otak melalui pancaindra sedangkan output adalah
respon yang diambil oleh otak di dalam mengelola informasi tadi, dan respon itu
kemudian disalurkan melalui anggota tubuh kita. Menghasilkan
gerakan-gerakan/tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh anggota tubuh. Bila
input tadi dikelola dengan benar di otak seseorang karena otaknya itu
normal, maka output yang dihasilkan otak tentu akan benar pula, dan dia
jadi orang yang bermoral. Bila input tadi dikelola di otak yang abnormal,
maka output yang keluar tentu abnormal pula, dan dia jadi orang yang
amoral/penjahat.
Contohnya seperti yang di atas tadi, yakni misalnya input
informasi yang masuk di mata seorang pria adalah gambar pria sedang telanjang.
Bila pria tadi normal, maka otak tidak mengeluarkan output apa-apa,
sedang bila dia abnormal tentu saja otak akan mengelola informasi tadi sebagai
rangsangan seksual dan anggota tubuh akan merespon sedemikian pula. Atau
input yang masuk adalah ibunya/anak balita/saudara kandung yang sedang
telanjang. Bila pria tadi normal, maka otaknya tidak mengeluarkan output
apa-apa juga, tetap kalem-kalem saja, tetap OFF. Akan tetapi, bila otaknya
abnormal, maka ia akan mengelola informasi tadi sebagai rangsangan seksual dan
anggota tubuh akan merespon sedemikian pula.
Demikian
pula halnya dengan psikopat, seperti yang juga telah saya jelaskan pada bagian
2. Proses mengelola input dan output yang ada di otaknya juga
abnormal, khususnya sistem yang untuk mencegah dia berbuat kejahatan. Sistem
otak orang psikopat masih primitif, masih dalam tahap setengah hewan atau
almost human, semua input yang masuk ke otak psikopat dianggap
sebagai makanan belaka. They view others as fodder for manipulation and
exploitation. Hanya soal makan memakan yang ada di otaknya. Tak jauh beda
dengan hewan, bukan? Akibatnya, semua benda dan manusia yang dilihatnya
diperlakukan sedemikian rupa pula, dianggap sebagai calon makanannya, baik untuk
dicuri, dirampok, ditipu, diperas, dimanipulasi dan sebagainya. Celakanya,
berbeda halnya dengan homoseksual, incest atau berbagai penyimpangan
lainnya yang sudah lama dianggap sebagai penyimpangan, selama ini masyarakat
tidak menganggap psikopati sebagai penyimpangan. Sebaliknya, malah menganggap
psikopat dan beragam tindakan kejahatan yang dilakukannya sebagai “human
nature”, sebagai unsur gelap yang ada pada semua manusia, atau akibat “godaan
setan”. Padahal, itu adalah “unsur psikopati”, bukan akibat godaan setan, dan
tidak mesti ada pada setiap manusia, sebagaimana juga tidak mesti semua manusia
mengidap homoseksual/lesbian atau suka melakukan incest. Tidak semua
manusia mempunyai unsur gelap ingin memperkosa anak kandungnya, menggauli ibunya
atau merampok tetangganya. Tidak semuanya. Jangan lantas digebyah uyah.
Sebaliknya, sebagian besar manusia itu sistem otaknya sehat dan tidak mempunyai
unsur gelap semacam itu. Hanya orang psikopat yang mempunyainya dan jumlah
mereka cuma 1-4 persen dari populasi manusia. Akibatnya, karena tak dianggap
sebagai penyimpangan dan hanya dianggap sebagai unsur gelap atau akibat godaan
setan, maka manusia psikopat yang menurut penelitian ilmiah/medis otaknya itu
jelas-jelas menyimpang dan sakit jiwa, tetap bisa bebas berkeliaran di mana-mana
dan dengan bebas pula melakukan kegiatan destruktif mereka di
mana-mana.
Dari
segala uraian tadi, ini bukan berarti saya lalu menafikan peran agama. Bukan
begitu maksud saya. Agama tetap kita perlukan untuk memberikan penegas bagi
sistem yang telah ada di otak kita tadi. Menegaskan bahwa itu memang benar atau
ini memang salah, selain juga untuk mengatur beberapa hal lainnya di dalam
kehidupan bermasyarakat. Saya juga tak akan melarang orang untuk beragama,
silakan saja. Jadi, saya di sini hanya sekedar ingin memberikan penjelasan bahwa
begitulah definisi yang sebenarnya dari moral. Hanya soal beres tidaknya otak
seseorang di dalam mengelola input dan output yang ada. Sumber
dari segala sumber moral yang hakiki adalah sistem otak yang berjalan baik dan
benar, bukan agama atau ideologi apa pun. Proses evolusi telah memberikan
sistem otak yang terbaik kepada kita umat manusia, terbaik dalam pengertian yang
relatif tentu saja. Lihat tulisan saya yang dulu tentang arti dari kata
ter- dan paling. Dan hanya bila sistem terbaik yang ada di otak
manusia normal itu yang diberlakukan secara umum dan pelanggarnya yang otaknya
menyimpang diberi sangsi, atau minimal dicegah supaya tidak menginfeksi manusia
yang normal, (sangsi atau pencegahan tentu tergantung seberapa merusak akibat
dari perbuatan yang dilakukan seorang pelanggar tersebut) maka sistem yang
terbaik itu akan tetap terjaga dan bisa mencegah terjadinya kerusakan di dalam
kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Di
sini kita terutama membahas psikopat yang karena faktor genetika karena mereka
inilah penyebab utama segala kejahatan yang ada. Bagi para psikopat yang
disebabkan oleh faktor genetika, maka mereka memang mustahil untuk diperbaiki.
Karena mereka memang sudah dari pabriknya begitu. Mereka itu merasa tak ada yang
salah dengan dirinya, malah seringkali beranggapan bahwa orang lain itulah yang
salah sehingga mereka kemudian berusaha mempengaruhi orang lain untuk ikut
mereka, berusaha “memperbaiki” orang lain. Tentu saja “memperbaikinya” dengan
cara-cara psikopat pula, yakni intimidasi, kekerasan, manipulasi dan penipuan.
Dalam skala besar, “perbaikan” semacam itu bisa kita saksikan misalnya pada
negara-negara stalinis atau semacamnya. Dalam skala menengah itu juga terjadi di
negara-negara demokratis sekali pun, melalui media massa yang dikuasai para
psikopat, termasuk di Indonesia tentu saja.
Beberapa
kutipan di bawah ini menjelaskan bagaimana para psikopat itu memang sangatlah
bebal dan tak mungkin bisa berubah.
1.
The
psychopath recognizes no flaw in his psyche, no need for change. (The Psychopath: The Mask
of Sanity, Special Research Project of the Quantum Future
School)
2.
One
carefully conducted experiment revealed that "low arousal levels" not only
causes impulsiveness and thrill-seeking, but also showed how dense sociopaths
are when it comes to changing their behavior. A group of sociopaths and a group
of healthy individuals were given a task, which was to learn what lever (out of
four) turned on a green light. One lever gave the subject an electric shock.
Both groups made the same number of errors, but the healthy group quickly
learned to avoid the punishing electric shock, while sociopaths took much longer
to do so.
Punishment
rarely works, because they are impulsive by nature and fearless of the
consequences. Incapable of having meaningful relationships, they view others as
fodder for manipulation and exploitation. According to one psychological
surveying tool (DSM IIIR) between 3-5% of men are sociopaths; less than 1% of
female population are sociopaths. (Shirley Lynn Scott, What Makes Serial Killers
Tick?)
Artinya:
1.
Psikopat
merasa tak ada yang salah dengan dirinya, tak perlu untuk berubah.
2.
Sebuah
eksperimen yang dilakukan dengan teliti mengungkapkan bahwa “level rangsangan
yang rendah” tak hanya menyebabkan sifat impulsif dan suka mencari ketegangan,
tetapi juga menunjukkan betapa para psikopat itu sangat bebal untuk bisa merubah
perilakunya. Satu grup psikopat dan satu grup orang sehat (normal) diberi sebuah
tugas, yaitu untuk menemukan satu katrol (dari empat yang ada) yang bisa
menyalakan lampu hijau. Salah satu dari katrol tersebut diberi arus listrik.
Kedua grup membuat kesalahan dalam jumlah yang sama, tetapi grup orang yang
sehat dengan cepat belajar untuk menghindari arus listrik. Sebaliknya, grup
psikopat memerlukan waktu yang jauh lebih lama untuk belajar.
Hukuman
jarang bermanfaat, karena mereka sudah pada dasarnya impulsif dan tidak takut
akan konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Tidak mampu membina hubungan yang
langgeng, mereka memandang orang lain hanya sebagai makanan, bahan untuk
dimanipulasi dan dieksploitasi. Menurut salah satu alat survey psychologi (DSM
IIIR) antara 3-5% pria adalah sociopath; dan kurang dari 1% wanita adalah
sociopath.
Oleh
karena itu, segala nasehat agama dan ajaran keluhuran budi akan percuma
saja ditujukan kepada mereka. Tak akan pernah berguna.
Sekedar
contoh ringan adalah kisah berikut ini. Salah seorang bibi saya beserta keluarganya setiap
Minggu pagi rajin mengikuti pengajian di sebuah pesantren di Malang. Saya
sendiri belum pernah ke sana karena saya sekarang memang jarang ikut mengaji. Akan tetapi, dari kabar yang saya dengar, pengajian di sana sangatlah
ramai sehingga sampai meluber ke jalan raya. Seperti biasanya, ada gula ada
semut. Banyak pedagang kaki lima yang berjualan di sana. Sehabis pengajian, bibi
saya sekeluarga kadang mampir ke rumah saya, dan kadang dengan membawa oleh-oleh
sarapan atau kue-kue yang dibelinya di sana. Letak rumahnya maupun tempat
pengajiannya memang cukup dekat dengan rumah saya, kurang lebih 2 km saja. Nah,
selain mereka yang memanfaatkannya dengan mencari nafkah secara halal, dan itu
tentunya boleh-boleh saja, ternyata ada juga yang rajin setiap minggu ke sana
untuk “mencari nafkah” dengan... mencopet. Karena para copet itu setiap minggu
rajin ke sana, tentu saja mereka mau tak mau akan ikut mendengar khotbah Pak
Kiai. Akan tetapi, walau para copet itu setiap minggu rutin mendengar khotbah
tentang segala macam kebaikan, ternyata tak ada faedahnya sama sekali. Mental
semuanya, masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Dan pihak panitia pun
terpaksa setiap minggu tetap selalu rajin memperingatkan para jamaah akan bahaya
kecopetan. “Awas, hati-hati copet, periksa dompet Anda”, demikian sepupu saya
pernah bergurau menirukan ucapan panitia. Lalu saya timpali, “Awas, jamaahe
copet pisan”. Dan mereka pun lalu tertawa.
Demikianlah,
al-ilmu nuur, wa nuurullah laa yuhda lil-psikopat. Jadi, kita memang takkan
bisa menyembuhkan orang-orang semacam itu, mereka yang walau rutin ditatar
dengan pengajian atau ideologi terluhur mana pun, tetap saja menjadi copet. Yang
bisa kita lakukan hanyalah berusaha mencegah agar orang-orang psikopat itu tidak
membuat terlalu banyak kerusakan dan kejahatan di muka bumi. Berusaha
meminimalkan kerusakan yang mereka buat dengan mengadakan peraturan-peraturan
yang diperlukan sesuai dengan ilmu yang saat ini telah dikembangkan oleh para
ahli psikologi.
So, I'll say it again--and keep saying it--until the knowledge and
awareness of pathological human beings is given the attention it deserves and
becomes part of the general knowledge of all human beings, there is no way that
things can be changed in any way that is effective and long-lasting. That is the
first order of business…( Laura Knight-Jadczyk)
Artinya: Oleh karena itu, aku akan mengatakannya lagi – dan akan tetap
mengatakannya – bahwa hingga pengetahuan dan kesadaran tentang adanya manusia
psikopat ini memperoleh perhatian yang semestinya dan menjadi pengetahuan umum
dari seluruh umat manusia, maka tak akan ada perubahan yang bisa berlangsung
efektif dan bertahan lama. Ini adalah hal pertama yang harus kita
urusi…
Kelemahan
manusia normal yang paling utama adalah kita menyangka bahwa semua manusia punya
rasa empati atau paling tidak bisa dibina. Itu disebabkan karena kita selama ini
belum mengetahui ilmunya sehingga selalu bersikap husnudzon menyangka
bahwa semua manusia itu punya empati. Padahal, faktanya secara ilmiah tidaklah
demikian. Kita selama ini tidak menyadari bahwa ada di antara manusia yang hanya
berstatus “almost human”, manusia yang tidak punya empati sama sekali terhadap
manusia lainnya karena sistem di otak mereka memang tak ada hardware yang
mengatur hal itu. Sistem di otak mereka berbeda sehingga cara mereka mengelola
informasi yang masuk ke otaknya pun tentu saja berbeda dengan manusia normal.
Bila
mereka hanya sekedar kriminal yang berkeliaran di jalan mungkin kerusakan yang
mereka lakukan tidak seberapa parah, walau tentu perlu tetap dicegah juga. Akan
tetapi, sangatlah mengerikan bila orang-orang yang sistem otaknya selalu salah
memproses informasi itu dan merasa tak ada yang salah dengan dirinya, lalu bisa
menduduki jabatan-jabatan penting di militer dan pemerintahan, apalagi menjadi
pemimpin tertinggi di suatu negara. Sangat mengerikan. Akibatnya bisa sangat
berbahaya bagi perikemanusiaan. Bukan hanya satu dua orang di jalan yang akan
mereka bantai, tetapi bisa ribuan bahkan jutaan orang, juga bukan uang satu atau
dua juta yang mereka rampok, tetapi triliunan. Semua sistem negara juga akan
turut mengalami malfungsi, kacau balau, karena negara dikendalikan oleh
orang-orang yang sistem otaknya mengalami malfungsi. Negara akan dipenuhi dengan
kekejaman dan kerakusan tanpa batas.
Oleh
karena sebagian besar negara-negara di dunia ini, termasuk Indonesia, pada saat
ini didominasi oleh orang-orang yang prosesor di otaknya sudah kacau balau, baik
itu di lembaga-lembaga tinggi pemerintahan, militer maupun di kalangan pelaku
bisnisnya, maka sebagian besar negara-negara di dunia pada saat ini pun
keadaannya serba kacau balau juga. Semua sama keadaanya karena negara-negara
tersebut dikuasai oleh orang yang punya penyakit yang sama pula, yakni sakit
jiwa. Akibatnya, walau semua negara tersebut mempunyai beragam ideologi dan
menganut beragam agama, maka isinya pun ternyata tak jauh berbeda, yakni
kekejaman dan kerakusan, karena memang dikuasai orang-orang yang so similar
in their essential properties.
Pathocracy is a disease of great social movements followed by entire
societies, nations, and empires. In the course of human history, it has affected
social, political, and religious movements as well as the accompanying
ideologies… and turned them into caricatures of themselves…. This occurred as a
result of the… participation of pathological agents in a pathodynamically
similar process. That explains why all the pathocracies of the world are, and
have been, so similar in their essential properties.
(Lobaczeswki)
Artinya: Patokrasi adalah penyakit yang diidap oleh berbagai gerakan besar
sosial, yang menghinggapi seluruh masyarakat, negara atau imperium. Sepanjang
sejarah umat manusia, patokrasi telah mempengaruhi berbagai gerakan sosial,
politik dan agama, dan juga ideologi-ideologi yang menyertai gerakan tersebut…
dan mengubahnya menjadi karikatur belaka.. Ini terjadi akibat turut
berpartisipasinya unsur-unsur patologi di dalam proses patodinamika yang sama.
Hal ini menjelaskan kenapa semua patokrasi di dunia ini, semenjak dahulu hingga
sekarang, sangatlah mirip satu sama lain dalam sifat-sifat dasarnya.
Yang
lebih mengerikan lagi adalah apabila para psikopat itu lalu bisa sampai
menduduki jabatan-jabatan penting di suatu negara superpower yang kekuatan
militernya tentu saja bisa menjangkau ke mana-mana, maka yang akan menjadi kacau
bukan hanya negaranya sendiri, tetapi seluruh dunia akan turut mereka kacaukan
juga.
Bila
kemudian para psikopat itu memegang posisi yang penting dalam bidang ekonomi,
maka ekonomi suatu bangsa itu pun akan mereka hancurkan demi kepentingan egois
mereka sendiri, seperti di Indonesia sini. Dan bila suatu bangsa itu kebetulan
memegang peranan penting dalam perputaran ekonomi dunia, maka ekonomi dunia pun
akan mereka hancurkan pula, seperti yang terjadi di Amerika saat
ini.
Tak akan ada sistem yang berjalan dengan baik dan benar di tangan para
psikopat. Yang sudah benar akan dibengkokkan menjadi salah, yang sudah salah
akan menjadi semakin berantakan lagi.
Jadi, karena para psikopat memang sudah dari lahirnya tak punya
hardware untuk merasakan empati dan mereka mustahil untuk bisa
merasakannya, maka satu-satunya cara untuk menghapus peperangan dan bencana di
muka bumi ini adalah mencegah mereka masuk ke dalam bidang politik dan militer
serta berbagai jabatan dan posisi penting di sana. Wajib diadakan scan otak dan
tes psikologi untuk melakukan screening sehingga para psikopat tidak bisa
menduduki kedudukan-kedudukan yang sangat vital. Hanya
orang-orang normal, human with conscience, yang akan bisa mendudukinya,
setelah melalui tes psikologi yang ketat. Bila tidak, maka selamanya peperangan,
bencana dan beragam penderitaan lainnya akan menimpa umat manusia, sampai
kiamat. Kita sekarang sudah punya ilmunya dan juga alatnya untuk mengadakan
screening. Tinggal bagaimana menggunakannya saja. Alat scanning otak
sudah bisa membaca mana otak yang normal dan mana yang psikopat. Sudah ada dan
sudah bisa, tinggal kita memanfaatkannya saja demi masa depan kemanusiaan, demi
masa depan yang aman dan damai, makmur dan sejahtera dan bagi umat manusia di
muka bumi ini. Bila hanya manusia yang normal, manusia dengan hati nurani, yang
boleh menduduki jabatan-jabatan penting negara, negara mana saja di seluruh
dunia, maka bisa dijamin dunia akan segera bebas dari peperangan dan beragam
bencana serta kejahatan lainnya.
Selama
ini kita tahu, sudah tak terhitung penderitaan yang dialami umat manusia karena
merajalelanya para psikopat di pangggung kekuasaan. Berapa juta manusia yang
dibantai oleh para psikopat seperti Stalin, Hitler, Pol Pot, Saddam dan
lain-lain. Dalam wawancara dengan Pol Pot yang diadakan bertahun setelah
pembantaian yang dilakukannya, ia sama sekali tak pernah merasa menyesal telah
membantai manusia sebanyak itu. Sedangkan setelah Perang Teluk I, Saddam segera
mengadakan kawin massal, dengan tujuan anak-anak yang lahir nanti bisa menjadi
tentara yang bisa dikirimkannya untuk berbunuhan di medan perang. Tak ada kata kasih sayang, tak ada belas kasihan kepada anak-anak
tersebut. Karena
tak ada hardware yang bisa memproses hal itu di otaknya.
Dan jangan pernah berhalusinasi bahwa sistem demokrasi pun bersih dari
psikopat. Reagan,
Clinton dan Bush Sr. maupun Jr, Lyndon Johnson, Nixon adalah para psikopat.
Berapa juta rakyat dan tentara Amerika maupun musuh Amerika yang tewas
pada masa pemerintahan mereka. Jutaan juga. Mereka tak bisa merasakan
penderitaan yang dialami baik oleh tentara maupun rakyatnya, apalagi rakyat
negara lain. Orang normal akan berpikir banyak kali sebelum mengirim pasukan ke
medan perang. Karena orang normal tak akan tahan melihat pembunuhan, apalagi
pembantaian. Sebaliknya, para psikopat, karena tak punya rasa empati, akan bisa
dengan mudah saja mengirim tentara untuk dibunuh atau membunuh. Para
jendral pada PD I juga rata-rata adalah psikopat. Mereka dengan mudah saja
mengirimkan ratusan ribu anak buahnya menjadi mangsa peluru, bahkan mereka
berlomba-lomba untuk itu. Tujuannya adalah supaya mereka bisa mendapat nama
bahwa merekalah jendral yang sanggup menembus pertahanan musuh, mendapat nama
karena bisa mengakhiri deadlock perang parit. Mereka tak peduli dengan
nasib ratusan ribu tentaranya, yang penting namanya bisa terangkat, naik
pangkat, dianggap sebagai pahlawan, dengan menaiki tangga ratusan ribu mayat.
Padahal, nyatanya tak seorang pun di antara jendral- jendral psikopat dungu itu
yang bisa mengakhiri deadlock perang parit.
Hal
semacam itu takkan dilakukan manusia normal. Orang normal, yang punya hati
nurani, seandainya pun terpaksa harus berperang, akan berusaha meminimalkan
pertumpahan darah sebisa mungkin. Orang normal akan berusaha supaya korban
peperangan tak terlalu banyak. Karena di kepalanya mereka punya hardware
yang bisa merasakan empati.
Saya
pribadi tak tahan menyaksikan video adegan penyembelihan yang dilakukan oleh
Al-Zarqawi, walaupun korbannya orang Amerika. Dan kita tahu bahwa al-Zawahiri
akhirnya mengirimkan surat peringatan kepada Al-Zarqawi karena banyak umat Islam
yang marah karena perbuatannya. Orang non-psikopat, dari agama mana pun, akan
marah bila melihat kekejaman yang berlumuran darah semacam itu. Al-Zarqawi dan anak buahnya jelas-jelas adalah psikopat, tak jauh beda
dengan tentara Amerika yang diperanginya. Dia
juga melakukan pemboman ke beragam sasaran yang bahkan banyak membunuhi umat
Islam sendiri. Dia tak peduli berapa korban yang jatuh, baik di pihak umat Islam
maupun Amerika, asal tujuan politiknya bisa tercapai. Seperti yang pernah saya
katakan, para psikopat berperang orang normal mati di tengah-tengah.
Di
tangan para psikopat agama dan ideologi seluhur apa pun akan bisa dengan mudah
mengalami degenerasi. Atau dalam istilah Lobaczeswki, di tangan para psikopat
ideologi dan agama luhur itu hanyalah tinggal menjadi semacam karikatur belaka
dari ideologi yang aslinya, mengalami ponerisasi, atau istilah populernya di
sini adalah mengalami pembusukan. Ajaran cinta kasih Isa misalnya, di tangan
para psikopat dengan cepat berubah menjadi lembaga Inquisisi yang haus darah ala
film Drakula, atau ajaran penuh kebencian seperti yang diamalkan oleh kaum
fundamentalis Kristen, yang sekarang ini mereka tujukan kepada saya juga. Tak
ada itu ajaran cinta kasih Isa yang tersisa di otak para psikopat, yang ada
hanyalah kebencian dan permusuhan. Ajaran Musa melarang membunuh dan berzinah,
orang-orang psikopat Yahudi meledakkan WTC, Bali dan menyuruh berzinah dengan
istri orang. Tinggal menjadi karikaturnya saja. Komunis pun di teksnya
menghalalkan kebebasan berpendapat, di tangan para psikopat berubah menjadi
neraka gulag bagi para pembangkang. Pancasila pun di teksnya mengajarkan
keadilan sosial dan kemanusiaan yang adil dan beradab, di tangan para psikopat
berubah menjadi ajaran yang biadab dan pembenar ketidakadilan sosial. Agama
Islam di teks mengajarkan majelis syura, tetapi di tangan para psikopat segera
berubah menjadi kediktatoran dan hampir semua negara Islam pada saat ini berisi
para diktator. Takkan ada yang benar di tangan para psikopat. Segala macam
ajaran yang baik dan seluhur apa pun akan segera dibengkokkan supaya bisa sesuai
dengan sifat egois dan rakusnya.
Oleh
karena itu, sekali lagi, kita memang wajib mengadakan scan otak dan tes
psikologi untuk melakukan screening sehingga para psikopat yang sistem di
otaknya kacau itu, yakni dalam hal tak punya sistem pencegah melakukan
pembunuhan, pencurian dan beragam kejahatan lainnya, tidak bisa lagi menduduki
kedudukan-kedudukan yang sangat vital di lembaga negara, baik yang tingkat
nasional maupun daerah, terutama di dalam bidang politik dan militer.
Termasuk juga di DPR/DPRD dan eksekutif, termasuk presiden dan wapres.
Hanya orang-orang normal, manusia dengan hati nurani, yang akan bisa
mendudukinya, setelah melalui scan otak dan tes psikologi yang ketat. Jumlah
orang normal jauh lebih banyak, 96 persen, kenapa kita tak bisa memilih mereka?
Kenapa umat manusia selalu salah pilih menjadikan psikopat yang cuma berjumlah
paling banyak 4 persen menjadi para pemimpinnya? Akibatnya mereka selalu saja
membawa bencana bagi umat manusia.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, psikopat itu adalah orang yang
cacat, yakni cacat-emosi, seperti juga orang buta-warna yang punya cacat-visual,
karena susunan otak mereka yang memang cacat. Pada saat orang mau mendaftar
menjadi pegawai negeri atau swasta, menjadi anggota DPR/DPRD, masuk
militer/polisi, menjadi presiden/wapres selalu tertera di syarat-syaratnya bahwa
para calon tidak boleh cacat, baik cacat fisik maupun mental. Dan sekarang telah
terbukti secara ilmiah/medis bahwa memang ada orang-orang yang cacat secara
fisik di dalam struktur otak mereka, yang mengakibatkan mereka cacat secara
mental pula. Dengan demikian, bila syarat-syarat ini hendak diterapkan secara
konsekuen, maka mereka yang yang cacat-emosi (psikopat) tentunya tidak bisa
mendaftar sebagai pegawai negeri/swasta, militer, polisi, DPR atau
presiden/wapres. Wajib diadakan tes juga untuk menguji buta-emosi (psikopati),
seperti juga yang telah kita lakukan selama ini untuk menguji buta-warna.
Apalagi, boleh dikatakan buta-emosi ini jauh lebih berbahaya dibandingkan
buta-warna. Saya secara pribadi lebih bisa mentolerir orang buta-warna menjadi
presiden atau menjadi pejabat lainnya ketimbang mereka yang buta emosi.
Kebetulan saya pernah kenal orang yang buta-warna, dia orangnya jujur dan baik
pribadinya, dia juga mengakui bahwa dia menderita buta-warna, tidak lantas
berbohong dan berkelit kian kemari. Saya juga lebih bisa mentolerir Roosevelt -
yang cacat kakinya karena polio - menjadi presiden ketimbang mereka yang
cacat-emosi. Cacat-emosi adalah cacat yang paling berbahaya di dunia ini karena
mereka bisa menimbulkan kehancuran dan kejahatan yang tiada taranya di muka
bumi. Dan saya tidak akan pernah bisa mentolerir orang-orang yang punya
cacat-emosi semacam ini menduduki berbagai jabatan tinggi dalam bidang apa pun.
Akibatnya bisa sangat berbahaya bagi perikemanusiaan.
Dulu umat manusia selalu salah pilih karena mereka tak menyadari bahwa
ada psikopat di antara mereka, mereka selalu berprasangka baik dan menyangka
semua manusia punya empati. Ternyata
tidak, ada sebagian manusia yang bukan sepenuhnya human, tetapi hanya almost
human. Kita sekarang sudah punya pengetahuan tentang itu, sudah ada ilmunya.
Dan hanya ilmu inilah satu-satunya jalan yang akan bisa membawa umat manusia
menuju perdamaian yang abadi, kemakmuran yang abadi. Kita sekarang sudah punya
pengetahuan tentang sources of evil, dan dengan mengetahui sumbernya,
maka kita akan bisa memberantasnya. Atau bila itu menurut ilmu kedokteran yang
dipelopori oleh John Snow pada tahun 1854, maka penduduk London pada masa itu
memang hanya bisa memberantas penyakit kolera bila mereka mengetahui sumber air
yang membawa wabah tersebut dan setelah itu menyumbatnya. Teori John Snow ini
bisa juga kita berlakukan untuk menyembuhkan wabah psikopat.
Akan
tetapi, karena pada saat ini hanya sebagian kecil saja yang mengetahui bahwa
sudah ada ilmunya, karena sebagian besar buku-buku yang membahas masalah ini
masih baru, banyak yang baru terbit pada tahun 2000-an, maka menjadi tugas kita
semua, human with conscience, untuk turut serta menyebarluaskan
pengetahuan ini.
Only
when the 75% of humanity with a healthy conscience come to understand that we
have a natural predator, a group of people who live amongst us, viewing us as
powerless victims to be freely fed upon for achieving their inhuman ends, only
then will we take the fierce and immediate actions needed to defend what is
preciously human. Psychological deviants have to be removed from any position of
power over people of conscience, period. People must be made aware that such
individuals exist and must learn how to spot them and their manipulations. The
hard part is that one must also struggle against those tendencies to mercy and
kindness in oneself in order not to become prey. (Clinton Callahan, Beware of the
Psychopath)
Appeasement doesn't work on a person without a conscience. All the
energy spent by naive peace protesters is for naught. You can love your enemy
all you want but if your enemy is incapable of love he will destroy you.
(Bret
Burquest, Axis of Evil, Political Ponerology Review: Boldly Going
Nowhere)
Artinya:
Hanya apabila 75% umat manusia dengan hati nurani yang sehat mengetahui
sepenuhnya bahwa kita mempunyai predator alami, yaitu segerombolan manusia
psikopat yang hidup di antara kita dan melihat kita tak lebih sebagai korban tak
berdaya yang bisa dimangsa dengan seenaknya untuk mencapai tujuan-tujuan mereka
yang tak berperikemanusiaan, maka barulah pada saat itu kita akan bisa mengambil
tindakan tegas dan cepat, yang dibutuhkan untuk mempertahankan semua hal yang
berharga bagi kemanusiaan. Semua orang yang mengidap psikopat harus disingkirkan dari panggung
kekuasaan, titik. Masyarakat harus sadar bahwa individu-individu semacam itu
memang ada dan kita harus belajar untuk mengenali mereka dan beragam manipulasi
yang mereka lakukan. Bagian sulitnya adalah kita juga harus berjuang untuk
mengatasi kecenderungan memberi ampun dan berbaik hati yang ada di dalam diri
kita, supaya kita sendiri nanti tak menjadi mangsa.
Untuk melaksanakan kalimat terakhir dari kutipan Callahan tadi tentu
saja harus melalui sistem yang terbuka dan pengadilan yang terbuka, tidak boleh
lagi melalui cara-cara yang dipakai oleh para psikopat selama ini.
Bila psikopat itu adalah karena bawaan sejak lahir memang tidak bisa
disembuhkan, akan tetapi bila itu karena pengaruh lingkungan atau teman masih
bisa disembuhkan. Seperti yang kita sebutkan tadi bahwa ada yang ikut berbuat
kejahatan karena takut dan terpaksa saja. Golongan yang pertama mula-mula ikut
mabuk karena takut, tapi ternyata lama-lama jadi keenakan, dan akhirnya jadi
pemabuk betulan pula. Golongan yang kedua juga ikut karena takut, tetapi ia
tetap tak pernah suka mabuk-mabukan. Mereka
itu masih ada harapan untuk bisa disembuhkan.
The
good news is that we can do something about corporate psychopaths. Scientific
consensus says that only about 50% of personality is influenced by genetics, so
psychopaths are molded by our culture just as much as they are born among us.
But unless American business makes a dramatic shift, we'll get more Enrons --
and deserve them. (Alan Deutschman, Is Your Boss a
Psychopath?)
Artinya:
Kabar
baiknya adalah kita bisa melakukan sesuatu untuk mengatasi para psikopat di
perusahaan. Konsensus ilmiah menyatakan bahwa hanya sekitar 50% orang yang
diakibatkan oleh faktor genetika. Jadi, psikopat itu ada yang dibentuk oleh
budaya kita selain juga ada yang sudah begitu semenjak lahir. Kecuali dunia
bisnis Amerika membuat perubahan yang dramatis, kita akan mendapat kasus seperti
Enron lagi—and deserve them.
Kasus
Enron sudah terjadi bertahun yang lalu. Dan ternyata, berulang kembali dalam
kasus yang jauh lebih besar saat ini. And you deserve them...
Jumlah
psikopat yang disebabkan oleh faktor genetika hanya 50%. Ada juga yang karena faktor lingkungan dan yang ini masih bisa diobati.
Jadi, yang masih bisa diobati kita obati dan yang tak bisa diobati harus kita
cegah supaya mereka tidak bisa melakukan kejahatan. Membuat sistem yang baik
untuk mencegahnya. Meski demikian, kita tentunya harus berhati-hati
melakukannya, jangan sampai nanti malah ilmu itu lagi-lagi dimanfaatkan
orang-orang psikopat untuk tujuan mereka.
How
can we distinguish between psychopaths and healthy people? What is the portrait
of a true psychopath?
Such
a dangerous question has almost never been successfully asked. The reason is
because we mistakenly confuse healthy for normal. Human psychological diversity
is the health of our race. There is no normal because healthy humans
continuously evolve beyond all normalizing standards. The terrorism of searching
through hierarchies for anyone deviating from normal is no different from witch
hunts or Inquisitions. You must remember that hierarchies thrive on such low
dramas, torturing victims until they confess to evil beliefs. Not so long ago
the church and state ongoingly acquired significant income and property through
witch hunts and Inquisitions. This continued for over two hundred and fifty
years. Ten generations of Europeans understood pogrom as normal life. Let us not
return to that nightmare. Testing for normal is guaranteed to backfire in our
face. There is no normal. But there is conscience. (Clinton Callahan, Beware of the
Psychopath)
Artinya:
Bagaimana
kita bisa membedakan antara psikopat dan orang sehat? Bagaimana ciri-ciri
seorang psikopat yang sesungguhnya?
Pertanyaan
yang berbahaya semacam itu sulit sekali untuk ditanyakan. Alasannya adalah
karena kita seringkali merancukan sehat dengan normal. Keragaman psikologi
manusia adalah hal yang sehat bagi umat manusia. Tak ada yang disebut normal
karena manusia yang sehat terus-menerus ber-evolusi di luar standar yang sudah
dinormalisasikan. Terorisme mencari orang yang menyimpang dari garis normal di
seluruh hirarki adalah tak jauh berbeda dengan witch hunt atau Inquisisi. Anda
mesti ingat bahwa hirarki-hirarki tersebut banyak melakukan perbuatan yang
kejam, menyiksa para korban hingga mengakui bahwa dia penganut aliran sesat.
Belum lama berselang gereja dan negara secara kontinyu memperoleh income dan
properti yang sangat besar melalui witch hunt dan Inquisisi. Hal ini berlangsung
selama lebih dari 250 tahun. Sepuluh generasi orang Eropa memahami progrom
sebagai bagian dari kehidupan normal. Janganlah kita mengulang mimpi buruk
semacam itu lagi. Menguji untuk mencari orang normal akan bisa berbalik ke wajah
kita sendiri. Tak ada kata normal, yang ada adalah hati nurani.
Jadi,
memang harus dilakukan dengan berhati-hati. Clinton Callahan mungkin terlalu
berhati-hati dalam hal ini sehingga tak menyetujui adanya tes. Akan tetapi, pada
artikel yang sama ia juga menulis dan mengakui bahwa saat dilakukan scan otak,
maka cara kerja otak para psikopat memang berbeda dengan orang normal. Jadi, ia
pun mengakui kebenaran tes tersebut. Meski demikian, tetap perlu dilakukan
dengan berhati-hati, bisa disaksikan secara bebas oleh umum, semua kalangan
masyarakat bisa turut mengawasi dan menyaksikan dengan bebas, untuk mencegah
adanya penyimpangan penggunaan dan tentu saja dengan tes yang sudah kita uji
keakuratannya. Dan kalau perlu nanti bisa semakin disempurnakan lagi cara
tesnya.
Satu hal yang tak kalah pentingnya, para psikolog yang memimpin tes juga
harus diseleksi dengan ketat karena banyak juga kasus di Amerika bahwa para
psikolog itu juga ternyata mengidap psikopat. Mereka melakukan tes psikologi ke
sekolah-sekolah di Amerika, mendiagnosa dan memvonis bahwa siswa-siswa itu
mengidap suatu masalah psikologi, padahal para siswa itu sebenarnya sehat wal
afiat. Mereka mendiagnosa secara ngawur begitu untuk menutupi kedok mereka
berjualan obat-obatan penenang, yang tentu saja sebetulnya tak dibutuhkan para
siswa tersebut. Lihat
antara lain Inside TeenScreen: The
Making of Mental Patients by Sandra Lucas. Jadi,
memang harus dilakukan dengan sangat ekstra hati-hati. Kalau yang memimpin tes itu malah para psikolog psikopat semacam itu kan
tambah kacau nanti jadinya.
Kemudian
yang terakhir, apa artinya conscience atau hati nurani seperti yang telah
banyak disebutkan di atas tadi? Bila kita tadi sudah membahasnya menurut beragam
bahasa ilmiah, maka sekarang ini untuk gampangnya kita artikan menurut bahasa
sehari-hari saja, yaitu mengartikannya sebagai kesadaran hati nurani bahwa
melakukan mo limo itu salah, apa pun alasannya pembenarnya dan berupa apa
pun bentuknya. Orang tak cuma merampok di jalanan, bukan? Ada yang melakukannya
di perusahaan, kantor pemerintah dan lain-lainnya. Pembunuhan dan penganiayaan
juga tak cuma terjadi di jalanan, tetapi juga di dalam peperangan, di
penjara-penjara dan sebagainya. Jadi, tanpa dilakukan tes pun, sebenarnya
psikopat itu sudah bisa dideteksi. Bila ada orang yang melakukan dan
menganjurkan mo limo dalam beragam bentuknya dan dengan ditopengi apa
pun, maka sudah dipastikan bahwa dia itu psikopat. Meski demikian, tentu saja
tes secara formal wajib dilakukan di dalam lembaga-lembaga resmi negara maupun
perusahaan. Kita tak bisa menuduh orang tanpa bukti. Kita sekarang sudah punya
pengetahuan tentang hal itu, tinggal bagaimana kita memanfaatkannya semaksimal
mungkin demi masa depan dunia yang damai, aman dan tentram serta keadilan
ekonomi dan sosial yang merata bagi seluruh umat manusia di muka bumi
ini.
Revisi: Malang, 1 Januari 2008
Morality and humanism cannot long withstand the predations of this evil.
Knowledge of its nature--and its insidious effect on both individuals and
groups--is the only antidote. (Andrzej Lobaczewski)
It is not power that corrupts, it is that corrupt individuals seek
power. (Laura Knight-Jadczyk)
Lobaczewski says that for centuries, evil has been regarded with a
moralistic interpretation that did NOTHING to help humanity counteract it. His
scientific study led him to observe that "evil" acts were most often perpetrated
by psychopaths, essentially those with mental diseases, causing him to study
evil as a disease not a concept surrounded in moral fluff.