Tuesday, April 23, 2013

Trench Warfare Analysis

By: Generalfeldmarschall Helmut von Clausewitz



No man’s land varied from less than 30 yards (27 meters) wide at some points to more than 1 mile (1.6 kilometers) wide at others. And from 1.8 to 2.5 m (6 to 8 ft) deep. In time, artillery fire tore up the earth, making it very difficult to cross no man’s land during an attack. (sumber: Encarta)

Difficult? Menurut para jendral baik dari pihak sekutu maupun sentral pada PD I, trench warfare ini nampaknya memang satu hal yang very very difficult. Sampai-sampai berlarut hingga 4 tahun dan menghabiskan nyawa jutaan manusia. Menurut saya itu sebenarnya karena siasat yang tak becus saja. Memerintahkan massa pasukan infantri berlari frontal menghadapi senapan mesin yang berada di balik selubung kawat berduri. Gila. Ini namanya bunuh diri. Siasat yang paling bodoh yang pernah ada, sebodoh-bodohnya siasat. Ya tentu saja very difficult untuk mengakhiri deadlock, lha siasatnya begitu. Karena siasat semacam itu, walaupun telah jatuh jutaan nyawa prajurit, garis parit tak pernah banyak bergeser selama 4 tahun pertempuran. Berkali-kali ratusan ribu prajurit infantri diperintahkan maju menembus hujan peluru senapan mesin, hujan bom meriam artileri dan selubung kawat berduri. Gelombang demi gelombang barisan prajurit yang maju disapu bersih oleh hujan bom dan peluru. Dan jutaan nyawa itu melayang sia-sia sedangkan garis parit tetap tak bergeser seinci pun. Dan lucunya, siasat semacam ini diulang sampai berkali-kali!! Mungkin isi kepala para komandan sekutu dan sentral pada masa itu perlu diperiksa, apa sebenarnya yang ada di dalamnya, otak atau goplem.

Bagaimana kemudian kalau menurut saya? Hmm.. kalau menurut Generalfeldmarschall sih, seperti biasanya, selalu gampang-gampang saja. Tidak difficult difficult amat. Seandainya saja Generalfeldmarschall hidup pada masa itu, mungkin perang bisa diperingkas dalam waktu bulanan saja dan tak sampai timbul korban yang bertumpuk-tumpuk. Karena memang very very easy. Silakan ikuti uraian di bawah ini.

Pertama-tama, coba lihat tuh peta baik-baik. Perhatikan bagian no man’s land yang dianggap sebagai tanah kematian itu, yang lebarnya berkisar antara 27 meters sampai 1.6 km. Di no man’s land inilah sebenarnya letak kunci strateginya. Caranya yaitu dengan membuat semacam communication trench di bagian no man’s land tersebut. Tentu namanya bukan communication trench, melainkan attack trench. Membuat trench terobosan untuk menyerbu trench lawan. Tentu tanah bagian atas tak turut dibuang, jadi membuat semacam lorong yang bagian atasnya tetap tertutup. Membuatnya di bagian no man’s land yang paling sempit, yaitu yang lebarnya hanya 30 yard tadi, sehingga risikonya kecil dari hujanan artileri musuh dan tak terlalu makan waktu dan tenaga untuk membuatnya. Supaya lawan tak curiga, selama membuatnya dikamuflase dengan hujan tembakan artileri, baik dibagian front maupun belakang. Dan bagian front lawan yang berdekatan dengan attack trench dibuat, dibersihkan dengan hujan artileri dulu.

Dan setelah attack trench tadi selesai dibuat, bisa beberapa lorong, pasukan bisa menyerbu mendadak ke arah lawan. Angriiiff!! Tanpa perlu lagi khawatir dengan senapan mesin, kawat berduri dan hujan artileri dari pihak lawan secara frontal. Dan bisa dipastikan trench warfare akan bisa selesai dalam waktu yang singkat. Deadlock sudah diselesaikan. Perkara pemenangnya? Pihak yang memberi serangan dadakan biasanya akan berada di atas angin. Karena yang menyerang berada dalam kondisi siap tempur sedangkan musuh yang diserang masih leha-leha dan tidur-tiduran. Very simple, bukan? Demikianlah analisa dari Generalfeldmarschall Helmi von Clausewitz untuk trench warfare pada PD I. Kapan-kapan Herr Marschall akan kasih analisa dan kuliah lagi.

Malang, 5 September 2006

Battles are won by slaughter and manuever. The greater the general, the more he contributes in manuever, the less he demands in slaughter.
 (Winston Churchill)