Oleh: Helmi Junaidi
Bila mendengar kata teori evolusi pastilah orang akan segera teringat dengan Charles Darwin. Sebenarnya Darwin bukanlah pencetus awal dari teori evolusi. Tetapi, karena yang berhasil merumuskan teori ini dengan sangat meyakinkan adalah Darwin, maka ia kemudian disebut sebagai pencetusnya. Kalau dirunut, maka pemikiran mengenai evolusi ini sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno. Pemikiran ini antara lain dikemukakan oleh:
Anaximander (abad ke-6 S.M.). Ia menyatakan bahwa hewan pertama dengan kulit yang tajam muncul di dalam air dan kemudian merangkak ke daratan. Setelah menanggalkan kulitnya ia lalu hidup di sana.
Empedocles (abad ke-5 S.M.). Ia bisa dianggap sebagai pendahulu Darwin. Ia menyatakan bahwa hanya bentuk-bentuk yang paling baik yang dapat bertahan sedangkan bentuk-bentuk yang kurang baik akan musnah.
Heraclitus (abad ke-5 S.M.) berpendapat bahwa tiap segala sesuatu itu senantiasa bergerak mengalir dan berubah wujud menjadi bentuk lain. Panta rei, oudei menei. Everything flows and nothing stays.
Aristoteles (384-322 S.M.) berpendapat bahwa ada peningkatan dari tumbuhan ke bentuk lain tumbuhan yang lebih tinggi, dari setengah binatang menjadi binatang, dan dari binatang berangsur-angsur menjadi manusia.
Sedangkan kalau pada zaman modern ini, maka yang pertama kali membangkitkan perhatian orang akan terjadinya evolusi pada setiap benda organik maupun inorganik adalah Jean Baptiste Comte de Lamarck (1744-1829), seorang ahli zoologi Perancis yang terkemuka. Darwin sendiri mengakui hal ini. Bermula ketika Lamarck sedang menyusun bukunya Histoire naturelle des animaux sans vertebre (Sejarah Alam Hewan Invertebrata), ia mengamati perbedaan di dalam dunia hewan, yang berangsur-angsur meningkat, yang merupakan suatu progesi. Dan bila pengamatan itu dari manusia menuju hewan yang lebih sederhana, maka nilai alat-alat tubuh yang penting itu menjadi turun. Dan ini disebutnya degradasi. Dia pun bertanya-tanya apa sebabnya itu bisa terjadi.
Lamarck akhirnya berkesimpulan bahwa makhluk-makhluk hidup yang paling sederhana, yang tingkatannya paling rendah, menjadi bahan bagi alam untuk membuat bentuk-bentuk lain, dengan pertolongan waktu yang tak terbatas, untuk menjadi bentuk yang lebih baik.
1. Charles Darwin, Sang Pencetus
Charles Robert Darwin, sang pencetus teori evolusi ini, lahir pada tanggal 12 Februari 1809 di Shrewsbury, Inggris. Ia adalah putra kelima dari Robert Waring Darwin, seorang dokter. Semasa kecilnya ia adalah seorang anak yang penurut, ramah dan suka melamun. Dan setelah kematian ibunya ketika ia berumur delapan tahun, ia sering menghabiskan waktunya dengan berjalan-jalan sendirian menyusuri tanah pedesaan. Meski demikian, boleh dibilang masa kecilnya cukup senang dan bahagia karena ia mempunyai banyak kakak yang bisa mengasuhnya. Terlebih lagi, ia berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan kaya raya.
Pada saat ini, mungkin banyak orang yang menyangka bahwa Darwin ini memang dari asalnya adalah orang yang kurang taat beragama sehingga sudah punya bakat untuk menjadi orang kafir. Persangkaan ini keliru sebab pada awalnya Darwin adalah orang yang taat beragama seperti juga sebagian besar orang pada zamannya. Darwin sendiri pernah belajar di Universitas Cambridge untuk menjadi pendeta Anglikan.[1] Ia dikirim ayahnya ke sana setelah sebelumnya gagal di sekolah kedokteran Universitas Edinburgh. Ia tak tahan melihat praktek operasi yang pada masa itu masih belum menggunakan obat bius. Obat bius dengan menggunakan ether memang baru diperkenalkan oleh William Morton (1819-1868) pada tahun 1846. Jadi, praktek operasi pada masa itu memang cukup sadis juga. Pasien hanya diberi minuman beralkohol atau semacamnya. Untuk mencegah si pasien meronta-ronta kaki dan tangannya dipegang erat-erat oleh beberapa orang asisten yang bertubuh kekar. Dan bila pasien tersebut masih rewel juga, maka ia kemudian terpaksa harus ‘dibius’ dengan beberapa tinju di kepalanya. Karena adanya ‘adegan sadistis’ semacam itulah Darwin pun akhirnya batal jadi dokter sebagaimana yang diharapkan oleh ayahnya.
Di Cambridge Darwin kemudian berkenalan dengan guru besar botani, John Stevens Henslow (1796-1861), yang membuatnya sangat tertarik pada sains. Guru besar itu tampaknya menyadari bakat yang ada pada Darwin muda. Atas upaya Henslow pula Darwin bisa turut serta sebagai naturalis dalam ekspedisi pelayaran dengan HMS Beagle bersama para ilmuwan lain yang lebih senior walaupun umurnya masih terlalu muda, yaitu dua puluh dua tahun. Dan sebelum bisa ikut berlayar, Darwin harus bersusah payah dahulu untuk meyakinkan ayahnya yang melarang dia untuk pergi. Sang ayah nampaknya sudah mulai bosan dengan tingkah anaknya yang pemalas dan susah diarahkan itu. Ia berpikir bahwa keikutsertaan Darwin dalam ekspedisi keliling dunia itu hanyalah sekedar mencari alasan saja untuk bisa pergi bermain-main dan bermalas-malasan seperti yang telah dilakukannya selama ini. Walau demikian, Darwin akhirnya bisa juga pergi berlayar setelah ia mendapat dukungan pamannya dari pihak ibu, Josiah Wedgewood, seorang yang cukup dihormati oleh ayah Darwin dan nasihatnya bisa ia terima. Darwin kelak juga menikah dengan putri pamannya tersebut, yaitu Emma Wedgewood. HMS Beagle pun kemudian berangkat dari pelabuhan Plymouth pada tanggal 27 Desember 1831, dengan membawa serta Darwin, yang menderita mabuk laut yang cukup parah ketika kapal mulai memasuki English Channel yang ombaknya memang dikenal cukup kuat.Pada akhirnya, ekspedisi pelayaran itu telah mengubah si pemalas Darwin menjadi seorang yang sangat rajin dan tekun. Dan ini nampaknya disebabkan karena ia benar-benar tertarik dan menyukai subyek yang dipelajarinya, bukan belajar karena perintah orang lain atau hanya sekedar meneruskan tradisi keluarga.
Pada akhirnya, ekspedisi pelayaran itu telah mengubah si pemalas Darwin menjadi seorang yang sangat rajin dan tekun. Dan ini nampaknya disebabkan karena ia benar-benar tertarik dan menyukai subyek yang dipelajarinya, bukan belajar karena perintah orang lain atau hanya sekedar meneruskan tradisi keluarga.Pengamatan-pengamatan serta penelitian yang dilakukannya selama dalam ekspedisi yang berlangsung hingga 1836 itu pada akhirnya mengubah pendiriannya sama sekali tentang Tuhan dan keyakinan yang dianutnya serta menimbulkan revolusi di masyarakat luas dalam masalah keyakinan. Keyakinan Darwin pada agama yang dianutnya pun akhirnya hilang tak berbekas sama sekali. Dari seorang yang taat beragama Darwin beralih menjadi seorang agnotis, paham yang selanjutnya tidak pernah ia lepaskan lagi hingga akhir hayatnya. Dalam otobiografi yang ditulisnya, yang baru boleh diterbitkan setelah ia meninggal, Darwin menyatakan:
Dengan sangat perlahan hilangnya keimanan merayap dalam sanubari saya, namun akhirnya keimanan saya hilang sama sekali. Proses tersebut berlangsung tanpa terasa sehingga saya tidak pernah merasa kehilangan, dan sejak saat itu saya tidak pernah meragukan, sedetik pun tidak, bahwa kesimpulan saya benar.[2]
Charles Darwin meninggal pada tahun 1882 dan dimakamkan di Westminster Abbey, tempat yang sama di mana ilmuwan Inggris yang lain, Isaac Newton, juga dimakamkan. Pada saat upacara pemakaman, dialunkan lagu yang khusus digubah untuk acara tersebut yang liriknya diambil dari sebuah peribahasa Inggris yang berbunyi: “Berbahagialah orang yang menemukan kebijaksanaan dan diberkahi pengertian. Kedua nilai itu jauh lebih berharga daripada permata merah delima dan benda-benda lain yang pernah diinginkan oleh manusia.”
2. Sekitar Kontroversi dan Reaksi Kaum Fundamentalis
Teori evolusi yang dicetuskan oleh Darwin menimbulkan kegemparan yang luar biasa di dunia Barat seabad yang lalu karena teori tersebut bertentangan sama sekali dengan kisah penciptaan manusia dan alam semesta yang dianut oleh masyarakat pada saat itu. Teori evolusi yang kontroversial itu diuraikan oleh Darwin di dalam bukunya On the Origin of Species by Means of Natural Selection yang terbit pada tahun 1859, disusul kemudian dengan The Descent of Man and Selection in Relation to Sex yang terdiri dari dua jilid pada tahun 1871. Buku-buku itu disusun dengan sangat cermat dan teliti berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukannya sendiri maupun dari hasil penelitian para sejawatnya, antara lain adalah Alfred Russel Wallace (1823-1913) yang juga pernah mengadakan penelitian di kepulauan Nusantara sekitar satu setengah abad silam. Buku karya Wallace tersebut berjudul The Malay Archipelago yang terdiri dari dua jilid. Sebuah buku yang sangat menarik, yang selain mempelajari kehidupan flora dan fauna di kepulauan Indonesia, juga mengamati budaya serta perilaku suku-suku bangsa yang ada di sini. Buku ini bisa membuat kita mengetahui tradisi dan budaya masyarakat di beberapa wilayah tanah air pada masa itu.
Dalam jangka waktu dua belas tahun sejak terbitnya The Origin of Species, para ilmuwan hampir semuanya telah sepakat mendukung teori evolusi, sedangkan para agamawan dengan keras tetap menentangnya. Seperti kita ketahui, Darwin berpendapat bahwa manusia berasal dari mahluk-mahluk yang lebih rendah derajatnya dari manusia, lalu berevolusi sampai ke bentuknya seperti sekarang, sedangkan para agamawan berkeyakinan bahwa Nabi Adam adalah manusia pertama yang langsung diciptakan oleh Tuhan dalam bentuknya seperti sekarang ini dan tentu saja tidak melalui proses evolusi. Mereka juga meyakini bahwa manusia, bumi, alam semesta dan seluruh isinya ini baru diciptakan pada tahun 4004 SM, sesuai perhitungan yang dilakukan oleh Uskup Ussher pada tahun 1779 dengan berdasarkan silsilah (genealogi) yang terdapat pada kitab Bible.
Pertentangan mengenai masalah ini masih tetap terjadi dengan sengit hingga puluhan tahun lamanya sejak terbitnya The Origin of Species karena masih banyak orang yang enggan menerima teori evolusi. Termasuk juga kalangan universitas di Inggris.
The universities in England particularly, being clerical in their constitution, resisted the new learning very bitterly. During the seventies and eighties a stormy controversy raged throughout the civilized world.
(Terutama sekali universitas-universitas di Inggris, yang dikelola oleh kaum agama, menentang pengetahuan baru itu dengan sangat sengit. Selama tahun tujuhpuluhan dan delapanpuluhan, kontroversi mengenai masalah teori evolusi ini dengan dahsyatnya mengguncang seluruh dunia Barat).[3]
Dari kalangan generasi tua juga banyak yang menentangnya karena merasa khawatir bahwa bila mereka menerima teori evolusi, maka berarti harus segera bersiap-siap menghadapi keruntuhan moral yang akan segera datang menyusul. Tapi, nampaknya hal ini tak bisa dielakkan lagi.
Many men and women are still living who can remember the dismay and distress among ordinary intelligent people in the western communities as the invincible case of the biologists and geologists against the orthodox cosmogony unfolded itself. The minds of many resisted the new knowledge instinctively and irrationally. Their whole moral edifice was built upon false history, they were too old and set to rebuilt it.Karena sifatnya yang pemalu serta fisiknya yang rapuh Darwin jarang tampil di muka umum. Ia juga tidak pernah berceramah di depan khalayak ramai mengenai teori evolusi atau menulis mengenai subyek tersebut di media massa yang beredar lebih luas.[6] Meski demikian, ia mempunyai banyak teman dan pendukung untuk menyebarluaskan gagasan-gagasannya. Di antaranya adalah Joseph Dalton Hooker (1817-1911) dan Thomas Henry Huxley (1825-1895). Tetapi, yang terkenal paling gigih adalah yang terakhir, yaitu T.H Huxley, seorang biolog muda yang brilian dan pandai berdebat. Ia juga seorang ilmuwan yang terkemuka pada zamannya. Huxley ini juga yang kemudian mencetuskan paham agnotisisme. Berbeda dengan atheisme, yang secara tegas tak mengakui adanya Tuhan, agnotisisme ini hanya menyatakan bahwa manusia tidak akan pernah bisa mengetahui apakah Tuhan itu ada atau tidak. Berasal dari kata Yunani agnostos (unknowable). Dua di antara cucu T.H. Huxley ini kemudian menjadi ilmuwan yang cukup terkenal juga, yaitu Andrew Huxley (1917- ) pemenang hadiah nobel dalam bidang physiologi, dan Sir Julian Huxley (1887-1975), seorang ahli biologi yang juga pernah menjabat sebagai direktur jendral UNESCO yang pertama. Selain itu, ada juga seorang cucunya yang menjadi novelis dan penyair, yaitu Aldous Huxley (1894-1963).
(Banyak orang yang saat ini masih hidup[4] dapat mengingat kecemasan dan keresahan yang melanda kaum terpelajar di dunia Barat ketika terjadi pertentangan terbuka antara ahli biologi dan geologi dengan teorinya yang tak terkalahkan itu melawan ajaran asal-usul alam semesta yang lama. Banyak orang menentang teori baru itu dengan instingtif dan irasional. Seluruh bangunan moral mereka ternyata disusun di atas sejarah yang salah, dan mereka sudah terlalu tua untuk menyusunnya kembali).[5]
Dalam pertemuan tahunan British Association for the Advancement of Science (Perhimpunan untuk Kemajuan Sains di Inggris), yang diadakan akhir Juni 1860 di Oxford, Huxley sempat terlibat dalam perdebatan sengit dengan Uskup Oxford, Samuel Wilberforce, yang bertekad untuk menumbangkan teori Darwin untuk selama-lamanya. Dalam rapat yang dipimpin oleh Henslow tersebut, setelah berbicara selama setengah jam dengan penuh semangat mengecam teori evolusi, Sang Uskup kemudian menoleh kepada Huxley dan memintanya untuk menjelaskan apakah dari pihak kakek atau neneknya ia bernenek moyang monyet. Menanggapi hal itu, Huxley berdiri dan berkata, “Saya telah menegaskan bahwa manusia sama sekali tidak mempunyai alasan untuk malu mempunyai nenek moyang seekor monyet. Saya akan merasa lebih malu apabila mempunyai seorang leluhur yang pandai, akan tetapi ia kemudian melibatkan diri dalam masalah ilmiah yang tidak dipahaminya dengan tujuan untuk menutup-nutupi masalah tersebut dengan retorika yang tidak jelas ujung pangkalnya. Dan dengan kefasihan lidahnya ia berusaha untuk mengalihkan perhatian pendengarnya dari permasalahan yang sebenarnya menuju prasangka buruk.” Kata-kata tersebut tentunya diucapkan dengan penuh emosi. Tak tahan menyaksikan sengitnya perdebatan, seorang wanita yang hadir jatuh pingsan .…[7]
Akan tetapi, reaksi yang paling keras datangnya adalah dari kaum fundamentalis. Mereka ini mempunyai pengaruh yang cukup kuat di Amerika Serikat. Kaum ini sebenarnya tak begitu disukai di Amerika sendiri karena sikapnya yang kolot dan fanatik. Banyak golongan, terutama kaum ilmuwan dan cendekiawan, yang kesal dengan sikap permusuhan mereka terhadap dunia keilmuan.[8] Juga karena mereka cenderung menggunakan kekuasaan dan sensor untuk menghentikan suara lawan-lawannya. Dan ini tentunya bertentangan dengan tradisi Amerika yang liberal.
Dengan semakin berkembangnya kontroversi mengenai teori evolusi, kaum fundamentalis ini benar-benar menjadi sangat gundah. Mereka menganggap teori ini sebagai usaha untuk menghujat Tuhan. Untuk itu mereka lalu mengadakan kongres besar-besaran di New York dan Philadelphia pada tahun 1919. Terbentuklah kemudian World’s Christian Fundamentals Association (Asosiasi Fundamental Kristen Sedunia) yang mereka harapkan bisa menjadi pertahanan kuat selama tiga puluh tahun. Dan untuk mengatasi meluasnya pengaruh ilmu pengetahuan modern, yang mereka sebut sebagai sihir jahat modernisme itu, mereka lalu mendirikan Institut-Institut Injil, misalnya saja Moody Bible Institut di kota Los Angeles dan Chicago. Belasan konperensi juga kemudian mereka adakan. Tokoh-tokoh terkenal seperti W.B. Riley, pendeta Baptis dari Minneapolis, A.C. Dixon, pendeta dan penginjil dan R.A. Torrey dari Moody Bible Institut bersatu di sana. Juga ikut bergabung Billy Graham, seorang pengkhotbah yang tak kalah populernya dengan Jerry Falwell, tokoh kaum fundamentalis yang paling ternama. Tapi hasilnya tak ada.[9]
Akan tetapi, mereka pernah juga berhasil mendesakkan peraturan untuk membendung pengaruh teori evolusi yang mereka anggap sangat berbahaya itu. Pada tahun 1925, di negara bagian Tennessee, Amerika Serikat, di mana mereka mempunyai pengaruh yang sangat kuat, dibuat undang-undang yang melarang diajarkannya teori ini di setiap sekolah dan universitas.[10] Pada tahun itu juga di kota kecil Dayton, undang-undang yang dijuluki “monkey laws” ini, sempat membuat seorang guru biologi bernama John Thomas Scopes diseret ke pengadilan karena mengajarkan teori evolusi yang telah dilarang itu kepada anak didiknya. Guru muda itu kemudian diadili dengan tuduhan telah melanggar undang-undang dan dihukum denda seratus dolar, walaupun di pengadilan banding ia akhirnya dibebaskan. Peristiwa yang mendapat perhatian luas dari masyarakat dan pers seluruh dunia pada saat itu kemudian terkenal sebagai peristiwa “monkey trial” atau pengadilan monyet.[11]
Walaupun mengalami tentangan yang sangat hebat, ternyata hasil penelitian ilmu pengetahuan yang akhirnya dianut oleh masyarakat. Banyak orang yang sebelumnya sangat saleh dan taat kepada ajaran agama kemudian mengikuti pendapat Darwin dan tidak lagi menyakini bahwa Adam adalah manusia pertama, dan juga tidak meyakini segala doktrin yang berkenaan dengan masalah itu.
The importance of the last issue to the existing doctrinal system was manifest. If all the animal and men had been evolved in this ascendant manner, then there has been no first parents, no Eden and no Fall. And if there had been no Fall, then the entire historical fabric of Christianity, the story of first sin and the reason for atonement, upon which the current teaching based Christian emotion and morality, collapsed like house of cards. It was with something like horror, therefore, that great numbers of honest and religious-spirited men followed the work of the English naturalis Charles Darwin.
(Arti penting dari masalah terakhir ini kepada doktrin agama yang ada sangatlah jelas. Apabila hewan dan manusia berevolusi, maka berarti tidak ada manusia pertama, tidak ada Eden dan tidak ada peristiwa jatuhnya manusia ke dalam dosa. Dan apabila tidak ada peristiwa jatuhnya manusia ke dalam dosa, maka seluruh tatanan sejarah dari agama Kristen, kisah dosa pertama dan alasan dilakukannya penebusan dosa, runtuh seperti rumah yang terbuat dari kartu karena hal itu merupakan dasar emosi dan moral dari agama Kristen. Oleh karena itu, seperti layaknya melihat horor, dengan perasaan ngeri orang menyaksikan banyak sekali mereka yang semula sangat alim dan taat beragama kemudian berbondong-bondong beralih mengikuti pendapat ahli ilmu alam Inggris, Charles Darwin).[12]
Sejak saat itu, semakin banyak pula orang Barat yang mulai meragukan (skeptis) atau bahkan tidak percaya sama sekali akan ajaran agama dan adanya Tuhan (atheis). There was a real lost of faith after 1859,[13] Keyakinan beragama benar-benar telah hilang semenjak 1859, tahun diterbitkannya The Origin of Species. Bahkan, banyak orang yang lalu mengatakan bahwa Tuhan sudah mati, God was dead.[14] Gereja-gereja di Barat pun berangsur sepi ditinggalkan oleh jemaatnya, sampai sekarang. Dan pada saat ini, bagi kalangan ilmuwan di Barat berbicara tentang Tuhan dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan janggal. Bukankah Dia sudah mati?
3. Marxisme dan Darwinisme
Sebagai seorang yang terkenal anti agama dan sangat bersemangat dengan teori dialektik materialismenya, Karl Marx (1818-1883) sempat juga tertarik dengan teori evolusi dan menganggapnya sejalan dengan teori “ilmiah” komunisme yang dirumuskannya. Tetapi, Darwin tidak bisa menyetujui hal tersebut. Terlebih lagi, Marxisme dan Darwinisme memang mempunyai perbedaan yang sangat pokok dalam satu hal. Bila menurut Marx pertentangan antara dua hal yang ada di alam ini (dalam teori sosial Marx adalah antara borjuis dan proletar) akhirnya akan bisa menjelma menjadi sintesis atau bersatunya dua unsur yang berbeda menjadi sesuatu yang baru, maka dalam Darwinisme hal tersebut tidak dikenal sebab spesies yang tidak sesuai akan sepenuhnya disapu bersih oleh seleksi alam, sepenuhnya wiped out. Tidak ada kata sintesis di dalam proses evolusi, yang ada hanyalah survival of the fittest. (Lihat juga Bab V, sub-bab Variasi, Seleksi alam dan Struggle for Existence). Kita bisa mengingat nasib dinosaurus, macan bergigi pedang, serta jutaan spesies purba lainnya. Mereka musnah dengan tuntas, tanpa harus perlu bersintesis segala. Penelitian dalam bidang ilmu genetika modern juga menyatakan bahwa perubahan spesies terjadi karena adanya perubahan dalam susunan DNA. Bukan karena adanya “pertentangan kelas” dalam dunia binatang.
Oleh karena itu, Darwin juga tak tertarik dengan gerakan sosialis yang marak pada masa itu. Sebaliknya, ia malah mengecam Marxisme dan mengatakan, ”Betapa tampak tololnya pandangan yang beredar di Jerman yang mengaitkan evolusi melalui seleksi alam dengan sosialisme.”[15] Dan kita semua tentunya sekarang bisa mengetahui bahwa yang dikatakan Darwin tersebut memang terbukti benar. Teori yang benar-benar ilmiah akan tetap bertahan sepanjang masa, sedangkan yang pseudo ilmiah telah ditinggalkan di mana-mana. Dan sejarah memang telah membuktikan bahwa tidak ada satu pun teori atau pun ramalan Karl Marx yang pernah terbukti. Padahal, sesuatu yang bersifat ilmiah tentunya harus bisa terbukti kebenarannya. Dan Marxisme ternyata tidak pernah bisa memenuhi kriteria tersebut.[16]
Sayangnya, hingga sekarang ternyata di mana-mana masih banyak orang yang bersikap fanatik dan tak mampu bersikap kritis melihat kesalahan-kesalahan yang ada pada Marxisme. Mereka juga membutakan diri di dalam melihat bukti-bukti sejarah bahwa Marxisme yang diterapkan di negara-negara komunis ternyata tak pernah bisa mengubah tesis (borjuis) dan antitesis (proletar) menjadi sintesis (masyarakat tanpa kelas), tetapi justru menciptakan kelas-kelas sosial baru dalam masyarakat berupa diktator beserta perlengkapan perangnya (thesis) dan massa rakyat miskin tak bersenjata (antithesis), dan berakhir dengan terciptanya sintesis berupa Gulag Archipelago dan berbagai “surga” sintesis semacamnya di banyak negara.
Dari kasus Karl Marx dan Marxisme ini, kita tampaknya bisa mengambil pelajaran bahwa maksud baik ternyata haruslah dicapai dengan cara yang baik pula. Tidak hanya dilandasi semangat balas dendam, kebencian atau pun doktrin kaku semata. Terlebih lagi bila mengingat bahwa suasana dunia ini senantiasa berubah sepanjang waktu. Meski maksud baik Karl Marx yang ingin membebaskan rakyat miskin dari penindasan dan membaktikan seluruh hidupnya untuk memperjuangkan nasib mereka tetap bisa dihargai, tetapi karena ia melakukannya dengan cara yang salah, maka pada akhirnya mengakibatkan penindasan dan kesengsaraan massal yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Karl Marx, seperti halnya Lenin, nampaknya melakukan kesalahan besar karena memandang dunia ini hanya terdiri atas hitam dan putih semata. Mereka juga terlalu optimis menyangka bahwa kaum proletar bersifat suci bersih semuanya dan mengira mereka akan bisa menjadi diktator yang baik hati sehingga mengabaikan peringatan dari kalangan sosialis lain tentang bahaya kediktatoran. Padahal, setiap manusia, baik proletar maupun borjuis, sebenarnya punya kecenderungan sifat yang sama. Siapakah yang bisa menjamin bahwa seorang pejuang hari ini tak dapat berubah menjadi penindas esok hari bila mereka dibiarkan berkuasa secara tak terbatas? Rasanya sudah terlalu banyak contohnya di mana-mana, termasuk juga di negeri kita ini. Dan seperti halnya di sini, kaum borjuis maupun para raja absolut di Eropa pada masa itu pun semuanya berasal dari kalangan proletar yang karena peruntungannya kemudian bisa naik ke tingkat sosial yang lebih tinggi. Barangkali Karl Marx memang harus lebih banyak lagi belajar sejarah dan psikologi manusia. Ide-ide Bernstein (1850-1932) ataupun Jean Jaures (1859-1914) yang lebih mengutamakan perdamaian dan kemanusiaan rasanya lebih patut dihargai ketimbang ide Karl Marx dan para pengikutnya yang senantiasa menganjurkan pertentangan dan kekerasan. Tetapi, memang harus diakui bahwa kemiskinan dan ketertindasan akan sangat mudah membuat orang memilih jalur kekerasan ketimbang perdamaian. Oleh karena itu, Karl Marx pun bisa menjadi sangat mudah pula mendapatkan pengikut di kalangan kaum proletar yang hidupnya senantiasa tertindas dan kelaparan. Meski mereka toh akhirnya kecewa juga sebab Marxisme, seperti dalam kisah Orwell Animal Farm, memang hanyalah sekedar membasmi kebusukan lama untuk kemudian membangun kebusukan yang lainnya.
4. Fundamentalisme dan Kreasionisme
Walaupun teori evolusi memang telah diterima secara luas oleh berbagai kalangan masyarakat, baik dari kalangan komunis, borjuis maupun kalangan yang lainnya, ini tidaklah berarti semua orang di Barat sekarang telah menyetujuinya. Hingga sekarang ini masih tetap ada orang yang menentang teori ini meskipun undang-undang anti evolusi di Tennessee telah dihapus pada tahun 1967. Dan mereka adalah kaum fundamentalis yang sama juga. Dengan menamakan dirinya sebagai kaum creationist, sebagai lawan dari evolusionist, mereka mencoba menyusun dalil-dalil baru untuk mengilmiahkan keyakinannya. Tetapi dalil tersebut dengan mudah dapat dipatahkan oleh para ilmuwan.[17]
Para ilmuwan bisa dengan mudah mematahkan dalil mereka karena dasar-dasarnya memang sangat lemah. Kaum kreasionis antara lain menyatakan bahwa usia bumi ini hanya baru 10 ribu tahun. G. Brent Dalrymple, dari Survei Geologi Amerika menentang keyakinan semacam ini. Ia menyatakan, “Perkiraan ini bukan hanya sekedar meleset, melainkan sangat jauh berbeda dengan taksiran umum kalangan ilmuwan. Menurut perhitungan yang lazim diterima sekarang ini, umur bumi sudah mencapai 4,5 milyar tahun! Radioaktivitas adalah satu-satunya proses yang kami ketahui, yang secara konstan melaksanakan tugasnya selama milyaran tahun. Teori bumi yang muda dari para kreasionis dapat digolongkan ke dalam teori yang menyatakan bahwa bumi ini datar bak sebuah pinggan”.[18]
Salah seorang ilmuwan lain yang turut menentang kaum kreasionis adalah Stephen Jay Gould, guru besar Harvard. Dalam mendukung pendapatnya Gould lebih suka mengemukakan bukti-bukti fosil. Ia menolak alasan yang selalu dikemukakan para kreasionis bahwa fosil dan bebatuan yang ditemukan dimana-mana adalah endapan yang terjadi ribuan tahun yang lalu, tatkala banjir semesta yang melanda dunia mulai surut.[19] Menurut keyakinan kaum kreasionis, dalam banjir besar itu hanya mahluk yang paling cerdas dan sejumlah mamalia yang berhasil menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi. Karena itu, fosil mereka ditemukan pada lapisan bumi yang paling atas.
Gould tak mau menerima pendapat semacam itu. “Kalau memang benar demikian, mengapa jenis kerang tertentu yang biasanya hidup di perairan dangkal ditemukan baik di lapisan bumi yang bawah maupun yang atas? Mungkinkah ada kerang yang lebih cerdas sehingga mampu menyelamatkan diri ke dataran yang lebih tinggi? Kerang bahkan tak mempunyai kepala,” demikian kata Gould.[20]
Para tokoh fundamentalis lainnya yang cukup terkenal antara lain adalah Henry Morris dengan bukunya Scientific Creationism dan Duane Gish dengan bukunya The Fossil Say No. Morris ini adalah ketua Institute for Creation Research (ICR) yang artinya Lembaga Riset Ilmu Kreasi yang bertempat di California sedangkan Gish adalah wakilnya. Selain itu, masih banyak lagi karya-karya kaum kreasionis yang lainnya. Dan seiring dengan perkembangan zaman, kaum fundamentalis sekarang juga menggunakan situs internet untuk menyebarluaskan pandangan mereka. Berbagai situs mereka bertebaran di media elektronik canggih ini. Bila dilihat sekilas mungkin orang akan bisa menyangkanya sebagai karya ilmuwan sungguhan karena mereka memang menggunakan teknik-teknik yang cukup lihai. Tetapi, bila kita mau sedikit teliti, maka kita akan dengan mudah menemukan propaganda kaum fundamentalis di setiap halaman yang ada. Bahkan sudah semenjak tampilan pertama.
Pada awal dekade 80-an, kaum fundamentalis ini juga pernah mencoba untuk memasukkan ide kreasi mereka ke dalam kurikulum sekolah untuk mengimbangi pelajaran evolusi. Dan ini sempat menimbulkan perdebatan yang luas di Amerika Serikat. Tetapi, para penentangnya kemudian berhasil menolaknya dengan mengatakan bahwa usaha semacam itu berarti tidak menghormati pemisahan antara agama dan gereja, yang dijamin dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat. Sebagaimana kita ketahui, Amerika Serikat dan berbagai negara Barat lainnya memang secara resmi adalah negara sekuler yang memisahkan antara urusan agama dan negara.
Dan yang mungkin terasa agak aneh, ada juga di antara kaum fundamentalis ini yang latar belakang pendidikannya adalah ilmu biologi, termasuk di antaranya Duane Gish. Nampaknya, teori evolusi ini masih terasa cukup mengerikan bagi sebagian orang. Banyak yang mengaitkan teori ini dengan melunturnya nilai-nilai moral dan keluarga. Dan kalau pada masa perang dingin dulu, banyak juga yang mengaitkannya dengan komunisme. Karena itu, penentangan mereka terhadap evolusi pun masih berlangsung hingga sekarang. Dan yang paling akhir, pada bulan Agustus 1999 di negara bagian Kansas mereka telah berhasil menyingkirkan teori evolusi dari kurikulum sekolah.[21] Suatu hal yang membawa keprihatinan bagi banyak kalangan ilmuwan di sana.
Satu hal lagi yang nampaknya belum banyak diketahui oleh masyarakat di Indonesia, buku-buku dan VCD kaum kreasionis Kristen di Amerika ini kemudian dijiplak mentah-mentah oleh seorang penulis dari Turki yang bernama pena Harun Yahya. Harun Yahya ini tergabung dalam satu organisasi yang bernama Bilim Arastirma Vakfi (BAV) yang artinya kurang lebih sama dengan ICR yang di Amerika tadi. Bagi mereka yang sudah cukup lama menekuni masalah evolusi dengan segala kontroversinya, maka cukup dengan sekelebatan mata saja akan bisa dengan mudah mendapati bahwa Harun Yahya ini hanyalah seorang ahli jiplak saja. Dan boleh dikatakan Harun Yahya ini adalah seorang penyambung lidah kaum Kristen fundamentalis di dunia Islam. Sialnya, bagi umat Islam yang masih awam dan tak begitu paham dengan masalah evolusi akan dengan segera menyambut Harun Yahya ini sebagai “pahlawan Islam”. Betapa ironisnya. Padahal, dia itu malah penyambung lidah kaum Kristen fundamentalis Amerika. Ini memang benar demikian. Malah kaum fundamentalis Kristen itu dengan terus terang sering memuji-muji Harun Yahya. Para “ilmuwan” yang disebut-sebut di dalam karya Harun Yahya itu adalah kaum Kristen fundamentalis semuanya (anggota ICR). Bila ada di antara pembaca yang ingin membuktikan hal ini cobalah baca dan bandingkan karya-karya Harun Yahya ini dengan karya kaum kreasionis Kristen di Amerika. Boleh Anda cari di internet. Dan Harun Yahya ini memang sering juga menyelenggarakan konferensi bersama dengan kaum kreasionis Kristen dari Amerika. Banyak artikel di internet yang mengulas hal ini. Silakan Anda cari dan baca sendiri saja. Ketikan saja keyword “Harun Yahya and Creationism”, maka akan segera bermunculanlah berbagai artikel yang mengulasnya.
5. Kaczynski, Masyarakat Industri dan Mismatch Theory
Tanpa harus mengesampingkan arti penting dari teori evolusi, nampaknya memang cukup bisa dimengerti kenapa hingga saat ini serangan terhadap teori evolusi di Barat masih terus berlangsung. Banyak orang yang menyalahkan teori evolusi terhadap hilangnya nilai-nilai tradisional yang nyaman dan bisa menimbulkan ketentraman batin. Akibat-akibat semacam inilah yang masih menghantui banyak orang sehingga mereka masih dengan sengit memusuhi teori evolusi meskipun sebenarnya menyadari kebenarannya.Selain itu, berbagai kemajuan teknologi yang telah mencapai puncaknya, dan ini tentunya terutama dirasakan di Barat, selain juga di berbagai belahan dunia lainnya dalam skala yang berbeda-beda, telah membuat Homo sapiens, mahluk yang selama proses seleksi alam insting sosialnya telah terbentuk dengan begitu kuat itu kini terlempar ke dunia modern yang lain sama sekali dengan lingkungan yang telah membentuk instingnya selama jutaan tahun. Sekitar seperempat dari jumlah rumah atau flat-flat di Amerika hanya berisikan satu orang penghuni. Dengan insting sosial yang begitu kuat, rasa terisolasi dan kesepian memang adalah siksaan yang tak tertanggungkan. Selain itu, masih banyak lagi ketidakserasian antara insting alami manusia dengan kondisi lingkungan dunia modern sehingga menyebabkan depresi serta problem psikologi lainnya. Kasus depresi di berbagai negara industri meningkat dua kali lipat setiap sepuluh tahun dan bunuh diri merupakan penyebab nomor tiga dari kematian kaum muda di Amerika Utara setelah kecelakaan lalu lintas dan pembunuhan.
Kondisi semacam itulah yang membuat Theodore John Kaczynski, meski bukan seorang fundamentalis--dan mungkin malah atheis--menjadi sangat berminat untuk menghancurkan teknologi dan masyarakat industri dengan serangkaian paket bom yang ia kirimkan ke berbagai universitas, bandara dan segala hal yang berkaitan dengan teknologi tinggi. Mungkin ini kedengaran agak aneh karena Kaczynski adalah lulusan fakultas matematika Universitas Harvard tahun 1962 dan memperoleh gelar doktor di Universitas Michigan sebelum kemudian mengajar di Berkeley. Jadi, bidangnya sedikit banyak masih terkait dengan teknologi juga. Tapi, ia kemudian memutuskan untuk berhenti menjadi profesor matematika di sana dan beralih profesi menjadi “pertapa” di pegunungan Montana. Kaczynski yang juga terkenal dengan julukan Unabomber atau pun Mad Genius ini mengeluhkan bahwa dunia modern, meskipun dengan segala keajaiban teknologinya, adalah tempat yang sangat tidak nyaman dan tidak bisa memenuhi apa yang sesungguhnya kita inginkan dalam hidup ini. Ia telah membuat umat manusia semakin menjauh dari pola kehidupan alami yang seharusnya.[22]
Dalam berbagai manifesto yang ia kirimkan ke pemerintah dan media massa, ia juga mengatakan, “Saya berpendapat bahwa segala problem sosial dan psikologi masyarakat modern yang ada saat ini karena masyarakat sekarang terpaksa harus hidup dalam kondisi yang sama sekali berbeda dengan kondisi masa lampau yang membentuknya pada saat berevolusi.” Atau dalam manifesto bagian lain yang maksudnya hampir sama ia juga mengatakan, “Apa pun alasan yang lainnya, sudah bisa dipastikan bahwa teknologi telah menciptakan lingkungan sosial baru yang secara radikal sangat berbeda dengan keadaan lingkungan di mana proses seleksi alam telah mengadaptasi umat manusia baik secara fisik maupun psikologi. Apabila manusia tidak mau menyesuaikan diri dengan lingkungan baru ini secara artifisial, maka dia akan diadaptasi melalui proses seleksi alam yang panjang dan menyakitkan.”[23]
Suatu keluhan yang sebenarnya juga dirasakan sangat familiar oleh banyak anggota masyarakat di Barat meski tentunya mereka tak lantas menjadi seekstrim Kaczynski yang menyebut dirinya sebagai seorang anarkis ini. Tetapi, boleh dibilang ide pria keturunan imigran Polandia ini lebih anarkis dan “revolusioner” ketimbang Bakunin. “We may not share his approach to airing a grievance, but the grievance itself feels familiar,” demikian tulis majalah Time.[24]
Karena kecerdikannya, Kaczynski baru bisa ditangkap pada tahun 1996 setelah selama 18 tahun melancarkan aksinya dan menimbulkan banyak korban. Itu pun karena diserahkan sendiri oleh keluarganya. Dengan tertangkapnya “the most wanted terrorist” domestik ini, maka berakhirlah perburuan yang terlama dan termahal sepanjang sejarah FBI, yang memakan biaya hingga 50 juta dolar. Bahkan, para agen federal tersebut sampai mengunjungi paranormal segala. Sang anarkis yang punya cita-cita ingin mengirim kita kembali ke zaman purba itu pun sekarang terpaksa harus mendekam di penjara sepanjang sisa hidupnya. Dan ia tidak bisa lagi menikmati kehidupan alami di pondok kayunya yang terpencil di pegunungan Montana dengan hanya berteman beruang grizzly yang berkeliaran di sekitarnya.
Tetapi, bagaimana pun juga, ketika membaca kisah Unabomber dan manifesto-manifesto tersebut, terkadang kita merasa ikut terbawa juga. Apalagi dengan gaya menulisnya yang memang cukup “revolusioner” tersebut, meski di sana-sini tetap terasa ada unsur kegilaannya. Meski demikian, harus diakui ia ada unsur kejeniusannya juga. Ia mampu memperhatikan fakta-fakta yang diabaikan oleh orang lain. Dan boleh dikatakan pendapat Kaczynski itu memang turut memberikan sumbangan yang cukup lumayan bagi ilmu psikologi dan anthropologi atau juga kepada ilmu baru yang disebut sebagai evolutionary psychology. Sayangnya, perhatian orang terutama pada aksi teror yang dilakukannya. Dalam ensiklopedi ia memang dimasukkan hanya dalam bab terorisme saja dan sama sekali tidak ada pembahasan tentang pendapat-pendapatnya. Jadi, ia memang gabungan antara kejeniusan dan kegilaan. Julukan Mad Genius (Jenius Gila) bagi pria berewokan dan berambut kusut ini–sehingga ada yang menjulukinya sebagai Einstein--nampaknya tidak terlalu keliru. Toh, tak akan ada orang yang mau kembali ke zaman purba dan membuang semua hasil teknologi. Atau mungkin juga ini adalah reaksi yang sangat ekstrim terhadap hancurnya nilai-nilai tradisional yang memang antara lain disebabkan oleh industrialisasi dan kemajuan teknologi yang sedemikian pesatnya. Tapi, apa boleh buat, kita tak mungkin memutar kembali jarum sejarah.
Meski demikian, walau sebagian ide Kaczynski tersebut akan bisa mengingatkan kita kepada kisah Hulagu Khan di kota Baghdad, terutama pada bagian akhir Human Race at A Crossroads, tetapi sebagian diantaranya memang mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Dan hal ini diakui juga oleh para ahli anthropologi dan psikologi meski mereka tentu tak menyetujui sikap anarkisnya. Apalagi, dengan cara membantai orang segala. Tetapi, terlepas dari unsur-unsur kegilaannya, manifesto sebanyak kurang lebih 35.000 kata tersebut tetap menarik untuk dibaca. Tetapi, hati-hati, jangan sampai tertular kegilaannya meski memang tetap ada beberapa hal dari Kaczynski ini yang patut ditiru seperti perhatiannya kepada lingkungan hidup misalnya. Dan ini pula yang menyebabkan sebagian masyarakat pecinta lingkungan hidup di Amerika menganggapnya sebagai pahlawan di dalam menentang perusakan lingkungan oleh limbah industri. Malah ada yang dengan serius ingin mengajukannya sebagai calon presiden pada saat itu, tahun 1996, bersaing dengan Clinton dan Bob Dole. Juga ada situs yang berisi “Unabomber theme song” atau pun menawarkan screen saver gratis yang antara lain berisi “fashion tips” ala Unabomber. Fashion gaya Kaczynski yang berambut awut-awutan dan jarang mandi. Dan banyak hal lain yang akan bisa membuat kita spontan tersenyum geli bila membacanya. Dukungan ini mungkin disebabkan karena perusakan lingkungan oleh kegiatan industri di sana memang sudah cukup parah. Amerika juga adalah penghasil sampah industri berbahaya terbesar di dunia, sekitar 300 juta ton pertahun. Padahal, total sampah industri dari seluruh negara-negara berkembang hanya sekitar 15 juta ton. Meski kita memang tetap harus menyesalkan jatuhnya korban akibat ulah Kaczynski, tetapi jumlah tersebut tidak akan bisa dibandingkan dengan akibat-akibat yang akan terjadi bila perusakan lingkungan ini terus berlangsung sehingga akhirnya menyebabkan hancurnya ekosistim di bumi dan pada gilirannya akan menyebabkan punahnya milyaran umat manusia.
Ketika membaca kisah Unabomber tersebut, maka mau tidak mau akan mengingatkan kita kepada salah satu kisah di dalam buku Slilit Sang Kiai tentang seorang lelaki setengah baya yang teronggok sendirian dan kesepian di sebuah stasiun kereta bawah tanah di Jerman. Atau dalam kisah yang lain bagaimana sebagian di antaranya kemudian terpaksa harus “mengungsi” dari dunia modern dan mencoba mencari ketentraman di ladang-ladang di tanah pedesaan. Mendirikan desa manusia. Mencoba menemukan kembali jati dirinya sebagai spesies dengan insting sosial yang senantiasa merindukan keramahan dan kehangatan. Ordo Amish, sedikit banyak, barangkali ada benarnya juga. Atau barangkali ada yang masih ingat adegan pembuka dari film The Gods Must be Crazy?
Membaca kisah-kisah semacam itu, terkadang memang membuat kita merasa tersentuh. Dan dari keseluruhan isi buku ini, memang bagian inilah yang membuat saya menjadi termenung cukup lama. Memang apalah arti “kemajuan” bila tak membawa perbaikan dan kebahagiaan. Kondisi semacam itulah yang kemudian membuat timbulnya ilmu baru yang berusaha mempelajari ketidakserasian antara susunan genetik manusia dengan lingkungan dunia modern. Dan ini tidaklah berkaitan dengan rasa kesepian dan terisolasi saja tetapi juga dengan banyak hal yang lainnya. Ilmu yang mungkin nanti disebut Mismatch Theory ini akan mencoba mencari sumber dari semua rasa depresi dan problem psikologi yang ada pada manusia modern dengan cara menelusuri kembali proses seleksi alam yang mendesain insting dan pikiran manusia.[25] Dan mudah-mudahan, juga akhirnya mencoba mencari jalan penyelesaiannya. Sebab, kita nampaknya memang masih perlu menciptakan satu teknologi lagi, yaitu teknologi membahagiakan manusia.
6. Teori Evolusi dan Pengaruhnya kepada Kehidupan Umat Manusia
Sebenarnya, skeptisisme di Barat sudah dimulai sejak sebelum dicetuskannya teori evolusi dengan timbulnya gerakan pencerahan atau enlightenment, di mana orang lebih mengutamakan rasio daripada dogma agama dalam cara berpikirnya. Akan tetapi, mereka yang skeptis itu berasal dari kalangan tertentu saja yang umumnya adalah kaum terpelajar seperti misalnya Edward Gibbon dan Voltaire, sedangkan masyarakat luas masih berpegang teguh kepada agama. Tetapi, dengan dicetuskannya teori evolusi, maka skeptisisme tak terhindarkan lagi segera menjalar ke seluruh lapisan masyarakat dengan tak dapat dicegah-cegah lagi, dengan segala akibat yang kemudian ditimbulkannya.
Now, in all ages there have been sceptics in Christendom. The Emperor Frederick II was certainly a sceptic, in the eighteenth century Gibbon and Voltaire were openly anti-Christian, and their writings influenced a number of scattered readers. But these were exceptional people…. Now, the whole Christendom became, as a whole, sceptical. This new controversy touched everybody who read a book or heard intelligent conversation. A new generation of young people grew up, and they found the defenders of Christianity in an evil temper, fighting their cause without dignity or fairness.
(Pada tiap-tiap zaman selalu terdapat orang yang ragu-ragu terhadap ajaran Agama Kristen. Kaisar Frederick II adalah seorang skeptis, pada abad kedelapanbelas Gibbon dan Voltaire secara terbuka menyatakan dirinya anti-Kristen, dan tulisan-tulisan mereka mempengaruhi sejumlah pembaca. Tetapi, mereka adalah orang-orang tertentu saja. Sekarang, seluruh dunia Kristen, secara keseluruhan, menjadi skeptis. Kontroversi ini menyentuh setiap orang yang membaca buku atau mendengarkan perbincangan ilmiah. Generasi baru yang lebih muda lahir dan mereka menyaksikan para pembela agama Kristen dalam keadaan sangat marah, memperjuangan keyakinan mereka tanpa harga diri dan kejujuran).[26]
Demikianlah pengaruh dan akibat-akibat teori evolusi kepada masyarakat di Barat sana. Bila skeptisisme kepada ajaran-ajaran Kristen ini semula hanya berkisar pada kalangan tertentu saja, maka sekarang menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Hal ini kemudian membawa pengaruh yang sangat mendalam kepada segala aspek kehidupan masyarakat di Barat dan berbagai belahan dunia yang lainnya. Baik itu di dalam dunia politik, pemikiran, agama, filsafat, sains maupun tatanan sosial masyarakat.
Selain membawa kemajuan di dalam bidang sains dan perubahan total di dalam cara pandang masyarakat kepada agama, sejarah dunia, alam semesta dan banyak lagi hal lainnya, pada sisi yang lain, versi yang disalahpahami, teori evolusi ini memang sedikit banyak turut punya andil mencetuskan dua perang besar di muka bumi, yaitu PD I dan PD II, dan setelah itu masih punya andil juga di dalam terjadinya perang dingin antara blok Barat dan blok Timur. Suatu hal yang semenjak dulu hingga sekarang masih sering diungkit-ungkit oleh kaum fundamentalis Kristen di Amerika. Oleh karena itu, serangan mereka terhadap teori evolusi semakin menghebat selepas terjadinya PD I, yang mencapai puncaknya dengan terjadinya “monkey trial” di Tennessee pada tahun 1925. Para tokoh politik maupun pemimpin negara yang mencetuskan dua perang dunia itu memang adalah murid-murid hitam dari Darwin, yang menganut misguided version dari Darwinisme. Sedangkan tentang perang dingin, semua orang tentunya sudah tahu bahwa Karl Marx itu pun adalah murid hitam dari Darwin pula. Akan tetapi, keterkaitan antara Marxisme dan Darwinisme itu sebenarnya telah ditolak oleh Darwin sendiri. Lihat kembali sub-bab Darwinisme dan Marxisme di atas tadi. Demikian pula, para ilmuwan sekarang ini tentunya telah sepakat menolak paham-paham atau pun teori-teori menyesatkan yang timbul akibat kesalahpahaman sebagian orang kepada teori evolusi, baik itu paham Marxisme, Nazisme atau pun yang lainnya. Sebagai suatu ilmu, teori evolusi memang bersifat netral, sebagaimana juga halnya ilmu-ilmu yang lainnya. Tetapi, penafsiran yang salah atau pun penyalahgunakan suatu ilmu memang akan bisa berakibat buruk bagi siapa saja. Apakah kita misalnya bisa menyalahkan Edison dan para ahli listrik lainnya karena digunakannya hasil kreasi mereka untuk menyetrum para aktifis politik di penjara-penjara? Atau menyalahkan para ahli komputer karena beredarnya ribuan situs porno di internet? Jarang sekali terdengar tuduhan semacam itu. Kita agaknya memang harus lebih menyalahkan umat manusia yang tak bisa memanfaatkan dan memahami dengan baik hasil-hasil penemuan dan penelitian para ilmuwan.
Walau segala hiruk pikuk dan kegaduhan akibat dua perang dunia dan perang dingin itu boleh dikatakan telah berlalu, pengaruh teori evolusi ini ternyata masih tetap mendalam hingga saat ini. Dan tentu saja hingga masa depan. Boleh dikatakan, teori ini telah menimbulkan suatu revolusi total kepada segala aspek kehidupan di masyarakat Barat selama hampir satu setengah abad ini. Dan walau tidak disadari oleh masyarakatnya sendiri, juga mempengaruhi berbagai aspek kehidupan di seluruh penjuru dunia yang lainnya. Hampir tidak ada cabang ilmu pengetahuan atau pun aspek sosial dan politik yang tidak terpengaruh oleh teori ini. Juga walaupun teori ini adalah landasan utama dari ilmu biologi modern, tetapi kemudian turut mempengaruhi berbagai cabang ilmu pengetahuan yang lainnya, termasuk juga misalnya ilmu fisika. Dan boleh dikatakan ini adalah satu ilmu wajib bagi para cendekiawan, filsuf maupun ilmuwan di Barat. Bahkan, juga bagi para agamawan di sana sekalipun mereka masih banyak yang menentangnya. Sayang sekali, teori evolusi dan segala seluk-beluknya ini masih belum begitu dikenal dan dipahami di Indonesia sini, bahkan oleh kalangan terpelajarnya. Aneh juga memang, kenapa teori yang telah menjadi salah satu landasan utama bagi ilmu pengetahuan modern ini hampir-hampir tak dikenal di Indonesia sini, kecuali mungkin disinggung selintas dalam pelajaran di sekolah-sekolah menengah. Dan setelah itu dilupakan lagi. Mudah-mudahan sedikit penjelasan pada artikel ini nanti bisa menarik perhatian Anda semuanya kepada masalah yang sangat penting dan menarik ini.
Yogyakarta, 1997
(Note: Artikel ini adalah Bab 1, seluruhnya ada 8 Bab).
Endnote
Jonathan Howard, Darwin Pencetus Teori Evolusi, terj. A. Hadyana (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), hlm. 3.
Ibid., hlm. 13.
H.G. Wells, The Outline of History, (London: Cassel, 1972), hlm. 819. (Selanjutnya dikutip sebagai H.G. Wells).
The Outline of History terbit tahun 1920.
H.G. Wells, hlm. 819.
Jonathan Howard, op. Cit., hlm. 12.
H.G. Wells, hlm. 818. Teks aslinya adalah sebagai berikut: Facing Huxley with a smiling insolence, he begged to know was it through his grandfather or grandmother that he claimed his descent from a monkey? Huxley turned to his neighbour and said, “The Lord hath delivered him into my hands.” Then he stood before us and spoke these tremendous words, “I have certainly said that a man has no reason to be ashamed of having an ape for his grandfather. If there were an ancestor whom I should feel ashamed in recalling, it would rather be a man of restless and versatile intellect who plunges into scientific questions with which he has no real acquaintance, only to obscure them by an aimless rhetoric and distract the attention of his audience from the real point at issue by eloquent digression and skilled appeals to prejudice”. These words were certainly spoken with passion. The scene was one of great excitement. A lady fainted, says Hackett… Such was the temper of this controversy. Lihat juga Jonathan Howard, op. Cit., hlm. 9-10; Michael Ruse, Darwinism Defended, A Guide to the Evolution Controversies, (Menlo Park, Calif.: The Benjamin Cumming/Publishing Company, Inc., 1982), hlm. 232.
Dalam hal ini, secara umum umat Islam nampaknya mempunyai sikap yang berbeda, meski memang masih belum semuanya. Lihat “Ribuan Tahun Sebelum Nabi Muhammad”, Selingan Majalah Tempo, No. 40, Th. XI, 5 Desember 1981, hlm. 42. Teks lengkapnya: Ahli Barat sendiri banyak yang menyadari, Islam sebenarnya lebih terbuka terhadap penyelidikan ilmiah. Ini pernah dikemukakan antara lain oleh Prof. Robert Mc. Adam dari Institut Ketimuran Universitas Chicago. Pernah ikut memimpin survei lapangan pada 1976-1977, ia menemukan keterbukaan Islam terhadap perubahan penjelasan sejarah. Di negeri-negeri Islam pada umumnya, profesor itu tak melihat sikap yang memusuhi ilmu seperti yang tampak pada beberapa kelompok Kristen fundamentalis di Amerika Serikat umpamanya.
“Fundamentalis Kristen : Tak Ada Rotan Akar pun Jadi”, Selingan Majalah Tempo, No. 30, Th. XI, 26 September 1981, hal. 48.
Di Indonesia, teori evolusi mulai diajarkan di sekolah semenjak berlakunya kurikulum 1975.
Roger N. Baldwin, “Scopes Trial”, Encyclopaedia Americana, Vol. 24, (Danbury, Conn.: Grolier Inc., 1993), hlm. 421. Lihat juga “Yang ini Versi Nasrani”, Tempo, No. 6, Th. XI, 11 April 1981, hlm. 72.
H.G. Wells, hlm. 818.
Ibid ., hlm. 820.
Ibid ., hlm. 821.
Jonathan Howard, op. Cit., hlm. 133.
Lebih lanjut tentang hal ini lihat A.B. Shah, Metodologi Ilmu Pengetahuan, terj. Hasan Basari, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 81-83.
“Fundamentalis Kristen: Tak Rotan Akar Pun Jadi”, op. Cit., hlm. 48.
“Seratus Tahun setelah Darwin”, selingan majalah Tempo, No. 16, Th. XII, 19 Juni 1982, hlm. 45. Usia alam semesta sendiri sekitar 3 kali usia bumi, yaitu kurang lebih sekitar 11 hingga 12 milyar tahun.
Ibid.
Ibid., hlm. 46 – 47.
Stephen Jay Gould, ”Dorothy, It’s Really Oz”, Time, No. 8, 23 Agustus 1999.
Robert Wright, “The Evolution of Despair”, Time, 28 Agustus 1995. Selain membahas masalah Unabomber, artikel ini juga berisikan hal-hal lain yang cukup menarik yang menjelaskan tentang banyak hal di dunia modern sekarang ini yang sebenarnya tidak sesuai dengan insting alami manusia sehingga bisa menimbulkan depresi dan berbagai gangguan psikologis lainnya. Jadi, nampaknya memang harus diusahakan jalan tengahnya. Khusus artikel ini rasanya cukup penting untuk dibaca secara keseluruhan karena dari sana kita akan lebih bisa memahami apa yang selama ini mungkin kita rasakan tetapi tidak kita ketahui penyebabnya.
www.hotwired.lycos.com\special\unabom. Entah apa kata Kaczynski bila mengetahui dirinya termuat di puluhan ribu situs internet sebab ia memang anti segala jenis teknologi tinggi, termasuk komputer, dan pernah mengirim bingkisan bom ke seorang ahli komputer. Selain situs di atas, masih terdapat beberapa lagi yang memuat manifesto yang berjudul Industrial Society and Its Future tersebut. Manifesto ini pertama kali dimuat di New York Times dan Washington Post satu tahun sebelum ia tertangkap. Teks asli dari kutipan-kutipan di atas adalah sebagai-berikut. Judul bab ditaruh di akhir paragraph:
We attribute the social and psychological problems of modern society to the fact that society requires people to live under conditions radically different from those under which the human race evolved and to behave in ways that conflict with the patterns of behavior that the human race developed while living under the earlier conditions. (Sources of Social Problems)
Whatever else may be the case, it is certain that technology is creating for human beings a new physical and social environment radically different from the spectrum of environments to which natural selection has adapted the human race physically and psychological. If man is not adjust to this new environment by being artificially re-engineered, then he will be adapted to it through a long an painful process of natural selection. (The Escape)
It would be better to dump the whole stinking system and take the consequences. (The Escape)
The Industrial Revolution and its consequences have been a disaster for the human race. They have greatly increased the life-expectancy of those of us who live in "advanced" countries, but they have destabilized society, have made life unfulfilling, have subjected human beings to indignities, have led to widespread psychological suffering (in the Third World to physical suffering as well) and have inflicted severe damage on the natural world. (Introduction)
To many of us, freedom and dignity are more important than a long life or avoidance of physical pain. Besides, we all have to die sometime, and it may be better to die fighting for survival, or for a cause, than to live a long but empty and purposeless life. (Human Suffering) .
Robert Wright, loc. Cit.
Ibid
H.G. Wells, hlm. 820.
Ibid.