Indonesia
membutuhkan jutaan entrepreneur. Peran universitas dalam melahirkan
(calon-calon) entrepreneur harus dieyaluasi dan ditingkatkan. Kurikulum
entrepreneur perlu dimasukkan. Fokus pada pembentukan mental
entrepreneur, jangan sekadar teori.
LAPORAN UTAMA (BAG. 1)
Oleh: Luqman Hakim Arifin, Fathurroji, Devi
Indonesia
membutuhkan lahirnya jutaan entrepreneur. Kalau melihat fakta tentang
negeri kita, Indonesia kaya raya dengan Sumber Daya Alam SDA). Bahkan
sejak ratusan tahun lalu, bangsa penjajah sudah tahu kekayaan SDA kita.
Makanya mereka berdatangan ke sini untuk mengeksploitasi kita.
Di
samping SDA yang berlimpah, mulai dari minyak bumi, timah, gas alam,
nikel, kayu, bauksit, tanah subur, batu bara, emas, perak, tanah
pertanian, perkebunan, padang rumput, hutan, dan Iain-lain, negeri ini
juga memiliki penduduk dengan usia angkatan kerja dan pemuda yang
fantastis.
Data EPS tahun 2010 menyebutkan, penduduk
Indonesia saat ini 237.556.363 juta jiwa. Dari jumlah itu, yang
tergolong penduduk usia produktif atau angkatan kerja 116,53 juta.
Logikanya, jika sebuah negara memiliki lahan pekerjaan yang cukup luas
dan cadangan tenaga kerja yang berlimpah, maka mestinya negeri ini
seharusnya makmur-sejahtera, jumlah penganggurannya sedikit dan tidak
ada penduduk miskin yang jumlahnya na'udzubillah.
Tapi apa
kenyataannya? Semua itu hanya ada dalam hitung-hitungan Utopia.
Faktanya, Indonesia masih menduduki jajaran Negara Miskin atau istilah
halusnya Negara Berkembang. Utang Indonesia hingga Desember 2008,
menurut catatan Bank Indonesia (BI) US$ 149 miliar. Sampai akhir Januari
2010, mencapai US$ 174,041 miliar atau sekitar Rp 2 ribu triliun.
Jumlah
penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan 17,8 persen. Sedang
kurang lebih 49,0 persen-nya hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2
atau kurang lebih Rp 18.000,- per hari. Ini ukuran miskin menurut Bank
Dunia. Jadi, kalau penghasilan seseorang kurang dari US$ 60 per bulan
(setara Rp 560 ribu), itu sudah masuk kategori orang miskin.
Pasti,
jika sebuah negeri itu bermasalah dengan kesejahteraan hidup warga
negaranya, akan muncul masalah lain yang menjadi gandengan setianya:
pengangguran yang tidak pernah kunjung terselesaikan sampai ke
akar-akarnya meski sudah ganti presiden dan menteri berkali-kali.
Bagi
pemuda yang bukan sarjana, terobosan yang diambil untuk mengatasi
pengangguran adalah lari ke luar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia
(TKI). Untuk kepentingan jangka pendek, menjadi TKI memang membantu
Indonesia. TKI mengurangi pengangguran, memberikan pemasukan devisa dan
menambah jumlah isi rekening di bank.
Namun untuk
kepentingan jangka panjang, tentu saja ini membahayakan dan memalukan.
SDA negeri ini akan terbengkalai atau akan dimiliki bangsa lain karena
tenaga kerjanya banyak yang di luar negeri. Banyak single parent yang
nantinya menjadi ledakan problem tersendiri. Kemudian secara bargain
politics, ' yang namanya negeri peminta itu pasti posisinya lebih lemah.
Jadi, jangan heran kalau negara-negara penerima TKI kerap bersikap
arogan dan menempatkan posisi mentalnya di atas kita. Negara-negara itu
seperti tak merasa ditolong oleh Indonesia dengan pengiriman TKI.
Sebaliknya, mereka seperti bangga bisa menolong Indonesia dari beban
pengangguran. Apes kan?
Untuk pemuda yang memegang ijazah
sarjana, tidak berarti nasib mereka lebih beruntung. Mereka malah harus
menanggung beban yang lebih berat. Mau menjadi TKI informal, sudah malu
duluan. Masak sarjana menjadi TKI? Mau bekerja serabutan di dalam negeri
sendiri, lebih malu lagi.
Harapan mereka adalah bisa
masuk di pekerjaan industrial. Sayangnya, keinginan ini' terhalang oleh
skill standar yang dituntut dunia industri di satu sisi, dan terbatasnya
serapan tenaga kerja di sisi lain. Pendidikan sepertinya gagal menjadi
mitra industri. Tak heran jika perguruan tinggi atau universitas sering
menerima tuduhan sebagai penyuplai beban bangsa.
Pengusaha
nasional Ir. Ciputra dalam bukunya Ciputra Quantum Leap memaparkan
bahwa setiap tahun perguruan tinggi di Indonesia menghasilkan lebih dari
300:000 lulusan, tapi daya scrap lapangan kerjanya terlalu sedikit.
Data Februari 2007 misalnya, lebih dari 740.000 lulusan perguruan tinggi
yang menganggur. Hal ini tentu saja sangat mencemaskan karena angka ini
cenderung naik pesat dari waktu ke waktu. Lebih menyedihkan lagi bila
kelorripok penganggur terdidik yang setengah menganggur diikutkan. Pada
bulan Februari 2007 saja terdapat 1,4 juta penganggur terdidik setengah
menganggur, atau naik sekitar 26 persen dibandingkan Februari 2006.
Akankah
masalah berat ini terus tumbuh? Lalu apa solusinya? Studi Bank Dunia
mengungkapkan, modal SDA itu hanya menyumbangkan sekitar 10 persen
kemajuan bangsa. Sisanya diperankan oleh sejumlah f aktor yang bisa
disebut kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas SDM yang berperan
bagi kemajuan bangsa itu adalah inovasi dan kreativitas yang peranannya
sebesar 45 persen. Setelah itu networking 25 persen dan teknologi 20
persen.
Karena itu, kalau Anda masih mendengar orang
berpidato dengan memuji-muji Indonesia sebagai negeri kaya-subur-makmur
karena SDA-nya yang luar biasa, ya anggap saja itu sebagai hiburan.
Sebab, SDA itu hanya berperan kecil. Justru yang paling banyak memainkan
peran adalah kualitas SDM. Selama SDM kita tidak berubah, nasib bangsa
kita tidak akan berubah.
Allah sudah menegaskan:
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka
mengubah keadaan yang ada pada diri mereka" (QS: Ar-Ra'du: 11). Dengan
kata lain, untuk mengubah kualitas SDM, kita tak bisa hanya dengan
membagi-bagikan uang, obral sekolah gratis, atau memberi subsidi
bulanan. Ini sudah berulang kali dilakukan dan tidak mengubah posisi
Indonesia. Mengubahnya harus dari dalam, dari mindset-nya, dari isi
jiwanya, lalu didukung dengan stimulan, program, dan bantuan.
Mindset
yang seperti apa? Sebut saja istilahnya, the entrepreneurial mental
attitude (sikap mental entrepreneurship), sikap yang dibentuk oleh isi
pikiran kreatif, inovatif, berkemauan menggunakan teknologi sebagai
berkah, berkemauan mengubah resource dan peluang supaya mempunyai nilai
tambah, berani mengambil risiko, anti-mengandalkan, dan tentunya
mensyukuri keragaman sebagai ajang untuk meningkatkan sinergi.
Menurut
entrepreneur muda nasional, Sandiago S. Uno dan Ridlo Zarkasyi, dalam
beberapa kesempatan bertemu dengan Majalah Gontor, siapapun
kita—profesional, pekerja, atau pedagang—semua berkepentingan untuk
mengadaposi sikap mental entrepreneurship ini. Dan akan lebih sempurna
jika kita sendiri memiliki niat dan visi entrepreneur, menjadi
pengusaha. Sebab, secara kuantitas. Indonesia memang kekurangan
entrepreneur .
Menurut data terakhir, jumlah entrepreneur
kita hanya 0,18 persen (sekitar 420 ribu-an orang) dari total penduduk
Indonesia. Padahal, menurut pakar kewirausahaan, David McClelland,
minimalnya 2 persen (sekitar 4,7 juta orang) dari total penduduk sebuah
negara adalah entrepreneur, baru sebuah negara dapat hidup sejahtera.
Negara-negara
lain sudah lebih banyak dari angka minimal itu. Mungkin, karena itulah
mereka lebih maju secara ekonomi dan lebih bagus secara sosial. Warga
Singapura yang menjadi pengusaha mencapai 7 persen, China dan Jepang 10
persen, sedang Amerika rnalah sudah mencapai 12 persen.
Dilihat
dari efek kualitasnya bagi kemakmuran dan kemajuan bangsa, jika
Indonesia memiliki jumlah entrepreneur yang proporsional, minimal 2%,
maka akan ada banyak rongsokan yang bisa diubah menjadi emas. Banyak
lahan yang bisa dihidupkan sehingga peluang kerja bertambah dan jumlah
pengangguran berkurang. Namun, kalau jumlah entrepreneurnya semakin
berkurang, bisa-bisa emas yang kita miliki berubah menjadi rongsokan.
Kekayaan SDA kita tak bisa mengantarkan kita membangun masyarakat yang
makmur. SDM yang mestinya menjadi aset, berubah menjadi beban. Itulah
kenapa di depan ditegaskan: Indonesia membutuhkan lahirnya jutaan
entrepreneur.
Bahwa ada yang keliru dari peran dunia
pendidikan tinggi dalam mengatasi jumlah pengangguran di negeri ini
kiranya tak ada yang membantah. Pakar pendidikan dan Guru Besar Emeritus
Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar pernah berkata bahwa pendidikan
tinggi kita saat ini masih merupakan "pabrik pengangguran"sehingga
terjadi pemborosan dana, waktu, dan SDM.
Untuk itu,
pembukaan perguruan tinggi baru dan jurusan baru harus benar-benar
diperhatikan dan dikritisi. Sebab, alih-alih menciptakan lapangan
pekerjaan bisa-bisa malah menciptakan lapangan pengangguran baru.
Bila
ada adagium bahwa perguruan tinggi menjadi tulang punggung utama guna
memperbaiki kehidupan bangsa, maka hal itu masih perlu dibahas kembali
dan dicarikan kebenarannya dalam konteks apakah itu?
"Jelas,
ada yang salah dalam pengelolaan pendidikan tinggi saat ini. Saat ini
pendidikan tinggi kita ibarat menara gading yang bertengger di atas
langit, tapi tidak melihat ke bawah. Muncul kesan ia sangat eksklusif
terhadap realitas dan masyarakat sebagai konsumen pendidikan," jelas
Moh.Yamin, pengajar di FKIP Universitas Islam Malang, dalam artikelnya
berjudul "Kurikulum Pendidikan yang Berjiwa Entrepreneur”.
Lalu
apa akar masalahnya? Selain minimnya jiwa entrepreneurship—kalau tidak
bisa disebut tidak ada sama sekali—dalam kurikulum sekolah dan perguruan
tinggi kita, proses pengajaran dan pendidikan entrepreneurship di
bangku sekolah dan kampus juga masih terjebak pada teori semata.
Menurut
Ciputra, melalui jurusan yang ada, mindset (mentalitas dan prinsip)
entrepreneurship seyogianya bisa diajarkan. Bukan malah membuka jurusan
baru. "Jurusan arsitektur, hukum dan kedokteran harus diajari. Misalnya,
1-2 semester saja, yang penting motivasi (entrepreneurship). Juga perlu
dibuat pelatihan 3 bulan," jelas Ciputra.
Dalam hal ini,
kata Ciputra, mitos pengusaha sukses harus memiliki darah pengusaha
harus dibuang jauh-jauh."Itu salah, harus diubah. Saya yakini, untuk
menjadi pengusaha perlu pendidikan. Bila zaman dulu belajar wirausaha
dari orang tua, kini ada sekolah alternatif bagi yang tidak punya orang
tua pengusaha," tandasnya.
Ke depan, dan ini sangat urgen
saat ini, universitas harus mereposisi dirinya menjadi center of
entrepreneurship, dan bukan sekadar lembaga pendidikan, apalagi
pengajaran. "Ini sesuatu yang tak mudah diterima. Tapi ada contohnya
Universitas Harvard dan Stanford menjadi pusat bisnis dengan aset
masing-masing US$29 miliar.dan US$34 miliar," tambah Ciputra.
Selain
itu, dan ini tak kalah penting adalah komitmen pemerintah dan peran
serta masyarakat dalam mengawal lahirnya entrepreneur-entrepreneur muda
Indonesia. Sekarang atau tidak sama sekali, entrepreneur-entrepreneur
baru Indonesia yang memiliki berpandangan kreatif, inovatif, dan
bermanfaat untuk orang lain harus lahir sebanyak-banyaknya di negeri
ini.
Merujuk kepada salah satu ajaran hidup Gontor,"Jangan
jadi pegawai. Jadilah orang yang punya pegawai." Maka pesan penting
yang hendak ditekankan di sini bukan sekadar urgensi menjadi
entrepreneur, tapi pada visi-misi hidup entrepreneur pun harus bener.
Kalau entrepreneur, visi hidupnya hanya hidup untuk dirinya sendiri tok,
niscaya tidak termasuk dalam filsafat hidup Gontor. Khoirunnaasi
anfa'uhum linnaasi wa ahsanuhum khuluqon (Sebaik-baik manusia adalah
yang bermanfaat bagi manusia lainnya dan berakhlak mulia).
GONTOR, Mei 2011/Jumadil Awal-Jumadil Akhir 1432 H
7 Januari 2012 pukul 15:28