Oleh
: Helmi Junaidi
(Catatan: Artikel ini saya tulis
tahun 1998. Jadi, majalah yang saya jadikan referensi di bawah saat itu masih uptodate.
Ini juga tanpa referensi dari internet, masih sangat jarang dan mahal warnet di
Yogya saat itu. Cuma ada di daerah sekitar UGM, jauh dari tempat saya dan
tarifnya kalau tak salah Rp 6.000 per jam. Sangat mahal karena makan di warung
saat itu cuma sekitar Rp 1.000 saja. Setara dengan Rp 30.000 kalau diukur
dengan uang sekarang. Malah seingat saya, waktu pertama kali masuk Yogya tarif
warnet Rp 12.000 per jam. Ini juga tanpa referensi dari ensiklopedi digital,
tidak bisa karena komputer saya dulu masih pakai sistem DOS. Artikel ini belum
pernah saya update dari berita-berita terbaru di internet. Bila ada yang perlu
diperbarui ya nanti kapan-kapan saja. Silakan baca seadanya ini dulu saja.
Happy reading).
Judul
di atas saya pinjam dari judul laporan utama sebuah majalah terbitan Paris,
Ca m’interesse, edisi September 1994, yang mengulas masalah ini dengan
cukup baik. Bahasa aslinya adalah “La fidelite, est-elle contre nature?”.
Sementara itu sub-judulnya berbunyi, “Pourquoi l’homme tente-t-il desperement
d’etre fidele, alors que les lois de l’evolution et de la nature favorisent
plutot la multiplicite de partenaire” yang artinya adalah mengapa manusia itu
berusaha keras untuk setia, sedangkan hukum evolusi dan hukum alam menjadikannya
cenderung untuk mempunyai banyak partner? Ilustrasi foto utamanya mungkin
“kurang menggembirakan” bagi kaum wanita karena memperlihatkan seorang wanita
yang sedang berjalan bergandengan dengan seorang pria, tetapi matanya melirik ke
arah pria lain yang sedang lewat di sampingnya.
Laporan
utama ini terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama (hlm. 54-55) membahas sistem
perkawinan yang ada pada berbagai jenis hewan. Pada hewan 90 % menganut sistem
poligami dan 10% monogami. Sedangkan pada bagian kedua (hlm. 56-57) membahas
masalah ini dengan mencoba melacak kembali ke zaman purba. Ternyata, sistem
perkawinan pada manusia bisa berubah-ubah. Pada majalah ini hanya disebutkan
perubahan dari poligami ke monogami. Tetapi, dari perjalanan evolusi manusia
yang selanjutnya kita bisa melihat bahwa ternyata bisa juga terjadi hal yang
sebaliknya. Dan bahwa perubahan tersebut tergantung kondisi alam lingkungannya.
Kiranya perlu kita ingat di sini bahwa manusia itu, baik fisik maupun
instingnya, adalah dibentuk oleh alam. Sedangkan isi bagian ketiga dari laporan
utama tersebut membahas bagaimana pada zaman modern ini manusia menggantikan
sistem poligami dengan tradisi kawin cerai. Dan kawin cerai berulang kali ini
tentunya untuk memenuhi insting berhubungan dengan banyak partner
juga.
Sebelum
membahas masalah ini lebih jauh, kiranya perlu dipahami bahwa saya di sini
tidaklah bermaksud mendukung atau pun menganjurkan orang untuk menganut salah
satu sistem perkawinan yang ada. Saya di sini bersikap netral saja. Hendaklah
hal ini nanti bisa benar-benar diperhatikan. Saya hanya mencoba untuk
menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan masalah ini, terutama dari sudut
pandang anthropologi saja. Dan sudut pandang keilmuan tentunya memang adalah
sudut pandang yang bisa dikatakan sepenuhnya netral saja.
Terus
terang, sebenarnya saya secara pribadi merasa agak enggan juga untuk membahas
masalah karena khawatir nanti akan disalahpahami atau pun disalahtafsirkan dan
lantas untuk digunakan sebagai pembenar untuk melakukan hal–hal yang tidak
benar. Oleh karena itu saya di sini nanti tidak akan mengambil
kesimpulan-kesimpulan. Saya di sini nanti hanya akan memberikan
gambaran-gambaran bagaimana sebenarnya sifat dan kodrat manusia itu secara
alamiahnya, secara naturalnya, sedangkan kesimpulannya sendiri nanti saya
serahkan kepada pembaca masing-masing. Atau katakanlah, saya di sini hanya ingin
menelanjangi salah satu insting manusia yang selama ini terasa selalu
ditutup-tutupi dengan berbagai sebab dan alasan. Oleh karena itu,
bersiap-siaplah, karena saya nanti akan segera mengajak Anda untuk “telanjang”
bersama-sama. Tapi, jangan khawatir, ini bukanlah adegan
porno.
Saya
di sini nanti mungkin saja akan bisa membuat kesalahan-kesalahan, terutama
sekali di dalam mencari penyebab timbulnya suatu insting pada manusia karena
masalah ini memang cukup sulit juga. Akan tetapi, mudah-mudahan saja sebagian
besar di antaranya nanti bisa terbukti benar karena saya di sini telah berusaha
sedapat mungkin untuk mengutarakan pemikiran-pemikiran yang kiranya mempunyai
landasan yang cukup kuat. Dan bila pun nanti ada kesalahan-kesalahannya, paling
tidak ini nanti akan bisa membuat kita mulai untuk membahas masalah ini dengan
cara-cara yang ilmiah.
Secara
umum, bila yang membahas masalah poligami ini adalah kaum awam di Barat sana,
apalagi kaum feminisnya, maka tentu akan berapi-api menentangnya. Apalagi kaum
agama di sana. Sekedar retorika paling tidak. Sebab praktek memang tak selalu
sesuai dengan retorika, bukan? Dan kita semuanya tentu tahu bahwa kaum wanita di
Barat sana pun seringkali punya sekaligus banyak partner, apalagi kaum prianya.
Masyarakat di Barat pun menganggapnya sebagai hal yang lumrah dan biasa saja.
Toh, Clinton tetap bisa melenggang dengan aman hingga akhir masa
pemerintahannya. Dari ribuan situs porno yang merajalela di internet, produser
maupun modelnya pun sebagian besar orang Barat juga. Dan kita semuanya tentu
tahu bahwa penyebab menyebarnya wabah AIDS karena orang-orang di Barat sana
punya banyak partner seksual (multiplicite de partenaire). Sementara itu,
bila yang membahas adalah dari kalangan Islam, maka pendapatnya bisa
berbeda-beda. Ada yang setuju, ada pula yang kurang setuju. Masalah khilafiah,
begitulah.
Bila
membaca ulasan tentang masalah ini, sebenarnya yang paling baik adalah membaca
karya para anthropolog. Karena mereka membahasnya terutama dari sudut pandang
keilmuan, bukan yang lain-lainnya. Mereka pun cukup paham dengan permasalahan
yang dibahasnya. Oleh karena itu, saya di sini akan membahasnya terutama dari
sudut pandang anthropologi pula, dari sudut manusiawinya, bukan dari sudut
pandang religius. Anthropologi sendiri artinya adalah ilmu yang mempelajari
segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik itu mempelajari asal-usul manusia
maupun mempelajari tradisi, budaya dan kehidupan sosialnya. Diambil dari kata
anthropus yang artinya adalah manusia.
Perbenturan Dua Insting yang Berbeda
Masalah
ini sebenarnya menjadi kompleks dan dilematis karena disebabkan di dalamnya
berbenturan dua insting manusia yang masing-masing sama kuatnya, yang tidak mau
mengalah satu sama lain, meskipun dalam banyak kasus salah satu dari insting
tersebut harus ada yang dikorbankan. Insting tersebut adalah insting sosial,
yaitu cinta (love) kepada keluarganya dan insting yang lebih bersifat
pribadi, yaitu insting untuk mempunyai banyak partner
(lust).
Perbenturan
dua insting yang bertentangan ini juga terdapat pada beberapa jenis hewan yang
lain meski dalam masalah yang berbeda-beda. Dan karena masalah ini berkenaan
dengan anthropologi, maka pertama-tama saya akan memulainya dengan mengutip dari
sebuah buku karya ‘mbahnya’ para anthropolog, yaitu buku yang berjudul The
Descent of Man. Di sana disebutkan sebuah contoh yang cukup ekstrim dan
mengejutkan dalam masalah, yaitu pada burung yang akan bermigrasi, padahal dia
mempunyai anak yang masih kecil-kecil dan belum mampu mencari makan sendiri dan
bila mereka ditinggal bermigrasi dengan begitu saja mereka akan bisa mati
kelaparan. Dalam kasus ini, yang biasanya terjadi adalah insting bermigrasi
mengalahkan insting keibuannya (maternal insting), padahal kita tahu
bahwa insting keibuan ini adalah insting yang sangat kuat. Seekor burung yang
paling penakut sekali pun akan berani menempuh bahaya yang sangat besar untuk
melindungi anak-anaknya. Akan tetapi, dalam kasus ini, burung itu akhirnya
memilih bermigrasi dan membiarkan anak-anaknya mati kelaparan.[1] Sadis? Tetapi,
bukankah seperti yang saya katakan tadi, ini adalah contoh yang cukup ekstrim.
Hal ini mungkin disebabkan karena insting untuk bermigrasi ini membuat jenis
burung tersebut mampu survive ketimbang insting keibuannya sebab bila burung
tadi tak turut bermigrasi bersama rombongannya, maka dia akan mati kelaparan
bersama anak-anaknya karena musim akan segera berganti dan makanan hanya bisa
didapat di tempat baru. Dari sini kita bisa melihat bahwa insting untuk survive
itu memang sangatlah kuat.
Bila
pertentangan dua insting yang berbeda pada burung tersebut berakhir dengan
tragis, maka pada manusia bisa mengalami akhir yang bermacam-macam, tergantung
takdirnya. Tetapi, bila kita melihat keadaan yang ada pada masyarakat kita saat
ini, maka nampaknya sebagian besar orang lebih banyak orang yang rela untuk
mengorbankan insting untuk mempunyai banyak partnernya demi tidak menimbulkan
insting cemburu dari pasangannya. Sehingga dengan demikian keutuhan rumah
tangganya bisa tetap terjaga dengan baik. Akan tetapi, bagaimana pun insting itu
tetaplah ada.
Persamaan
Insting dari Semua Manusia
Kita
tahu bahwa semua manusia itu memang sebenarnya mempunyai insting yang sama.
Ingin mempunyai partner yang berbeda jenis. Dan secara umum, mereka cenderung
ingin mempunyai lebih dari seorang. Insting semacam ini terdapat pada semua
orang, baik yang masih remaja maupun yang sudah menikah. Juga tak peduli apa pun
agama mereka. Entah dia itu Islam, Kristen, Yahudi, Hindu atau Budha bahkan
animisme sekali pun. Semuanya mempunyai insting yang sama. Juga tak peduli apa
pun jabatannya. Entah itu guru, pegawai, seniman, presiden, menteri, perdana
menteri, ulama, pendeta, pedagang, sopir helicak atau pun tukang becak. Semuanya
sama saja. Semuanya mempunyai insting yang persis sama sebab apapun statusnya,
apa pun jabatannya, apa pun agamanya mereka semuanya itu tetaplah manusia biasa.
Bukan malaikat ataupun semacamnya. Jadi, mereka pun mempunyai insting yang
persis sama pula. Demikian pula para nabi, mereka semuanya pun mempunyai insting
sebagaimana manusia normal lainnya. Dan para nabi memang selalu adalah manusia
yang normal, bukan abnormal. Kalau dia tidak abnormal, entah impoten atau
homoseksual, maka tentu saja Tuhan tak bakalan akan memilihnya sebagai nabi.
Para nabi pun memang mempunyai insting yang sama sebagaimana kita juga. Mengenai
masalah ini kita tentunya sudah mengetahui kisah Abraham, David, Solomon atau
pun kisah para nabi yang lainnya.
Bila
kita berbicara tentang sistem perkawinan yang dianut para nabi, maka dari
Amerika Serikat ada kisah yang menarik tentang hal ini. Pada abad
kesembilanbelas, ada sekte Mormon yang didirikan oleh seorang “nabi” bernama
Joseph Smith. Nabi debutan baru ini mempunyai pengikut yang cukup banyak, sampai
ribuan orang dan kalau sekarang mungkin sudah jutaan. Setelah kematian Joseph
Smith karena dibantai massa, kepemimpinan kemudian diambil alih oleh Birgham
Young. Sekte ini mempraktekkan poligami tak terbatas atas dasar hal itu
diajarkan oleh para nabi kitab Perjanjian Lama seperti misalnya Abraham, Jacob,
David, Solomon dan juga para nabi yang lainnya. Birgham Young sendiri memberi
“teladan” yang cukup baik kepada para pengikutnya. Istrinya berjumlah 27 orang.
Dan untuk merayu calon istrinya, ia kadang mengatakan bahwa ia telah mendapat
“wahyu” dari Tuhan untuk mengambil wanita itu jadi istri barunya. Tapi, kita
semua tentunya lebih yakin bahwa “wahyu” tadi bukannya datang dari langit,
tetapi datang dari balik celana kolornya. Mereka semuanya tinggal bersama dalam
satu rumah, makan bersama pada satu meja dan setiap hari secara bersama-sama
berlutut mengucapkan doa. Hebatnya, atau anehnya, mereka selalu hidup rukun dan
tak pernah cekcok. Sekte ini mendapat pengakuan resmi dari pemerintah setelah
menghapus sistem poligami. Tetapi, dasar ajaran yang dipakai oleh sekte ini
nampaknya cukup kuat juga, yaitu “sunah” para nabi kitab Perjanjian
Lama.
Persamaan Insting pada Pria dan Wanita
Ternyata,
insting untuk mempunyai banyak partner ini pun terdapat pada kedua jenis, baik
laki-laki maupun perempuan, sebab insting dasar manusia itu semuanya memang
sama. Saya kira tak ada seorang pun di antara Anda yang akan bisa menyangkal hal
ini. Tidak akan pernah ada. Silakan cek diri Anda masing-masing, baik Anda yang
laki-laki maupun yang perempuan. Dan saya yakin jawabannya pasti adalah 100
persen BENAR.
Walaupun
insting ini nampaknya berbeda-beda juga tingkatannya pada setiap individu, yaitu
ada yang sangat kuat dan ada juga yang tak terlalu kuat, namun insting untuk
mempunyai banyak partner ini secara umum nampaknya lebih kuat terdapat pada
jenis laki-laki. Oleh karena itu, yang seringkali direpotkan dengan masalah ini
adalah kaum laki-laki juga. Meski demikian, memang banyak juga wanita yang
kecenderungannya dalam hal ini sama dengan kaum laki-laki atau malah bisa juga
lebih kuat daripada rata-rata laki-laki.
Insting
ini biasanya akan semakin berkembang bila keadaanya memungkinkan. Baik itu
mengenai sikap masyarakatnya, atau pun bila seseorang itu mempunyai kemampuan
atau kekuasaan untuk melakukannya. Banyak contoh mengenai hal seperti ini, baik
bila yang melakukannya itu pria maupun wanita. Kita bisa membacanya di dalam
buku-buku sejarah peradaban Barat maupun Timur. Baik itu di dalam
kerajaan-kerajaan Islam di Asia dan Afrika, Kristen di Eropa, Hindu di India dan
Indonesia atau pun Budha di Cina, Jepang dan lainnya. Juga meskipun ajaran agama
tersebut melarangnya, tetap saja banyak yang melanggarnya. Pelakunya pun banyak
di antaranya yang bukan orang sembarangan. Bisa dia itu seorang raja, ratu atau
bahkan pejabat tinggi di dalam organisasi keagamaan.
Selain
di negara-negara Timur, pada masa lampau memang banyak raja atau pun ratu di
Barat yang mempunyai gundik atau pun kekasih di luar istri/suaminya. Jumlahnya
kekasihnya pun bukan hanya satu atau dua orang saja, tetapi malah ada yang
menyebutnya dengan istilah a swarm atau serombongan. Mengenai berbagai
skandal yang dilakukan oleh para raja rasanya tidak usah saya sebutkan satu
persatu contohnya. Terlalu banyak nanti dan bisa memenuhi satu buku. Tetapi,
kalau contoh yang cukup terkenal adalah yang dilakukan Raja Henry VIII dari
Inggris. Kisah ini cukup terkenal karena di antara para kekasihnya yang kemudian
bisa beruntung (atau lebih tepatnya sial) diangkat jadi permaisurinya, banyak
yang lantas berakhir riwayatnya di kapak algojo. Jadi, kalau sang raja sudah
bosan, segera saja mereka dikirim ke algojo dan dipancung kepalanya. Habis
perkara. Setelah itu, si raja bedebah tersebut kawin lagi. Uniknya, selalu ada
saja wanita yang tertarik untuk jadi permaisurinya.
Selain
itu, di Perancis ada tradisi para raja di negara Katolik tersebut untuk
mengambil selir resmi (maƮtresse en titre). Yang paling terkenal di
antaranya adalah Madame de Pompadour, selir resmi dari Raja Louis XV. Dan sudah
menjadi tradisi pula, para wanita Paris saling berlomba untuk bisa menjadi selir
raja. Bahkan, termasuk para wanita yang sudah beranak suami, di antaranya ya
Madame de Pompadour tadi. Maklumlah, dengan menjadi selir raja segala kemewahan
dan kemegahan, bahkan juga kekuasaan, bisa segera terpampang di depan mata.
Pengambilan selir oleh raja ini tidaklah bersifat sembunyi-sembunyi, tetapi
dengan terang-terangan dan sepengetahuan masyarakat umum. Bahkan dengan seizin
dan sepengetahuan permaisuri. Juga diketahui oleh gereja dan masyarakat
internasional. Madame de Pompadour ini turut aktif berpolitik dan berdiplomasi
dengan raja-raja di luar negeri. Dan tradisi semacam itu terjadi di negara Katolik yang secara
resmi melarang poligami. Tetapi, tak pernah terdengar protes dari gereja atau
rakyat di sana. Sebaliknya, kaum wanita kalangan atas Paris malah saling
berlomba untuk menjadi selir raja. Sebab tradisi itu memang tidaklah dianggap
sebagai suatu cela, malah diidam-idamkan oleh banyak wanita di Paris dan
merupakan suatu kebanggaan yang sangat tinggi bagi mereka untuk bisa menjadi
selir raja. Salah seorang selir Louis XV yang lain adalah Comtesse du Barry.
Sang comtesse ini tak terlalu banyak turut campur urusan politik. Tapi, ia turut
aktif membantu kaum royalis pada masa berkobarnya revolusi dan riwayatnya pun
kemudian berakhir di pisau guillotine.
Kalau
skandal yang dilakukan oleh para ratu sering terjadi di Rusia, yang paling
terkenal adalah Ratu Catherine the Great (1729-1796). Ia mempunyai banyak
simpanan laki-laki sehingga ia terkenal dengan sebutan sexual lioness.
Salah satu yang cukup terkenal bernama Grigory Orlov, seorang perwira tentara
kerajaan yang dilukiskan bertubuh perkasa dan berwajah tampan bagaikan dewa
Yunani, tetapi berperangai ganas seperti manusia gua. Seringkali wajah sang ratu
menjadi lebam dan babak belur digebukinya. Bak buk gedebak gedebuk!! Begitu
bunyi gebukannya. Tetapi, ratu tetap sabar dan tawakkal. Dianggapnya saja itu
sebagai “gebukan sayang”. Ia tetap menyayangi si Orlov yang tampan dan gagah
perkasa itu dan kerap menganugerahinya berbagai macam hadiah. Diberinya
istana-istana lengkap dengan ratusan pelayan dan dianugerahinya juga berbagai
macam gelar kehormatan.
Tapi,
Orlov pada akhirnya bosan juga dengan sang ratu, pergi meninggalkan istana dan
kawin dengan perempuan lain. Setelah itu, kekasih utama ratu adalah Grigory
Potemkin, seorang laki-laki bermata satu yang kehilangan sebelah matanya dalam
suatu perkelahian seru di rumah minum. Si mata satu ini kemudian menjadi orang
yang paling kaya dan paling berkuasa di Rusia. Dan di hari-hari terakhir
kekuasaan Catherine, ia berkuasa di Rusia bagaikan seorang maharaja.
Selain
yang menyangkut para raja dan ratu, pada masa lampau juga seringkali terjadi
skandal dalam gereja dan kepausan. Bahkan, sudah menjadi kebiasaan para petinggi
gereja pada masa itu, termasuk para kardinal dan juga Paus, untuk mempunyai
simpanan di rumahnya. Skandal yang cukup menonjol antara lain terjadi pada masa
Sergius III (masa kepausan 904-911), yang mempunyai anak di luar nikah dengan
seorang perempuan bangsawan di Roma. Anak hasil hubungan gelap ini kemudian
menjadi Paus juga, yaitu Paus John XI (masa kepausan 931-936). Seorang
sejarawan, William L. Ranger, menyebut masa ini sebagai masa pornokrasi.[3]
Tetapi, ini bukanlah peristiwa satu-satunya. Hanya yang cukup terkenal saja
sebab seperti yang telah saya sebutkan di atas, hal semacam ini sudah menjadi
semacam kebiasaan dan tradisi yang lumrah-lumrah saja selama berabad-abad
lamanya. Jadi, dilakukan dengan asyiknya oleh banyak petinggi gereja, bukan
hanya terbatas satu dua orang saja.
Satu
lagi kisah yang cukup terkenal, bahkan lebih heboh lagi, terjadi pada masa Paus
Alexander VI, yang bernama asli Rodrigo Borgia (1431-1503), seorang keturunan
bangsawan dari Spanyol. Paus ini mempunyai banyak anak. Tabiat salah seorang
anak Paus ini, yaitu Pangeran Cesare Borgia (1476-1507) menjadi sumber inspirasi
bagi Machiavelli (1469-1527) untuk menulis buku Il Principe (Sang
Pangeran) yang terkenal itu. Pangeran yang dimaksud di dalam buku Machiavelli
itu memang adalah Pangeran Cesare Borgia bin Paus Alexander Borgia. Machiavelli
pernah bertemu dengan Pangeran Borgia sewaktu bertugas sebagai duta besar
Florence. Dan ia agaknya sangat terkesan dengan tabiat pangeran yang berangasan
tersebut dan kemudian menjadikannya sebagai idola dalam bukunya. Film yang
mengupas kisah cinta anak Paus yang satunya, yaitu Lucrezia Borgia, dan juga
berbagai intrik perkawinan politiknya, pernah juga masuk layar lebar. Hasil
co-produksi perusahaan film Italia-Perancis. Pemeran utamanya adalah aktris
Italia Gina Lollobrigida.
Masa
kepausan Alexander VI ini oleh Gereja kemudian dianggap sebagai halaman hitam
dalam sejarah kepausan. Berbagai skandal dalam gereja inilah, selain juga
kehidupan serba mewah dan pemborosan keuangan dalam gereja, yang menjadi salah
satu sebab timbulnya gerakan Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther
(1483-1546). Luther merasa sangat terkejut ketika dia berkunjung ke Roma dan
melihat keadaan Gereja yang sedemikian rusaknya pada masa itu. Ia pun lalu bertekad
melakukan pemberontakan. Dan beberapa tahun sepulangnya dari Roma, Luther
kemudian memakukan 95 tesisnya di pintu gerbang gereja Wittenberg. Setelah itu,
api peperangan pun segera berkobar dengan ganasnya di seluruh Eropa. Jutaan
korban tersungkur sia-sia dan mengirim pengungsi hingga ke benua Amerika.
Sisa-sisa dari sumbu yang disulut oleh Luther itu pun hingga sekarang masih
tetap menyala di Irlandia Utara sana.
Bila
membaca penjelasan di atas, bahwa ada paus yang pernah mempunyai anak, bahkan
anaknya itu diangkat menjadi paus juga, mungkin banyak di antara Anda yang akan
merasa sangat terkejut. Saya sendiri juga demikian ketika pertama kali
mengetahui hal ini. Merasa terheran-heran dan tidak percaya. Bila ada di antara
Anda yang masih tidak percaya juga silakan Anda baca sendiri buku-buku sejarah
yang mengupas masalah ini. Atau bisa juga Anda membacanya di dalam ensiklopedi.
Ada juga di sana. Tetapi, walau mungkin banyak di antara Anda yang baru
mengetahuinya kali ini, hal ini sebenarnya sudah umum diketahui oleh masyarakat
di Barat sana. Bukankah Machiavelli dengan buku Il Principe-ya adalah
tokoh yang sudah sangat terkenal?
Tetapi,
memang demikianlah sifat manusia sebab, sekali lagi, apa pun jabatannya,
setinggi apa pun statusnya, biar pun itu raja, ratu, paus atau pun pendeta,
mereka semuanya itu hanyalah sekedar manusia biasa. Manusia biasa dengan insting
yang sama dengan manusia yang lainnya. Dan tidak akan pernah ada orang yang akan
bisa dan mampu untuk melepaskan diri dari sifat-sifat manusiawinya, meskipun dia
itu orang yang dianggap sebagai orang suci sekali pun. Baik dia itu seorang
mufti, mullah, ayatullah, biksu, pastur, pendeta atau pun brahmana.
Tentang
masalah ini, malah ada sebuah kisah yang cukup menarik, khususnya tentang para
biksu. Beberapa sekte Budha di Jepang ada yang mengizinkan pendetanya untuk
menikah. Semasa pendudukan Jepang di Korea, sekte ini mempengaruhi banyak
pendeta di sana. Suatu ketika, saat Presiden Syngman Rhee berkunjung ke seorang
biksu, ia mendapati biksu tersebut tengah asyik bercengkerama dengan seorang
wanita. Dengan malu-malu biksu tersebut kemudian mengakui bahwa wanita itu
adalah istrinya. Kontan saja presiden Rhee menjadi terkejut setengah mati. Ia
pun segera mengeluarkan perintah untuk merestorasi kehidupan selibat bagi para
biksu. Dan setelah diperiksa, ternyata kemudian didapati bahwa pada saat itu
sekitar 5000 (lima ribu) pendeta Budha di sana mempunyai istri.[2] Gile bener.
Tapi,
sekali lagi, memang begitulah sifat semua manusia. Semua manusia itu memang
mempunyai insting yang sama seperti kita-kita juga walaupun dia sudah bergelar
santa atau santo sekali pun. Mereka juga punya insting seperti juga kebanyakan
manusia pada umumnya. Kita bisa berkata demikian sebab manusia yang derajatnya
paling suci dan paling tinggi sekali pun, yaitu para nabi, ternyata juga
mempunyai insting yang tak berbeda dengan manusia yang lainnya. Apalagi mereka
yang bukan nabi. Dan seperti yang telah disebutkan di atas, kita juga telah
mengetahui bahwa para nabi pun semuanya beristri dan berkeluarga, bahkan
rata-rata para nabi kitab di Perjanjian Lama itu mempunyai banyak istri. Jadi,
semua manusia itu memang mempunyai insting yang sama, tak peduli dia orang suci
atau pun dianggap “tuhan” sekali pun.
Penyebab Timbulnya Insting Banyak Partner
Insting
untuk mempunyai banyak partner ini, tidak diragukan lagi, adalah disebabkan
karena setiap jenis makhluk hidup, harus selalu berkembang biak dalam jumlah
yang sangat banyak, atau boleh dikatakan sebanyak mereka sanggup, agar
kelestarian jenisnya dapat terjaga. Bila berhubungan dengan semakin banyak
partner, maka tentunya jumlah keturunan nanti akan bisa semakin banyak. Dan
insting semacam ini pun terdapat pada setiap makhluk hidup, termasuk manusia.
Kiranya perlu kita ingat pula bahwa insting survival, yaitu insting untuk
bereproduksi dan mempertahankan kelangsungan hidupnya adalah insting yang
terkuat dari segala macam insting lainnya yang ada pada makhluk hidup. Mahluk
hidup akan melakukan segala macam cara, segala daya upaya, untuk menjaga
kelestarian jenisnya dan menghindarkan diri dari kepunahan. Dan ini sudah
menjadi hukum alam. Karena organisme yang tidak punya insting semacam itu sudah
lama punah ditelan seleksi alam. Dan seperti yang telah disebutkan di atas tadi,
90 persen makhluk hidup sistem perkawinannya adalah poligami. Hanya 10 persen
saja yang bermonogami. Hal ini tentunya berkaitan dengan insting untuk survive
tersebut. Mengenai masalah ini, yang berkaitan dengan manusia tentunya, lihat
pembahasan berikutnya nanti tentang sistem perkawinan pada suku-suku yang masih
primitif.
Karena
manusia, baik yang laki-laki maupun perempuan, termasuk “hewan” yang punya
kecenderungan untuk mempunyai banyak partner, dan insting ini lebih besar
kecenderungannya pada laki-laki, maka mungkin hal ini disebabkan karena
sepanjang sejarah perjalanan evolusinya jumlah kaum laki-laki secara umum lebih
banyak dibandingkan dengan yang perempuan sehingga insting ini lebih berkembang
pada pada kaum laki-laki karena keadaan lingkungannya yang semacam itu.
Sedangkan pada kaum wanita, karena jumlahnya memang lebih banyak, maka insting
ini kurang berkembang pada mereka karena keadaan yang kurang mendukung. Tetapi,
karena insting ini terdapat juga pada kaum wanita, maka mungkin juga insting ini
diwarisinya dari pihak laki-laki.
Selanjutnya,
dan ini yang membikin lebih sulit, selain insting mempunyai banyak partner ini,
manusia juga mempunyai insting cemburu, yaitu perasaan cemburu dari pasangannya,
yang menghalangi insting banyak partner tadi bisa terlaksana. Membingungkan juga
memang insting manusia ini. Anda turut bingung juga, nggak? Punya insting untuk
mempunyai banyak partner, tetapi juga punya insting yang mencegah hal itu agar
bisa terwujud (pada orang lain khususnya). Sangat aneh memang. Bagaimana kiranya
proses evolusi membentuk hal semacam ini?
Kita
tahu, seseorang tidak akan suka apabila apabila pasangannya mencintai orang
selain dirinya. Dan insting ini pun terdapat pada pria maupun wanita, bahkan
juga pada waria. Dan insting ini pun menuntut agar bisa dipenuhi juga. Jadi,
jangan sampai seseorang itu melihat pasangannya bercinta dengan orang lain. Bila
hal itu sampai terjadi, maka seseorang itu bisa marah, bisa menjadi gelap mata
dan kadang hal ini bisa fatal akibatnya. Kita tentu seringkali mendengar bahwa
adanya keluarga yang berantakan karena masalah ini. Atau kadang-kadang bisa
mengakibatkan perkelahian, bahkan juga pembunuhan.
Karena
hal-hal semacam itu, insting cemburu ini lantas biasanya menghalangi insting
banyak partner tersebut untuk bisa terlaksana. Dan insting banyak partner ini
kemudian dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Harus ditekan, diintimidasi,
digebuki dan tidak diakui keberadaannya. Dianggap tiada. Padahal ada. Susah juga
memang. Serba merepotkan dan membingungkan. Karena manusia diletakkan di antara
dua macam insting yang saling tarik menarik dan saling bertentangan tersebut.
Kalau boleh, barangkali tak ada salahnya manusia memohon kepada Tuhan agar
meniadakan salah satu insting tersebut, biar manusia tidak perlu repot dan
bingung lagi. Ini masalah yang cukup penting juga, lho. Bukan main-main. Sebab
bila insting cemburu ini bisa menyebabkan pecahnya sebuah rumah tangga atau
bahkan pembunuhan, maka kalau insting banyak partner ini bisa menyebabkan
menyebarnya wabah penyakit ke mana-mana, termasuk juga penyakit AIDS yang hingga
sekarang ini masih belum ada obatnya. Sudah membunuh jutaan orang dan
menginfeksi jutaan orang lainnya setiap tahunnya.
Mengenai
insting cemburu ini, rasanya agak sulit juga untuk mencari tahu apa penyebabnya
sebab insting ini pun terdapat juga pada sebagian jenis mamalia yang lainnya.
Jadi, sudah sangat lama berakar. Tapi, ini agaknya adalah semacam insting untuk
mempertahankan survival gen juga walau sifatnya lebih sering bersifat defensif
atau kompetitif, yaitu insting untuk mempertahankan pasangan atau untuk berusaha
bersaing mendapatkan pasangan sehingga gen dari suatu individu itu nanti, baik
dia itu individu jantan maupun betina, bisa tetap survive hingga ke
generasi-generasi yang berikutnya. Jadi, suatu insting demi kelestarian gen
juga.
Atau
mungkin juga insting ini timbul karena disebabkan karena adanya persaingan yang
cukup sengit antara para pejantan untuk memperebutkan pasangan. Dan kita tahu
bahwa sesuatu yang diperoleh dengan cara yang sulit, maka biasanya akan
dipertahankan dengan sangat kuat pula. Pada umumnya, yang terlibat dalam
pertarungan ini adalah pihak jantan. Oleh karena itu, mungkin insting ini
berasal dari pihak jantan dan kemudian diwariskannya kepada keturunannya, baik
yang jantan maupun yang betina.
Meski
demikian, pada beberapa suku bangsa yang masih primitif, terdapat suatu adat
kebiasaan yang mungkin akan terasa mengejutkan bagi kita. Seperti misalnya saja
adat sebagian suku-suku pedalaman di Amerika Selatan yang punya “keramahtamahan”
yang rasanya cukup heboh juga, yaitu meminjamkan istri kepada setiap tamu yang
singgah ke rumah mereka. Jadi, insting cemburu ini nampaknya berbeda-beda juga
tingkatannya. Ada yang pencemburu, tetapi ada juga yang tidak terlalu. Tetapi,
kalau pada mereka ini nampaknya insting tersebut sangatlah minim. Bahkan, boleh
dikatakan tidak ada sama sekali. Dan ini mungkin akan bisa terdengar aneh bagi
kita. Selain itu, suku-suku di Afrika Tengah pada zaman Victoria, bangsa Hun
(baca: Han) pada zaman Attila juga mempunyai kebiasaan yang tidak kalah
hebohnya. Mereka dengan ramah menawarkan istri sementara kepada para musafir
yang lewat di desa-desa mereka. Hmm... ada yang berminat jadi turis ke
sana?
Hal
ini mungkin disebabkan karena pada mereka tidak diperlukan suatu persaingan yang
keras untuk mendapatkan pasangan. Sebagaimana kita ketahui, pada bangsa-bangsa
atau pun suku yang sangat gemar berperang perbandingan jumlah antara kaum pria
dan wanitanya sangatlah tidak berimbang sehingga setiap laki-laki bisa dengan
mudah mendapatkan pasangan. Ini mungkin menyebabkan insting cemburu pada mereka
tidaklah terlalu kuat.
Bangsa
Hun adalah bangsa yang masih sangat buas dan gemar berperang. Karena itu jumlah
pria mereka tentunya jauh lebih sedikit dari wanitanya. Mereka ini bangsa yang
masih barbar dalam arti yang sepenuhnya. Kekejaman mereka hanya bisa disaingi
oleh Jenghis Khan atau Timur Lenk. Punya kegemaran menghancurleburkan setiap
kota yang dilaluinya dan membinasakan semua penduduknya. Penduduk yang ketakutan
pun lantas banyak yang pergi mengungsi. Kota Venesia yang dikelilingi laut itu
didirikan oleh para pengungsi yang ketakutan oleh serbuan bangsa barbar
tersebut. Di bawah pimpinan Attila (meninggal 453 M), bangsa nomaden ini
mendirikan imperium besar yang berpusat di Hungaria. Invasi bangsa Hun ke Eropa
inilah yang menyebabkan gelombang pengungsian besar-besaran suku-suku bangsa
Jerman ke seluruh penjuru Eropa dengan akibat runtuhnya kekaisaran Romawi Barat
pada tahun 476. Bangsa Hun ini pula yang pada abad-abad sebelumnya memaksa
kaisar Cina Shi Huang Ti untuk mendirikan tembok raksasa walau ternyata masih
juga bisa ditembus oleh mereka. Pernah nonton film kartun Mulan? Gambaran
tentang kebuasan mereka agaknya bisa diekspresikan dengan baik pada film
ini.
Sistem Perkawinan Pada Manusia
Pada
awal tulisan di atas tadi telah disinggung sekilas mengenai sistem perkawinan
pada nenek moyang manusia pada zaman purba. Tetapi, untuk lebih jelasnya nanti
bisa kita melihat kehidupan suku-suku yang masih primitif, yang masih belum
tersentuh ajaran-ajaran agama besar sehingga dari sana kita nanti akan bisa
mendapat informasi yang lebih jelas tentang kehidupan asli dari nenek moyang
manusia. Dan rasanya ini nanti bisa menggambarkan sistem perkawinan manusia yang
asli.
Akan
tetapi, dalam masalah ini saya hanya bisa memberikan sedikit contoh saja. Di
sini saya akan memberikan contoh tentang kehidupan suku Indian di Amazon. Di
hutan belantara Amazon yang kehidupannya penuh dengan kekerasan, pada umumnya
jumlah laki-laki dan wanitanya tidak berimbang. Jumlah kaum laki-laki bisa
berkurang hingga separuhnya karena seringnya terjadi peperangan antar suku,
terutama untuk memperebutkan makanan. Sebagai akibatnya, pada suku Jivaro,
sistem perkawinan yang dianut adalah bigami. Dua lawan satu. Sementara itu pada
suku Yanoama, walaupun jumlahnya memang tidak seimbang juga, tetapi tidak
sedrastis pada suku Jivaro, maka sistem perkawinannya adalah monogami. Sedangkan
kelebihan jumlah kaum wanitanya menjadi istri kepala suku atau orang-orang yang
berpengaruh pada suku tersebut.
Saya
memang masih belum berhasil mendapatkan buku yang menjelaskan seandainya jumlah
kaum wanitanya tiga, empat atau lima kali lipat. Atau mungkin lebih dari itu.
Tetapi, nampaknya kemungkinan besar adalah sistem serupa juga yang akan
diberlakukan, yaitu berdasarkan perbandingan jumlah yang ada walau ini tentunya
tidak mesti harus tepat benar. Tergantung situasi dan
kondisinya.
Jadi,
demikianlah sistem perkawinan yang dianut oleh sebagian suku-suku primitif di
pedalaman Amazon. Dan ini nampaknya menggambarkan sistem perkawinan asli dari
manusia karena hal itu tentunya akan menunjang survival dari suku-suku itu
sendiri sebab dengan sistem perkawinan semacam itu tentunya jumlah generasi
berikutnya akan sesuai dengan jumlah jenis kelamin yang lebih banyak, yaitu kaum
wanitanya. Dan sekali lagi harap diingat bahwa insting untuk survive ini adalah
insting yang terkuat pada setiap makhluk hidup sehingga tentunya merupakan hal
yang bertentangan dengan hukum alam bila yang dianut oleh suku-suku Indian itu
adalah strict monogamy sebab hal itu akan bisa mempercepat kepunahan
mereka. Terlebih lagi, selain dihadapkan dengan peperangan antar suku, mereka
juga hidup di tengah rimba belantara yang penuh dengan binatang buas dan
berbagai macam bahaya yang bisa menelan jiwa mereka setiap saat. Suku yang
jumlahnya lebih sedikit tentunya akan bisa dengan mudah dikalahkan serta
dibantai oleh suku yang lebih banyak anggotanya. Padahal, kepunahan adalah
sesuatu hal yang akan dengan segala cara berusaha dihindarkan oleh setiap jenis
makhluk hidup.
Semenjak
abad keduapuluh, di mana ilmu kesehatan dan peradaban manusia sudah demikian
majunya, maka masalah survival umat manusia atau sebuah suku bangsa nampaknya
akan bisa lebih terjamin. Untuk saat ini rasanya memang sudah kecil sekali
kemungkinan spesies manusia atau salah satu dari ras manusia itu akan bisa
mengalami kepunahan seperti yang kerap terjadi pada masa lampau. Jadi, boleh
dibilang insting untuk berpoligami ini memang boleh dikatakan sudah tidak
diperlukan lagi. (Eh, kaum wanita pasti akan merasa senang bila membaca kalimat
ini). Akan tetapi, walaupun memang sudah tidak diperlukan lagi karena sekarang
kelangsungan hidup umat manusia itu memang sudah lebih terjamin, insting
mempunyai banyak partner ini nampaknya tidak lantas menghilang begitu saja.
Insting dari zaman purba yang penuh dengan kekerasan dan kesulitan hidup itu
ternyata tetaplah terbawa-bawa hingga abad modern sekarang
ini.
Pada
saat ini, insting yang dahulu memang sungguh sangat bermanfaat untuk menunjang
survival umat manusia ini, ternyata malah seringkali banyak menimbulkan masalah.
Bisa menjadi penyebab utama pecahnya sebuah rumah tangga dan juga sumber utama
penyebaran penyakit kelamin, termasuk juga penyakit AIDS. Bila tidak bisa segera
ada penangkalnya, maka insting untuk mempunyai banyak partner ini bukannya
menunjang survival, tetapi justru malah bisa memusnahkan jutaan umat manusia.
Dan ternyata, kita agaknya memang tidak bisa mengenyahkan insting ini dengan
begitu saja. Dia tetap ada walaupun berusaha untuk diingkari dan tidak diakui
keberadaannya. Bila pun kita bermaksud menghilangkannya, mungkin butuh waktu
yang cukup lama juga. Mungkin jutaan tahun lagi. Dan kita-kita ini sudah keburu
jadi fosil semuanya.
Perbandingan Jumlah Kelahiran Bayi Laki-laki dan Perempuan
Sebenarnya,
jumlah kelahiran bayi laki-laki dan perempuan selalu cenderung untuk berimbang.
Data-data yang terdapat pada beberapa negara Eropa menunjukkan kecenderungan
yang demikian. Untuk masalah ini datanya memang cukup komplit dan akurat, saya
kutip dari karya Darwin, yaitu buku The Descent of Man. Data ini
dikumpulkan pada abad kesembilanbelas, tetapi rasanya tetap bisa digunakan juga,
toh tetap up to date juga sepanjang tidak adanya intervensi manusia dalam
seleksi alam yang berkaitan dengan masalah ini, seperti misalnya saja yang
sekarang ini masih kerap dilakukan banyak penduduk di Cina, atau di Arab pada
zaman Jahiliyah, yaitu kebiasaan membunuh bayi perempuan.
Data
di Eropa tersebut menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun, yaitu antara tahun
1857-1866, angka kelahiran bayi di Inggris setiap tahunnya rata-rata adalah
707.120 dengan perbandingan 104,5 laki-laki dan 100 perempuan. Sedangkan di
Perancis, selama empat puluh tahun, perbandingannya adalah adalah 106,2 dan 100.
Tetapi, selama dalam jangka waktu tersebut, pernah sebelas kali jumlah kelahiran
bayi wanitanya melebihi bayi laki-laki. Sedangkan di Rusia adalah 108,9 banding
100. Di Philadelphia, Amerika Serikat, 110,5 banding 100. Sedangkan angka
rata-rata di seluruh Eropa, dari tujuh puluh juta kelahiran, adalah 106 banding
100.[4]
Dari
data-data di atas kita bisa mengetahui bahwa jumlahnya cukup berimbang. Bila pun
bayi laki-laki sedikit menjukkan kelebihan, itu pun diimbangi dengan fakta bahwa
bayi laki-laki lebih banyak yang meninggal dalam usia balita ketimbang bayi
perempuan. Hal ini disebabkan karena banyak bayi laki-laki yang meninggal dalam
proses kelahiran dan juga karena mereka lebih rentan terhadapa serangan
penyakit.[5] Dan keseimbangan angka kelahiran semacam ini juga terdapat pada
beberapa jenis mamalia yang lainnya. Dan kita manusia ini termasuk “hewan”
mamalia juga, bukan?
Jadi,
dari jumlahnya yang relatif seimbang, maka sistem perkawinan pada manusia ini
pada dasarnya agaknya adalah sistem monogami. Tetapi, susahnya, sepanjang
perjalanan sejarah umat manusia, jenis laki-laki pada umumnya sangat mudah
berkurang dibandingkan dengan kaum wanitanya. Bila terjadi perang antar suku
atau antar bangsa, maka tentunya laki-laki (bukan perempuan) yang harus maju.
Dan banyak di antaranya yang kemudian pulang hanya tinggal nama. Tewas dalam
jumlah ribuan, ratusan ribu atau pada zaman modern ini bahkan hingga puluhan
juta. Perbandingan jumlah pria-wanita pun menjadi tidak berimbang lagi karena
banyak banyak wanita yang kehilangan suaminya atau gadis yang kehilangan calon
suaminya. Sistem poligami pun berlaku.
Dan
yang lebih susahnya lagi, pada masa lampau semua bangsa gemar sekali berperang,
dengan berbagai macam alasan yang kadang-kadang tidak masuk akal. Seperti
misalnya saja sebuah perang bisa meletus hanya gara-gara rebutan sapi atau kuda.
Atau sering juga terjadi karena rebutan wanita. Dan sebagai akibatnya, insting
untuk mempunyai banyak partner ini pun pada akhirnya semakin mendapat kesempatan
untuk berkembang, terutama pada kaum pria. Sistem poligami pun akhirnya terdapat
di mana-mana, di hampir seluruh suku bangsa di dunia karena jumlah yang tak
berimbang. Sementara di belahan dunia yang melarang poligami, padahal bangsa
tersebut gemar berperang, maka banyak kaum wanita di sana yang terpaksa tidak
bisa mendapatkan suami.
Beberapa Alternatif Solusi?
Mengenai
perbandingan jumlah kaum pria dan wanita di Indonesia nampaknya cukup berimbang.
Mungkin ini disebabkan karena secara umum Indonesia relatif mengalami masa damai
yang cukup lama sehingga tidak terlalu banyak kaum laki-laki yang mati di medan
perang. Tetapi, kemudian, bila jumlahnya kemudian menjadi tak berimbang, entah
berapa kali lipat, apakah kita nanti lantas akan “menyesuaikannya” juga?
Entahlah, sulit juga rasanya karena kita tahu bahwa ini nanti akan terbentur
dengan insting cemburu dari pasangannya. Lalu, bagaimana kemudian dengan mereka
yang tidak bisa mendapatkan pasangan? Yah, jawabannya adalah sulit juga.
Terserahlah kepada setiap orang saja. Saya sendiri tak tahu jawabannya. Ini
memang adalah masalah yang serba dilematis. Mungkin jawabannya adalah terletak
kepada masing-masing pribadi orang tersebut. Terserahlah setiap orang mau
menjawab apa. Toh, saya ini tak berhak mencampuri urusan pribadi setiap
orang.
Atau
apakah wanita kemudian “disadarkan” saja, disuruh saja menghilangkan perasaan
cemburunya atau paling tidak bisa memahaminya. Tapi, ini pun rasanya akan sulit
juga karena bagaimana pun itu sudah terlanjur menjadi insting setiap manusia.
Kaum wanita pun rasanya akan sulit juga untuk melakukannya. Serba repot juga
memang. Ada insting untuk mempunyai banyak partner, tetapi sekaligus juga punya
insting cemburu. Dan kedua insting ini bukannya saling mendukung, tetapi malah
saling bertentangan satu sama lain. Bingung juga nih saya ini bila memikirkan
problem manusia yang satu ini. Betapa membingungkannya. Juga betapa
merepotkannya. Anda pun pasti turut bingung bila memikirkannya.
Mengenai
masalah ini, pernah juga suatu ketika saya mendengarkan ceramah seorang
penceramah yang bercerita bahwa ada seorang ibu yang mengatakan bahwa karena
Islam membolehkan pria untuk beristri lebih dari satu, maka ia pun tidak
berkeberatan dengan hal tersebut. Ibu yang satu ini sih setuju-setuju saja.
“Tetapi dengan satu syarat,” kata ibu tersebut, “Syaratnya adalah yang melakukan
poligami itu bukan suami saya.” Hahaha… cerdik juga ibu yang satu ini. Anda
setuju?
Tetapi,
sebenarnya rasa cemburu itu nampaknya bertingkat-tingkat juga. Contoh yang
paling ekstrim dalam hal ini, seperti yang sudah disebutkan di atas, yaitu pada
sebagian suku-suku yang masih primitif, khususnya pada kaum laki-lakinya. Rasa
cemburu pada mereka sangatlah minim sekali. Tetapi, pada kaum wanita pun rasanya
insting ini pun berbeda-beda juga tingkatannya. Dan hal ini seringkali juga
berkaitan dengan sikap masyarakat terhadap masalah ini. Pada masyarakat yang
telah semenjak lama mempraktekkan hal poligami, nampaknya perasaan cemburu ini
tidak sekeras pada masyarakat yang mempraktekkan monogami. Dalam hal ini,
rasanya perlu sekali lagi diingat bahwa insting manusia itu dibentuk oleh
lingkungannya.
Supaya
bisa lebih meyakinkan, rasanya perlu diberi satu contoh. Contoh ini memang tidak
berkaitan dengan sistem perkawinan, tetapi rasanya akan bisa memberikan contoh
bagaimana lingkungan bisa memberikan pengaruh pada insting suatu jenis makhluk
hidup. Pada daerah-daerah terpencil yang sebelumnya belum pernah dijamah oleh
manusia, seperti misalnya pada kawasan hutan lebat di Afrika, binatang-binatang
di sana tidak merasa takut kepada manusia. Berani mendekati manusia biarpun dia
itu seorang pemburu bersenapan sekali pun, selama ia tidak diganggu.[6] Akan
tetapi, bila sekali saja binatang-binatang tersebut diganggu, maka mereka akan
lari setiap kali melihat sosok manusia. Perilaku semacam ini kemudian
diwariskannya kepada keturunannya, menjadi insting[7] Perubahan atau pun
pembentukan insting yang berbeda dari yang ada sebelumnya ini pun bisa terjadi
pada banyak hewan yang lainnya dan di tempat mana saja. Dan juga pada segala
macam insting yang ada.[8] Bukan hanya di belantara Afrika saja dan bukan hanya
satu dua insting tertentu saja. Jadi, persoalannya sekarang, apakah hal semacam
ini yang lantas perlu “dikembangkan” pada manusia, yaitu bagaimana caranya kita
membuat agar kaum wanita itu nanti bisa menghilangkan insting cemburunya. Tapi,
pasti banyak wanita yang nanti akan marah-marah. Dan kalau saya tiba-tiba
mengusulkan hal semacam ini bisa-bisa saya nanti digebuki ramai-ramai oleh kaum
wanita. Jadi, memang sulit juga.
Tetapi,
boleh jadi pemecahannya adalah simpel saja, yaitu terserah kepada yang
menjalani. Kalau yang wanita bersedia ya silakan kalau tidak ya jangan. Gampang,
kan? Jadi, tak perlu dibikin repot-repot amat. Tapi, bagaimana kalau kemudian
yang pria memaksakan kehendaknya? Kalau sudah begini, saya tak mau ikut-ikutan,
dah. Rasanya sudah ada pihak lain yang lebih berwenang untuk
mengurusinya.
Atau
apakah pemecahannya adalah dengan cara menyuruh laki-laki agar lebih bisa
menahan diri sehingga insting ini nanti yang bisa lebih berkembang. Tetapi, bila
hal ini dilakukan, bagaimana kemudian bila jumlah perempuan ternyata lebih
banyak dari laki-laki? Bagaimana dengan nasib para wanita yang tidak bisa
mendapatkan suami? Serba susah juga memang. Maju kena mundur kena, bagaikan buah
simalakama. Dan agaknya memang hanya hari kiamat yang akan bisa memecahkan
masalah ini.
Dari
berbagai penjelasan di atas kiranya dapat dipahami bahwa masalah ini memang
cukup sulit dan kompleks. Tak cukup hanya dengan mengeluarkan pendapat sambil
lalu saja, apalagi bila hanya didasari prasangka buruk belaka. Harus bisa turut
memikirkan dan memahami segala hal yang berkaitan dengan masalah
ini.
Penutup
Dan
akhirnya, sebagai uraian penutup, maka saya di sini akan memberikan beberapa
keterangan yang kurang lebih bersifat religius. Perlu kiranya diketahui bahwa
dalam Islam poligami hukum asalnya hanya bersifat mubah saja. Tidak
diperintahkan, juga tidak dilarang. Jadi, menyerahkannya ini kepada individu
masing-masing atau kepada situasi dan kondisi yang ada pada suatu masyarakat.
Misalnya bila jumlah wanita memang jauh lebih banyak. Atau bila ada pria yang
istrinya mandul dan pria tersebut sangat ingin mempunyai keturunan. Bila hukum
yang berlaku melarang sama sekali maka akan repot jadinya.
Jadi,
kalau ada yang bilang bahwa poligami dianjurkan, bahkan diwajibkan oleh Islam,
maka itu jelas fatwa yang keliru. Juga keliru bila ada yang menyatakan haram
karena nabi dan para sahabat dulu rata-rata istrinya lebih dari satu. Bahkan
para nabi di Kitab Perjanjian Lama jumlah istrinya jauh lebih banyak lagi.
Hukumnya poligami ini memang hanya mubah saja. Meski demikian, perlu kita pahami
bahwa batas empat orang istri pada masa itu merupakan suatu restriksi. Bukan
suatu umbar-umbaran seperti yang disangka banyak orang selama ini. Sebelum itu,
orang-orang Arab, termasuk juga para nabi yang ada sebelum Muhammad, mempunyai
amat sangat banyak istri. Bisa puluhan bahkan ratusan, seperti Daud atau
Sulaiman misalnya. Tak kalah bersaing dengan para kaisar Cina ataupun maharaja
di India. Banyak yang akhirnya keleleran tidak karuan. Oleh karena itu, kemudian
diperintahkan untuk membatasi jumlah istri dan diperintahkan untuk berlaku adil
kepada semuanya. Jadi, perintah itu memang dimaksudkan sebagai suatu restriksi,
bukan suatu umbar-umbaran. Sayangnya, sekarang ini seringkali malah
disalahpahami, baik oleh umat Islam sendiri apalagi oleh orang Barat
sana.
Kemudian,
satu hal lain yang juga mesti dipahami baik-baik, yaitu bila sesuatu hal itu
hukumnya mubah, tak dilarang oleh agama, itu bukannya berarti kita lantas boleh
berlaku awur-awuran semaunya. Satu contoh misalnya, tak ada hukum agama yang
melarang Anda pergi shalat ke masjid sekedar pakai sarung dan kaos singlet.
Halal 100 persen! Tetapi, apa nanti pendapat para jamaah yang lainnya tentang
Anda? Boleh Anda pikirkan sendiri! Contoh lain lagi misalnya, menurut hukum
syariat kita bebas keluar masuk masjid pakai sandal atau sepatu, dan sampai
sekarang di Arab sana demikian. Dan itu memang 100 persen halal. Tak ada hukum
syariat yang melarang orang keluar masuk masjid pakai sepatu, tetapi boleh jadi
Anda akan digebuki orang sekampung bila melakukannya di sini. Pandangan orang
yang ada di sekeliling kita, adat istiadat dan budaya yang ada pada masyarakat
setempat mestilah turut kita perhatikan juga. Bukan lantaran tak dilarang
syariat lantas kita main sikat saja. Asal ada cewek cakep, sikat. Halal, kok.
Kalau begitu caranya, bisa celaka nanti. Apalagi bila kemudian bilang bahwa hal
itu diwajibkan agama. Tambah berabe lagi. Ringkasnya, meski suatu hal itu
hukumnya memang mubah, kita tak boleh sembarangan saja menerapkannya. Harus
lihat-lihat dulu situasi dan kondisi yang ada. Pandangan masyarakat, adat
istiadat dan juga kultur yang ada pada masyarakat mestilah kita perhatikan
juga.
Meski
demikian, walaupun diperbolehkan, sebenarnya kaum pria yang melakukan poligami
di dunia Islam sekarang ini jumlahnya hanya sedikit saja, yaitu sekitar 1 hingga
2 persen. Juga meskipun sebagian besar budaya masyarakat di dunia, baik yang
Islam maupun non-Islam, mentolerir poligami, tetapi dalam masyarakat tersebut
hanya 10 persen saja yang melakukannya.[9]
Meski
yang melakukannya relatif sedikit saja, masalah ini nampaknya akan tetap menjadi
dilema bagi manusia sepanjang masa. Di mana saja di berbagai belahan dunia.
Dilakukan atau tidak dilakukan sama-sama repotnya. Tapi, apa boleh buat,
begitulah kehidupan. Dunia ini memang tak pernah sempurna dan selalu penuh
dengan berbagai persoalan. Dan manusia ini memang hidup di suatu dunia yang
mungkin tidak akan pernah bisa ia pahami sepenuhnya.
Meski demikian, bila kita ini hendak mengambil suatu keputusan, maka
sebisa mungkin yang didahulukan memang adalah kepentingan keluarga dan
masyarakat. Memang boleh-boleh saja dilakukan, tetapi kita harus terlebih dahulu
bisa menimbang sisi baik dan buruknya dari sesuatu tindakan sebelum mengambil
keputusan. Termasuk untuk dirinya sendiri, keluarga maupun orang lain. Demikian
pula, pilihan apa pun yang akan diambil, self restraint tetaplah harus
senantiasa kita kedepankan sebab tanpa pengendalian diri yang baik, maka
peraturan yang sebaik apa pun tidak akan pernah ada gunanya. Pengendalian diri
ini pun harus dilakukan baik oleh pria maupun wanita. Kaum wanita juga harus
turut berusaha agar insting yang berkembang pada pria itu adalah insting yang
sebenarnya malah tidak dikehendaki oleh kaum wanita
sendiri.
Yogyakarta, 1998
Endnote
- Charles Darwin, The Descent of Man, Part One, (New York: P.F. Collier and Son, 1902), hlm. 147.
- William Langer, Encyclopaedia of World History, (London: George G. Harrap and Company, t.t), hal. 215. Lihat juga “Sergius III”, Encyclopaedia Americana, vol 24, hlm. 575.
- Time, Asia Golden Anniversary Issue, Oktober-Desember 1996, hlm. 86.
- Charles Darwin, op. Cit., hlm. 319.
- Ibid., hlm. 320.
- Eugene Linden, “The Last Eden”, Time, 13 Juli 1992, hlm. 42.
- Charles Darwin, opcit., hlm.
- Untuk lebih jelasnya mengenai masalah ini lihat Charles Darwin, ibid., hlm. 96-98 dan The Origin of Species by Means of Natural Selection, New York: Modern Library, t.th.), hlm. 184-196.
- Ca m’interesse, hlm. 58.