Oleh:
HelmiJuni @StPiningit
Gerakan
pembaharuan Islam yang banyak berpengaruh di Indonesia adalah dari Mesir, yaitu
yang dipelopori Muhammad Abduh. Memang ada juga pembaharu dari negara-negara
lainnya, tetapi pengaruh dari Mesir inilah yang sampai ke Indonesia karena orang
Indonesia pada umumnya pergi belajar ke Mesir atau daerah-daerah Timur Tengah
lainnya yang sudah terpengaruh oleh gerakan pembaharuan tersebut. Sayangnya,
pembaruan yang sampai di sini kebanyakan cuma pada bidang furu’ atau
fiqih semata, bukan pada bidang teologi. Padahal teologi inilah masalah yang
teramat penting untuk diperhatikan karena dapat berpengaruh secara langsung
kepada perubahan cara berpikir dan berkaitan erat dengan kemajuan atau
kemunduran suatu umat. Jadi, pembaharuan ini memang hanya baru pada kulit
luarnya saja, bukan pada intinya. Pada saat ini, pemikiran Muhammad Abduh pada
masalah teologi boleh dikatakan sudah hampir tidak punya pengikut lagi, berbeda
dengan muridnya Rashid Ridha. Juga dalam masalah politik, salah satu pemikiran
Rashid Ridha pun masih terbawa hingga sekarang, ke organisasi seperti Hizbut
Tahrir misalnya.
Gerakan
Ikhwanul Muslimin yang selama ini dianggap sebagai organisasi Islam modernis dan
banyak menginspirasi gerakan-gerakan serupa di dunia Islam, juga bukanlah
pengikut Abduh. Hassan Al-Banna, pendiri gerakan ini, adalah penganut madzhab
Hambali. Padahal, sebagaimana kita ketahui, madzhab Hambali itu pada zaman
Abbasiyah adalah musuh bebuyutan dari madzhab Mu’tazilah, mazhab yang didukung
Abduh. Jadi, Al-Banna dengan Ikhwanul Muslimin-nya itu memang bukan pengikut
Abduh, tetapi lebih tepat disebut sebagai pengikut Rashid Ridha. Dan gerakan ini
memang banyak persamaannya dengan paham Wahabi. Perbedaannya barangkali terutama
dalam dua hal saja, yaitu bila Ikhwanul Muslimin sangat anti Barat dan menentang
sistem monarki, maka kalau kaum Wahabi adalah sebaliknya. Dalam hal lainnya
tidaklah jauh berbeda, seperti keinginan kembali kepada Al-Quran dan hadits
misalnya. Kita tahu Arab Saudi juga telah lama menerapkan hukum Islam, suatu hal
yang selama ini diperjuangkan mati-matian oleh Ikhwanul
Muslimin.
Keadaan
di Indonesia juga sebenarnya tidak jauh berbeda, dan seperti disebutkan pada bab
pertama tadi, perbedaan antara kaum modernis dan tradisionalis hanyalah pada
masalah furu’ dan bukan masalah teologi. Furu’ ini adalah perincian dari ibadah
pokok seperti shalat, zakat dan sebagainya. Di Indonesia yang paling terkenal
misalnya adalah perselisihan dalam masalah qunut, ushalli, tata cara shalat
Jum’at dan tarawih atau semacamnya yang disebut kaum modernis sebagai bid’ah.
Perselisihan dalam soal furu ini sebenarnya bukanlah masalah yang terlalu
penting karena cuma meliputi soal tata cara ibadah.
Satu
hal lain yang juga sering diperselisihkan adaah soal pengeramatan kuburan,
wali-wali dan kiai. Satu hal yang masih berurat akar pada kaum tradisional. Bila
pengeramatan kuburan boleh dikatakan sebagai hal yang tidak begitu menganggu,
maka pengeramatan kepada tokoh yang masih hidup adalah hal sebaliknya sebab
manusia yang masih hidup tentunya masih punya kemampuan untuk mengeluarkan fatwa
dan pernyataan, baik soal politik atau agama. Kalau para tokoh yang dianggap
keramat dan bebas dari kesalahan tersebut selalu melakukan tindakan dan
mengeluarkan pernyataan yang benar tentunya tak ada masalah. Tetapi, bila ia
sampai melakukan tindakan dan pernyataan yang salah, maka kesalahan tersebut
tentu akan diikuti oleh umatnya. Lalu kesalahan tersebut akan dianggap sebagai
kebenaran sebab dilakukan oleh seorang yang dianggap maksum. Ini jelas adalah
suatu hal yang keliru. Karena itu, pengeramatan kepada manusia ini adalah suatu
hal yang mesti kita hindari. Para nabi yang merupakan manusia dengan derajat
paling tinggi saja pernah berbuat kesalahan, apalagi mereka yang derajatnya di
bawah nabi. Hanya saja kalau para nabi langsung diperingatkan oleh Allah dan
langsung mematuhi sedangkan kalau manusia biasa tentu hanya masyarakat biasa
pula yang bisa mengingatkannya.
Perbedaan-perbedaan
lainnya antara kaum modernis dan tradisionalis antara lain tentang masalah
tahlilan, dibaan, maulid nabi, beduk atau pun hal-hal semacamnya yang juga
dianggap oleh kaum modernis sebagai bid’ah. Bagaimana pun, hal-hal semacam itu
memang tidak diajarkan oleh Nabi. Jadi, memang bid’ah. Tetapi, dalam beberapa
hal, bid’ah ini mengandung kebaikan dan manfaat juga. Tahlilan misalnya, akan
bisa mempertemukan para kerabat yang mungkin jarang sekali bertemu karena
kesibukannya sehari-hari. Jadi, bisa merapatkan tali silaturahmi. Dibaan juga
punya sisi yang baik juga karena akan bisa mengumpulkan para tetangga dekat
untuk lebih saling mengenal satu sama lain. Tetapi, patut dicatat bahwa walaupun
memang bisa membawa manfaat, kegiatan-kegiatan tersebut tidak diajarkan oleh
Nabi. Jadi, hukumnya bisa dianggap mubah saja, bukan wajib.
Selama
ini memang ada dua titik ekstrim. Kaum modernis beranggapan bahwa yang tidak
diajarkan oleh Nabi adalah haram sedangkan kaum tradisionalis menganggapnya
sebagai wajib. Padahal hukumnya bisa dianggap mubah saja. Mengenai tahlilan,
yang saya maksudkan di sini adalah tahlilan yang 1 hingga 1000 hari dengan
disertai selamatan. Sedangkan yang tanpa selamatan atau tidak pada hitungan
hari-hari tersebut memang ada hadits yang menganjurkan sehingga memang merupakan
sunah Nabi. Jadi, hendaknya ini bisa dibedakan. Dan yang dimaksudkan sebagai
bid’ah oleh kaum modernis memang adalah yang diadakan pada 1 hingga 1000 hari
tersebut.
Tentu
saja, segala hal yang asalnya mubah bisa berubah hukumnya dalam kondisi-kondisi
tertentu. Bila para kerabat itu jarang sekali bertemu untuk bersilaturahmi, maka
tahlilan ini hukumnya bisa menjadi sunah. Tetapi, bila kita sedang tak ada uang
dan memaksakan diri untuk mengadakannya hingga sampai berhutang kiri kanan, maka
hukumnya bisa berubah menjadi makruh. Dan bila hutang tersebut lalu dikemplang,
maka hukumnya jelas menjadi haram. Ditagih hutang itu nanti di
akhirat.
Sedangkan
mengenai masalah beduk, sebenarnya beduk ini fungsinya seperti mikrofon pada
zaman sekarang. Supaya tanda waktu shalat terdengar oleh orang sekampung.
Tetapi, yang dilakukan kaum modernis adalah menggusur bid’ah beduk untuk
kemudian menggantinya dengan bid’ah mikrofon. Repot juga. Jadi, kita di sini
memang harus memandang beduk ini menurut fungsi dan kegunaannya pada zamannya.
Bukan langsung memvonisnya sebagai bid’ah. Tetapi, dalam hal ini ada yang perlu
diperhatikan, yaitu hendaknya penggunaan mikrofon tidak dilakukan secara
berlebih-lebihan, apalagi sewaktu malam hari, hingga mengganggu para tetangga
sebab menganggu tetangga hukumnya adalah haram. Mungkin akan ada yang beralasan
itu adalah sebagai syiar. Tetapi, harus disadari bahwa orang hanya akan tertarik
dengan syiar bila dilakukan dengan cara yang baik. Bila orang merasa terganggu,
maka itu bukan syiar, tetapi malah membuat orang lain membenci agama Islam.
Syiar yang kontra produktif.
Mengenai
masalah qunut, dari berbagai hadits yang ada saya pribadi mengambil kesimpulan
bahwa ini adalah hal yang juga sunah saja. Bukan haram dan bukan wajib. Jadi,
memang dianjurkan untuk membacanya, tetapi bila tidak tentu tidak berdosa. Nabi
sendiri tidak mesti membacanya setiap shalat Subuh, cuma kadang-kadang saja.
Dari segala perselisihan yang ada, sebenarnya sebagian besar hukumnya adalah
mubah atau sunah saja. Hal-hal yang tidak diajarkan oleh Nabi, tetapi tidak
mengandung keburukan, hukumnya adalah mubah saja. Jadi, kita hendaknya
menghindarkan diri dari dua titik ekstrim, yaitu menganggapnya sebagai haram
atau sebagai wajib. Itu keliru.
Sebenarnya,
tanpa mereka sadari, kaum modernis saat ini juga melakukan bid’ah dalam tata
cara shalat tarawih, yaitu mengenai pengadaan khotbah sebelum shalat dimulai.
Ini tidak diajarkan oleh Nabi, bahkan masih baru-baru saja diadakan. Jadi, ini
jelas bid’ah. Lalu kenapa orang modernis tak menganggapnya sebagai haram juga?
Jadi, bid’ah ini memang sebenarnya bermula dari suatu hal yang dirasakan perlu
atau menarik untuk dilaksanakan. Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu,
itu kemudian dianggap sebagai sesuatu yang wajib dan melekat dengan ajaran agama
itu sendiri. Padahal, tentu saja itu bukan ajaran agama.
Jadi,
yang harus kita lakukan memang adalah memandang berbagai bid’ah tersebut dari
segi fungsinya. Bila baik bisa tetap dilakukan, tetapi bila tidak baik tentu
saja harus ditinggalkan. Sebaiknya kita memang menghindari bersikap fanatik di
dua titik ekstrim hitam atau putih, seolah-olah hukum Islam itu cuma berisi dua
hal saja, yaitu haram atau wajib. Kan masih ada mubah dan sunah, ini yang sering
dilupakan dalam segala hal, bukan cuma hal-hal yang tersebut di atas
saja.
Yogyakarta,
6 Sept 2001