Saturday, February 8, 2014

Gontor, Dulu dan Sekarang

Oleh: Helmi Junaidi



Anda tahu kenapa Gontor disebut pesantren modern? Well, Gontor memang bisa disebut modern pada masa didirikannya, tahun 1926. Tapi, kalau sekarang sudah bisa dianggap sama saja dengan pesantren tradisional pada umumnya. Meski demikian, pada masanya Gontor memang bisa dianggap sangat modern dan luar biasa progresifnya karena mengajarkan ilmu-ilmu yang diharamkan rata-rata ulama pada masa itu, yakni mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti IPA dan IPS dan semua ilmu lain yang diajarkan di sekolah Belanda. Para ustadz Gontor juga memakai jas dan dasi, "pakaian orang kafir" yang tentu saja sangat diharamkan oleh kebanyakan ulama Indonesia lainnya pada masa itu.

Tapi syukurlah, sejalan dengan waktu ilmu-ilmu umum seperti IPA dan IPS akhirnya bisa diterima juga, walau lumayan terlambat. Para ulama sekarang juga sudah tak mengharamkan pakaian barat, termasuk jas dan dasi, malah banyak yang memakainya juga, termasuk ulama NU dan yang di MUI. Tapi, sikap reaksioner yang anti kemajuan semacam itu telah terlambat dalam menghadapi kaum muda yang menghendaki pembaruan pada masa lalu. Walhasil, mereka lalu total membuang Islam (yang identik dengan ulama) dari kehidupan bernegara, dan terjadilah sekularisasi di dunia Islam.

Begitu penyebabnya supaya Anda sekalian jadi tahu. Selama ini kan hal ini kurang diketahui. Banyak yang tidak tahu penyebabnya dan akar masalahnya. Malah ada juga yang menyamaratakan penyebab sekulerisme di dunia Islam dengan di Barat. Lain sama sekali. Kalau di Barat antara lain karena terjadinya perang agama di sana dan Inquisisi. Dan tentu karena timbulnya gerakan Aufklarung atau Enlightenment.

Kalau di dunia Islam selain Indonesia penyebabnya sekulerisme memang terutama kejumudan ulama. Kalau di Indonesia masih ada lagi penyebab lainnya lagi. Yakni karena Islamisasi di Indonesia, terutama di di daerah pedalaman Jawa, masih belum sepenuhnya selesai. Berbeda dengan di pesisir Utara Jawa. Karena saat misi Islamisasi di pedalaman Jawa belum sepenuhnya tuntas, orang-orang Eropa sudah keburu datang sehingga energi lalu dicurahkan untuk menghadapi bangsa-bangsa Eropa. Jadi karena adanya dua kultur yang berbeda. Yang di pedalaman mayoritas berkultur abangan mendukung sekulerisme, sedang yang di pesisir berkultur santri

Jakarta, 1 Oktober 2013