Monday, April 15, 2013

A Hundred Years Is Too Long I Reckon…

by : Helmi Junaidi



          
Menjelang keberangkatan pasukan Persia menuju Eropa untuk melakukan revanche atas kekalahannya dalam perang Marathon, dari kejauhan Sang Maharaja Xerxes mengawasi puluhan ribu pasukannya yang berkumpul di tepi selat Dardanela.      
     
And seeing all the Hellespont covered over with the ships and all the shores and the plains of Abidos full of men, then Xerxes pronounced himself a happy man, and after that he fell to weeping. Artabanus, his uncle, having observed that Xerxes wept, asked as follows:
-          O, king, how far different from one another are the things thou hast done now and short a while before now! for , having pronounced thyself a happy man, thou art now shedding tears.
+   Yea, for after I had reckoned up, it came to my mind to fell pity at the thought how brief was the whole life of man, seeing of this multitudes not one will be alive when a hundred years have gone by.

Sekitar lima tahun yang lalu (tahun 1995, hehehe... jadul abis ya)  ketika pulang ke Malang dan mengunjungi seorang teman lama, saya menceritakan kisah tersebut kepadanya. Ia sempat memprotes bahwa 100 tahun itu terlalu lama. Kemudian sambil tertawa kecil ia menunjuk ke arah jalan raya dan berkata, ”Berarti orang-orang yang sekarang pada bising serta berseliweran di jalan itu 100 tahun lagi sudah berhenti berseliweran lagi. Sudah anteng semua.” Kebetulan rumahnya terletak di pinggir Jl. Gajayana yang selalu ramai itu, dan sekarang mungkin sudah semakin ramai lagi. Ia nampak sedikit tertegun setelah itu, menyadari kenyataan yang sebenarnya sudah lama menjadi kenyataan.

Ya”, kata saya kemudian, “Termasuk juga bayi yang baru lahir tadi pagi, yang sekarang masih nangis owek-owek. Sudah pada ayem semuanya.” Dan ia kemudian tersenyum saja, mungkin sambil membayangkan “masa depannya”  sendiri. “Masa depan” anak cucu kita bersama semua harta tujuh turunannya.


Yogyakarta, 2000