Sunday, September 15, 2013

Diversifikasi Atasi Krisis Pangan

Oleh: Rusdiono Mukri


Earth Policy Institute yang berkantor di  Washington DC, Amerika Serikat,  memprediksi  dunia  akan  mengalami krisis pangan di tahun 2011 ini. Krisis ini bahkan diperkirakan lebih buruk di banding   krisis pangan tahun 2008. Paling tidak ada  tiga faktor penyebabnya. Pertama, pertambahan jumlah penduduk meningkat drastis sehingga permintaan pangan ikut melonjak. Kedua, penggunaan komoditas pangan untuk bahan bakar. Ketiga meningkatnya kesejahteraan penduduk yang bermuara pada kenaikan permintaan komoditas pangan.

Dalam prediksi yang dipublikasikan Earth Policy Institute lewat tulisan bertajuk The Great Food Crisis of 2011, Presiden Earth Policy Institute Lester R Brown mengungkapkan data-data yang menyentak perhatian kita. Pada periode 1990-2005, konsumsi pangan dunia hanya 25 juta ton per tahun. Jumlah ini meningkat drastis pada kurun 2005-2010. Pada lima tahun terakhir ini, konsumsi pangan menjadi 41 juta ton per tahun. Kenaikan terbesar terjadi karena komoditas pangan dikonversi menjadi etanol untuk bahan bakar pada 2006-2008 di AS .Yang lebih menyentak perhatian kita, Indonesia termasuk tiga negara yang diprediksi akan mengalami krisis pangan paling parah selain Cina dan India.

Sementara itu Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) dan Kementerian Per-tanian Amerika Serikat (United States Department of Agriculture /USDA) memprediksi di tahun 2011 Indonesia akan menjadi importir beras kedua terbesar di dunia setelah Nigeria. Tahun ini Indonesia diperkirakan akan mengimpor beras 1,75 juta ton. Saat ini sudah masuk sekitar 500 ribu ton.

Di sisi lain, Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai sumber pangan beragam dan melimpah. Tapi potensi ini tidak kita manfaatkan. Selama ini kita hanya konsentrasi pada beras, sehingga konsumsi beras masyarakat Indonesia per kapita per tahun 139 kg (bandingkan dengan Malaysia yang 110 kg dan Jepang 60 kg).

Pada tahun 1984 dan 2008 lalu, Indonesia sebenarnya sudah berswasembada beras. Bahkan pada tahun 1984 itu kita bisa mengekspor beras. Tapi setelah itu kita kembali menjadi pengimpor beras yang disebabkan karena kesalahan kebijakan. Pemerintah gemar mengampanyekan makan nasi (beras). Masyarakat Wamena dan dataran tinggi Papua yang biasa makan ubi 'dipaksa' makan beras. Para   pegawai   negeri   sipil   (PNS)   di daerah itu memperoleh jatah beras. Padahal mereka sehari-hari makan ubi. Masyarakat di Nusa Tenggara Timur  (NTT) yang sebelumnya mengonsumsi jagung, sekarang juga makan beras. Rakyat miskin di NTT tidak diberi jagung tapi diberi beras (Raskin). Masyarakat di Gunung Kidul, Yogyakarta, yang biasa makan gaplek, juga diberi beras. Sedangkan masyarakat Sorong dan Papua Barat yang banyak makan sukun juga diberi beras. Akibatnya sekarang konsumsi beras rata-rata setiap jiwa per tahun mencapai angka tertinggi di dunia. Akibatnya sekarang beras menjadi beban pembangunan.

Karena itu kita perlu mengampanyekan diversivikasi pangan.Mengampanyekan keanekaragaman pangan untuk mengurangi tekanan terhadap kebutuhan beras. Kalau saja konsumsi beras bisa ditekan menjadi 110 kg per orang per tahun (seperti halnya di Malaysia), maka kita akan kelebihan beras.

Kalau konsumsi 110 kg berarti berkurang 29 kg per orang per tahun. Jika angka ini dikalikan dengan jumlah penduduk yang 230 juta, maka kita bisa mengurangi konsumsi beras hampir 7 juta ton. Jadi pengurangan tekanan pada beras itu bukan hanya dilakukan dengan cara meningkatkan produksi, tapi juga pengurangan konsumsi per orang. Tapi hal itu bukan berarti porsi makan orang dikurangi, tapi dianekaragamkan makanannya.

Masyarakat yang biasa makan sagu, misalnya, jangan disuruh makan nasi. Sebab tidak ada yang luar biasa dengan makan beras. Masyarakat Brazil terbiasa makan jagung. Mereka makan roti dengan bahan baku jagung. Orang Brazil yang makan jagung itu sudah lima kali menjuarai piala dunia.

Selain itu, kita harus memodernisir pangan yang betul-betul sesuai dengan masyarakat yang makin modern. Sebab, kita 'tidak bisa' lagi mengomsumsi jagung yang karbohidratnya tinggi, itu secara langsung. Tapi jagung harus diubah dulu menjadi tepung, tepung menjadi roti, seperti orang Meksiko mengomsumsi tortilla yang terbuat dari jagung. Kita tidak bisa lagi makan ubi begitu saja, tapi ubi harus diolah dulu menjadi tepung seperti di Jepang. Dari tepung kemudian menjadi mie atau makanan lainnya. Hanya dengan mendiversifikasi pangan kita bisa mementahkan prediksi-prediksi di atas.

Majalah GONTOR, Mei 2011/Jumadil Awal-Jumadil Akhir 1432 H

Digitalized: 6 Januari 2012 pukul 11:04