Oleh:
Helmi Junaidi
Sebelum
Anda membaca tulisan ini, lihatlah dulu foto-foto di atas. Ini memang bukan
resensi tentang film yang aktor utamanya adalah Christopher Reeve, tetapi
tentang para superhero asli pribumi yang punya daya tahan fisik tak kalah
hebatnya juga. Bila dahulu saya pernah melakukan adventure menjadi seorang
spiderman yang bergelantungan dan berjejalan di pintu bus jurusan
Samigaluh-Yogya selama satu jam lamanya, maka para superhero kita yang
bergelantungan di atas kereta ini, baik kereta malam maupun siang, lebih luar
biasa lagi adventure-nya. Mereka yang naik kereta malam Progo jurusan
Jakarta-Yogya di atas sanggup berdiri dan bergelantungan selama sekitar 12 jam
lamanya. Molor dari jadwal yang biasanya karena saat lebaran banyak ditambah
jadwal baru. Kereta berangkat jam 9 malam dan sampai sekitar jam 9 pagi.
Bayangkan! Apa bukan superman mereka itu? Tinggal kita kasih kostum saja dah
mereka. Pinjem ke Hollywood sana. Ditambah lagi mereka harus menanggung hawa
panas saat kereta masih berada di jalur pantura. Sedangkan kereta siang Sri
Tanjung jurusan Yogya-Banyuwangi, yang semula saya kira lengang dan biasanya
baru penuh saat di Madiun, ternyata tidak demikian ceritanya. Padahal, saya kira
musim lebaran sudah lewat dan sudah sepi. Ternyata tidak. Saat baru naik memang
terlihat lengang, tetapi setelah mendekati jam keberangkatan penumpang baru
berdatangan lagi. Kereta mulai sesak dan sudah mulai ada penumpang yang
berdiri.
Kalau
kereta malam jarang mengambil penumpang di stasiun-stasiun kecil, di atas jam
dua belas sudah tak ada penumpang baru yang naik. Maklum, orang sudah pada tidur
dan tak suka berangkat bepergian jam segitu. Tetapi kalau kereta siang berbeda
lagi. Kereta siang berhenti di setiap stasiun besar maupun kecil, dan
terus-menerus menambah penumpang baru di tiap stasiun, di mana mereka sudah
ramai antri berjam-jam lamanya. Padahal, yang di dalam kereta sudah berjubel
luar biasa. Dan tentu saja yang naik bukan hanya kaum pria, tetapi juga
anak-anak kecil dan kaum wanita, baik wanita yang menggendong anak bayi
maupun..... wanita-wanita hamil... OMG!! Superwomaaan!!
Di
stasiun-stasiun itu saya dengar petugas berkali-kali memperingatkan lewat
pengeras suara bahwa kalau kereta sudah penuh harap jangan naik. Penumpang boleh
kembali dan uang tiket dikembalikan penuh. Tetapi, tak ada yang mau peduli.
Tetap nekat berjubelan. Sudah nanggung pikir mereka. Apalagi, mereka sudah harus
segera kembali kerja atau sekolah.
Biasanya
wanita hamil memang akan diberi prioritas kursi bila ada penumpang yang mau
turun, tetapi bila tak ada kursi kosong jangan harap. Mereka para penumpang itu
naik kereta sudah dalam kondisi lelah setelah antri berkeringat berjam-jam
lamanya di stasiun sambil membawa barang-barang bawaan yang cukup berat sehingga
rata-rata sudah tak terlalu peduli lagi dengan nasib orang
lain.
Pada
masa lebaran seperti ini, saat kita menerima tiket di loket memang sudah dibuat
grogi duluan, ada tulisan peringatan yang cukup sadis "BDR-, TANPA TMP DUDUK",
yakni "berdiri, tanpa tempat duduk". Ini bukan berarti tempat duduk sudah habis,
tetapi artinya siapa cepat dia dapat. Survival of the quickest. Nomor kursi
sengaja ditiadakan sehingga penumpang sudah dipersiapkan mentalnya untuk
menerima nasib kemungkinan berdiri. Jadi, begitu kereta datang langsung
penumpang berhamburan masuk rebutan tempat duduk, atau... tempat berdiri.
Bahkan, WC pun bisa menjadi tempat VIP. Daripada berdiri, to? Lubang-lubang
ditimbuni kardus-kardus bekas dan tempat buang hajat itu pun disulap menjadi
"seat" istimewa. Perkara baunya? Boleh tutup hidung sepanjang perjalanan.
Asyiiikk...
Bagaimana
kemudian kalau di tengah jalan ada penumpang yang pingin ke toilet? Hmmm...
pikir sendirilah.
Lalu
bagaimana pula dengan nasib anak-anak kecil dan wanita hamil yang ikut berebut
bergencetan masuk kereta dalam kondisi seperti itu? Oh, bayangkan sendiri
sajalah. Seorang penumpang saya dengar sempat berkomentar, "waduh, bisa mbrojol
tengah jalan". Saya sendiri hanya membatin bahwa mereka seharusnya naik bus
saja. Kalau bus kan bisa melihat-lihat dulu sudah penuh apa belum. Dan bisa
lebih leluasa mencari tempat duduk. Tapi, ongkos kereta yang jauh lebih murah
agaknya membuat sebagian rakyat kita menjadikannya pilihan pertama, cuma Rp.
35.000 untuk Jakarta-Yogya, sedang bis bisa Rp 200 ribu, berkali lipatnya. Kalau
alasan saya sendiri? Saya tak begitu suka naik bus bila untuk jarak jauh, bau
solar yang menyengat membuat kepala saya jadi pening dan perut mudah mual. Kalau
ada alternatif kereta saya lebih suka naik kereta.
Kalau
kereta malam masih lumayan kondisi hawanya, walau cukup panas juga karena
disesaki ratusan penumpang dalam tiap satu gerbong. Tapi, kalau kereta siang
lebih parah lagi panasnya, apalagi suara deru kereta kerap disaingi suara jerit
tangis anak-anak kecil yang ngambek atau kepanasan. Belum lagi suara pedagang
asongan yang tanpa kenal tata krama lagi berjalan di sela-sela penumpang yang
berdesakan duduk atau berdiri di lorong kereta, dan pedagang itu jumlahnya tak
ada habis-habisnya juga, mereka wira-wiri terus-menerus tak ada hentinya. Jumlah
pedagang itu bersaingan dengan jumlah penumpang agaknya. Turut pula berseliweran
para pengemis, pengamen dan tentu saja.... tukang copet.
Bagaimana
pun, saya survive juga melakoni perjalanan asyik semacam itu, dompet dan hp saya
juga survive tak dicopet orang sebagaimana yang dialami sebagian penumpang. Saya
selalu berhati-hati dalam soal ini. Dan perjalanan sore Surabaya-Malang naik
kereta Penataran boleh dibilang sebagai waktunya beristirahat. Kereta relatif
sepi, walau saya baru dapat kursi setelah kereta berjalan satu jam lamanya,
sebelumnya saya duduk saja di dekat sambungan. Pedagang juga jarang, cuma satu
dua saja yang berseliweran. Sejak dulu kereta ini memang relatif tenang. Orang
lebih suka naik bis bila menempuh jarak Surabaya ke Malang atau
sebaliknya.
BTW,
benarkah para penumpang itu tergolong kaum superhero atawa superman dan
superwoman? Sepupu saya yang pernah melakoni berdiri selama sepuluh jam naik KGB
malam Selatan dari Jakarta ke Yogya bilang bahwa kakinya sampai gemetaran karena
berdiri selama itu. Untuk menaruh bokong di lorong saja tak bisa karena saking
penuhnya. Dan sesampainya di Yogya, karena kecapekan ia lalu tertidur pulas di
mushola dekat stasiun Lempuyangan. Dan sewaktu bangun tasnya sudah lenyap
disambar orang. Nasib, padahal di dalamnya ada surat-surat penting karena ia
baru melamar kerja di Jakarta. Oh ya, KGB tadi bukan organisasi intel Uni Sovyet
yang serem itu, tetapi singkatan Kereta Gaya Baru, itu ada di lagunya Elpamas.
Dan suasana di kereta itu agaknya tak kalah seramnya kalau lagi musim lebaran
begini. Agaknya para anggota grup band yang satu ini dulu kerap pula ikut-ikutan
menjadi superman.
Bagaimana
dengan saya sendiri? Agaknya saya ini tergolong kaum kadal (bukan superman) yang
cukup lincah berebut kursi. Apalagi tas saya cukup ringan saja. Dalam urusan
naik kereta ini saya memang tak terlalu berminat menjadi superman. Dan sewaktu
berebut naik salah satu kereta kemarin tangan saya tak sengaja sempat cukup
keras menyikut leher seseorang. Dan saya tak sempat melihat lagi siapa dia.
Semoga ia memaafkan saya....
Malang,
23 September 2010.