Sunday, June 16, 2013

Halal atau Haramkah Bunga Bank?


Oleh: Helmi Junaidi

 


Saya baru tahu ada juga penggiat uang dinar dan dirham. Mereka juga anti bank, bahkan juga anti bank syariah. Entah sistem ekonomi bagaimana yang mereka inginkan. Juga tak jelas nasib pecahan uang kecil seperti Rp 100, Rp 500, Rp 1000 dan seterusnya. Kalau bayar biskota Rp 2000, beli bakso, pecel dan sebagainya Rp 5000 pakai apa? Kan mustahil pakai koin emas dan perak untuk bayar biskota saja.

1 gram emas atau perak itu kecil sekali, lho. Apalagi bila 1/6 gram seperti yang disebutkan sebagai uang pecahannya. Bagaimana membawanya? Mudah hilang tak karuan. Tanpa bank artinya juga tanpa ATM. Tak bisa transfer uang dan terima uang dimana-mana, mesti bawa uang kontan. Kembali ke zaman jadul. Merepotkan sekali. Toh, krisis ekonomi bukan karena bank atau uang kertas, tapi karena kebanyakan hutang, termasuk di Indonesia, Amerika dan Eropa. Jadi, bila pun perlu ada jihad ekonomi, maka itu adalah jihad melawan hobi ngutang. Itu yang paling penting. Percuma juga pakai dinar dan dirham kalau nanti masyarakat dan pemerintah tetap hobi ngutang, UMR tak pernah naik, kue ekonomi tak merata dan sebagainya.

Pendukung dinar dirham itu menyangka bahwa bila tidak ada bank, maka orang akan menggunakan uang untuk muamalat semuanya, tidak ditimbun. Pendapat yang salah karena orang yang punya kelebihan uang pasti akan menyimpannya dalam bentuk apa pun. Beberapa yang saya tahu, mereka yang anti bank menimbun hartanya dengan beli tanah. Bisa juga berupa barang-barang berharga lainnya seperti perhiasan emas. Ada uang lebih, masa terus dibelanjakan semuanya. Mustahil. Orang kan perlu simpanan kalau-kalau ada kebutuhan penting di masa depan.

Ide kembali menggunakan dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak) ini sebetulnya tidak realistis juga. Berapa jumlah tonase emas yang akan dibutuhkan untuk itu? Cukupkah stok emas dan perak dunia saat ini untuk memenuhi kebutuhan koin emas dan perak bagi seluruh penduduk dunia? Apalagi, hukum pasar adalah semakin banyak permintaan, maka semakin mahal harga barang. Demikian pula emas dan perak. Contohnya saat tiap menjelang lebaran harga emas meningkat jadi mahal karena banyak orang membeli emas untuk "show" di kampung halaman. Andai saja banyak negara yang mencetak uang emas, maka harga emas akan naik luar biasa karena sangat tingginya permintaan. Bila harga emas mahal apakah negara-negara miskin lalu akan mampu mencetak uang emas? Bila tidak mampu lalu mereka mau pakai uang apa? Tidak realistis bukan soal dinar dan dirham ini bila diterapkan pada masa sekarang? Bila ada yang ingin mata uang dunia dipatok pada harga emas (bukan USD) itu realistis. Tapi kalau menggunakan mata uang emas tidak realistis. Barang itu bila makin dibutuhkan makin mahal, termasuk emas tentu saja. Tak bakal mampu semua orang nanti beli emas.

Kenapa harus anti uang kertas, padahal uang itu apa pun bentuknya, baik kertas, emas maupun perak, fungsinya bagi sebagian besar orang hanya sebagai alat tukar yang bergerak, cepat sekali berpindah tangan. Jarang sekali yang disimpan berlama-lama. Apalagi bagi kebanyakan masyarakat yang gajinya cuma pas-pasan. Belum habis bulan juga sering sudah ludes untuk beli segala keperluan sehari-hari. Bagi kebanyakan orang, uang bukanlah aset diam di tempat untuk lalu ditimang-timang dan ditimbun berlama-lama, kecuali bagi mereka yang tajir dan banyak kelebihan uang untuk ditabung.

Apakah
bunga bank dan pegadaian itu memang sama dengan riba yang ada pada zaman Nabi dulu sebagaimana diyakini oleh pendukung dinar dan dirham dan tentunya juga diyakini oleh mereka yang lalu mendirikan bank syariah. Baiklah kita hitung saja. Misalnya ada orang hutang 1 juta untuk modal dagang sayur, jualan bakso, mie ayam dan sebagainya. Bila dia misalnya berhutang Rp 1 juta dan berdagang per hari dapat untung misalnya sekitar Rp 40 ribu, artinya per bulan dapat Rp 1,2 juta. Bila bunga misalnya 1,5%, maka artinya dalam sebulan bunga cuma Rp 15 ribu! Sangat murah dan tidak membebani nasabah.

Jumlah orang semacam itu banyak sekali. Saya tahu persis akan hal ini karena saya dulu juga pernah lama berkecimpung di dalam bidang ini. Banyak sekali pedagang kecil yang butuh dana kecil semacam itu dalam waktu cepat. Di satu kelurahan saja nasabah bisa mencapai 100-150 orang per hari. Bila bank dan pegadaian ditiadakan hendak mencari modal kemana orang-orang itu? Pinjam ke teman atau saudara? Uh, banyak yang sama miskinnya. Kalau bank dan pegadaian itu lalu tanpa bunga lho mau makan apa pegawainya nanti? Apakah mereka berangkat pagi pulang malam untuk kerja bakti saja?





Kembali ke soal hitungan tadi, beruntung atau buntungkah si pedagang dengan bunga cuma 1,5 persen itu? Dalam setengah hari saja bunga sudah bisa impas. Pokok pinjaman pun dalam sebulan sudah impas, bahkan lebih. Penghisapan ekonomikah ini? Berdosakah transaksi bank dan pegadaian yang menguntungkan baik bank dan pegadaian maupun nasabahnya tersebut? Sama-sama untung, tak ada yg dirugikan.

Jadi, riba yang disebut pada zaman Nabi Muhammad dulu memang sangat berbeda dengan bunga bank yang ada saat ini. Bunga bank pada tahun 2012 sekarang bahkan cuma 1,2% saja. Sangat ringan. Coba lihat di dua artikel ini.


Halalkah bunga yang cuma 1,2 persen itu? Silakan Anda pikir sendiri dengan melihat betapa para pedagang bisa terbantu dengan hutang bunga rendah semacam itu. Sedang kalau riba besarnya bisa 20% hingga 50%. Luar biasa menghisapnya. Haramkah? Tentu saja karena besar sekali persentasenya. Sangat merugikan dan menghisap perekonomian seseorang. Tentang besarnya bunga riba lihat di dua artikel wikipedia berikut.


Jadi, kalau riba zaman dulu bisa 20% sampai 30% untuk hutang jangka pendek. Kalau riba para gangster di Amerika masa kini 20% per minggu! Kalau gangster di Jepang lebih sadis lagi, 30% - 50% per 10 hari!! Melet deh lidah si pengutangnya. So, bila masih ada yang menyamakan bunga 1% per bulan dengan riba 20% per minggu, itu jelas salah. Bunga dengan riba jumlahnya jelas jauh berbeda. Apakah Anda ada yang keberatan membayar bunga 1 persen per bulan bila suatu ketika ada kebutuhan uang yang mendesak? Sebagian besar saya kira tidak. Kalau 30% per minggu? Hehe… saya sih mendengarnya saja sudah melarikan diri duluan.

Dari semua penjelasan di atas, hal yang paling penting adalah hutang yang dibuat itu bersifat produktif, yakni untuk modal usaha. Usaha yang jelas tentunya, bukan yang abal-abal, bisa untuk mengangkat perekonomian perseorangan maupun negara dan masyarakat. Jadi, bukan untuk konsumtif. Kalau cuma untuk konsumtif, apalagi hutang negara ratusan triliunan rupiah cuma untuk dibuang-buang sebagai subsidi asap di jalanan macet, atau untuk membiayai korupsi dan pemborosan anggaran DPR serta aparat negara, maka tentu sangat haram hukumnya. Apalagi bila hutang itu untuk proyek-proyek bancakan dan mark up besar-besaran. Tentu sangat haram juga. 

Membahas soal bunga bank ini saya anggap cukup penting juga karena pengharaman bunga malah akan bisa menghambat perekonomian umat Islam sendiri. Kenapa menghambat? Karena sepanjang yang saya ketahui, mereka yang mengharamkan bunga bank umumnya tak mau menggunakan jasa bank. Akibatnya mereka juga tak bisa transfer uang lewat ATM atau e-bank lewat handphone dan laptop yang transaksinya bisa berlangsung sangat cepat dan praktis. Bahkan bisa dilakukan dimana saja, termasuk sambil tiduran di rumah. Bila hal-hal yang bermanfaat seperti ini diharamkan, bagaimana bisnis dan perdagangan umat Islam akan bisa berjalan lancar? Kalah cepat dengan umat-umat yang lainnya.

Kredit untuk usaha kecil juga sulit bisa berjalan baik bila penyalurannya tak melalui bank. Memberi dan mengangsurnya lewat mana? Kalau menyalurkannya lewat koperasi? Lho, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) itu juga pakai sistem bunga. Kalau tak ada uang jasanya mau makan apa pegawainya? Apa mereka mau kerja siang malam cuma untuk kerja bakti saja? 


Bagaimana kalau transfer lewat kantor pos atau Western Union? Apa Anda kira gratis mengirim uang lewat situ? Mesti bayar juga. Bahkan lebih ribet dan tidak praktis. Tidak bisa misalnya anda kirim uang lewat Western Union cuma Rp 20 ribu atau Rp 50 ribu saja. Tekor dengan biaya kirimnya. Harus dalam jumlah banyak. Kalau lewat ATM atau e-bank bisa dalam jumlah berapa saja, minimal Rp 15 ribu. Sangat praktis dan fleksibel. Bisa sangat bermanfaat untuk bisnis usaha kecil dan home industry yang sering perlu transfer atau terima uang dalam jumlah kecil. Juga sangat bermanfaat bagi online shop yang sekarang marak di internet. Barang yang dijual online kan tidak mesti barang mahal, banyak yang cuma berkisar puluhan ribu saja, termasuk diantaranya buku dan pakaian.

Jadi, karena persentasi bunga bank yang tidak mencekik seperti halnya riba, maka bunga bank pada masa kini bisa dianggap sebagai uang jasa juga seperti kalau kita mengirim uang lewat kantor pos atau Western Union. Bukan suatu eksploitasi ekonomi terhadap nasabahnya. Apa pun bentuknya itu, bila kita menggunakan jasa orang lain, maka akan ditarik biaya. Entah bank, kantor pos atau Western Union. Tidak gratis. Kalau kita menggunakan jasa dan tenaga orang lain lalu minta gratis tanpa biaya, itu namanya perbudakan. Malah eksploitasi yang lebih parah lagi. Tak ada yang gratis kalau kita menggunakan jasa dan tenaga orang lain. Gratis gundulmu kuwi. :D Yang penting asal biayanya wajar, normal dan tidak mencekik nasabah. Begitu saja. 


Bagaimana lalu dengan bank syariah yang sekarang juga sudah banyak didirikan dimana-mana? Sama saja, tetap ditarik biaya, malah sistem bank syariah itu lebih ribet daripada bank konvensional. Kalau bank konvensional kan sederhana saja, ditarik bunga sekian persen. Cukup begitu saja. Tak ada lagi perhitungan yang serba ruwet. Baik bank syariah maupun bank konvensional kita tetap ditarik biaya juga. Mustahil Anda itu menggunakan jasa orang lain tanpa ditarik biaya. Kecuali kalau kita ini kembali ke zaman perbudakan. 

Dalam soal lain, yakni berdagang yang hukum aslinya halal, malah akan bisa menjadi haram kalau dilakukan dengan cara culas, seperti misalnya yang sering dilakukan sebagian pedagang makanan di Malioboro. Wisatawan sering dicekik dengan harga yang melangit. Dan di berbagai tempat wisata lainnya di tanah air umumnya perilaku pedagang memang begitu. Berdagang dengan culas dan menipu pembeli. Walau itu namanya berdagang, halalkah itu? Jelas haram. Masuk neraka itu pedagangnya. Tapi, kenapa tak pernah ada fatwa yang melarang cara berdagang yang culas semacam itu? Perlu juga diadakan. So, kita memang harus selalu bisa memutuskan persoalan halal haram itu dengan lebih bijaksana, bukan? 


Malang, 6-7 Jun 2013
Revisi & tambahan: Jakarta, 25 Feb 2014