Sunday, September 15, 2013

URGENSI ENTREPRENEUR RASA UNIVERSITAS

Indonesia membutuhkan jutaan entrepreneur. Peran universitas dalam melahirkan (calon-calon) entrepreneur harus dieyaluasi dan ditingkatkan. Kurikulum entrepreneur perlu dimasukkan. Fokus pada pembentukan mental entrepreneur, jangan sekadar teori.


LAPORAN UTAMA (BAG. 1)

Oleh: Luqman Hakim Arifin, Fathurroji, Devi


Indonesia membutuhkan lahirnya jutaan entrepreneur. Kalau melihat fakta tentang negeri kita, Indonesia kaya raya dengan Sumber Daya Alam SDA). Bahkan sejak ratusan tahun lalu, bangsa penjajah sudah tahu kekayaan SDA kita. Makanya mereka berdatangan ke sini untuk mengeksploitasi kita.

Di samping SDA yang berlimpah, mulai dari minyak bumi, timah, gas alam, nikel, kayu, bauksit, tanah subur, batu bara, emas, perak, tanah pertanian, perkebunan, padang rumput, hutan, dan Iain-lain, negeri ini juga memiliki penduduk dengan usia angkatan kerja dan pemuda yang fantastis.

Data EPS tahun 2010 menyebutkan, penduduk Indonesia saat ini 237.556.363 juta jiwa. Dari jumlah itu, yang tergolong penduduk usia produktif atau angkatan kerja 116,53 juta. Logikanya, jika sebuah negara memiliki lahan pekerjaan yang cukup luas dan cadangan tenaga kerja yang berlimpah, maka mestinya negeri ini seharusnya makmur-sejahtera, jumlah penganggurannya sedikit dan tidak ada penduduk miskin yang jumlahnya na'udzubillah.

Tapi apa kenyataannya? Semua itu hanya ada dalam hitung-hitungan Utopia. Faktanya, Indonesia masih menduduki jajaran Negara Miskin atau istilah halusnya Negara Berkembang. Utang Indonesia hingga Desember 2008, menurut catatan Bank Indonesia (BI) US$ 149 miliar. Sampai akhir Januari 2010, mencapai US$ 174,041 miliar atau sekitar Rp 2 ribu triliun.

Jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan 17,8 persen. Sedang kurang lebih 49,0 persen-nya hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 2 atau kurang lebih Rp 18.000,- per hari. Ini ukuran miskin menurut Bank Dunia. Jadi, kalau penghasilan seseorang kurang dari US$ 60 per bulan (setara Rp 560 ribu), itu sudah masuk kategori orang miskin.

Pasti, jika sebuah negeri itu bermasalah dengan kesejahteraan hidup warga negaranya, akan muncul masalah lain yang menjadi gandengan setianya: pengangguran yang tidak pernah kunjung terselesaikan sampai ke akar-akarnya meski sudah ganti presiden dan menteri berkali-kali.

Bagi pemuda yang bukan sarjana, terobosan yang diambil untuk mengatasi pengangguran adalah lari ke luar negeri menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Untuk kepentingan jangka pendek, menjadi TKI memang membantu Indonesia. TKI mengurangi pengangguran, memberikan pemasukan devisa dan menambah jumlah isi rekening di bank.

Namun untuk kepentingan jangka panjang, tentu saja ini membahayakan dan memalukan. SDA negeri ini akan terbengkalai atau akan dimiliki bangsa lain karena tenaga kerjanya banyak yang di luar negeri. Banyak single parent yang nantinya menjadi ledakan problem tersendiri. Kemudian secara bargain politics, ' yang namanya negeri peminta itu pasti posisinya lebih lemah. Jadi, jangan heran kalau negara-negara penerima TKI kerap bersikap arogan dan menempatkan posisi mentalnya di atas kita. Negara-negara itu seperti tak merasa ditolong oleh Indonesia dengan pengiriman TKI. Sebaliknya, mereka seperti bangga bisa menolong Indonesia dari beban pengangguran. Apes kan?

Untuk pemuda yang memegang ijazah sarjana, tidak berarti nasib mereka lebih beruntung. Mereka malah harus menanggung beban yang lebih berat. Mau menjadi TKI informal, sudah malu duluan. Masak sarjana menjadi TKI? Mau bekerja serabutan di dalam negeri sendiri, lebih malu lagi.

Harapan mereka adalah bisa masuk di pekerjaan industrial. Sayangnya, keinginan ini' terhalang oleh skill standar yang dituntut dunia industri di satu sisi, dan terbatasnya serapan tenaga kerja di sisi lain. Pendidikan sepertinya gagal menjadi mitra industri. Tak heran jika perguruan tinggi atau universitas sering menerima tuduhan sebagai penyuplai beban bangsa.

Pengusaha nasional Ir. Ciputra dalam bukunya Ciputra Quantum Leap memaparkan bahwa setiap tahun perguruan tinggi di Indonesia menghasilkan lebih dari 300:000 lulusan, tapi daya scrap lapangan kerjanya terlalu sedikit. Data Februari 2007 misalnya, lebih dari 740.000 lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Hal ini tentu saja sangat mencemaskan karena angka ini cenderung naik pesat dari waktu ke waktu. Lebih menyedihkan lagi bila kelorripok penganggur terdidik yang setengah menganggur diikutkan. Pada bulan Februari 2007 saja terdapat 1,4 juta penganggur terdidik setengah menganggur, atau naik sekitar 26 persen dibandingkan Februari 2006.

Akankah masalah berat ini terus tumbuh? Lalu apa solusinya? Studi Bank Dunia mengungkapkan, modal SDA itu hanya menyumbangkan sekitar 10 persen kemajuan bangsa. Sisanya diperankan oleh sejumlah f aktor yang bisa disebut kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Kualitas SDM yang berperan bagi kemajuan bangsa itu adalah inovasi dan kreativitas yang peranannya sebesar 45 persen. Setelah itu networking 25 persen dan teknologi 20 persen.

Karena itu, kalau Anda masih mendengar orang berpidato dengan memuji-muji Indonesia sebagai negeri kaya-subur-makmur karena SDA-nya yang luar biasa, ya anggap saja itu sebagai hiburan. Sebab, SDA itu hanya berperan kecil. Justru yang paling banyak memainkan peran adalah kualitas SDM. Selama SDM kita tidak berubah, nasib bangsa kita tidak akan berubah.

Allah sudah menegaskan: "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka" (QS: Ar-Ra'du: 11). Dengan kata lain, untuk mengubah kualitas SDM, kita tak bisa hanya dengan membagi-bagikan uang, obral sekolah gratis, atau memberi subsidi bulanan. Ini sudah berulang kali dilakukan dan tidak mengubah posisi Indonesia. Mengubahnya harus dari dalam, dari mindset-nya, dari isi jiwanya, lalu didukung dengan stimulan, program, dan bantuan.

Mindset yang seperti apa? Sebut saja istilahnya, the entrepreneurial mental attitude (sikap mental entrepreneurship), sikap yang dibentuk oleh isi pikiran kreatif, inovatif, berkemauan menggunakan teknologi sebagai berkah, berkemauan mengubah resource dan peluang supaya mempunyai nilai tambah, berani mengambil risiko, anti-mengandalkan, dan tentunya mensyukuri keragaman sebagai ajang untuk meningkatkan sinergi.

Menurut entrepreneur muda nasional, Sandiago S. Uno dan Ridlo Zarkasyi, dalam beberapa kesempatan bertemu dengan Majalah Gontor, siapapun kita—profesional, pekerja, atau pedagang—semua berkepentingan untuk mengadaposi sikap mental entrepreneurship ini. Dan akan lebih sempurna jika kita sendiri memiliki niat dan visi entrepreneur, menjadi pengusaha. Sebab, secara kuantitas. Indonesia memang kekurangan entrepreneur .

Menurut data terakhir, jumlah entrepreneur kita hanya 0,18 persen (sekitar 420 ribu-an orang) dari total penduduk Indonesia. Padahal, menurut pakar kewirausahaan, David McClelland, minimalnya 2 persen (sekitar 4,7 juta orang) dari total penduduk sebuah negara adalah entrepreneur, baru sebuah negara dapat hidup sejahtera.

Negara-negara lain sudah lebih banyak dari angka minimal itu. Mungkin, karena itulah mereka lebih maju secara ekonomi dan lebih bagus secara sosial. Warga Singapura yang menjadi pengusaha mencapai 7 persen, China dan Jepang 10 persen, sedang Amerika rnalah sudah mencapai 12 persen.

Dilihat dari efek kualitasnya bagi kemakmuran dan kemajuan bangsa, jika Indonesia memiliki jumlah entrepreneur yang proporsional, minimal 2%, maka akan ada banyak rongsokan yang bisa diubah menjadi emas. Banyak lahan yang bisa dihidupkan sehingga peluang kerja bertambah dan jumlah pengangguran berkurang. Namun, kalau jumlah entrepreneurnya semakin berkurang, bisa-bisa emas yang kita miliki berubah menjadi rongsokan. Kekayaan SDA kita tak bisa mengantarkan kita membangun masyarakat yang makmur. SDM yang mestinya menjadi aset, berubah menjadi beban. Itulah kenapa di depan ditegaskan: Indonesia membutuhkan lahirnya jutaan entrepreneur.

Bahwa ada yang  keliru dari peran  dunia pendidikan tinggi dalam mengatasi jumlah pengangguran di negeri ini kiranya tak ada yang membantah. Pakar pendidikan dan Guru Besar Emeritus Universitas Negeri Jakarta, HAR Tilaar pernah berkata bahwa pendidikan tinggi kita saat ini masih merupakan "pabrik pengangguran"sehingga terjadi pemborosan dana, waktu, dan SDM.

Untuk itu, pembukaan perguruan tinggi baru dan jurusan baru harus benar-benar diperhatikan dan dikritisi. Sebab, alih-alih menciptakan lapangan pekerjaan bisa-bisa malah menciptakan lapangan pengangguran baru.

Bila ada adagium bahwa perguruan tinggi menjadi tulang punggung utama guna memperbaiki kehidupan bangsa, maka hal itu masih perlu dibahas kembali dan dicarikan kebenarannya dalam konteks apakah itu?

"Jelas, ada yang salah dalam pengelolaan pendidikan tinggi saat ini. Saat ini pendidikan tinggi kita ibarat menara gading yang bertengger di atas langit, tapi tidak melihat ke bawah. Muncul kesan ia sangat eksklusif terhadap realitas dan masyarakat sebagai konsumen pendidikan," jelas Moh.Yamin, pengajar di FKIP Universitas Islam Malang, dalam artikelnya berjudul "Kurikulum Pendidikan yang Berjiwa Entrepreneur”.

Lalu apa akar masalahnya? Selain minimnya jiwa entrepreneurship—kalau tidak bisa disebut tidak ada sama sekali—dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi kita, proses pengajaran dan pendidikan entrepreneurship di bangku sekolah dan kampus juga masih terjebak pada teori semata.

Menurut Ciputra, melalui jurusan yang ada, mindset (mentalitas dan prinsip) entrepreneurship seyogianya bisa diajarkan. Bukan malah membuka jurusan baru. "Jurusan arsitektur, hukum dan kedokteran harus diajari. Misalnya, 1-2 semester saja, yang penting motivasi (entrepreneurship). Juga perlu dibuat pelatihan 3 bulan," jelas Ciputra.

Dalam hal ini, kata Ciputra, mitos pengusaha sukses harus memiliki darah pengusaha harus dibuang jauh-jauh."Itu salah, harus diubah. Saya yakini, untuk menjadi pengusaha perlu pendidikan. Bila zaman dulu belajar wirausaha dari orang tua, kini ada sekolah alternatif bagi yang tidak punya orang tua pengusaha," tandasnya.

Ke depan, dan ini sangat urgen saat ini, universitas harus mereposisi dirinya menjadi center of entrepreneurship, dan bukan sekadar lembaga pendidikan, apalagi pengajaran. "Ini sesuatu yang tak mudah diterima. Tapi ada contohnya Universitas Harvard dan Stanford menjadi pusat bisnis dengan aset masing-masing US$29 miliar.dan US$34 miliar," tambah Ciputra.

Selain itu, dan ini tak kalah penting adalah komitmen pemerintah dan peran serta masyarakat dalam mengawal lahirnya entrepreneur-entrepreneur muda Indonesia. Sekarang atau tidak sama sekali, entrepreneur-entrepreneur baru Indonesia yang memiliki berpandangan kreatif, inovatif, dan bermanfaat untuk orang lain harus lahir sebanyak-banyaknya di negeri ini.

Merujuk kepada salah satu ajaran hidup Gontor,"Jangan jadi pegawai. Jadilah orang yang punya pegawai." Maka pesan penting yang hendak ditekankan di sini bukan sekadar urgensi menjadi entrepreneur, tapi pada visi-misi hidup entrepreneur pun harus bener. Kalau entrepreneur, visi hidupnya hanya hidup untuk dirinya sendiri tok, niscaya tidak termasuk dalam filsafat hidup Gontor. Khoirunnaasi anfa'uhum linnaasi wa ahsanuhum khuluqon (Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya dan berakhlak mulia).

GONTOR, Mei 2011/Jumadil Awal-Jumadil Akhir 1432 H

7 Januari 2012 pukul 15:28