Oleh: Rusdiono Mukri
Earth
Policy Institute yang berkantor di Washington DC, Amerika Serikat,
memprediksi dunia akan mengalami krisis pangan di tahun 2011 ini.
Krisis ini bahkan diperkirakan lebih buruk di banding krisis pangan
tahun 2008. Paling tidak ada tiga faktor penyebabnya. Pertama,
pertambahan jumlah penduduk meningkat drastis sehingga permintaan pangan
ikut melonjak. Kedua, penggunaan komoditas pangan untuk bahan bakar.
Ketiga meningkatnya kesejahteraan penduduk yang bermuara pada kenaikan
permintaan komoditas pangan.
Dalam prediksi yang
dipublikasikan Earth Policy Institute lewat tulisan bertajuk The Great
Food Crisis of 2011, Presiden Earth Policy Institute Lester R Brown
mengungkapkan data-data yang menyentak perhatian kita. Pada periode
1990-2005, konsumsi pangan dunia hanya 25 juta ton per tahun. Jumlah ini
meningkat drastis pada kurun 2005-2010. Pada lima tahun terakhir ini,
konsumsi pangan menjadi 41 juta ton per tahun. Kenaikan terbesar terjadi
karena komoditas pangan dikonversi menjadi etanol untuk bahan bakar
pada 2006-2008 di AS .Yang lebih menyentak perhatian kita, Indonesia
termasuk tiga negara yang diprediksi akan mengalami krisis pangan paling
parah selain Cina dan India.
Sementara itu Badan Pangan
Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) dan Kementerian Per-tanian
Amerika Serikat (United States Department of Agriculture /USDA)
memprediksi di tahun 2011 Indonesia akan menjadi importir beras kedua
terbesar di dunia setelah Nigeria. Tahun ini Indonesia diperkirakan akan
mengimpor beras 1,75 juta ton. Saat ini sudah masuk sekitar 500 ribu
ton.
Di sisi lain, Indonesia dikenal sebagai negara yang
mempunyai sumber pangan beragam dan melimpah. Tapi potensi ini tidak
kita manfaatkan. Selama ini kita hanya konsentrasi pada beras, sehingga
konsumsi beras masyarakat Indonesia per kapita per tahun 139 kg
(bandingkan dengan Malaysia yang 110 kg dan Jepang 60 kg).
Pada
tahun 1984 dan 2008 lalu, Indonesia sebenarnya sudah berswasembada
beras. Bahkan pada tahun 1984 itu kita bisa mengekspor beras. Tapi
setelah itu kita kembali menjadi pengimpor beras yang disebabkan karena
kesalahan kebijakan. Pemerintah gemar mengampanyekan makan nasi (beras).
Masyarakat Wamena dan dataran tinggi Papua yang biasa makan ubi
'dipaksa' makan beras. Para pegawai negeri sipil (PNS) di
daerah itu memperoleh jatah beras. Padahal mereka sehari-hari makan ubi.
Masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang sebelumnya mengonsumsi
jagung, sekarang juga makan beras. Rakyat miskin di NTT tidak diberi
jagung tapi diberi beras (Raskin). Masyarakat di Gunung Kidul,
Yogyakarta, yang biasa makan gaplek, juga diberi beras. Sedangkan
masyarakat Sorong dan Papua Barat yang banyak makan sukun juga diberi
beras. Akibatnya sekarang konsumsi beras rata-rata setiap jiwa per tahun
mencapai angka tertinggi di dunia. Akibatnya sekarang beras menjadi
beban pembangunan.
Karena itu kita perlu mengampanyekan
diversivikasi pangan.Mengampanyekan keanekaragaman pangan untuk
mengurangi tekanan terhadap kebutuhan beras. Kalau saja konsumsi beras
bisa ditekan menjadi 110 kg per orang per tahun (seperti halnya di
Malaysia), maka kita akan kelebihan beras.
Kalau konsumsi
110 kg berarti berkurang 29 kg per orang per tahun. Jika angka ini
dikalikan dengan jumlah penduduk yang 230 juta, maka kita bisa
mengurangi konsumsi beras hampir 7 juta ton. Jadi pengurangan tekanan
pada beras itu bukan hanya dilakukan dengan cara meningkatkan produksi,
tapi juga pengurangan konsumsi per orang. Tapi hal itu bukan berarti
porsi makan orang dikurangi, tapi dianekaragamkan makanannya.
Masyarakat
yang biasa makan sagu, misalnya, jangan disuruh makan nasi. Sebab tidak
ada yang luar biasa dengan makan beras. Masyarakat Brazil terbiasa
makan jagung. Mereka makan roti dengan bahan baku jagung. Orang Brazil
yang makan jagung itu sudah lima kali menjuarai piala dunia.
Selain
itu, kita harus memodernisir pangan yang betul-betul sesuai dengan
masyarakat yang makin modern. Sebab, kita 'tidak bisa' lagi mengomsumsi
jagung yang karbohidratnya tinggi, itu secara langsung. Tapi jagung
harus diubah dulu menjadi tepung, tepung menjadi roti, seperti orang
Meksiko mengomsumsi tortilla yang terbuat dari jagung. Kita tidak bisa
lagi makan ubi begitu saja, tapi ubi harus diolah dulu menjadi tepung
seperti di Jepang. Dari tepung kemudian menjadi mie atau makanan
lainnya. Hanya dengan mendiversifikasi pangan kita bisa mementahkan
prediksi-prediksi di atas.
Majalah GONTOR, Mei 2011/Jumadil Awal-Jumadil Akhir 1432 H
Digitalized: 6 Januari 2012 pukul 11:04