Monday, April 6, 2015

Candi Badut, Situs Tertua di Jawa Timur

Oleh: Helmi Junaidi


Mendengar nama candi ini memang sepintas terasa agak aneh sekaligus lucu. Kok ada candi yang namanya badut. Apa tak salah, tuh? Atau apakah yang mendirikan candi itu dulu perkumpulan para badut di kota Malang? Yang lalu ramai-ramai mendirikan candi supaya anak cucu mereka dapat mengenang kejayaan para badut.

Tapi memang benar namanya Candi Badut, walau pendirinya tentu saja bukan para badut. Dan dijamin tak ada arca badut yang bertengger di candi tersebut. Yang ada adalah arca-arca “standar” seperti juga yang ada di berbagai candi lainnya yang tersebar di seluruh Jawa, baik Jawa Timur maupun Jawa Tengah.

Lalu bagaimana kisahnya kok lantas candi itu bisa bernama badut? Seperti biasanya, sebagaimana juga dalam kisah berbagai asal-usul nama situs kuno, ada beragam pendapat yang dikemukakan. 

Yang pertama adalah menurut penduduk setempat. Nama Badut berasal dari nama sejenis pohon nangka yang dahulu banyak tumbuh di daerah ini yang salah satunya juga tumbuh di area candi ketika diketemukan masih dalam keadaan reruntuhan. 

Yang kedua menurut seorang ahli bangsa Belanda bernama Van der Meulen, nama Badut ini berasal dari kata ”Ba” dan ”Dyut”, Ba= Bintang Agastya (Cnopus), dan Dyut= Sinar/Cahaya, jadi Badyut berarti Cahaya bintang Agastya. Van der Meulen membuat perbandingan dengan penamaan candi Mendut, yang menurutnya berasal dari kata Men=sorot, dan Dyut= Cahaya. Ini karena menurutnya Raja Gajayana adalah pemuja  Resi Agastya atau sering pula disebut sebagai Siwa Mahaguru. Arcanya digambarkan sebagai orang tua berperut buncit yang melambangkan kekayaan dalam berbagai ilmu keagamaan, serta berjanggut dan berkumis lebat. Memakai sorban atau terkadang rambutnya disanggul. Juga membawa tasbih dan Kendi Amerta.
 
Kemudian kalau menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, nama badut berasal dari nama raja Kerajaan Kanjuruhan yang dulu membangun Candi tersebut. Nama kecil Sang Raja adalah Liswa, yang ketika menjadi raja bergelar Gajayana. Kata Liswa berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya sama dengan pelawak atau badut. Karena menurut kisah katanya raja tersebut suka membadut. Entah asal-usul mana yang paling benar. Terserahlah bagi Anda untuk menentukan sendiri.

Nama Raja Gajayana saat ini diabadikan sebagai sebuah nama jalan di kota Malang, tepatnya di daerah Dinoyo, tempat pusat kerajaan Kanjuruhan dulu berada. Juga ada Universitas Gajayana (Uniga) yang berlokasi di Dinoyo. Letak keraton kerajaan Kanjuruhan itu konon berada di sekitar kampus tersebut. Di halaman kampus terdapat beberapa peninggalan bersejarah berupa batu umpak yang ada di area kampus. Sedikitnya, ada delapan batu umpak yang tersebar di beberapa tempat. Karena kurang terawat batu umpak itu tampak berlumut. Malah dengan santainya dijadikan tempat nongkrong dan ngopi oleh para mahasiswa.

Candi Badut yang juga disebut Candi Liswa ini terletak sekitar 5 km sebelah Barat dari pusat kota Malang, sedangkan kalau dari Dinoyo sekitar 3 km, tepatnya di Desa Karangbesuki, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

Candi ini memang kurang terkenal bila dibandingkan dengan Candi Singosari misalnya, yang juga ada di kota Malang, yang namanya sudah tersohor ke mana-mana. Bahkan, banyak penduduk Malang yang tak tahu lokasinya, malah juga tak pernah berkunjung ke sana mengingat letaknya yang memang agak terpencil. Meski demikian, candi ini adalah candi yang tertua di Jawa Timur. Jauh lebih tua dari candi-candi peninggalan kerajaan Singosari maupun Majapahit. Candi ini dikaitkan dengan Prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun 682 Caka atau 760 M atas perintah Raja Gajayana yang saat itu berkuasa di Kerajaan Kanjuruhan. Prasasti Dinoyo yang ditemukan di Desa Merjosari, Malang, saat ini tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Tulisan dalam prasasti tersebut juga menceritakan tentang masa pemerintahan Raja Dewasimba dan putranya, Sang Liswa, yang merupakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan. Menurut prasasti tersebut kedua raja itu sangat adil dan bijaksana serta dicintai rakyatnya.

Candi Badut ditemukan kembali oleh E.W. Mauren Brechter pada tahun 1921 di tengah sawah dalam kondisi yang hanya berupa reruntuhan batu tak beraturan, ditumbuhi rumput dan tertutup tanah. Setelah melalui serangkaian renovasi barulah candi ini berada dalam kondisinya yang bagus seperti sekarang. Renovasi pertama dilakukan pada tahun 1925-1926 dibawah pengawasan B. De Haan dari Jawatan Purbakala Hindia Belanda. Dari hasil penggalian diketahui bahwa bangunan candi telah runtuh kecuali bagian kaki candi yang masih dapat dilihat susunannya. Pada tahun 1926 seluruh bagian kaki dan tubuh candi dapat dibangun kembali, kecuali bagian atapnya yang tidak dapat diketemukan kembali. Atau mungkin juga batu yang ditumpuk di sekitar candi adalah sisa-sisa atap yang sudah sulit untuk ditata kembali. Renovasi berikutnya dilaksanakan pada tahun 1990 hingga 1993 oleh Depdikbud melalui Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur. 

Candi ini menghadap ke Barat dengan ketinggian sekitar 8 meter. Menempati bidang tanah berukuran 17,27 kali 14,04 meter. Di depan kanan dan kiri candi terdapat sisa-sisa pondasi bangunan kuno lainnya yang sekarang nampak seperti kolam. Candi tampak terawat baik dan di pelataran juga terdapat taman yang juga cukup bersih dan terawat. Suasana di sekitar candi dan pelatarannya cukup rindang dan sejuk. Dan suasana semacam ini membuat seorang penjaga candi nampak tertidur pulas di ruang jaganya.
 
Sementara itu, di dalam tubuh candi terdapat ruangan seluas 5,53 x 3,67 meter persegi. Di tengah ruangan tersebut terdapat lingga dan yoni yang merupakan lambang kesuburan menurut agama Hindu, yang sayangnya sudah digores-gores pahatan tulisan yang cukup besar oleh tangan-tangan jahil. Pada dinding di sekeliling ruangan terdapat relung-relung kecil yang tampaknya semula berisi arca.

Pada dinding tubuh candi bagian luar juga terdapat relung serupa. Dari tiga relung hanya tinggal satu yang berisi arca, yakni arca Durga Mahisasuramardini yang terletak di sisi Utara, tapi itu juga sudah tak utuh lagi. Di sisi Selatan seharusnya terdapat arca Agastya atau Siwa Mahaguru dan di sisi Timur terdapat arca Ganesya. Tapi, kini keduanya sudah lenyap entah ke mana. 

Bila saat ditemukan dulu candi masih berada di tengah sawah, maka sawah tersebut sekarang sudah berubah menjadi perkampungan dan lokasi candi dikelilingi oleh rumah-rumah penduduk yang cukup padat. Meski demikian, suasana di sekitar candi dan pelatarannya masih cukup asri dan nyaman. Dengan pohon beringin rindang yang ada di beberapa bagian halaman.

Candi Badut ini sering juga dijadikan tujuan studi tur bagi anak-anak sekolah. Bagi Anda yang ingin ke sana baik untuk tujuan wisata atau sekedar mampir tengok-tengok saja bisa naik mikrolet jalur AT, yakni jurusan Arjosari – Tidar yang terminal akhirnya di Jl. Tidar berdekatan dengan lokasi candi. Bagi yang punya kendaraan sendiri dan tidak tahu tempatnya tinggal mengikuti saja arah mikrolet tersebut sehingga bisa sampai ke tujuan dengan tepat dan cepat tanpa harus repot tanya orang sana-sini.