Tuesday, April 23, 2013

World War II Analysis (Pacific Theater)

By: Generalfeldmarschall Helmut von Clausewitz






Ini saya semata-mata membahas segi strateginya. Tidak membela ke mana-mana. Murni tentang war strategy. Karena di dalamnya juga termasuk membahas kisah sejarah, maka kita harus bisa bersikap jujur dan mengungkapkan fakta-fakta dengan apa adanya. Karena bila ada orang yang berani meniadakan, memutarbalikkan apalagi memalsukan fakta-fakta sejarah, maka tak layak dia disebut sejarawan, melainkan sampah ilmu pengetahuan. Seandainya pun ada sejarawan yang tulisannya bermaksud membela salah satu pihak/golongan yang ada, maka itu tidaklah berarti dia boleh menghapus dan mengabaikan fakta-fakta sejarah yang ada. Harus dengan penguraian yang bisa diterima orang dan sama sekali tidak boleh menghapuskan fakta yang ada, apalagi memalsukannya.

Oleh karena itu, saya juga tidak bisa mendukung misalnya bila ada orang yang membuat cerita bahwa pembantaian di Armenia atau Holocaust tidak terjadi—penyangkalan semacam ini ada juga di salah satu bukunya Harun Yahya. Demikian pula, saya tentu juga tak bisa mendukung misalnya ada orang Perancis yang menyangkal bahwa mereka pernah membantai 1 juta rakyat Aljazair dan menyuplai senjata kepada rezim genocide di Rwanda tahun 1994. Oleh karena itu, bila pemerintah Perancis lalu ribut dengan pembantaian di Armenia akan terasa aneh. Mereka pun sama-sama sadisnya, kok. Bahkan masih tetap sadis dan haus darah hingga tahun 1990-an. Rwanda adalah kisah pembantaian terbesar setelah usainya perang dingin. Dan selanjutnya, orang-orang Eropa pun tak bisa menyangkal pembantaian jutaan orang Indian di Amerika, baik di Selatan maupun di Utara. Juga beragam kisah semacam yang lainnya, termasuk di Selandia Baru dan Australia. Dan bila berkaitan dengan tulisan ini, tentunya itu adalah kisah kekejaman tentara Jepang di Pasifik. Jadi, kita memang harus jujur kepada sejarah sehingga kita nanti bisa banyak menarik pelajaran dari sana sehingga kita semuanya nanti bisa bergerak menjadi masyarakat yang lebih beradab.

Bila membahas Pacific Theater, maka tentu ini sebagian besar terjadi di Timur Jauh, antara Jepang melawan Cina & Amerika. Pada tanggal 7 Desember 1941, Jepang menyerbu Pearl Harbor, pangkalan Amerika di Hawaii. Tujuan utama tentara Jepang mengadakan ekspedisi ke Pasifik ini adalah untuk merebut kekayaan sumber alam, terutama minyak, di wilayah jajahan negara-negara Barat, semenjak Jepang diembargo minyak dan bahan mentah lainnya oleh Amerika. Dan tujuan jangka panjangnya sebenarnya adalah untuk mengalahkan dan menguasai Cina, bukan untuk menaklukkan Amerika dan sekutunya. Cinalah yang menjadi sasaran utama Jepang.

Para jenderal Jepang sendiri sudah tahu bahwa karena keterbatasan sumber alam, Jepang tak akan sanggup melawan Amerika dalam perang yang berlarut-larut. Mereka hanya berspekulasi bahwa bila publik Amerika tak tahan dengan perang yang berlarut-larut, maka mereka akhirnya akan terpaksa akan minta damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Spekulasi untuk merancang strategi perang agaknya bukanlah hal yang tepat sebab perang memang harus dipersiapkan sematang mungkin dengan berbagai antisipasinya. Apalagi, ini suatu spekulasi yang impossible mengingat bahwa orang Jepang menyerbu wilayah Amerika, yaitu Hawaii dan jajahannya Filipina, dan orang-orang Amerika merasa negaranya terancam. Penduduk di sepanjang pantai Barat Amerika memang merasa ketakutan akan serbuan Jepang. Dan keadaan psikologi penduduk yang negaranya diserbu umumnya adalah mereka akan berupaya sekuat tenaga membela diri, at any cost. Apalagi berita tentang kekejaman-kekejaman yang dilakukan tentara Jepang telah tersebar ke mana-mana, termasuk ke Amerika. Perlakuan yang kejam kepada pihak lawan ini tentu sangat mempengaruhi psikologi rakyat di Amerika. Ini juga terjadi saat ketika Jerman menyerbu Rusia. Tentara Rusia pada mulanya tak keberatan menyerah dan jadi tawanan Jerman. Akan tetapi, setelah mereka mendengar kabar-kabar yang menyeramkan tentang kondisi tawanan di kamp-kamp tahanan Jerman, mereka lalu bertahan sekuat tenaga dan lebih memilih mati di medan perang ketimbang jadi tawanan Jerman. Toh, akhirnya sama saja. Mereka tentu berpikir ketimbang mati konyol sebagai budak di kamp kerja paksa tentu lebih baik mati bertempur sebagai pejuang di medan perang.

Jadi, penduduk yang negaranya diserbu memang keadaan psikologinya demikian. Ini kondisi psikologi massa yang lumrah. Ini berbeda kasusnya misalnya dengan Perang Vietnam yang terjadi dua dekade berikutnya mengingat tentara Viet Cong tidak menyerbu wilayah Amerika. Agaknya Jepang tak belajar dari pengalamannya menyerbu wilayah Cina, di mana penduduknya pun bertahan at all cost. Akan tetapi, psikologi massa semacam ini sebenarnya bisa berubah menguntungkan bila tentara yang menyerbu itu memperlakukan penduduk dan tawanan dengan baik. Mereka akan bisa menjadi lebih gampang menyerah. Dan memang seringkali terjadi demikian. Dalam banyak contoh di kisah sejarah, wilayah-wilayah yang merasa dirinya lemah akan bisa menjadi gampang menyerah kalau mereka mendengar kabar bahwa pasukan musuh yang datang menyerbu itu memperlakukan penduduk dengan baik. Juga bila pasukan penyerbu itu akan bisa membawa tatanan sosial yang lebih baik. Ini misalnya bisa kita lihat dalam riwayat Cyrus the Great. Sewaktu menyerbu Media, sebagian besar pasukan Media langsung meninggalkan rajanya dan turut bergabung dengan Cyrus. Di sepanjang pantai Barat Anatolia, sebagian besar negara kota Yunani pun tunduk dengan damai. Malah penduduk Babylonia menyambut Cyrus bukan sebagai penjajah, tetapi sebagai sahabat, karena banyak penduduk yang menbenci raja mereka. Bahkan orang Yahudi pun tetap memuja Cyrus sampai sekarang. Akan tetapi, karena sikap Tojo dan kawan-kawan memang berbanding terbalik dengan sikap Cyrus, maka setiap musuh yang diserbu akan berupaya melawan sampai titik darah yang penghabisan mengingat kalau sampai kalah berarti akan ada penyiksaan dan pembantaian besar-besaran.

Mengingat akan adanya perlawanan yang keras dari pihak Barat, lalu strategi yang bagaimanakah yang terbaik bagi Jepang untuk mencari sumber minyak tanpa harus banyak berspekulasi berperang melawan Amerika?

Dalam Perang Pasifik, jumlah tentara Jepang sekitar 2 juta orang. Bahkan ketika tengah sengit-sengitnya berkecamuk perang dengan Amerika, jumlah tentara Jepang di Cina masih tetap banyak, sekitar separuhnya, yaitu 1 juta. Itu masih ditambah dengan tentara kolaborator Cina di Manchuria dan wilayah lain-lainnya sebanyak 2 juta orang. Total 3 juta orang. Jadi, posisi Jepang di Cina tetap kuat meski separuh di antaranya telah dikirim untuk berperang ke medan Pasifik. Pasukan kolaborator Cina memang jumlahnya jauh lebih banyak ketimbang pasukan pendudukan Jepang sendiri. Tak semua orang Cina membela Chiang Kai Shek memang. Sebagaimana juga kisah manusia di mana-mana, yang penting diguyur duit urusan dijamin beres. Licin, dah. Dan jumlah 2 juta pasukan kolaborator itu bukan sedikit. Amat sangat banyak, malah jauh lebih banyak dari jumlah pasukan pendudukan Jepang itu sendiri.

Kemudian kembali ke persoalan di atas, strategi yang bagaimanakah yang terbaik bagi Jepang untuk mencari sumber alam tanpa harus banyak berspekulasi? Well, sebenarnya tidak perlu menyerbu Pearl Harbor saudara-saudara, tidak perlu mengadakan pertempuran laut dan udara yang penuh spekulasi dan sangat boros sumber alam, terutama besi dan minyak, tetapi dengan cara ikut bersama Jerman menyerbu Rusia. Dan pada saat mengadakan ofensif ke Russia, untuk sementara Jepang bersikap defensif dulu di Cina. Jadi, separuh dari tentara Jepang yang berjumlah 2 juta orang itu (yakni 1 juta) tidak dikirim ke Pasifik, tetapi ke Rusia Timur. Separuh pasukan Jepang yang lain tetap menjaga Manchuria. Bila masih hendak ditambah lagi dengan mengambil misalnya setengah juta tentara kolaborator Cina di Manchuria, bisa total berjumlah 1,5 juta. Setara dengan jumlah pasukan Nazi yang menyerbu Rusia dari Barat.

Memang tidak perlu menyerbu ke Pasifik bila itu hanya untuk sekedar mencari minyak. Apalagi bila mengingat bahwa jarak penyerbuan ke Hawaii itu lebih jauh, yaitu sekitar 6,200 km dari Tokyo, sedangkan ke Novosibirsk hanya 4700 km dari Tokyo. Bila penyerbuan itu dimulai dari Manchuria tentu lebih dekat lagi karena jarak kota Harbin ke Novosibirsk cuma 3,200 km, hanya separuh jarak Tokyo ke Hawaii. Dalam keadaan yang sudah porak poranda terkena serbuan blitzkrieg Guderian dan rekan-rekan, juga kondisi moral tentara merah yang saat itu sudah sangat rendah karena kekalahan beruntun di mana-mana, maka flanking movement sebanyak 1,5 juta tentara dari Timur ke Novosibirsk dan wilayah sekitarnya tentu akan bisa membuat Rusia langsung collapse tanpa banyak tanya lagi. Cannae dalam versi yang kolosal. Karena sudah tak ada lagi tempat mengungsi di Siberia bagi pemerintahan dan industri berat Rusia. Juga tak ada lagi tempat untuk merekrut tentara cadangan yang akan dimajukan ke front Eropa.

Sebagai hadiah bagi sekutunya di Timur, tentu German akan bisa dengan murah hati melimpahkan sebagian hasil dari sumber minyak di Kaukasus untuk Jepang. Dengan jalur kereta api Trans-Siberia yang telah terpasang rapi, maka akan mudah saja bagi Jepang untuk mengangkut kebutuhan sumber minyaknya. Apalagi, tujuan Hitler ke Rusia utuk sementara itu itu hanya sampai ke pegunungan Ural, yakni batas paling Timur Eropa dari Russia. Dengan demikian, wilayah Siberia bisa sepenuhnya berada di tangan Jepang. Jadi, masalah minyak–dan juga sumber alam lainnya sudah bisa terselesaikan tanpa harus melalui perang laut dan udara yang malah bisa banyak menguras habis-habisan sumber alam Jepang yang memang sudah sangat minim itu. Di samping itu, dengan runtuhnya Rusia sebagai salah satu sekutu dan penyuplai utama persenjataan tentara Cina, maka Chiang Kai Shek cs bisa dengan lebih mudah dipukul mundur. Jadi, dengan sekali pukul dua problem utama bisa di terselesaikan, yaitu problem minyak dan problem infiltrasi Rusia ke Cina. Dan perang dengan Cina akhirnya tentu bisa lebih mudah dimenangkan.

Di medan pertempuran yang lain, European Theater, kemenangan Jerman atas Rusia tentu akan membuka lebar-lebar sumber daya alam yang sangat berlimpah untuk industri perangnya, dan itu berarti Jerman bisa membuat pesawat-pesawat tempur baru untuk menyerbu Inggris. Apalagi dengan kebiasaan Himmler untuk menggalang tenaga slave labor guna memproduksi industri perang. Dengan puluhan juta slave labor Rusia dan sumber daya alam yang berlimpah di sana, tentu ribuan pesawat dan bom akan kembali mengguncang kepulauan Britania. Battle of Britain second edition. Dan kisah seterusnya? Tak perlu saya bahas lagi, sudah bisa Anda bayangkan sendiri.

Oke, seperti yang sudah saya kemukakan di atas tadi ini hanya murni membahas strategi perang dan saya tak berpihak ke mana-mana. Apa sebabnya? Karena saat itu Jerman sudah menguasai Belanda, dan sebagai jajahan Belanda berarti Indonesia akan dikuasai oleh SS dan Gestapo. Bisa punah separuh dah penduduk Indonesia nanti kalau dikuasai Himmler beserta SS dan Gestaponya. Ramalan wong Jowo kari separo, wong Cino kari sak jodo, akan bisa benar-benar menjadi kenyataan.

Agaknya ini adalah analisa saya yang kedua dan yang terakhir saya publikasikan, bila ada analisa yang berikutnya akan saya simpan di kepala saya saja. Itu nanti kan termasuk kategori highly classified juga. Tapi, kalau untuk urusan game sih Anda boleh tahu kebiasaan saya sejenak. Setiap bermain game strategi Praetorian saya tak pernah memajukan pasukan untuk menempuh kematian. Saya tak suka strategi yang mengorbankan banyak “nyawa” pasukan virtual saya. Saya tak suka Pyrrhic victory. Dan itulah sebabnya saya kemarin bisa dengan mudah pula menganalisa trench warfare di PD I, karena saya sudah sering merancang bermacam-macam strategi serupa ketika bermain game. Tentu saja perlu bermacam-macam strategi karena peta dan terrain di game itu kan memang bermacam-macam pula polanya, tidak hanya satu saja. Dan kayaknya ada lagi game strategi menarik yang saya baca review-nya kemarin di majalah terbitan tahun 2002 punya saudara saya, judulnya Blitzkrieg.

Demikianlah akhirnya analisa dan kuliah dari Generalfeldmarschall Helmut von Clausewitz. Boleh dibaca dan dinikmati, tapi semoga Anda tak berminat mengamalkannya. Lha mau bagaimana, wong ini isinya cuma perang kolosal, perbudakan dan pembunuhan jutaan nyawa manusia. Oh ya, von Clausewitz itu, yang saya comot namanya itu, memang etnik Jerman, tapi bukan rakyat Jerman, tentara Jerman, apalagi anggota SS. Yah, saya comot untuk guyonan saja. :D Pada zaman Clausewitz negara Jerman saja belum ada. Yang ada saat itu hanyalah kerajaan Prussia, yang terkenal dengan rajanya yg bernama Frederick the Great. Dan wilayah paling lawas dari kerajaan tersebut, tempat awal kerajaan Prussia berdiri, sekarang malah sudah tiada, dicaplok oleh Russia.

15 September 2006



In war, three-quarters turns on personal character and relations; the balance of manpower and materials counts only for the remaining quarter. 
(Napoleon I, Emperor of France)

Napoleon thinks I am a fool, but he who laughs last laughs longest.

 (Alexander I, Tsar of Russia)

Practice should always be based upon a sound knowledge of theory. 

(Leonardo da Vinci)