oleh
Helmi Junaidi
Waktu
masih kecil dulu saya sekeluarga pernah tinggal di kampung bernama Genukwatu.
Kalau sedang bergurau, kami juga menyebutnya sebagai Genukstone. Masih dekat
juga dengan kampung Pandean yang saya tempati sekarang ini, sekitar 750 meter ke
Utara. Saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar waktu itu. Penduduk Genukwatu
rata-rata gemar mo limo, terutama mabuk dan judi, sehingga kami hanya bertahan
sekitar dua tahun saja di sana. Kontrak rumah yang sebetulnya belum habis
ditinggal begitu saja.
Acara
judi ini biasanya semakin meriah saat menjelang lebaran, karena bertujuan untuk
mencari bekal uang untuk berlebaran. Jadi, pada saat bulan Ramadhan benar-benar
meriah kampungnya, meriah orang berjudi, bukan mengaji. Setiap habis Ashar
hingga menjelang Maghrib penduduk kampung menggelar lapak judinya di halaman
samping rumah saya karena lumayan luas. Biasanya juga menggelar sampai ke teras
depan rumah saya. Dan jangankan sekedar teras, tiap sore hingga malam hari pun
banyak penduduk yang menginvasi rumah saya untuk menonton TV di ruang tamu.
Maklumlah, zaman jadul, daerah sini dulu masih bersuasana desa dan rasa
kekeluargaan masih cukup kuat, dengan segala efek baik maupun buruknya. Sawah
masih terbentang luas di mana-mana, sejauh mata memandang. Tapi, sekarang sudah
habis dibuat perumahan dan jalan raya. Desa sudah berubah menjadi kota.
Stasiunnya hanya TVRI saja yang saat itu baru mulai siaran jam 16.30 dan tutup
sekitar tengah malam. TV masih langka saat itu, tak semua orang punya, masih
hitam putih, dan bertenaga accu mobil pula. Belum ada saluran listrik. Jadi, TV
pribadi saat itu biasanya berfungsi juga sebagai milik umum. Di mana-mana juga
begitu. Tapi, yang paling parah adalah bila kadang-kadang accu bemo paman saya
rusak dan dia langsung nyelonong pinjam accu TV. Buyarlah acaranya. Yah, mau apa
lagi, urusan cari makan kan lebih penting daripada nonton TV. Terpaksa
dipinjamkan oleh ibu saya. Dan jadi pada bengonglah penontonnya, bubar pulang ke
rumah masing-masing atau mencari TV di tetangga lain.
Beraneka
ragam bentuk judi yang digelar oleh penduduk waktu itu, mulai judi dadu biasa
atau dadu yang bergambar binatang-binatang, judi dengan domino dan entah apa
lagi yang saya sudah lupa. Meriah banget pokoknya, berlangsung sebulan penuh
selama Ramadhan, semacam pesta rakyat begitulah, hahaha... Laki perempuan, mulai
dari remaja sampai opa oma ikut berjudi, istilahnya ikut tombok. Tentu saja
mereka tak ada yang berpuasa, kalau pun ada ya cuma “poso tutup kendang”, yaitu
cuma berpuasa hari pertama dan terakhir saja, seperti tutupnya kendang. Setelah
masuk Lebaran barulah usai pesta rakyatnya. Begitu dulu suasananya di sana,
entah kalau sekarang, saya sekarang sudah tak pernah sambang ke Genukwatu.
Namanya
juga anak-anak, saudara-saudara saya yang masih kecil kadang ikut bermain-main
dengan alat-alat judi itu bila acara belum dimulai. Lha digelarnya juga antara
lain di teras rumah. Bermain dengan
anak-anak kampung yang lain walau tentu tanpa menggunakan uang, wong cuma
bermain ala anak-anak. Ibu saya tentu saja menjadi khawatir bila melihatnya.
Kecil-kecil belajar main judi besarnya jadi apa nanti. Jadi bandar? Bila
kebetulan Anda juga adalah seorang ibu bagaimana kira-kira perasaan Anda bila
menyaksikan anak-anak Anda belajar berjudi. Senang, sedih, bahagia, khawatir,
jingkrak-jingkrak gembira? Silakan cek perasaan Anda
masing-masing.
Bila
yang untuk umum selesai sampai Mahgrib saja, maka kalau acaranya pemuda dan
bapak-bapak sering dimulai lagi pada malam hingga dini hari. Ribut mereka di
samping rumah. Minum-minum sambil berjudi. Kadangkala diselingi perkelahian.
Mungkin karena ada yang kalah dan tak terima dengan kekalahannya.
Gedebak-gedebuk ramai. Di bawah pengaruh alkohol, orang mudah menjadi lebih
agresif. Pokoknya, miriplah dengan suasana saloon para koboi zaman Western, walau untunglah tak disertai
acara darderdor para gunslinger. Atau mirip juga dengan suasana Arab zaman
jahiliyah. Celakanya, bila pesta rakyat itu hanya berlangsung selama bulan
puasa, maka kalau acaranya pemuda dan bapak-bapak itu tak mengenal bulan dan
masa. Di luar bulan puasa pun mereka tetap sering mabuk dan berjudi. Walhasil,
baju-baju yang dijemur ibu saya di halaman rumah sering raib tak tentu rimbanya.
Bahkan rumah kami juga pernah disatroni maling. Mungkin untuk bekal berjudi
lagi... dan mabuk lagi... Orang kalau sudah ketagihan susah dihentikan. Apa saja
akan disambar sekedar untuk bisa melampiaskan rasa
ketagihannya.
Begitu
suasana di halaman rumah saya saat itu. Dan entah bagaimana lagi suasana di
rumah mereka yang kebetulan kalah berjudi. Mungkin selesai berkelahi menghajar
temannya, di rumah masih disambung pula menghajar istrinya. Perasaan lagi sebel,
to. Masih dalam pengaruh alkohol pula. Siapa saja yang kebetulan ditemui rasanya
pingin dihajar saja, dan istri di rumah biasanya adalah sasaran yang cukup empuk
untuk melampiaskan rasa sebel tadi. Gedebak gedebuk, bonyok benjut semua dah
istrinya. Habis perkara. Dan bisa jadi anak-anaknya yang masih kecil ikut pula
jadi sasaran, turut digebuki pula anak-anaknya.
Begitulah,
sekedar cerita tentang sebagian kisah masa kecil saya. Sekedar cerita saja.
Perkara Anda setuju mabuk dan judi itu hak Anda masing-masing. But, use your
common sense, please....
Btw,
kalau saya boleh sekedar bertanya kepada ibu-ibu, apa kira-kira pendapat ibu-ibu
bila suaminya kebetulan adalah seorang yang ketagihan judi lagi dan mabuk lagi?
Atau kalau boleh, saya ingin pula bertanya kepada para mertua, apa pendapat Anda
bila punya menantu yang semacam itu? Sedih, bahagia, kecewa, jingkrak-jingkrak
riang gembira? Silakan cek perasaan Anda masing-masing
lagi.
Hmmm..
kebetulan saya punya jawabannya, tetapi ini pun bukan pendapat saya, sekedar
cerita lagi juga. Saya pernah tahu seorang suami yang bertabiat begitu, ketagihan mabuk dan judi
tiap malam bersama teman-temannya. Baru pulang ke rumah saat dini hari. Istrinya
seringkali ngambek dan menyanyikan lagu Betharia Sonata yang satu ini...
"pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku..." Yang pria dari luar Yogya dan
mereka tinggal di sana. Bila sedang ngambek yang perempuan minggat tanpa pamit
ke rumah ortunya di Yogya. Dan mereka sekarang sudah bercerai. Benar-benar
pulang ke ayah dan ibunya. So, use our common sense,
please....
27
Oktober 2010.