Friday, April 3, 2015

Operation Freedom

The Muslim rulers did not force their religion on the Palestinians (laa ikraaha fiddin, red.), and more than a century passed before the majority converted to Islam. The remaining Christians and Jews were considered “People of the BooOPERATION    FREEDOM

 

Untuk kali ini, tulisan saya ada judulnya lagi. Masalahnya memang sangat gampang banget muncul idenya. Jadi, saya kemudian tak perlu bingung-bingung lagi mencari ilham untuk mengasih judulnya. Sangat-sangat gampang. Karena sudah diilhami oleh sebuah peristiwa yang paling heboh di dunia pada saat ini, yaitu “Operation Freedom” yang lagi berlangsung di Irak sana. Tapi, saya di sini tak bermaksud membahas operasi pemberantasan senjata kuman, senjata nuklir, apalagi “rudal biologi” milik Saddam Hussein. Biarlah Saddam Hussein mengurusi sendiri rudalnya sana. Masak saya ini disuruh mengurusi barangnya orang segala. Saya di sini hanya ingin mengisahkan Operation Freedom yang terjadi belasan abad yang lalu di wilayah di Timur Tengah juga.

Oleh karena itu pula, saya di sini ingin mengulangi sekali lagi imbauan yang pernah saya sampaikan dulu, yaitu bacalah sidebar di Encarta yang berjudul Internationalization of Islam karya Richard Foltz. Ini rasanya penting untuk diketahui dan Anda baca juga. Terutama lagi pada bagian “Arab Acceptance of other Cultures”. Saya ingin memberikan penekanan terutama pada bagian yang ini. Guna menghilangkan kesalahpahaman yang ada selama ini. Dan tentunya juga baca artikel keseluruhannya. Kalimat yang mungkin nanti cukup penting Anda perhatikan adalah:

Although many people still believe Islam was a religion spread “by the sword,” it is important to distinguish the spread of rule by Muslims from the spread of Islam as a religious belief. The Koran states that “there is no compulsion in matters of religion,” (laa ikraaha fiddiin, red.). And the Muslim Arabs, desiring to preserve their power and the mystery of their success, had little interest in bringing others into the community.

In fact, compared with conditions under the Byzantines and Sassanids, the period of the Arab Umayyad dynasty (661-751) was one of extraordinary religious and cultural tolerance for the non-Muslim subject populations.

The Umayyads allowed and encouraged the immigration of skilled individuals—such as physicians, astronomers, and mathematicians—from the Byzantine world. Many of these immigrants were members of unorthodox Christian sects or were unconverted pagans who suffered persecution under the Byzantines and found the Arab-ruled lands more hospitable.

Begitulah kenyataan sejarahnya. Oleh karena itu, saya kadang menjadi heran juga kenapa selama ini banyak yang menggangap dan menuduh Islam identik dengan agama yang intoleran dan segala macamnya. Juga ancaman memeluk agama dengan pedang segala. Padahal, faktanya adalah seperti kutipan yang di atas tadi. Malah kadang saya ini merasa khawatir bahwa yang menuduh itulah yang justru seringkali melakukan berbagai tindakan intoleransi. Kita tentunya sudah tahu bagaimana kisah kaum Morisco dan Marranos. Atau bangsa Saxon pada zaman Charlemagne. Atau yang masih terhitung baru-baru ini adalah apa yang pernah dialami oleh anak-anak kaum Aborigin di Australia.

Jadi, Islam sebagai agama memang tidak disebarkan melalui pedang. Itu hanyalah kisah khayalan belaka. Saya memang menyebutnya sebagai kisah khayalan karena memang tak terjadi di dunia nyata. Sesuatu yang tak nyata adalah khayalan, bukan? Sebab faktanya memang tidak seperti itu. Bila pun ada beberapa kasus intoleransi dalam sejarah Islam, itu biasanya adalah kejadian yang bersifat temporer dan perkecualian dan hal seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam. Yang pada umumnya terjadi memang adalah yang sebaliknya. Karena pemaksaan agama kepada orang lain itu memang bertentangan dengan ajaran Islam. Bertentangan dengan ayat laa ikraaha fiddin. Orang mau masuk Islam atau tidak itu urusan pribadi masing-masing. Terserah. Tidak harus lantas dipaksa-paksa dan diancam dengan pedang segala. Penyebaran Islam sebagai suatu kepercayaan (as a religious belief) memang tak melalui ancaman pedang. Banyak orang di dunia ini yang suka berkhayal agaknya. Oleh karena itu, bebaskanlah diri Anda dari kisah-kisah khayalan semacam itu. Siapa kira-kira yang mengarang kisah-kisah palsu semacam itu? Atau kalau kita mau tambah satu lagi, Anda bisa membaca sejarah Islam di tanah Palestina berikut ini:

The Muslim rulers did not force their religion on the Palestinians (laa ikraaha fiddin, red.), and more than a century passed before the majority converted to Islam. The remaining Christians and Jews were considered “People of the Book.” They were allowed autonomous control in their communities and guaranteed security and freedom of worship. Such tolerance (with few exceptions) was rare in the history of religion. (Microsoft® Encarta® Encyclopedia 2002).

Jadi, kita ini memang harus membedakan antara perluasan wilayah imperium Islam dengan penyebaran agama Islam. Kalau perluasan wilayah imperium sebagai suatu kekuatan politik memang dengan kekuatan senjata. Apa kita mau berperang pakai lemper? Atau barangkali dilempari bakso saja musuhnya? Opo tumon? Itu nanti bukan perang namanya, tetapi pesta makan bakso. Atau pesta makan lemper. Berperang ya harus menggunakan senjata, dong. Tidak pakai lemper. Dan kita tahu juga bahwa pasukan gabungan yang menyerbu Irak saat ini pun melaksanakan “Operation Freedom” dengan senjata juga. Tidak lantas melempari Saddam Hussein dengan pizza atau pun hamburger.

Pasukan muslim pada masa itu pun berperang dengan menggunakan senjata juga, bukan dengan lemper. Tetapi, setelah dikalahkan, penduduknya tidak dipaksa untuk masuk Islam. Terserah. Laa ikraaha fiddiin. Sebaliknya, malah dijamin keamanan dan kebebasan beragamanya. Lihat kalimat yang saya highlight pada kutipan di atas tadi. Jadi memang tanpa dipaksa-paksa atau pun diancam dengan pedang segala. Mau masuk Islam atau tidak itu terserah pribadi masing-masing. Dan sikap semacam inilah, membiarkan setiap orang supaya bebas memilih keyakinannya sendiri seperti inilah, yang dinamakan toleransi. Dan saya sendiri juga menganut prinsip yang sama. Karena saya mengamalkan isi Al-Quran tersebut. Dan juga karena saya mengikuti prinsip toleransi yang telah dijalankan oleh para khalifah pada zaman lampau tersebut. Tugas umat Islam memang hanyalah sekedar menyampaikan saja dan bukan memaksa orang apalagi memenggal kepala orang segala. Sampaikanlah, walau satu ayat. Sedangkan perkara nanti orang mau atau tidak mau, itu terserah saja. Jadi, mengulangi sekali lagi kutipan yang di atas tadi: It is important to distinguish the spread of rule by Muslims from the spread of Islam as a religious belief.

Lantas, bagaimana kisah nyatanya, kisah penyebaran Islam yang sebenarnya? Yang terjadi sebenarnya, kisah nyatanya, true story-nya adalah sebagai berikut ini:

Many of the Arabs’ subjects sought membership in the community of Muslims for the very reason that Arabs were protective of their privileged group. Bureaucrats under Arab rule envisioned an increase in power through conversion: They imagined that their relationships with their superiors would improve and that their positions would be more secure if they adopted a Muslim identity. Businessmen saw advantages in belonging to an increasingly Muslim-dominated global trade network, in which Muslims were routinely given favorable terms and concessions. Intellectuals hoped to win legitimacy for their views and ideas by presenting them in an Islamic framework. By converting, professional soldiers could fight in the Islamic army and thereby hope to win booty and other benefits of the continuously successful Arab campaigns. Some converts also might have seen an advantage in freedom from the jizyah, or poll tax, that the protected peoples were required to pay their Muslim overlords. The Muslims saw this as a protection tax because non-Muslims were not supposed to serve in the army. However, while some non-Muslims may have considered this tax discriminatory, during the first years of the Umayyad caliphate the jizyah was significantly less than the heavy taxes that had been exacted by the Byzantines and the Sassanids. Therefore, it probably did not seem particularly onerous to most of the Caliph’s subjects.

Begitulah kisah nyatanya. Dengan sukarela semuanya, walau kadang memang ada pertimbangan-pertimbangan duniawinya juga. Sifat manusia kan memang berbeda-beda. Ada yang tulus tapi ada juga yang kedonyan. Tetapi, pada dasarnya mereka semuanya memeluk tanpa paksaan. Dengan sukarela semuanya. Tanpa harus diancam dengan pedang segala. Itu hanyalah kisah khayalan belaka. Oleh karena itu, sekali lagi, bebaskanlah diri Anda dari kisah-kisah khayalan tersebut. Itu semuanya memang hanya kisah khayalan, kok. Jangan lantas dianggap beneran. Kisah khayalan macam begitu kok lantas dianggap beneran dan diyakini sungguh-sungguh lagi. Jangan suka dikibuli orang deh Anda itu.

Selain itu, ketika sedang berperang menaklukan suatu negeri, peperangan itu tidaklah dilancarkan dengan cara yang barbar, brutal dan sadis ala pasukan Jengis Khan, pasukan Vandal atau pun bangsa Hun, tetapi dengan tetap menjalankan suatu kode etik pertempuran yang rasanya akan tetap terdengar manusiawi dan humanis hingga abad milenium sekarang ini. Lihatlah amanat berikut ini yang disampaikan oleh Abu Bakar kepada pasukan muslim yang hendak berangkat ke Yordania. Pasukan ini dipimpin oleh seorang panglima perang yang masih sangat muda belia usianya, baru belasan tahun. Namanya kebetulan menjadi turut ngetop juga akhir-akhir ini, yaitu Usamah (Osama). Tetapi, ini bukan Usamah temannya Mullah Umar tentunya. Ini adalah Usamah dari abad ketujuh. Berikut amanat Abu Bakar kepada pasukan muslim pada saat itu.

Abu Bakar, khalifah yang pertama, memberikan kepada tentaranya instruksi-instruksi berikut, suatu instruksi yang sudah terkenal dan sering diulangi karena mengandung intisari jiwa moral hukum Islam.

“Ingatlah bahwa kamu selalu dalam pandangan Tuhan, dan selalu menghadapi mati, dan kamu bertanggung jawab kepada hari kiamat. Jika kamu berperang untuk kejayaan Tuhan, bertindaklah sebagai lelaki. Jangan melarikan diri. Jangan sampai darah wanita, anak-anak atau orang tua menodai kemenanganmu. Jangan merusak pohon korma. Jangan membakar rumah-rumah penduduk atau ladang-ladang gandum. Jangan memotong pohon buah-buahan. Jangan membunuh binatang kecuali jika kamu memerlukannya untuk dimakan. Jika kamu mengadakan persetujuan atau menerima penyerahan musuh, penuhilah syarat-syaratnya. Dalam perjalananmu ke garis depan, kamu akan menemui para ahli agama yang hidup di dalam biara-biara (monastery) dan beribadat kepada Tuhan. Biarkanlah mereka itu dan janganlah merusak biara-biara mereka.”

Demikianlah amanat Abu Bakar kepada pasukan muslim yang hendak berangkat bertempur ke garis depan. Suatu kode etik pertempuran yang sangat humanis, bukan? Bahkan, akan tetap terdengar demikian hingga kapan saja. Bahkan setelah zaman milenium ini berlalu sekali pun. Ini saya kutip dari buku Humanisme dalam Islam karya Prof. Dr. Marcel A. Boisard, terbitan Jakarta, Bulan Bintang, 1980, hlm. 291. Terjemahan dari bahasa Perancis. Dan Boisard kemudian membandingkannya dengan Raja Dagobert karena Abu Bakar ini memang hidup sezaman dengan Raja Dagobert.

Ini memang sengaja saya kutip dari bukunya Boisard karena ada juga hal-hal lain di buku ini yang saya kira perlu Anda baca dan ketahui juga. Meski demikian, amanat Abu Bakar ini bisa juga dicari dalam berbagai kitab atau buku yang lainnya. Banyak juga buku atau kitab lain yang memuatnya. Ini memang ucapan yang sudah sangat terkenal, walau pada saat ini memang sering dilupakan oleh umat Islam sendiri. Mungkin juga untuk membalas tindakan yang serupa. Tetapi, ajaran Islam sendiri pada dasarnya tidak pernah mengajarkan hal seperti itu. Merusak dan membunuh tanpa pandang bulu. Termasuk juga merusak gereja dan biara-biara. (Termasuk membakar gereja kaum kulit hitam tentunya). Lihat kalimat terakhir dari kutipan di atas. Hal seperti itu dilarang oleh ajaran Islam. Bahkan meski dalam suasana perang sekali pun. Apalagi dalam suasana damai.

Perang di dalam Islam memang hanyalah bersifat antar pasukan atau antar pemerintahan dan tidak turut menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran. Kecuali kalau itu adalah peperangan antar penduduk sipil tentunya. Meski demikian, korban dari pihak-pihak perempuan, orang tua dan anak-anak semestinya tetap bisa dihindari. Memang tidak semua umat Islam dalam sejarahnya bisa mematuhi ajaran ini. Dan kita ini tentunya sudah lama tahu bahwa memang sulit sekali membuat semua orang itu bisa patuh kepada ajaran agamanya. Dalam agama mana saja. Bukan hanya Islam saja. Dan juga dalam perkara apa saja. Bukan hanya dalam masalah peperangan saja. Kalau semua orang bisa patuh kepada ajaran agamanya tentunya Anda sekarang tak perlu repot dengan penyakit AIDS misalnya. Atau juga mengurusi korupsi dan berbagai macam penyakit masyarakat lainnya.

Walau memang kerap ada yang melanggarnya, tetapi pada dasarnya ajaran Islam memang adalah seperti yang dipetuahkan oleh Abu Bakar kepada pasukannya tersebut. Dan kalau kita baca di dalam sejarah, salah satu tokoh besar Islam yang terkenal selalu mengingat amanat Abu Bakar ini adalah Salahudin, Sultan Mesir asal  Kurdistan tersebut. Demikian pula halnya Khalifah Umar. Ini antara lain bisa juga Anda ketahui dari kisah Umar ketika memasuki Jerusalem. Kalau masih belum tahu silakan Anda mempelajarinya dari buku-buku biografi Umar. Malah kalau Khalifah Umar ini masuk sendirian dengan damai ke dalam kota tanpa disertai pasukannya. Pasukannya ditinggal saja di luar tembok kota. Berikut kutipan dari www.ukim.org. tentang kisah Umar dan Saladin ketika pergi ke Yerusalem.

With this definition in hand, we shall go forward and look at the history of Islam and compare it with the rest of world history because all people say that you must go to the roots of Islam. The roots of Islam are in its Holy Book, in the traditions of the Prophet (peace be upon him) and in its history. Let us take just one or two examples. Take the case of Jerusalem. Salahuddin captured it in 1187; this according to a Christian chronicler, Ernoul, who was present there. This is also narrated by Stanley Lane-Poole in his biography of Salahuddin. Salahuddin's guards were commanded by responsible Amirs. They kept order in every street, prevented violence, even insult, insomuch that no abuse against the Christians was ever heard of. This he compares with the events of approximately 100 years earlier, in 1099, when Duke Godfrey of Bouillon and Tancred of Hauteville rode through the streets of Jerusalem choked with the dead and dying, when hundreds of Muslims were tortured, burned and killed in cold blood.

Will and Ariel Durant, authors of The Story of Civilisation, say: 'Women were stabbed to death, suckling babes were snatched by the leg from the mothers' breasts and flung over the walls or had their necks broken by being dashed against posts and 70,000 Moslems remaining in the city were slaughtered. The surviving Jews were herded into a synagogue and burned alive.'

Even earlier, in 638, when Umar, the Second Caliph took Jerusalem, he virtually walked from Madina to Jerusalem. I say walked because for half the way he rode a camel, but for the other half his servant rode the camel. He had 14 patches on his dress. He signed a peace agreement with the Christians of the town and took it absolutely peacefully. By comparison, when the Romans in 70 CE took Jerusalem by force the streets of the city were clogged with corpses; they slew all the Jews they could lay their hands on. Josephus numbered at 1,197,000 the Jews killed in this siege and its aftermath; Tacitus calculated them at 600,000.

Jadi, tindakan pasukan Islam memang jauh berbeda dengan yang terjadi pada masa-masa sebelum dan sesudahnya di mana setelah ditaklukkan Jerusalem lantas dihancurleburkan. Malah hanya tinggal berupa dinding ratapannya saja (wailing wall). Pasukan Islam tak pernah melakukan hal semacam itu di Jerusalem. Baik pada zaman Umar maupun Saladin. Semua gereja dan sinagog tetap berdiri pada tempatnya. Bahkan Wailing Wall pun, hasil “karya arsitektur” pasukan Romawi itu juga tetap boleh berdiri pada tempatnya. Para rabbi dan biarawan juga tetap boleh menunaikan ibadah sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Suatu kebijaksanaan yang sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh Abu Bakar sebelumnya. Lihat amanat Abu Bakar kepada Osama pada kutipan di atas sekali lagi. Atau keterangan yang lainnya tentang penaklukan Jerusalem oleh Umar ini bisa kita dapati dari The Outline of History  karya H.G Wells.

Jerusalem fell early, making a treaty without standing siege, and so the True Cross, which had been carried off by the Persians a dozen years before, passed once more out of the rule of Christians. But it was still in Christian hands; the Christian were to be tolerated, paying only a poll tax; and all the churches and all the relics were left in their possesions.

…He (Omar) met the Patriarch of Jerusalem, who had apparently taken the city from its Byzantine rulers, alone. With the Patriarch he got on very well. They went round the Holy Places together, and Omar, now a little appeased, made sly jokes about his too magnificent followers.

Demikianlah kisah Umar di Jerusalem. Ia sama sekali tidak mengancam sang Uskup (Patriarch) dengan pedang supaya dia mau masuk Islam dan kalau tidak mau lantas ditebas batang lehernya. Malah diajaknya Sang Uskup berjalan-jalan bersama dengan damai untuk meninjau keadaan di kota. Dan dibiarkannya dia bersama umatnya tetap memeluk agamanya yang lama. Tidak lantas dipaksa masuk Islam semuanya dan kalau tak mau kemudian digiring beramai-ramai untuk dipenggali semua kepalanya. Tidak pernah ada kejadian yang semacam itu.

Atau contoh lain yang paling unik adalah kita bisa melihatnya pada Masjid Umayah di Damaskus. Masjid Damaskus yang dibangun pada masa “Dark Ages” ini dulu pernah berisi dua buah tempat ibadah, masjid dan gereja. Umat Islam dan Kristen yang hendak pergi menunaikan ibadah, hingga masa Khalifah Al Walid, pergi ke masjid atau gereja melalui pintu gerbang yang sama. Suatu hal yang rasanya mustahil bisa terjadi pada masjid di Kordoba. Baik pada zaman sekarang apalagi pada abad ke-16. Atau barangkali sekarang ini ada yang mau bikin serupa?

Masjid itu, yang awalnya merupakan tempat menyembah berhala, diubah menjadi gereja oleh Johanes Sang Pembaptis setelah agama Kristen menjadi agama kerajaan Roma pada abad IV Masehi. Bangunan itu kemudian diubah menjadi masjid setelah Arab menduduki Damaskus tahun 635 Masehi.

Setelah 70 tahun pengambilalihan Damaskus oleh pihak Arab, bangunan itu kemudian digunakan lagi sebagai tempat beribadah bagi orang Kristen. Bangunan tambahan dari masjid itu digunakan secara bersama oleh umat Islam dan Kristen, tempat kaum muslim beribadah menghadap tembok selatan yang searah dengan kota suci Mekah.

Orang Kristen dan Islam menggunakan gerbang yang sama untuk menuju tempat ibadah mereka yang berbeda--masjid dan gereja yang ada di dalam wilayah bangunan tersebut. (Suara Merdeka, 5 Mei 2001).

Begitulah keadaan di masjid Damaskus yang sudah berdiri semenjak abad pertengahan yang gelap gulita itu, lebih dari seribu tahun yang lalu. Umat Islam dan umat Kristen pada masa itu sempat beribadah di dalam lingkungan tembok masjid yang sama. Dan umat Kristen itu pun bebas beribadah di dalam gerejanya. Tidak lantas dijeweri dan kemudian digiring beramai-ramai supaya turut masuk ke dalam masjid juga. Apalagi “di-marranos-kan”. Tidak pernah terjadi kisah semacam itu. Mereka bebas beribadah di sana. Umat Kristen di Damaskus pada masa itu bisa bebas beribadah di dalam “masjid”. Dan siapa pun tentu saja boleh beribadah di dalam gereja atau pun masjid tersebut, baik umat yang berkulit putih, berkulit hitam atau pun yang berkulit abu-abu sekali pun. Pokoknya semua orang dari beragam ras boleh beribadah di kedua tempat ibadah tersebut.

Jadi, siapa kiranya yang mengarang kisah-kisah khayalan tentang ajaran intoleransi dalam Islam selama ini? Itu semuanya hanya kisah palsu dan khayalan belaka. Fakta yang sebenarnya adalah seperti kisah di atas itulah. Jadi, memang tak ada yang perlu ditakutkan dari umat Islam dan ajaran Islam. Ketakutan itu terjadi hanya karena bertumpuk-tumpuknya berbagai propaganda palsu dan kisah palsu tersebut dan lantas dipercayai sebagai fakta. Suatu fenomena yang aneh juga menurut saya. Mengarang cerita-cerita horor sendiri dan lantas menjadi bergidik dan ketakutan sendiri dengan hasil ceritanya. Aneh juga, memang. Padahal kisah seperti itu tak pernah terjadi dan tak pernah ada. Benar-benar suatu fenomena yang aneh dan mengherankan. Mengarang kisah-kisah takhayul sendiri dan lantas menjadi ketakutan sendiri. Benar-benar suatu fenomena yang sangat aneh.

Bila pun dalam sejarah Islam ada sesekali kisah intoleransi, itu pun biasanya hanya bersifat temporer dan perkecualian saja. Atau karena orang yang melakukannya masih belum paham betul dengan ajaran agamanya sendiri. Jadi, bukan karena ajaran Islam yang memerintahkan hal seperti itu. Dalam Islam berlaku ajaran laa ikraaha fiddiin.

Memang dalam sejarah Ottoman kita ketahui ada perekrutan paksa untuk pasukan Janissari atau pegawai pemerintahan di imperium Ottoman. Tetapi, hal ini pun sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap ajaran Islam. Dan seperti yang sudah pernah saya tulis dahulu, zaman Ottoman itu memang bukanlah suatu zaman yang dijadikan teladan bagi umat Islam saat ini. Karena memang banyak di antara para khalifah dinasti Ottoman itu yang sudah tak mengindahkan lagi ajaran agamanya. Zaman yang dijadikan teladan bagi umat Islam hingga saat ini adalah zaman para khalifah di Madinah. Zaman Khulafaur Rasyidin. Atau juga beberapa khalifah yang lainnya dari beberapa dinasti yang ada. Meski demikian, secara umum keadaan pada zaman berbagai dinasti kekhalifahan itu memang jauh lebih toleran dan pluralis bila dibandingkan dengan keadaan di berbagai belahan dunia lainnya saat itu. Lihat sekali lagi kutipan tentang toleransi pada masa Umayyah di atas tadi. Kutipan yang pertama.

Juga walaupun memang pernah terjadi hal semacam itu pada zaman Ottoman, mereka yang direkrut itu tidak diperlakukan dengan buruk. Malah dipercayai untuk menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan. Menjadi panglima perang, pegawai tinggi di kerajaan, bahkan juga menjadi perdana menteri (grand vizier) seperti Ibrahim pada zaman Suleyman the Magnificent. Dan mereka memang sengaja khusus direkrut dan di-training untuk itu. Dan selain perekrutan untuk tentara dan pegawai pemerintahan, rakyat umum yang lainnya dibiarkan tetap bebas dalam agamanya yang lama. Dan kita tahu bahwa negara-negara bekas jajahan kerajaan Ottoman di Eropa Timur itu hingga kini masih tetap dengan agamanya yang lama.

Setelah penaklukan (atau yang dalam literatur Islam biasanya diistilahkan sebagai pembebasan) yang terjadi pada masa Abu Bakar dan sesudahnya, memang diadakan suatu perbaikan dan revolusi sosial secara besar-besaran di semua wilayah taklukkan tersebut. Mulai dari Sungai Indus sampai Andalus. Dan itulah sebabnya, bahwa selain yang karena alasan keduniawian tadi, banyak juga yang kemudian memeluk Islam dengan tulus dan sepenuh hati. Karena mereka merasa dibebaskan dari himpitan penindasan kerajaan-kerajaan yang ada sebelumnya. Jadi, memang selaras dengan istilah yang lagi trendi sekarang ini, bahwa apa yang dilakukan oleh pasukan muslim pada masa itu adalah suatu Operation Freedom juga. Selain itu, para khalifah pada masa itu juga senantiasa memerintahkan para bawahannya untuk senantiasa bersikap sederhana dan selalu memperhatikan rakyatnya yang miskin dan kekurangan. Berbeda dengan sikap raja- raja yang memerintah di wilayah itu sebelumnya. Lihatlah kutipan berikut ini:

Equally indicative of the tendencies of the time is Omar’s letters ordering one of his governors who had built himself a palace at Kufa, to demolish it again.

“They tell me,” he wrote, ”you would imitate the palace of Chosroes, and that you would even use the gates that once were his. Will you also have guards and porters at those gates, as Choesroes had? Will you keep the faithfull afar off and deny the audience to the poor? Would you depart from the custom of our prophet, and be as magnificent as those Persians emperors, and descend to hell even as they have done?”

Atau kita juga tentunya sudah hafal kisah khalifah Umar yang kerap berkeliling kota sendirian di malam hari untuk meneliti kehidupan rakyatnya. Dan dia kemudian memanggul sendiri sekarung gandum untuk sebuah keluarga sedang kelaparan. Seorang khalifah penakluk dua imperium raksasa sama sekali tidak pernah merasa gengsi untuk melakukan hal semacam itu. Memikul sekarung gandum sendiri untuk diberikan kepada rakyatnya yang sedang kelaparan. Suatu hal yang tentunya sangat mustahil mau dilakukan oleh kaisar Persia atau pun Romawi yang menganggap dirinya sebagai manusia setengah dewa. Dan hal itu juga rasanya mustahil dilakukan oleh sekedar gubernurnya sekali pun. Jadi, para khalifah di Madinah pada masa itu memang benar-benar menjadi abdi rakyat dan bukan malah sebaliknya. Atau mungkin hanya sekedar tinggal istilah saja seperti yang sering terjadi pada masa kini. Istilah resminya memang menjadi abdi rakyat, tetapi malah justru rakyatnya yang disuruh mengabdi dan melayani mereka.

Selain itu, para khalifah juga memerintahkan para pejabatnya untuk bersikap adil kepada siapa saja, bahkan kepada kaum Yahudi sekali pun. Dan memang pernah dikisahkan bahwa Khalifah Omar melarang seorang pejabatnya untuk menggusur sebuah gubuk milik seorang Yahudi. Gubuk itu hendak digusur oleh pejabat tadi karena dianggap membikin kusam pemandangan di kota. Tetapi, tindakan penggusuran seperti itu dilarang oleh khalifah Umar. Dibiarkannya orang-orang Yahudi berumah tinggal di mana saja mereka mau, kecuali di wilayah sekitar Mekkah dan Madinah tentunya. Kalau wilayah di sekitar itu memang dinyatakan khusus bagi umat Islam. Tetapi, selain di wilayah tersebut mereka bebas tinggal dan membangun rumah di mana saja. Tidak pernah para khalifah membuldozer rumah-rumah orang Yahudi beserta isinya sekalian. Atau mendirikan pemukiman Arab di kampungnya orang Yahudi. Oleh karena itu, saya sering berpikir betapa memalukannya “balas budi” yang dilakukan oleh orang Yahudi sekarang ini terhadap sikap baik orang Arab selama berabad-abad lamanya. What a shame. Apakah Kahane yang mengajarkan hal seperti itu?

Dan kita tahu bahwa memang tidak pernah ada kisah Kristallnacht atau pun Alfred Dreyfus di tanah Arab. Juga tidak pernah ada kisah pogrom atau pun kaum Marranos. Bahkan, kaum Marranos dulu banyak yang pergi mencari perlindungan kepada orang Arab di Timur Tengah. Dan diterima dengan baik di sana. Tidak lantas di-marranos-kan sekalian juga. Tak pernah ada kisah semacam itu di tanah Arab. Apalagi kisah Auschwitz dan Holocaust. Tidak pernah ada sama sekali. Semuanya itu terjadi di benua Eropa. Dan gerakan Zionisme itu memang timbul sebagai akibat penindasan, diskriminasi, intoleransi dan rasisme yang dialami kaum Yahudi selama berabad-abad lamanya di benua Eropa. Bukan akibat penindasan dan rasisme di tanah Arab. Tidak pernah ada sama sekali dalam sejarah Arab kisah penindasan, diskriminasi atau pun rasisme terhadap kaum Yahudi di Timur Tengah.

Seandainya saja orang Yahudi itu hidup dengan aman dan damai di Eropa, seandainya saja orang Yahudi itu ditoleransi dan dihormati sebagai manusia di Eropa, seandainya saja tidak ada semangat rasisme di Eropa, maka gerakan Zionisme itu sebenarnya tidak akan pernah terjadi. Dan para pelopor serta penggagas gerakan Zionisme ini memang adalah orang-orang Yahudi Eropa semuanya. Bukan orang Yahudi Timur Tengah. Theodor Herzl orang Hungaria, Chaim Weizmann orang Rusia, Ben Gurion orang Polandia. Mereka semuanya adalah orang-orang Yahudi Eropa. Karena orang Yahudi memang ditindas dan didiskriminasi di Eropa sana. Dan kerap dibantai di mana-mana. Bukan hanya di Jerman saja, tetapi di seluruh wilayah Eropa. Dan ide Zionisme ini memang terpikirkan oleh Theodor Herlz, bapak Zionisme internasional ini, setelah dia merasa shock atas terjadinya Dreyfus affair di Perancis pada tahun 1894. Dan pada masa itu Perancis—bukan Jerman—memang terkenal sebagai negara yang paling anti Semit. Ini saya kutip dari tiga ensiklopedi sekaligus.

As Paris correspondent for the Neue Freie Presse during 1891-95, Herzl covered the Dreyfus affair. He was shocked by the anti-Semitism he observed and became convinced that Jewish assimilation was impossible. He expressed his views in The Jewish State (1896), in which he advocated the creation of a Jewish nation-state in Palestine. (Grolier Multimedia Encyclopædia)

The ensuing political controversy produced an outburst of anti-Semitism among the French public. Herzl said in later years that it was the Dreyfus affair that had made a Zionist out of him. So long as anti-Semitism existed, assimilation would be impossible, and the only solution for the majority of Jews would be organized emigration to a state of their own. (Encyclopædia Britannica)

The violent anti-Semitism that erupted in France in 1894 as a result of the court-martial of the Jewish army officer Alfred Dreyfus deeply affected Herzl. Until that time he had believed that gradual assimilation of the Jews with the Christian peoples of Europe was the best solution to anti-Semitism; the repercussions of the court-martial convinced him that the problem could be solved only if the Jews became a separate national group with sovereignty over their own territory. (Microsoft® Encarta® Encyclopedia 2002).

Dan dia kemudian merasa lebih yakin lagi akan idenya ini setelah terjadinya pembantaian di Kishinev (Kishinev pogrom) di Moldova pada tahun 1903. Merasa bahwa rasanya memang sudah tidak mungkin lagi akan bisa terjadi integrasi yang damai antara kaum Yahudi dengan masyarakat Eropa. Padahal, sebelumnya dia berpendapat bahwa integrasi secara gradual ke dalam masyarakat Eropa itulah solusi yang terbaik bagi kaum Yahudi di Eropa. Setelah peristiwa-peristiwa semacam itu, dia kemudian mengatakan: “Things cannot improve, but must get worse, until the massacres.” Dan memang terjadilah kemudian peristiwa Holocaust itu.

Dan peristiwa serupa itu sebenarnya tak hanya terjadi di satu dua negeri Eropa saja, hanya di Jerman atau pun Moldova saja, tetapi juga di belahan Eropa mana saja. Di Rusia pun kerap terjadi demikian. Desa-desa orang Yahudi dibumihanguskan pada masa Tsar dan ribuan orang Yahudi dibunuh. Rumah mereka dirampok, dijarah dan dibakar di mana-mana. Dan pada masa perang saudara tahun 1917, ratusan ribu orang Yahudi dibantai di Ukraina. Pada masa Stalin sekitar 400 ribu orang Yahudi dikirimkan ke kamp kerja paksa (slave labor) di Siberia. Dan penindasan semacam itu tetap berlangsung selama masa Uni Sovyet. Dan komunitas Yahudi terbesar di Israel sekarang ini memang adalah kaum Yahudi keturunan Rusia. Akibat penindasan di sana juga. Komunitas yang terbesar memang adalah dari Rusia dan bukan dari Jerman sebab kalau yang dari Jerman ini agaknya banyak yang sudah tak sempat bermigrasi lagi. Sudah keburu “disolusikan”. Dan harta benda mereka beserta rumah dan seluruh isinya pun turut terkena “solusi” juga. Dipaksa menjual dengan harga yang murah meriah atau dibagi-bagikan dengan gratis kepada mereka yang masih murni rasnya. Atau dibagi-bagikan ke berbagai bank di Swiss. Dan kita juga tahu bahwa pada masa Hitler memang banyak orang di seluruh Eropa yang bersedia dengan ikhlas dan gembira untuk menjadi sukarelawan guna membantu program Final Solution. Semua penduduk di Eropa dan bukan hanya di Jerman saja. Termasuk juga di Perancis, Austria, Hungaria, Polandia dan di mana saja.

Dan akhirnya, tahukah Anda apa arti kata Marranos yang beberapa kali saya sebutkan di atas tadi? Itu artinya adalah babi. Jadi, orang Yahudi di Spanyol dulu dijuluki sebagai babi dan dianggap sebagai kaum babi saja. Tidak dianggap sebagai manusia. Dan beribu-ribu di antara “babi” tersebut kerap disembelih di mana-mana. Atau dibakar hidup-hidup di atas api unggun, dijadikan sebagai “babi guling” saja. Memang benar terjadi hal yang semacam itu. Boleh Anda baca di buku-buku sejarah yang mengupas kisah kaum Marranos. Mereka memang benar-benar dibikin “babi guling”. What a shame.

Jadi, boleh dikatakan bahwa masalah Palestina yang terus berlarut-larut hingga sekarang ini adalah hasil dari rasisme dan intoleransi yang terjadi selama berabad-abad lamanya di benua Eropa. Dan akibat dari perbuatan semacam itu sekarang ini menghasilkan kekacauan di Palestina. Menimbulkan keributan sampai sekarang ini. Oleh karena itu, saya ini kemudian berpikir bahwa karena yang menyebabkan terjadinya Zionisme ini adalah karena kekejaman, rasisme, sikap intoleransi serta gerakan “babi gulingisme” yang dilakukan oleh orang-orang Eropa terhadap kaum Yahudi, maka seharusnya yang bertanggung jawab terhadap mereka adalah orang-orang Eropa juga. Dan seharusnya tanah perjanjian itu didirikan di Jerman atau Rusia saja. Atau barangkali di Spanyol atau Polandia. Karena memang orang-orang Eropalah yang seharusnya bertanggung jawab secara moril terhadap berbagai macam penindasan dan pembantaian kepada kaum Yahudi selama ini. Orang Arab tak pernah melakukan hal-hal seperti yang dilakukan oleh orang Eropa terhadap kaum Yahudi. Lantas, kenapa sekarang ini orang Arab yang harus menanggung akibat dari penindasan, rasisme dan “babi gulingisme” yang terjadi di benua Eropa tersebut? Setelah menindas kaum Yahudi di Eropa, lantas mengirim mereka ke Timur Tengah dan sekarang ini ganti membikin kekacauan di Timur Tengah. Berhentilah melakukan penindasan dan kekacauan di mana-mana. Selama dunia Barat masih tetap bersikap seperti yang sekarang ini, gemar membikin kekacauan di mana-mana, maka dunia ini selamanya tak akan pernah mengenal kata perdamaian. Tidak akan pernah. Peperangan, terorisme dan segala tindak kekerasan yang lainnya akan tetap senantiasa menghantui dunia sampai kapan saja. Dan akan selamanya tetap demikian.

Penindasan, kekejaman, diskriminasi dan rasisme seperti yang dialami kaum Yahudi di Eropa itu memang tidak pernah terjadi di bawah pemerintahan para khalifah. Semua orang Kristen dan Yahudi bebas tinggal di mana saja mereka mau dan juga bebas berprofesi apa saja di seluruh pelosok negeri di Timur Tengah. Bahkan bekerja di istana para khalifah sekali pun, termasuk juga menjadi pengajar dan guru anak-anak pejabat tinggi dan anak-anak para khalifah. Dengan tetap memeluk agama mereka. Dan tetap bebas beribadah di mana saja tanpa harus merasa takut terkena “solusi” atau pun “di-marranos”kan”. Mereka juga bebas untuk menjadi filsuf, ilmuwan atau pun beragam profesi yang lainnya. Tak pernah ada kisah pogrom dan Holocaust di tanah Arab. Juga tak pernah ada kisah Alfred Dreyfus atau pun kaum Marranos di Timur Tengah.

Jadi, memang begitulah kisah yang sebenarnya dari pemerintahan para khalifah terhadap rakyatnya apa pun agama dan ras mereka. Penduduk di berbagai wilayah tersebut dibebaskan dari penindasan rezim yang lama dan bagi mereka yang tetap setia hendak menganut agamanya yang lama juga ditoleransi. Apa pun sekte dan madzhab mereka. Lha wong namanya juga memang Operation Freedom. Tidak ada yang dipaksa untuk masuk Islam. Karena hal semacam itu bertentangan dengan ajaran Al-Quran. Bertentangan dengan ayat laa ikraaha fiddin tadi. Dan tentunya juga bertentangan dengan prinsip Operation Freedom tadi. Jadi, mereka menerima pemerintahan para khalifah dengan baik karena mereka merasakan bahwa pemerintahan tersebut memang jauh lebih baik dari yang ada sebelumnya. Lihatlah juga kalimat berikut ini. Dari The Outline of History karya H.G. Wells juga:

And if the reader entertains any delusions about a fine civilization, either Persian, Roman, Hellenic or Egyptian being submerged by this flood, the sooner he dismisses such ideas the better. Islam prevailed because it was the best social and political order the times could offer. It prevailed because everywhere it found politically apathetic peoples robbed, oppressed, bullied, uneducated, and unorganized, and it found selfish and unsound governments out of touch with any people at all. It was the broadest, freshest, and cleanest political idea that had yet come into actual activity in the world, and it offered better terms than any other to the mass of mankinds. The capitalistic and slave-holding system of the Roman empire and the literature and culture and social tradition of Europe had altogether  decayed and broken down before Islam arose. It was only when mankind lost faith and sincerity of its representatives that Islam, too, began to decay.

Demikianlah apa kata H.G. Wells. Jadi, yang terjadi pada masa itu memang adalah suatu Operation Freedom betulan. Bukan Operation Oil. Suatu operasi pembebasan yang dilakukan oleh pasukan Muslim Arab terhadap berbagai penindasan oleh kerajaan-kerajaan lama yang ada di wilayah Mediterania pada masa itu. Meski demikian, walau pembahasan Wells mengenai masalah Islam di dalam bab Islam dan Muhammad ini boleh dikatakan cukup baik, tetapi memang masih ada juga kesalahannya dalam beberapa hal. Atau untuk lebih baiknya bisa Anda baca sendiri saja dari bukunya yang asli.

Jadi, memang begitulah ceritanya. Yang terjadi sebenarnya adalah suatu Operation Freedom. Bukan kisah pemaksaan agama atau pun kisah pemenggalan kepala besar-besaran. Berbagai propaganda palsu yang telah berlangsung selama berabad-abad lamanya di dunia Barat selama ini, pada akhirnya agaknya telah dipercayai sebagai suatu kebenaran. Aneh juga. Padahal, yang terjadi sebenarnya adalah suatu Operation Freedom. Atau barangkali kalau contoh yang lebih up to date lagi tentang akibat dari propaganda semacam ini adalah tentang revolusi di Iran. Kita tahu bahwa selama dua dekade ini berbagai media di Barat sana rata-rata menyebutnya sebagai rezim diktator yang sadis dan gemar menindas kaum wanita. Tetapi, kita sekarang tentunya sudah tahu bagaimana kenyataan yang sebenarnya. Anda sudah baca sidebar di Encarta karya Eric Hooglund yang berjudul The Social Impact of the Islamic Republic kemarin? Begitulah kisah nyatanya. Malah kita bisa baca di situ juga bahwa pendidikan kaum wanita di sana sekarang ini jauh lebih maju ketimbang zaman “modernisasi” yang dilakukan oleh Shah Iran dahulu. Apalagi tentang masalah pemilu dan demokrasi. Tambah lebih ketinggalan lagi.

Oleh karena itu, kita ini memang lebih baik bila membaca kisah nyatanya saja dan jangan suka cerita palsu dan khayalannya. Karena hal itu nanti selalu menimbulkan kesalahpahaman dan rasa permusuhan. Lebih sering-seringlah Anda itu membaca true story­-nya saja. Jangan terlalu suka mendengarkan kisah-kisah khayalan dan imajinasinya belaka. Terlebih lagi, pada saat ini sudah cukup banyak juga buku-buku hasil karya orang Barat sendiri yang mengupas masalah Islam dan Timur Tengah dengan cukup baik. Dan Anda tentu tahu bahwa beberapa kutipan di atas tadi saya kutip dari buku atau pun ensiklopedi terbitan dari Barat sana juga. Sayangnya, itu agaknya masih belum cukup berhasil untuk mengusir prasangka yang telah tertanam selama berabad-abad lamanya pada kebanyakan masyarakat di Barat sana.

Oleh karena itu, saya ini jadinya sering bertanya-tanya apakah sikap semacam ini dikarenakan buku-buku pelajaran sekolah tentang Islam di negara-negara Barat sana yang mungkin mengajarkan rasa permusuhan dan kebencian kepada agama Islam? Bila demikian halnya, maka saya kira sudah saatnya buku-buku pelajaran sekolah tersebut direvisi dan dibersihkan dari kisah-kisah palsu dan khayalan semacam itu, sebab itu nanti hanya akan mengajarkan rasa permusuhan dan kebencian. Hanya akan bisa menyebabkan terus berlangsungnya kesalahpahaman dan permusuhan seperti yang terjadi selama ini. Ajarankanlah true story-nya saja. Kita tak perlu mengajarkan kebencian dan permusuhan kepada anak-anak kita, bukan? Hilangkanlah pelajaran semacam itu kepada anak-anak kita. Apalagi bila pelajaran itu hanya sekedar berdasarkan imajinasi dan khayalan di siang bolong belaka. Hal-hal semacam itu nanti hanya akan membuat berlarut-larutnya permusuhan yang ada.

Lantas, bagaimana kemudian dengan buku-buku pelajaran di negara-negara Islam tentang agama Kristen dan Yahudi? Bila Anda membacanya, maka Anda tak akan pernah menjumpai satu huruf pun di buku-buku tersebut yang mengajarkan permusuhan dan kebencian kepada Musa dan Isa. Dan hal seperti itu memang dilarang oleh ajaran Islam. Ajaran Islam melarang mencela para nabi. Dan umat Islam memang menghormati keduanya sebagai nabi dan menganggap para pengikutnya sebagai ahlul kitab (people of the book), bukan sebagai orang kafir (infidel). Dan itulah sebabnya kenapa orang Kristen dan Yahudi bisa hidup dengan tentram, aman dan damai selama berabad-abad lamanya di tanah Timur Tengah. Karena adanya “teologi” ahlul kitab tersebut. Bila pun sekarang ini timbul rasa permusuhan kepada Barat, maka ada baiknya kita lihat kutipan dari www.ukim.org  ini sekali lagi:

Of course, they will guard against the extravagances of their rulers who have been doing the bidding of foreign powers, who have been squandering the resources of Muslim countries, but they are not basically hostile. Hostility is only a reaction against what has been done to them and what is being done unashamedly. The two major civilisations of the world, the Western civilisation and the Islamic civilisation, are neighbours. They are so much akin to each other and if they can co-operate, then the world can become a happy and peaceful place to live in. If not, then not only one but more Bosnias may take place and this would be a catastrophe.

Atau dalam kata lain, seperti yang telah saya sampaikan kemarin itu, dengarkanlah apa kata Edward Said ini sekali lagi:

If Iranian workers, Egyptian students, Palestinian farmers resent the West or the US, it is a concrete response to a specific policy injuring them as human being.

Jadi, bukan karena mereka memang sudah basically hostile. Sudah pada dasarnya membenci dan memusuhi Barat. Apalagi karena doktrin jihad. Bukan karena itu karena kita tahu bahwa George Habbash dan kaumnya itu tentunya sama sekali tak mengenal doktrin jihad. Tetapi, semuanya itu tentu memang ada penyebab yang lainnya. Saya rasanya memang perlu mengulang-ulang sampai beberapa kali masalah ini untuk mengingatkan Anda lagi sebab siapa tahu banyak di antara Anda yang sudah lupa lagi.

Oleh karena itu, untuk mengakhiri tulisan ini, akhirnya saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan kepada Anda semuanya: Bersediakah Anda semuanya itu menghilangkan penyebab timbulnya rasa permusuhan yang ada selama ini? Bila bersedia, bila Barat dan Islam bisa bekerja sama, then the world can become a happy and peaceful place to live in.

Sebuah kalimat yang mungkin terasa utopis memang. Tetapi, bila kita tidak bisa mewujudkannya, maka kita nanti hanya akan tinggal bisa mengambil kemungkinan yang kedua, yaitu yang terjadi nanti hanyalah sebuah catastrophe. Permusuhan, peperangan, kebencian dan pembantaian tanpa henti hingga hari kiamat nanti. Saya serahkan keputusannya kepada Anda sendiri. Terserahlah kepada Anda sendiri untuk memilih yang mana. Dan sebenarnya bukan hanya dunia Barat saja, tetapi umat Islam sendiri pun sebenarnya sudah capek dengan segala permusuhan yang ada selama ini. Umat Islam juga sebenarnya ingin mengakhiri segala permusuhan dan keributan ini. Dan saya kira ini pun bukan hanya dunia Islam dan Barat saja. Rasanya semua orang pun sudah capek dengan segala keributan yang ada selama ini.

 

 

 

 

 

HAIL  FREEDOM !!

 

 

 

 

 

“The desert shall blossom as the rose . . .

the wolf also shall dwell with the lamb .

They shall not hurt or destroy in all my holy mountain."k.” They were allowed autonomous control in their communities and guaranteed security and freedom of worship. Such tolerance (with few exceptions) was rare in the history of religion. (Microsoft® Encarta® Encyclopedia 2002).