Tuesday, April 16, 2013

Hilal Cuma Terbit Sekali Dalam Sebulan

 






Oleh : Helmi Junaidi 

Note: Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendukung mazhab mana saja, ormas apa saja. Hanya ingin supaya umat Islam bisa menganut metode yang lebih akurat dan sesuai dengan kaidah astronomi modern. Dengan metode yang akurasinya bisa lebih dipertanggungjawabkan, maka diharapkan tidak akan ada kekacauan penanggalan lagi. 

Perbedaan awal Syawal dan Ramadhan kerapkali terjadi. Padahal, hilal cuma terbit sekali sebulan, mustahil dua kali apalagi sampai tiga kali. Hilal memang tak pernah terbit dua kali, hari ini terbit besoknya terbit lagi. Mustahil. Kalau sampai terjadi begitu, maka itu adalah suatu keajaiban alam. Persis seperti juga matahari yang cuma terbit sekali sehari, mustahil terbit dua kali sehari. Akan menjadi perkara ajaib kalau matahari terbit dua kali sehari, pagi terbit lalu siangnya terbit lagi. Yang membuatnya sampai kacau begitu adalah jarak pandang mata manusia yang terbatas, juga teleskop yang ada saat ini yang masih belum bisa mengamati terbitnya hilal saat fasenya yang paling awal, katakanlah yang masih berusia 1 atau 2 jam.

Terbitnya hilal adalah soal ilmu alam yang tentunya termasuk ilmu eksakta sehingga tak ada dua jawaban benar. Hilal cuma terbit sekali sebulan. Tak lebih dan tak kurang. Yang membuat awal  Ramadhan dan Syawal bisa menjadi dua versi adalah karena yang satu pingin melihat hilal secara langsung, yang lainnya cukup dengan hisab saja. Yang menganut hisab menganggap bahwa bila konjungsi sudah terjadi, maka beberapa menit kemudian awal bulan baru telah dimulai. Hilal memang munculnya tepat setelah konjungsi matahari-bulan-bumi, dan konjungsi ini sebetulnya sudah bisa dihitung dengan sangat akurat kapan waktunya. Seperti menghitung konjungsi saat gerhana itu, kan juga sudah bisa ditentukan jauh jauh hari sebelumnya hingga sampai ke menit dan detiknya.

Saat terjadinya konjungsi matahari-bulan-bumi sebetulnya telah disepakati oleh semua pihak yang berseteru. Semua pihak sama hitungannya soal konjungsi ini. Perbedaan utamanya ya itu, yang satu pingin lihat hilal dengan mata telanjang, artinya hilal yang sudah besar dan berumur belasan jam, yang satu cukup "melihat" hilal bayi yang sudah muncul sesaat setelah konjungsi. Cukup dengan menghitung bahwa beberapa menit setelah konjungsi hilal telah muncul maka bulan baru lalu ditetapkan, walau memang hilalnya masih sangat kecil sehingga belum terlihat mata telanjang. Tapi, sudah muncul lho, bukan belum muncul, harap hal ini dipahami dan diberi garis bawah. Tapi ya itu ukurannya sangat kecil dan jaraknya yang jauh membuatnya tak terlihat mata manusia. Munculnya langsung tepat setelah konjungsi. Sementara itu, selisih antara waktu konjungsi dan penampakan hilal yang sudah sedikit gede dan bisa terlihat mata manusia adalah sekitar 17 s/d 23 jam. (Lihat point 2.4 di Moonsighting FAQ, untuk kritik atas kriteria rukyah yang diterapkan di Indonesia lihat point 10.1). Jadi, jarak antara konjungsi dan penampakan hilal yang sudah cukup terang itu sangat lama, bisa sehari penuh. Di bawah bilangan jam tersebut penampakan hilal masih tak jelas dan diragukan. Nah, di Indonesia cuma menggunakan batas 8 jam. Oleh karena itu, kemudian di sini digunakan istilah imkanur rukyat (mungkin rukyat). Masih mungkin, belum pasti alias tidak tentu. Aneh juga, kenapa ahli falak di sini menggunakan metode yang demikian padahal katanya ingin melihat hilal secara langsung. Bila ingin haqqul yakin nampak hilal ya 17 jam ke atas itu. Di bawah jam tersebut hilal sangat sulit terlihat. Kalau ada yang melihatnya boleh jadi adalah halusinasi semata atau kasus salah lihat, entah salah lihat pesawat, cahaya lampu, awan, Superman terbang atau pesawat UFO. Jadi, bukan moonsighting lagi namanya, tapi Superman sighting. :D

Selama ini ada sebagian orang yang berpendapat bahwa rukyah adalah satu-satunya cara yang sah untuk menentukan awal bulan. Betul, bila kita tinggal di jazirah Arab yang jarang hujan dan tak ada mendung tebal. Tapi, kita tinggal di Indonesia yang termasuk kategori wilayah hutan hujan tropis. Langit Indonesia sering tertutup mendung tebal dan hujan lebat hingga berhari-hari. Matahari bulat yang tengah bersinar terik saja bisa tak nampak, apalagi hilal yang baru muncul cuma secuil. Dalam cuaca seperti itu, walau hilal sudah naik tepat di atas kepala pun takkan bisa nampak hingga berhari-hari. Padahal, bisa jadi hari itu hilal sudah naik tinggi dan terlihat dengan jelas di negara-negara lain yang langitnya tidak terhalang hujan dan mendung. Malah bukan saja bisa terlihat di negara lain, tetapi bisa juga terlihat di wilayah negara kita yang langitnya sedang cerah. Tiap kota kan memang bisa berbeda-beda suasana cuacanya. Cuaca di Surabaya bisa beda dengan Malang, Malang beda dengan Semarang, Semarang beda dengan Jakarta, dan seterusnya. Ruwet. Apa mereka yang kota-kotanya sedang tertutup mendung lantas tetap nekat mau menggenapkan hingga 30 hari dan melakukan rukyah sendiri esok harinya, yang belum tentu juga hilal bisa kelihatan? Wah… sudah telaaat. Keburu kehabisan kue lebaran. :D

Demikian pula di Eropa dan Amerika apabila Ramadan dan Syawal jatuh bertepatan dengan musim dingin dimana cuaca mendung dan hujan salju turun hingga berhari-hari. Apakah hilal bisa nampak dalam kondisi cuaca semacam itu? Tentu saja tidak. Umat Islam di Eropa dan Amerika memang minoritas, cuma antara 1-4 % saja, tapi walau minoritas jumlahnya di Eropa Barat saja mencapai jutaan, sekitar 15 juta. Masih ditambah belasan juta lagi umat Islam di Eropa Timur dimana mereka sudah berabad-abad menetap di sana. Total lebih banyak dari jumlah umat Islam di Arab Saudi atau Palestina! Dan tentu mustahil kita mengabaikan mereka begitu saja dalam masalah ini.

Kalau dulu umat Islam cuma tinggal di satu kota saja, cuma di Madinah, sekarang tersebar di ratusan negara dan ribuan kota. Cuaca di tiap negara dan tempat bisa sangat jauh berbeda-beda. Dengan demikian hasil rukyah tiap kota dan negara tentunya bisa berbeda-beda pula. Jadi, bila tetap menggunakan rukyah sebagai penentu utama awal bulan, maka takkan pernah ada persatuan kalender di dunia Islam. Bahkan di dunia Islam tanggal 1 Ramadhan kadang bisa jatuh pada 4 hari yang berbeda!! Luar biasa ajaibnya.

Muslims around the world started Ramadan 2005 on four solar days/dates (instead of one lunar day/date).
1.   Monday: Nigeria (some Sunday also)
2.   Tuesday: Saudi Arabia, Egypt (Most of Middle East, and followers of Saudi dates)
3.   Wednesday: Australia, Indonesia, Malaysia, Brunei, Turkey, Africa, Europe and Americas
4.   Thursday: Bangladesh, India, Pakistan, Central Asia
This is not the first time it has happened. We at the CFCO have been witnessing this mess for more than thirty years, especially after the communication revolution. (Why are Muslim Dates in a Mess?)

Bisa sampai ada 4 hari awal Ramadhan, padahal, Jakarta - Mekah cuma selisih 4 jam, tak sampai setengah hari. Mekah - Maroko di ujung Barat malah cuma  selisih 3 jam. Total cuma 7 jam saja selisih dunia Islam dari Timur ke Barat, tak ada setengah hari juga.

Penyebab utama kekacauan di atas ya itu, karena banyak orang tetap demen pingin melihat hilal langsung dengan mata telanjang atau teleskop (yang dulu sempat dianggap bid'ah juga oleh sebagian kalangan). Padahal, hilal yang sudah sedikit terang dan bisa dilihat mata telanjang itu tidak tentu kapan munculnya. Pas sudah muncul tinggi pun belum tentu pula bisa kelihatan karena tertutup mendung. Walhasil, nasib awal bulan pun menjadi tidak tentu juga. Apalagi sekarang ini banyak polusi, langit tidak secerah dulu lagi, sehingga perkaranya makin bertambah rumit. Belum lagi sekarang banyak obyek buatan manusia yang berseliweran di langit dan angkasa. Akibatnya, orang seringkali ketipu salah lihat obyek-obyek angkasa yang lain. Ada UFO lewat disangka hilal, Superman terbang disangka hilal. :D :D Belum lagi kalau burung perkutut tetanggga tiba-tiba lepas dan ikut terbang. Bisa-bisa disangka hilal juga. Lha iya, seringkali hilal masih berada di derajat yang mustahil kelihatan kok lalu ada laporan orang melihat hilal. Kan mustahil, kecuali kalau itu pesawat UFO atau Superman yang sedang lewat. Nah, bisa jadi UFO lewat itulah yang lalu dijadikan penentu awal bulan baru.

Menjadi kacau begitu karena tak mau menganut hasil hisab ilmu astronomi yang sekarang perhitungannya sudah bisa sangat akurat bahkan sampai hitungan menit dan detik. Akan kacau selalu karena rukyah tak pernah bisa menentukan dengan pasti kapan tibanya bulan baru. Persatuan kalender di dunia Islam mustahil dilakukan dengan metode rukyah karena sifat rukyah yang tak tentu tersebut. Hilal nampak di sini, hilang disana. Hilang disono, eh mejeng di situ. Mendung tebal di sana, cerah di situ. Hujan salju tebal menggigil di sini, cerah terang benderang sampai kepanasan disitu. Ruwet. Persatuan kalender di dunia Islam hanya bisa dilakukan dengan menganut metode hisab yang perhitungannya telah bisa ditetapkan akurasinya hingga sampai ke tingkat menit dan detik. Mustahil dengan rukyah. Walau rukyah sana sini sampai beleken :D hasilnya dijamin akan tetap kacau balau juga, takkan pernah bisa bersatu karena kondisi cuaca dan geografis bumi yang sangat jauh berbeda-beda. Benar demikian, bukan? Cuma akan dapat beleknya saja, persatuan kalender takkan pernah didapat. 

Bagaimana kalau menggunakan imkanur rukyah, apakah persatuan kalender bisa didapat? Kan sudah disebutkan di atas bahwa itu artinya mungkin bisa dirukyah. Masih mungkin dan tidak tentu sehingga tetap membuka peluang bagi kasus-kasus salah lihat. Apalagi patokan jam dan derajatnya terlalu rendah.

Nah, itu baru menyangkut masalah ibadah. Sudah sangat ruwet. Bagaimana pula bila tahun Hijriah ditetapkan sebagai kalender resmi pemerintahan dan memakai sistem rukyah? Makin ruwet. Tertulis 1 Muharam hari libur, eh tiba-tiba saja hilal tak kelihatan dan libur pun diundur sehari. Diumumkan ada rapat di kantor tanggal 2 hari Rabu, lho tiba-tiba saja hari Rabu berubah menjadi tanggal satu. Kapan rapatnya? Atau ada pemudik yang sudah pesan tiket kereta dan pesawat tanggal 30 Ramadhan, tertulis di tiketnya tanggal segitu, tiba-tiba saja diumumkan di televisi lewat sidang itsbat bahwa hilal sudah kelihatan dan Ramadhan cuma berumur 29 hari. Langit yang semula mendung tebal tiba-tiba menjadi cerah. Bersamaan dengan menghilangnya mendung, maka turut menghilang pula tanggal 30 dari kalender, lenyap entah ke mana. Oh, dasar nasib, tak jadi mudik deh. Tiket hangus. Gigit jari tak bisa pulang kampung. Akan kacau balau bila sistem rukyah diterapkan juga untuk perhitungan kalender pemerintahan zaman modern. Bagaimana kalau pengusaha membayar gaji pegawainya tiap tanggal 30 saja. Enak kan, bisa hilang tiba-tiba lho tanggalnya dan gaji pegawai bisa dibuat hangus saja. :D

Itu baru bila rukyah diterapkan di pemerintahan satu negara saja. Bagaimana pula bila rukyah diterapkan di kalender resmi pemerintahan di seluruh dunia Islam? Bisa ada 4 hari yang berbeda untuk tanggal yang sama! Rapat-rapat penting antar negara bisa sering kacau balau tak menentu karena tanggal bisa dimajumundurkan tak tentu juga, mesti menunggu hasil rukyah munculnya hilal yang tak pernah tentu kapan. Misalnya Menlu Saudi dan Pakistan mau meeting dengan Menlu Indonesia di Jakarta. Ditentukan pertemuan tanggal 9 Rajab. Eh, di Saudi 9 Rajab hari Sabtu sedang di Indonesia hari Minggu. Saat Menlu Saudi tiba di Jakarta kantor sudah libur dan Menlu Indonesia sedang mendengkur di rumah. Menlu Pakistan malah sedang pergi mancing dan belum berangkat karena 9 Rajab di sana baru tiba hari Senin. Kapan ketemunya?? Atau misalnya KTT OKI ditentukan tanggal 1 Dzullhijjah. Bila mendung hilang dan hilal muncul konferensi dibuka, langit ketutup mendung konferensi dibatalkan, ditunda besok. Cape deh. Ringkasnya, metode rukyah sudah tidak kompatibel untuk kehidupan manusia zaman modern. Sudah usang.

Andai saja Nabi Muhammad tiba-tiba hadir menjenguk umatnya pada zaman sekarang yang sudah tersebar luas di seluruh penjuru bumi dan melihat kekacaubalauan kalender umat Islam, maka Nabi pasti akan segera memerintahkan penyatuan kalender dengan memakai metode yang lebih modern dan sudah bisa dijamin keakuratannya. Mustahil Nabi akan memerintahkan memakai metode yang kacau balau. Sekali lagi mustahil. Nabi Muhammad adalah seorang yang cerdas dan sangat terbuka kepada ilmu pengetahuan.

Apalagi Khalifah Umar, bila saja beliau melihat kekacaubalauan sistem kalender yang diciptakannya, maka pasti khalifah akan segera mengobrak-abrik biang kekacauan tersebut dan memerintahkan memakai  sistem yang lebih akurat sehingga tidak akan terjadi kekacauan lagi. Anda tahu riwayat shalat tarawih berjamah? Itu karena Khalifah Umar melihat kekacauan yang terjadi saat shalat tarawih yang saat itu dilakukan sendiri-sendiri, tidak berjamaah. Ada yang sedang takbiratul ihram, ada yang sedang rukuk, sedang sujud dsb. Terlihat kacau dan berantakan. Maka oleh khalifah kemudian diperintahkan untuk shalat tarawih berjamaah. Jamaah shalat tarawih pun kemudian takbir bersama, rukuk bersama, sujud bersama, salam bersama. Rapi dan tertib. Oleh karena itu, setelah melihatnya khalifah Umar kemudian mengatakan, "Inilah sebaik-baiknya bid'ah". Karena hal yang semula terlihat kacau balau kemudian menjadi teratur, tertib, rapi dan indah dipandang.

Dengan umat yang sudah tersebar luas di segala penjuru bumi dan dengan kondisi alam dan geografis yang sangat jauh berbeda-beda, maka kita seharusnya bisa melakukan ijtihad. Allah tak hanya menganugerahi umatnya mata untuk merukyah, tapi juga akal untuk melakukan ijtihad bila memang diperlukan demi kemashlahatan umat. Menghindari kekacauan penanggalan yang ada selama ini. Bagaimana kita bisa membanggakan penanggalan Hijrah di atas penanggalan yang lain kalau faktanya kacau balau terus begitu?

Anda tahu, kita selama ini juga tak pernah melakukan rukyah matahari untuk menentukan waktu shalat, padahal bukankah sunah Rasulullah harus begitu? Apakah Nabi Muhammad dulu melirik jam tembok atau menghitung (hisab) peredaran matahari sebelum melakukan shalat? No. Never. Langsung melihat matahari. Lihat ayat berikut.

“Dirikanlah solat ketika gelincir matahari hingga waktu gelap malam dan dirikanlah solat subuh sesungguhnya solat subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)”. (Q.S. Al-Isra’: 78)

Tidak ada satu pun ayat atau hadits yang menyatakan “dirikanlah shalat ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul sekian dan sekian” atau “dirikanlah shalat setelah menengok lembaran hisab jadwal waktu shalat yang nempel di tembok masjid”. Tak ada sama sekali perintah semacam itu. Apalagi mendirikan shalat setelah menengok hp. :D Wajib rukyah matahari kalau menurut ayat di atas.

Saya juga membaca artikel dari kalangan salaf yang berdalih mengharamkan hisab hilal tapi membolehkan hisab jadwal shalat dengan alasan itu untuk konfirmasi waktu shalat. Oke, silakan saja berpendapat demikian, tetapi itu tidak menghilangkan fakta bahwa hisab jadwal shalat tidak pernah diperintahkan oleh Nabi, dan bahwa Nabi Muhammad rukyah matahari langsung lima kali sehari. Nabi tidak pernah memerintahkan membuat lembaran hisab jadwal shalat. Kenapa tetap dibuat dan dipakai juga? Bid'ah itu. Kenapa pula pihak-pihak yang menyatakan rukyah sebagai satu-satunya asas untuk menentukan awal Ramadhan dan awal Syawal tidak melakukan rukyah matahari juga sebelum melakukan shalat? Itu kan tidak konsekuen dan mau enaknya saja. Kalau rukyah hilal yang cuma sebulan sekali dan mudah diilaksanakan mau, tapi kalau rukyah matahari lima kali sehari dan dipandang merepotkan tidak mau. Nabi Muhammad memang selalu rukyah matahari tiap mau shalat, tidak pernah menengok jadwal  shalat hasil hisab dan tidak pernah pula memerintahkan membuatnya. Ringkasnya lembaran jadwal shalat itu adalah bid'ah dan mengingkari syariat bila mereka memang mau murni melaksanakan ajaran salaf. Lihat juga keterangan di bawah.

Pada zaman Rasulullah waktu shalat ditentukan berdasarkan observasi terhadap gejala alam dengan melihat langsung matahari. Lalu berkembang dengan dibuatnya jam surya atau jam matahari serta jam istiwa’ atau sering  disebut tongkat istiwa’ dengan kaidah bayangan matahari.  (Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) Menentukan Waktu Shalat)

Jadi, Nabi dulu memang melakukan rukyah matahari tiap sebelum melakukan shalat. Tidak pernah ada perintah agama untuk hisab membuat jadwal shalat. Jadi, jelas bid'ah itu saudara. Yang tetap mengatakan rukyah sebagai satu-satunya asas untuk menentukan awal Syawal dan Ramadhan monggo mereka rukyah matahari juga tiap mau shalat. Harus konsekuen dong. 

Mereka yang menyatakan rukyat sebagai satu-satunya cara yang sah berpegang kepada hadits berikut:

Berpuasalah kalian jika melihat hilal, dan berbukalah kalian jika melihat hilal. dan jika (penglihatan kalian) terhalang oleh mendung, maka genapkanlah (sempurnakanlah) bilangan bulan  Sya’ban itu tiga puluh hari” (HR. Bukhari melalui  Abu Hurairah)

Tapi, perlu kita ketahui bahwa ada juga hadits lainnya yang menyatakan:

Sesungguhnya kita adalah ummat yang ummi (buta huruf), tidak dapat menulis dan berhitung, maka shaumlah kalian jika melihat bulan dan berbukalah kalian karena melihat bulan. (Shahih Bukhari jilid IV hal. 108, Muslim no. 1080).

Nah, apakah umat Islam sekarang masih tetap buta huruf seperti zaman dulu? Tentu saja tidak. Berdasarkan hadits di atas sebagian ulama menyatakan bahwa illat (penyebab) dari perintah rukyah secara langsung itu karena umat Islam pada masa itu rata-rata tidak bisa baca tulis dan ilmu berhitung (hisab). Sekarang sudah bisa. Bukan hanya bisa, tapi bahkan sudah amat sangat maju sehingga akurasi hisab bisa sampai tingkat menit dan detik. Sebagai contoh, saat ini gerhana matahari dan gerhana bulan sudah bisa ditentukan kapan tibanya jauh-jauh hari sebelumnya, sudah bisa tahu tanggal berapa, hari apa, jam, menit dan detik berapa. Bisa dilihat antara lain di sini Lunar Eclipses 2013. UT itu singkatan dari Universal Time, nama baru GMT. Any other questions? Monggo pergi ke website moonsighting ini saja, ada QA tentang moonsighting (rukyah) yang cukup lengkap dan jelas. Ada dua point cukup penting yang saya kutip di bawah.

Question: Some refute the astronomical calculations regarding the 'hilal' with the following argument: "The motion of the moon is different from the motion of other planets. The journey of the later can be determined precisely, while the journey of the moon is affected by many changing factors, which leave its marks on its motion, whereby it lessens the degree of certainty in describing its journey." What are your comments regarding this?
Answer: The motion of the planets and the moon can be calculated with accuracy. That's why eclipses are calculated so accurately to the minutes and seconds.

Question: Some argue that the predictions of astronomers in many astronomical phenomena are not precise. Therefore, how can we take their words regarding the 'hilal'? Are there any differences between these astronomical phenomena?
Answer: Prediction by astronomers are based on each individual study and research and they are different. Do not take their words. Always judge their words by observations. However, new moon birth can be calculated precisely.


Bila saja umat Islam bisa sepakat bulan baru dimulai menurut perhitungan ilmu astronomi yang sudah bisa ditentukan dengan sangat akurat ini, maka akan segera lenyap pertunjukkan sulap rutin tiap tahun, hilal secara ajaib terbit hingga dua kali. Bahkan di seluruh dunia Islam bisa terbit empat kali. Tentu bulan baru tidak dimulai pada saat matahari-bulan-bumi masih persis berada dalam garis lurus dan gelap sama sekali. Beberapa menit setelah konjungsi, maka bulan baru betulan sudah muncul karena posisi matahari-bulan-bumi sudah bergeser. Berapa derajat pun itu, dan lewat berapa menit pun itu, bulan baru telah dimulai walau mata telanjang manusia tidak bisa melihatnya. Tapi, secara astronomis bulan baru telah dimulai. Untuk lebih jelasnya bisa kita bandingkan dengan peristiwa gerhana. Gelap sama sekali untuk beberapa menit, lalu beberapa menit kemudian secara pelan-pelan mulai muncul kembali. Tidak perlu selang 17 jam apalagi sampai selang sehari penuh 24 jam.

Ilmu perbintangan sekarang memang sudah sangat maju. Manusia saat ini bukan cuma bisa merukyah (melihat) bulan dari jauh, tapi malah sudah sering pergi jalan-jalan ke bulan dan bolak-balik ke luar angkasa sampai angkasa kita dipenuhi ribuan sampah puing-puing satelit. Sudah sangat maju dengan ketepatan akurasi yang tinggi. Oleh karena itu, kita sekarang juga sudah menggunakan jam dinding dan hisab waktu shalat yang ada di dinding masjid. Tidak lagi harus rukyah matahari lima kali sehari. Ataukah ada di antara Anda yang tiap mau shalat masih begitu? :D Weuuww… -_- Benar-benar manusia ajaib kalau memang masih ada.

Coba bandingkan hadits tentang rukyat hilal di atas dengan hadits di bawah. Hadits yang tentu sudah Anda ketahui semuanya karena cukup terkenal.

        Ajarkanlah anak-anakmu memanah, berenang dan menunggang kuda. (HR. Ahmad).

Apakah Anda ada yang hingga sekarang mengajari anaknya menunggang kuda? Tak ada. Malah mengajarinya menunggang sepeda motor atau  mobil. Apakah lalu dengan demikian Anda menyalahi syariat Islam dan perintah Rasulullah yang tersebut pada hadits di atas? Pikir saja sendiri. Sekarang juga tak ada lagi latihan memanah di militer, tapi tentu saja latihan menembak dengan senapan mesin. Bahkan pasukan Taliban, kaum yang paling ekstrimis harfiahnya di dalam menafsirkan ayat dan hadits juga tak ada lagi yang latihan memanah. Mereka juga menunggang tank, bukan kuda. Pernah melihat pasukan Taliban pergi berperang membawa busur dan anak panah? :D Wah, pasukan Amerika akan kegirangan sekali. Cukup sehari perang sudah kelar. Dan terus terang saja, kalau menurut saya pribadi, bila pada zaman sekarang ini orang tetap melakukan rukyah bulan untuk menentukan penanggalan adalah bagaikan tetap menggunakan anak panah untuk pergi berperang. Toh, kita juga sudah semenjak lama tak pernah melakukan rukyah matahari tiap mau shalat. Sekarang sudah berganti zaman bapak-bapak dan ibu-ibu, kalau mau menang berperang bawalah senapan mesin saja. Jangan bawa busur dan anak panah, apalagi cuma bawa ketapel seperti zaman Nabi Daud. :D Satu hal pada hadits di atas yang masih tetap perlu dilakukan hingga zaman sekarang hanyalah latihan berenang.

Jadi, kita memang tak bisa menafsirkan secara harfiah begitu saja di dalam memahami suatu hadits atau ayat al-Quran. Perlu ditafsirkan sesuai dengan konteks zaman juga. Tapi, tentu saja dengan tetap berhati-hati, tidak dengan ngawur semau gue seperti orang-orang liberal itu. Andai saja Nabi Muhammad menjenguk umatnya pada zaman sekarang dan melihat kemajuan teknologi yang ada, maka sudah tentu Nabi akan menganjurkan umatnya belajar menunggang sepeda motor dan mobil saja, tidak lagi menganjurkan menunggang kuda. Yakin akan menganjurkan begitu. Yakin bin haqqul yaqiiien.

Lantas apakah kita harus berhenti melakukan rukyah untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal? Tidak demikian. Saya bukan orang yang fanatik terhadap suatu mazhab tertentu, baik mazhab hisab maupun mazhab rukyah. Kalau saya cenderung mengombinasikan dua metode tersebut. Ini bila mengingat masih banyak orang yang belum bisa meninggalkan rukyah secara langsung. Jadi, bisa tetap menggunakan rukyah bila kondisi alam memungkinkan, tapi bila kondisi alam dan jarak pandang mata manusia tidak memungkinkan ya kita gunakan saja hisab. Kita tetap perlu melakukan rukyah untuk konfirmasi, tetapi bila konfirmasi tersebut mustahil untuk dilakukan karena kondisi alam yang tidak memungkinkan, hilal tak bisa kelihatan karena tertutup mendung atau ketinggiannya masih rendah, maka penentuan akhirnya kita gunakan hisab saja. Dengan ilmu hisab yang dianugerahkan Allah kepada umatnya, maka "rukyah" saat ini sudah bisa menembus gelapnya mendung dan derasnya hujan. Dan tentu saja sudah bisa menembus gelap pekatnya luar angkasa sehingga manusia bisa "rukyat" hilal baru yang masih berusia beberapa menit saja. Rukyat bil-ilmi itu namanya, rukyat dengan ilmu, yakni ilmu hisab.  Manfaatkanlah nikmat ilmu yang telah dianugerahkan Allah tersebut, jangan disia-siakan. Sudah belajar sampai pintar lalu tidak mau memanfaatkan ilmunya, lha lalu buat apa capek-capek belajar? Sudah ada sepeda motor lalu kenapa pula masih ngeyel pingin nunggang kuda? Cape deh.

Kalau memang inginnya rukyah hilal dengan mata telanjang ya sudah tak perlu belajar astronomi segala. Buat apa? Capek-capek belajar toh akhirnya tak kepakai juga. Percuma buang waktu dan duit. Akhirnya yang kepakai toh mata telanjang juga, bukan ilmu hasil belajar astronomi.

Perlu kita pahami bahwa entah itu hilal sudah tinggi (bisa terlihat) atau masih rendah (tak terlihat mata telanjang), maka itu artinya bulan sudah berganti. Bukan lantaran manusia tak bisa melihatnya dengan mata telanjang lalu artinya bulan belum berganti. Bulan sudah berganti, sudah tiba 1 Syawal atau 1 Ramadhan, tapi mata manusia saja yang tidak bisa melihatnya. Harap hal ini bisa kita pahami. Tuhan Yang Maha Melihat dan Maha Mengetahui, yang memerintahkan umatnya untuk berpuasa Ramadhan dan berhari raya Idul Fitri, tentu saja sudah tahu kalau bulan telah berganti. Analoginya, walau matahari tak kelihatan karena tertutup mendung, tetapi kalau jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.30 sore, itu artinya waktu maghrib sudah lewat. Bukan lantaran kita tak bisa melihat langsung tenggelamnya matahari lalu kita bilang maghrib belum tiba dan kemudian kita melakukan shalat maghrib jam 12.00 malam. :D

Kita tahu bahwa walau cuma lebih semenit pun, hari sudah dihitung berganti dari tanggal 1 ke tanggal 2, tanggal 2 ke tanggal 3 dan seterusnya.  Misalnya pukul 12.01 malam, itu artinya sudah berganti dari hari Senin ke Selasa, atau hari Selasa ke Rabu dan seterusnya. Ini hal yang bersifat mutlak, tak bisa ditawar. Waktu tak bisa dimaju-mundurkan semau gue, kecuali kalau orang sudah bisa menemukan mesin waktu. Walau cuma lebih satu menit, bahkan lebih satu detik pun, memang sudah dihitung berganti hari. Apalagi bila sudah lebih beberapa jam. Demikian pula halnya hilal. Bila dihitung menurut pandangan ilmu astronomi, walau hilal cuma masih muncul sedikit derajat pun itu artinya ketika maghrib bulan Hijriah sudah berganti. Sudah tiba bulan baru. Pergantian tanggal Hijriah memang terjadi saat magrib, bukan tengah malam.  Bagaimana kalau dihitung menurut pandangan "ilmu astrologi"? Wah, ya akan tetap seperti selama ini. Sampai kiamat pun akan tetap ruwet saja. Nah, sekarang Anda sekalian tinggal pilih mana, mau ikut ilmu astronomi yang bisa lebih jelas dan ada kepastian atau ikut "astrologi" yang tetap akan ruwet selalu.

Apakah  hisab itu bid'ah karena tidak pernah diperintahkan oleh Nabi Muhammad? Lha, kalender Hijrah itu juga bid'ah, kok. Nabi Muhammad tidak pernah memerintahkan membuat kalender Hijrah, tetapi memakai penanggalan sama yang dipakai oleh orang Arab Quraisy. Kalender Hijrah itu bid'ah yang dibuat oleh Khalifah Umar bin Khathab, tapi sebetulnya terutama untuk keperluan administratif pemerintahan, bukan untuk keperluan keagamaan. Abu Musa Al-Asyári salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Karena itu kemudian khalifah mengumpulkan beberapa sahabat untuk berembuk membuat kalender Hijrah. Jadi, bila ada yang bilang hisab itu bid'ah, melanggar syariat Islam dan sunah Rasulullah, monggo berhenti memakai kalender Hijrah yang ternyata bid'ah juga. Hehehe...

Tentu saja, jangan ada yang menyangka saya mendukung salah satu pihak dalam hal ini. Kan sudah saya bilang di atas saya menganjurkan kombinasi rukyah dan hilal, tetap menggunakan keduanya sesuai dengan kondisi alam yang ada. Saya memang bukan tipikal orang yang sektarian, karena walaupun mendukung hisab saya juga suka pergi tahlilan kok. Saya di sini memang tidak bermaksud mendukung mazhab mana-mana, karena saya memang tidak pernah fanatik kepada sesuatu mazhab tertentu seperti sebagian orang. Bila pun saya di sini  lebih cenderung ke hisab, itu karena hisab memang sangat akurat dan bisa lebih menjamin adanya kepastian awal bulan ketimbang rukyah hilal yang tak pernah tentu kapan munculnya, bahkan sering kejadian salah lihat. Ruwet selalu sehingga menimbulkan kebingungan di kalangan umat. Bila Anda mau menyempatkan diri membaca komentar-komentar masyarakat yang ada di bawah artikel atau berita yang membahas soal ini, umumnya masyarakat juga menghendaki adanya kejelasan. Tidak selalu dibuat bingung saja.

Bila pun ternyata masih banyak orang yang ingin tetap melihat hilal dengan mata telanjang atau teleskop, ya jalan tengahnya kita buat satu patokan yang nanti diharapkan bisa  dianut semua umat Islam, yakni awal bulan baru kita patok minimal 18 jam setelah terjadinya konjungsi. Dan ini tentu melibatkan ilmu hisab juga karena konjungsi mustahil dilihat mata manusia, kecuali kalau pas gerhana. Pada saat minimal 18 jam setelah konjungsi kita tentukan bahwa saat maghrib tanggal 1 telah tiba. Setelah 18 jam kemungkinan besar hilal memang sudah bisa nampak di sebagian besar wilayah dunia. Memang kadang baru kelihatan lebih dari 18 jam, tapi cukup kita patok segitu saja karena bila kita patok sampai lebih dari itu akan bisa sering tabrakan dengan tanggal 2. Kalau patokan 8 jam yang dipakai sekarang di Indonesia tidak menjamin hilal kelihatan. Tetap berpotensi menimbulkan kebingungan.

Bila mau memakai jalan tengah tersebut, yakni dipatok tepat minimal 18 jam setelah konjungsi, maka tanggal 1 bisa ditentukan dengan pasti karena memakai pedoman awal hasil hitungan hisab yang akurat, yaitu saat konjungsi terjadi. Mereka yang ingin melihat hilal secara langsung dengan mata telanjang juga bisa dipenuhi karena saat itu hilal kemungkinan besar telah muncul tanpa terlalu banyak spekulasi lagi. Bila ada yang mengaku melihat hilal di bawah jam itu bisa diabaikan saja karena berpotensi menimbulkan kekacauan lagi. Apalagi yang dilihatnya itu kemungkinan besar bukan hilal, tapi kasus salah lihat lagi.

Terus terang, bagaimana pun sebenarnya saya lebih cenderung memakai hasil astronomi murni bahwa sesaat setelah konjungsi terjadi, maka awal bulan baru telah dimulai karena memang begitulah yang benar bila ditinjau dari sudut ilmu astronomi. Bulan sabit akhir bulan perlahan lenyap, lalu bulan lenyap gelap sama sekali, lalu bulan sabit awal bulan muncul pelan-pelan lagi sangat kecil sehingga tak bisa kelihatan mata manusia, hingga lalu perlahan makin membesar kelihatan terang dan bisa terlihat mata manusia. Begitu. Bulan sabit memang tidak muncul langsung yang besar, tapi ada fase bayinya dulu. Jadi, tepat setelah konjungsi hilal sebenarnya telah terbit, sudah ada, tapi mata manusia saja yang tidak bisa melihatnya karena terlalu kecil. Akan tetapi, karena masih banyak orang yang tetap ingin melihat bulan sabit yang telah muncul agak besar sebagai pedoman awal bulan, bukan bulan sabit fase awal yang masih kecil, ya kita ambil jalan tengahnya saja. Tapi, seperti telah disebutkan di atas, munculnya bulan sabit yang telah agak besar dan bisa terlihat mata manusia itu selisihnya dari konjungsi sangat lama, yaitu antara 17 s/d 24 jam.

Lantas bagaimana kalau umat Islam tidak mau dengan patokan satu penanggalan yang standar dan tetap terus ada perbedaan? Ya mau apa lagi, kita harus bertoleransi walau bertoleransi kepada “keajaiban alam”. Terpaksa. Mau bagaimana lagi? Umat Islam agaknya memang masih belum bisa akur dalam penentuan terbitnya hilal. Akibatnya, yang sering terjadi adalah pertunjukkan sulap rutin tiap awal Ramadhan dan Syawal. Sim salabim, hilal secara ajaib terbit hingga dua kali. Dan di seluruh dunia Islam bahkan hilal bisa terbit sampai empat kali. Luar biasa ajaibnya. Akan tetapi, yang jelas alam cuma menerbitkan hilal sekali sebulan. Yang menjadi masalah memang manusianya, bukan hilalnya. 


Kiranya perbedaan ini baru bisa lenyap tanpa kontroversi bila di masa depan telah diciptakan super-teleskop yang bisa mengamati fase bulan sabit bayi yang saat ini masih belum bisa nampak baik dengan mata telanjang maupun teleskop biasa yang ada saat ini. Tapi, saya yakin entah berapa tahun lagi pun itu, pasti manusia akan bisa menciptakannya. Kemajuan teknologi manusia bisa mencapai hal-hal yang sebelumnya sama sekali tak terpikirkan dan terbayangkan oleh kita.  Tapi, toh itu juga artinya pada akhirnya nanti kita memakai pedoman awal bulan pada hilal bayi yang tepat muncul setelah konjungsi. Betul, bukan? Kalau sekarang sudah bisa dilakukan walau hanya memakai ilmu hisab (rukyah bil-ilmi), kenapa tidak sekarang saja kita lakukan? Dengan demikian persatuan kalender umat Islam bisa segera terwujud tanpa menunggu banyak waktu lagi.


Baca juga:


28 Desember 2013




Kapan Jatuhnya Ramadhan dan Syawal 1433 H/ 2012 M?

Posted on by vandalismeintelektual

Sehubungan dengan semakin dekatnya Ramadhan dan Syawal 1433 H, dan karena banyak sekali pertanyaan seputar kapan mulainya awal bulan-bulan tersebut, saya memutuskan untuk menyampaikan ulasan mengenai kemungkinan awal bulan Ramadhan dan Syawal 1433 H/ 2012 M.

Sebelumnya, saya ingin menyampaikan bahwa kemungkinan besar, saya ulangi lagi, kemungkinan besar awal Ramadhan 1433 H bagi kaum muslimin khususnya di Indonesia akan terbagi menjadi dua. Hal ini sebenarnya sudah dimaklumi oleh hampir semua orang. Tapi, kali ini perbedaan pendapat tersebut dirasa akan sangat sulit diicari titik temunya. Akar dari perbedaan pendapat tersebut terutama disebabkan oleh adanya perbedaan kriteria penentuan awal bulan di kalangan umat Islam itu sendiri. Namun, di sini saya lebih fokus pada penjelasan mengenai aspek empiris mengenai visibilitas hilal yang terjadi pada saat awal Ramadhan dan awal Syawal. Jangan berharap bahwa saya akan memberikan informasi/fatwa kapan pastinya awal Ramadhan dan Syawal karena saya tidak berhak memutuskannya. Baiklah, saya akan menjelaskannya untuk masing-masing bulan. Namun, sebelumnya saya ingin memberikan penjelasan awal mengenai tanda-tanda umum pergantian bulan dalam kalender hijriyah agar pembaca memahami konteksnya.

Kaidah Umum Penentuan Awal Bulan Hijriyah

Dalam penentuan awal bulan hijriyah, ada beberapa tanda yang harus diperhatikan. Berikut ini beberapa kaidah dan kriteria yang umum digunakan dalam menetapkan awal bulan hijriyah (ijtima’ qoblal ghurub/ konjungsi sebelum tenggelamnya Matahari). Penjelasan di sini akan disampaikan secara sederhana dan tidak detail demi mempermudah pemahaman pembaca.

1. Konjungsi (Ijtima’) adalah keadaan di mana Bumi – Bulan -  Matahari berada pada satu garis lurus sehingga Bulan sama sekali tidak tampak dari Bumi karena bagian Bulan yang tersinari cahaya Matahari membelakangi Bumi. Konjungsi terjadi satu bulan sekali atau lebih tepatnya terjadi dalam waktu 29,5 hari atau dikenal sebagai periode sinodis. Konjungsi dapat terjadi kapan saja, dalam arti bisa terjadi saat siang, malam, sore, atau pagi hari.



Gambar 1. Sketsa sederhana saat fase konjungsi terjadi. Bagian Bulan yang menghadap Bumi tidak menerima cahaya Matahari sama sekali. Jika saat konjungsi terjadi, posisi Bumi, Bulan dan Matahari berada pada bidang ekliptika (bidang edar Bumi) maka akan terjadi gerhana Matahari, tetapi ini tidak selalu terjadi setiap bulan.

2. Terbenamnya Matahari dan Bulan

Penentuan awal bulan sangat ditentukan oleh waktu terbenamnya Matahari dan Bulan. Matahari dinyatakan tenggelam saat Matahari sudah sepenuhnya berada di bawah horizon atau garis cakrawala. Begitu juga dengan makna tenggelamnya Bulan. Waktu tenggelamnya Matahari dikenal sebagai maghrib. Pada saat maghrib terjadi, ada kalanya Bulan belum tenggelam. Artinya, Bulan masih berada di atas horizon. Jika saat Matahari telah tenggelam, tetapi Bulan belum tenggelam, maka kita kemungkinan dapat melihat Bulan karena sinar Matahari sudah redup sehingga cahaya Bulan bisa tampak oleh mata kita. Awal bulan hijriyah terjadi jika Matahari tenggelam lebih dahulu daripada Bulan.



Gambar 2. Matahari sudah tenggelam dan Bulan belum tenggelam.

3. Pergantian hari saat maghrib

Berbeda dengan hari dalam kalender syamsiah yang berganti setiap pukul 12 malam, dalam penanggalan hijriyah, hari (tanggal) berganti saat Matahari tenggelam (maghrib). Misalnya saat ini tanggal 15 Sya’ban hari Kamis, berarti saat Matahari tenggelam sore hari nanti itu sudah masuk tanggal 16 Sya’ban hari Jum’at.

4. Konjungsi terjadi sebelum Matahari tenggelam

Seperti telah dinyatakan dalam poin 1, konjungsi dapat terjadi kapan saja, bisa siang, malam, pagi, sore, atau kapanpun. Nah, syarat masuknya awal bulan adalah ketika konjungsi terjadi sebelum Matahari (dan Bulan tentunya) tenggelam. Contoh, bila konjungsi terjadi pukul 19.00, maka pada saat Matahari tenggelam (misalnya pukul 18.00) berarti itu belum bisa dinyatakan sebagai pergantian awal bulan karena Matahari tenggelam lebih dulu terjadi sebelum konjungsi. Dalam kasus ini, berarti awal bulan akan dimulai (kemungkinan) pada saat Matahari tenggelam keesokan harinya. Selisih waktu antara konjungsi dan saat Matahari tenggelam tersebut dinamakan sebagai umur Bulan. Sekali lagi, jangan lupakan juga poin nomor 2 yakni Bulan tenggelam setelah Matahari tenggelam.

Perhatikan contoh berikut:

Misalkan, suatu konjungsi terjadi pada pukul 07.00. Pada hari itu, Matahari tenggelam pada pukul 18.00, sedangkan Bulan tenggelam pada pukul 18.30. Berarti, pada saat maghrib (Matahari tenggelam), umur bulan adalah 18.00 – 07.00 = 11 jam. Pada saat itu, Bulan tentu masih berada di atas horizon karena memang tenggelamnya lebih belakang dari Matahari. Saat Matahari tenggelam, Bulan berada di atas horizon dengan ketinggian tertentu. Ketinggian Bulan di atas horizon itu dinamakan sebagai ketinggian Bulan yang biasanya dinyatakan dalam derajat. Misalkan, saat itu Bulan memiliki ketinggian 4 derajat. Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut yang menjelaskan keadaan yang telah diterangkan sebelumnya.



Gambar 3. Saat-saat penting yang diamati dalam penentuan awal bulan. Contohnya, saat Matahari tenggelam, Bulan berada di atas horizon dengan ketinggian 4 derajat dan umur bulan 11 jam.

Jika misalkan kondisi pada gambar 3 telah terpenuhi, maka saat maghrib itu (kemungkinan) sudah bisa dinyatakan sebagai masuk bulan baru. Mengapa masih ada kata kemungkinan? Karena syarat atau kriteria yang diyakini oleh sebagian orang adalah keadaan tersebut hanya dapat ditetapkan sebagai awal bulan jika Bulan (hilal) dapat dilihat dengan mata telanjang.

Saya akan bertanya kepada Anda, apakah jika kondisi pada gambar 3 itu terpenuhi, bulan sabit (dalam bahasa Arab disebut hilal) dapat dilihat dengan mata telanjang? Jawabannya, belum tentu. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, hilal (Bulan) bisa saja tidak terlihat karena ketinggiannya masih terlalu rendah dari horizon sehingga sulit dilihat. Kedua, jaraknya dari Matahari terlalu dekat sehingga cahaya Bulan masih kalah kuat dibandingkan sinar Matahari yang tampak sebagai mega. Ketiga, ada banyak awan di atas horizon sehingga Bulan (hilal) tidak tampak.

Lalu, bagaimana kemudian? Itulah permasalahan yang menjadi polemik hingga hari ini. Apakah memang untuk menentukan awal bulan baru harus ada kriteria terlihatnya Bulan ataukah cukup kita mengetahui dengan ilmu falaq/astronomi bahwa perhitungan/kalkulasi (hisab) sudah mengetahui jika hilal di atas horizon (ufuk) saat Matahari tengelam? Saya tidak akan membahasnya panjang lebar di sini karena akan bisa diulas sendiri dalam satu buku besar yang perlu waktu satu bulan penuh untuk menyusunnya. Silahkan Anda baca-baca buku sendiri yang berkaitan dengan itu.

Yang pasti, umur hilal (Bulan) di setiap tempat berbeda-beda bergantung pada lintang-bujur dan lain-lain. Artinya, mungkin di suatu tempat di Indonesia keadaan seperti gambar 3 terpenuhi, tetapi di Arab Saudi sana keadaannya saat Matahari tenggelam beda lagi. Itu sudah menjadi hal yang pasti dalam alam ini. Kita tidak bisa menyamakan keadaan suatu tempat dengan tempat lainnya, apalagi jika jaraknya sangat jauh. Untuk wilayah Indonesia, keadaan penampakan (visibilitas) hilal relatif serupa antara satu tempat dengan tempat lainnya.

Sebagai referensi dalam ulasan ini, saya gunakan Jakarta sebagai titik perhitungan karena alasan sederhana, yakni Jakarta adalah ibukota negara. Dalam perhitungan berikutnya, saya menggunakan perangkat lunak Accurate Times 5.1 yang dibuat oleh Muhammad Odeh dari Yordania. Perhitungan ini anggap saja taken for granted (benar semua) karena kalaupun ada kesalahan maka insya Allah errornya tidak signifikan sehingga sampai berbeda jauh dengan kenyataan aslinya nanti.

Ramadhan 1433 H

Accurate Times menghitung bahwa konjungsi (ijtima’) pada awal Ramadhan 1433 H terjadi pada tanggal 19 Juli 2012 pukul 11.10 WIB. Matahari tenggelam pada pukul 17.53 WIB dan Bulan tenggelam pada pukul 18.01 WIB. Artinya, umur bulan saat Matahari tenggelam adalah 6 jam 43 menit. Ketinggian Bulan pada saat itu adalah  1 derajat 52 menit busur.

Berdasarkan pengalaman, hilal (Bulan) dengan ketinggian yang sangat rendah seperti itu dan umur bulan yang hanya 6 jam 43 menit akan sangat-sangat sulit diamati. Memang bukan mustahil karena memang Bulan masih berada di atas horizon, tetapi bisa dikatakan itu tidak mungkin dilakukan oleh mata orang normal. Mungkin jika yang melihatnya superman atau manusia sakti mandraguna bisa dilakukan. Namun, saya cukup yakin untuk mengatakan bahwa hilal akan sangat sulit terlihat pada saat maghrib tanggal 19 Juli.


Gambar 4. Visibilitas hilal (kemungkinan penampakan Bulan) pada tanggal 19 Juli 2012 di seluruh dunia. Wilayah Indonesia masuk ke dalam kategori tidak mungkin dilihat (not possible) sama seperti Saudi, wilayah Asia Timur dan Utara termasuk Eropa bahkan masuk kategori mustahil (impossible). Hilal hanya dapat dilihat pada daerah Amerika Selatan dan Samudera Pasifik.

Menurut Kanjeng Nabi SAW, jika hilal tidak terlihat, maka jumlah hari dalam suatu bulan harus digenapkan menjadi 30 hari. Artinya, awal Ramadhan baru akan masuk pada saat maghrib keesokan harinya yaitu tanggal 20 Juli 2012. Pada saat itu, umur bulan sudah mencapai 30 jam 43 menit dan ketinggiannya mencapai 12 derajat 48 menit busur. Keadaan itu sudah lebih dari cukup untuk menyaksikan Bulan saat matahari tenggelam. Berarti, maghrib tanggal 20 Juli akan masuk awal Ramadhan sehingga malam harinya sudah taraweh dan tanggal 21 Juli akan mulai puasa. Namun, ini menurut anggapan orang yang meyakini bahwa penetapan awal bulan harus menyaratkan terlihatnya hilal (Bulan).

Bagaimana dengan yang menganggap terlihatnya hilal bukan sebagai persyaratan untuk penetapan awal bulan? Tentu saja mereka tidak perlu menunggu hilal terlihat atau tidak. Yang penting, pada  tanggal 19 Juli 2012 konjungsi terjadi sebelum maghrib dan hilal di atas ufuk. Cukup. Bagi mereka yang beranggapan seperti ini, berarti mereka sudah mulai taraweh saat malam tanggal 19 Juli dan mulai puasa tanggal 20 Juli 2012.

Bagaimana jika di luar negeri mereka sudah mulai berpuasa pada tanggal 20 Juli 2012? Misalkan di Saudi Arabia ada yang mengaku melihat hilal pada tanggal 19 Juli, apakah otomatis seluruh dunia akan masuk ke bulan Ramadhan pada saat itu juga? Bagi para penganut faham ru’yat hilal global, seluruh dunia sudah masuk ke dalam waktu Ramadhan jika di suatu tempat di muka bumi ada yang sudah melihat hilal. Namun, apakah itu bisa diterima? Silahkan lihat peta visibilitas hilal pada Gambar 4 dan pikirkan sendiri jawabannya.

Syawal 1433 H

Keadaan saat Syawal 1433 H lebih menguntungkan dibandingkan saat Ramadhan. Ini dikarenakan umur dan ketinggian hilal sudah relatif cukup mendukung terliatnya hilal sehingga kemungkinan besar tidak ada perbedaan waktu perayaan hari raya. Konjungsi Syawal terjadi pada tanggal 17 Agustus 2012 pukul 23.11 WIB. Karena terjadi pada saat malam (Matahari tanggal 17 Agustus sudah temggelam), berarti hilal dihitung untuk maghrib tanggal 18 Agustus 2012. Pada tanggal 18 Agustus 2012, umur Bulan sudah mencapai 18 jam 43 menit dan ketinggiannya mencapai 6 derajat 40 menit. Umur dan ketinggian hilal diperkirakan akan menunjang besarnya kemungkinan hilal terlihat pada tanggal 18 Agustus 2012 sehingga awal bulan Syawal akan masuk saat maghrib tanggal 18 Agustus. Oleh karena itu, tanggal 19 Agustus 2012 kita akan merayakan Idul Fitri (Lebaran) yang insya Allah akan dirayakan secara serentak di Indonesia dan di seluruh dunia.


Gambar 5. Visibilitas hilal pada tanggal 18 Agustus 2012 yang menandakan masuknya bulan Syawal 1433 H atau 2012 M.

Demikian ulasan mengenai kemungkinan awal Ramadhan dan Syawal 1433 H/ 2012 M. Semoga dapat menambah wawasan dan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kawan-kawan semua.

The Vandalist