Oleh:
Helmi Junaidi
Ini
adalah masalah yang hingga sekarang masih sering menjadi perdebatan di kalangan
ahli evolusi, yaitu antara pendukung teori gradualisme model Darwin dan
punctuated equilibria. Teori yang terakhir ini mula-mula dicetuskan oleh Stephen
Jay Gould, ahli paleontologi dari Universitas Harvard dan Niles Eldredge dari
Universitas Columbia. Satu hal yang biasanya menjadi pokok perdebatan antara
pendukung gradualisme dan punctuated equilibria adalah adanya suatu organisme
atau fosil yang relatif stabil (tetapi tetap mengalami perubahan juga) dalam
jangka waktu yang lama dan kemudian tiba-tiba mengalami perubahan yang cukup
banyak dalam waktu yang cukup singkat. Kata “singkat” di sini menurut ukuran
waktu geologi tentunya, dan ini bukanlah hanya seribu atau dua ribu tahun,
tetapi minimal puluhan ribu tahun. Kita misalnya bisa mendapati beberapa jenis
organisme yang tetap hidup hingga sekarang dan tak terlalu banyak mengalami
perubahan dan karena itu sering juga disebut sebagai fosil hidup, seperti
misalnya kepiting raja (horseshoe crab), tuatara dan ikan coelacanth. Coelacanth
ini masih bisa ditemukan di Lautan Timur Afrika dan sekitar Pulau Madagaskar.
Dan pada tahun 1998 juga ditemukan di laut sebelah Selatan Pulau Sulawesi.
Sementara itu, banyak juga organisme yang tidak mengalami hal semacam itu,
tetapi berubah secara perlahan-lahan dan ber-radiasi menghasilkan berbagai macam
organisme baru. Jadi, memang ada dua hal semacam itu. Tetapi, sebagaimana
diketahui, organisme yang dikatakan stabil itu sebenarnya mengalami perubahan
juga, tidak benar-benar stabil. Tetap ada perubahannya. Jadi hanya sekedar
relatif stabil. Berkenaan dengan coelacanth, tuatara serta beberapa fosil hidup
lainnya, keadaan mereka yang relatif stabil tersebut mungkin karena kondisi
fisik organisme tersebut relatif fleksibel dengan kondisi lingkungan yang selalu
berubah. Jadi, sementara organisme lain banyak mengalami perubahan, mereka hanya
perlu sedikit perubahan fisik saja untuk beradaptasi.
Fenomena
semacam ini agaknya disebabkan karena perubahan pada organisme itu
bukanlahlah suatu hal yang bersifat wajib, tetapi hanyalah tergantung
lingkungan yang dihadapi oleh organisme tersebut. Dan kita tahu bahwa iklim dan
keadaan lingkungan yang ada di bumi ini bermacam-macam keadaannya. Jadi,
organisme yang kebetulan diteliti oleh mereka yang kemudian menimbulkan pendapat
bahwa proses evolusi itu berlangsung secara mendadak itu adalah kebetulan suatu
organisme yang tinggal di suatu lingkungan yang keadaannya relatif stabil juga.
Jadi, bukan gejala yang umum bagi semua organisme, tetapi hanya gejala khusus
saja. Khusus di sebagian tempat tertentu saja. Dengan demikian, organisme
tersebut tak perlu terlalu banyak mengalami perubahan karena lingkungannya juga
tak terlalu banyak berubah. Kalau mereka berubah malah justru bisa punah karena
tak sesuai lagi dengan lingkungannya. Setelah mengalami masa stabil yang relatif
lama, maka di lingkungan tersebut terjadi perubahan iklim yang cukup drastis
sehingga terjadilah perubahan yang cukup besar pada organisme tersebut. Dan kita
tahu, tidak semua organisme mendiami lingkungan yang stabil tersebut, tetapi
menghuni berbagai tempat di muka bumi dan sebagian besar tempat di muka bumi ini
adalah berada dalam kondisi yang secara konstan terus-menerus mengalami
perubahan. Dengan demikian, mereka tak ada kesempatan untuk mengalami kestabilan
pula. Jadi, agaknya penyebabnya adalah hal semacam itu sehingga terjadi adanya
dua gejala semacam itu. Tetapi, yang jelas punctuated equilibria itu hanyalah
gejala khusus di sebagian tempat bagi sebagian kecil organisme saja. Dan sekali
lagi, satu hal yang tidak kalah pentingnya untuk diingat, mereka tidaklah berada
dalam kondisi yang betul-betul stabil (equilibrium), tetapi tetap mengalami
perubahan juga karena semua tempat di muka bumi ini memang senantiasa dalam
keadaan berubah pula, baik perubahan besar maupun kecil. Tidak betul-betul suatu
equilibrium.
Seandainya--sekali
lagi seandainya--punctuated equilibria ini memang benar terjadi, agaknya hanya
bersifat khusus saja pada beberapa spesies tertentu di tempat tertentu saja dan
tidak bisa menerangkan proses evolusi mahluk hidup secara keseluruhan. Teori ini
akan bisa menemui kesulitan bila untuk menerangkan proses evolusi sebagian besar
mahluk hidup, termasuk juga leluhur manusia, yaitu dengan adanya fosil-fosil
transisi dari hominid yang berbentuk setengah Homo erectus dan Homo sapiens dan
setengah Homo erectus dan Homo neandertalensis. Salah satu di antaranya, yaitu
proses dari Homo erectus ke manusia Neandertal, bisa kita lihat pada kutipan
berikut:
Bukti-bukti
fosil yang ada selama ratusan ribu tahun sebelum adanya manusia Neandertal
menunjukkan perubahan secara gradual dari bentuk Homo erectus menjadi jenis yang
bentuknya mendekati Neandertal. Terutama di Eropa Barat, bukti-bukti menunjukkan
bahwa ukuran dan frekuensi ciri-ciri anatomi dari H. erectus secara gradual
semakin berkurang dan ciri-ciri yang semakin mendekati bentuk Neandertal
mengalami peningkatan secara gradual. Dari bukti-bukti ini, kemunculan secara
gradual manusia Neandertal dari populasi regional yang telah ada sebelumnya bisa
disimpulkan, terutama di Eropa Barat dan mungkin juga di seluruh wilayah
geografis mereka.
Perubahan-perubahan
yang terjadi pada leluhur Neandertal dan Neandertal yang ada kemudian ditandai
oleh ciri-ciri anatomi mereka. Ukuran otak mereka secara gradual semakin
meningkat sehingga volumenya setara dengan otak manusia modern, relatif kepada
ukuran tubuh, sekalipun otak dan tengkorak tempat otak mereka cenderung agak
panjang dan lebih rendah ketimbang manusia modern. Wajah manusia Neandertal
tetap besar dan panjang, serupa dengan leluhur mereka dan tetap mempunyai tulang
kening serta gigi dan hidung yang menonjol. Mereka juga tetap tidak mempunyai
dagu. Gigi geraham depan dan geraham berkurang ukurannya hingga mencapai ukuran
manusia modern yang paling awal. Oleh karena itu, otot mengunyah mereka dan
daerah pipi juga mereka juga menjadi turut berkurang ukurannya. Meski demikian,
gigi seri dan taring tetap besar ukurannya, serupa dengan leluhur mereka, hal
ini menunjukkan bahwa gigi-gigi tersebut tetap digunakan sebagai tangan ketiga.
(Neandertal Origins and Anatomy, Encyclopedia Britannica).
Dari
kutipan di atas rasanya bisa menjadi jelas bahwa proses evolusi manusia itu
khususnya, dan juga beragam organisme lain pada umumnya, terjadi secara gradual
saja. Tidak secara tiba-tiba.
Selain
itu, teori punctuated equilibria juga akan kesulitan untuk menerangkan adanya
overlap pada leluhur manusia, yaitu di mana spesies lama masih hidup sementara
spesies baru sudah lahir dan hidup sezaman dengan yang lebih lama, dan bila
perubahan itu masih belum terlalu jauh, maka kedua spesies bisa melakukan
perkawinan. Lihat kutipan terakhir nanti. Ini tentu menandakan perubahan yang
gradual karena perbedaan gen mereka yang
cuma sedikit saja. Bila perubahan itu langsung mendadak banyak, dari spesies
satu meloncat ke spesies lain yang sama sekali berbeda, maka mustahil bisa ada perkawinan.
Dua
spesies yang hidup berbarengan itu biasanya juga terlibat berkompetisi untuk
memperebutkan “lebensraum” dan sumber makanan. Dari proses semacam ini, seperti
telah disebut di atas, bisa juga kemudian terjadi interbreeding dan
penyerapan mereka yang terkalahkan. Jadi, walau jenis mereka sudah musnah,
tetapi gen mereka masih tetap ada pada sebagian--sebagian saja--generasi
selanjutnya dari jenis spesies yang telah menaklukkannya.
Mengenai
hal ini agaknya kita bisa juga mengambil analogi dari teori uniformitarianisme
bahwa proses yang terjadi saat ini adalah juga proses yang terjadi pada lampau
sebab proses semacam ini pula yang nampaknya terjadi pada leluhur manusia. Dan
tentunya pula proses yang akan senantiasa terjadi pada masa depan. Contoh yang
paling jelas mengenai hal ini, karena memang yang paling banyak terdokumentasi,
bisa kita lihat dalam sejarah Eropa dan wilayah Laut Tengah di mana ras-ras
manusia dari berbagai wilayah saling berkompetisi, saling menaklukkan dan
akhirnya saling menyerap satu sama lain. Kadangkala bisa juga membentuk ras baru
bila jumlahnya cukup berimbang. Contoh pertama bisa kita lihat dari proses
musnahnya bangsa Sumeria. Ras dan kultur mereka memang musnah secara tuntas,
tetapi gen mereka tetap hadir pada bangsa Semit yang menaklukkan mereka. Dan gen
orang Sumeria ini tentunya juga masih terdapat dan mengalir pada sebagian orang
Irak modern. Atau kita bisa melihat nasib penduduk Kartago. Bangsa Phunisia ini
memang telah musnah sebagai bangsa, tetapi gen mereka tentunya masih tetap ada,
termasuk juga pada sebagian orang di Italia karena setelah kehancuran Kartago
ratusan ribu penduduknya dibawa ke Roma sebagai budak belian. Contoh yang
lainnya, kita juga bisa melihat terserapnya populasi Mesir kuno ke dalam Muslim
Arab dan dalam sejarah Eropa kita bisa melihat nasib bangsa Picta, Kelt, Hun,
Avar, Goth, Vandal, Lombard atau yang lainnya. Ras dan kultur mereka memang
telah lama punah, terserap oleh bangsa pemenang yang kemudian menguasai mereka,
tetapi gen mereka tidak turut punah. Tetap ada dan tetap hadir hingga zaman
modern sekarang ini. Uniformitarianisme James Hutton agaknya turut berlaku pula
di sini, walau bukan dalam masalah geologi. Keterangan berikut ini rasanya bisa
memperkuat hal tersebut.
Tentu
saja, H. sapiens tidak langsung terbentuk secara tiba-tiba dari leluhur mereka
H. erectus. Tetapi, hal ini melalui proses evolusi mosaik, dan mereka seringkali
berkawin silang selama masa pembentukan fungsi-fungsi yang bersifat kompleks
lainnya. Hasil kombinasi dari H. erectus dan H. sapiens ini bisa ditunjukkan
dengan baik pada sejumlah spesimen, yang paling terkenal yaitu Omo II,
Steinheim, dan VĂ©rtesszollos. (Man's continuing evolution, Encyclopedia
Britannica, Inc.).
Jadi,
setelah terjadinya isolasi dan terbentuknya ras atau spesies baru, maka bila
mereka bertemu dan masih mungkin terjadi perkawinan, maka akan terjadi
penyerapan oleh yang lebih kuat sedangkan bila sudah tidak memungkinkan karena
isolasi tersebut berlangsung terlalu lama maka yang terjadi adalah pemusnahan.
Tetapi, bila kita melihat adanya manusia modern yang bentuk dagunya masih belum
terlalu berkembang, yang menunjukkan ciri-ciri archaic, maka memang besar
kemungkinan bahwa gen mereka masih survive. Apalagi bila kita mau melihat
bentuk-bentuk wajah manusia di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, maka kita
akan seringkali mendapati wajah-wajah yang tidak berdagu, atau
dagu yang datar saja. Teman saya dulu ada juga yang kadang berolok-olok bila
melihat tempat dagu di tali helm dan mengatakan bahwa itu tidak ada fungsinya
bagi sebagian orang Indonesia karena orang-orang di sini banyak yang tidak
punya dagu. Jadi, gen manusia purba itu memang
masih hadir di antara manusia modern sekarang ini.
Dari
beberapa keterangan di atas nampaknya sekarang kita bisa mengambil kesimpulan
bahwa teori punctuated equilibria ini sudah sukar sekali dipertahankan lagi
karena teori ini menyatakan bahwa proses evolusi itu terjadi secara tiba-tiba
atau sudden burst, padahal umat manusia (dan juga makhluk hidup lainnya) itu
ber-evolusi secara gradual saja. Bahkan, seringkali terjadi overlap antara masa
hidup satu jenis hominid dengan hominid yang lainnya. Mereka tidak meloncat dari
satu jenis ke jenis yang lainnya. Bahkan, gen manusia purba itu masih tetap
hadir di antara manusia modern sekarang ini. Ada di antara Anda. Ada di antara
kita semua. Dengan demikian, gradualisme nampaknya akan tetap bertahan untuk
menjelaskan proses evolusi makhluk hidup di muka bumi ini.
Yogyakarta,
2002