Monday, August 19, 2013

UMAT ISLAM INDONESIA Oleh: K.H. Wahid Hasjim



Oleh: K.H. Wahid Hasjim

Dari Redaksi: K.H. Wahid Hasjim bin K.H. Hasyim Asy'ari lahir pada tahun 1914 dan meninggal pada tahun 1953. Ia memang meninggal pada usia yang terhitung masih sangat muda, yakni saat masih berusia sekitar 39 tahun, pada saat anak-anaknya masih kecil-kecil. K.H. Wahid Hasjim, sebagaimana kita ketahui, adalah seorang pemuka NU yang terkemuka pada masanya. Menjabat sebagai ketua MIAI pada tahun 1940 dan anggota panitia sembilan BPUPKI pada masa menjelang kemerdekaan, sehingga bisa dikatakan ia termasuk salah seorang founding fathers Indonesia juga. Pada masa kemerdekaan sempat menjabat Menteri Agama dalam beberapa kabinet hingga tahun 1952. Selamat membaca.


Dalam bulan Desember 1951 ini terjadi dua hal yang mengandung arti dalam sekali. Dua kejadian tadi telah lewat begitu saja dengan tidak ada orang yang menghiraukannya baik di kalangan rakyat jelata Islam atau dengan terminologi Al-Qur'an: mustadh'afin; maupun di kalangan pemimpin-pemimpin Islam yang menurut terminologi Al-Qur'an disebut mustakbirin, atau juga disebut kubara'. Kejadian pertama, ialah Konperensi Profesor-profesor Kristen seluruh Asia yang berlangsung di Priangan, dan yang kedua peletakan batu pertama Gedung Universits Gajah Mada di Yogya. Letak kepentingannya soal tadi tidaklah pada terjadinya peristwa-peristiwa itu sendiri, tetapi maksud "dalam: yang tidak tampak", dan walaupun bagaimana juga ditutupi toh akhirnya kelihatan juga. Dzaalika qauluhum biafwaahihim, wamaa tukhfi shuduuruhum akbar (Al-Qur'an surat At-Taubat, ayat 31).

Peristiwa pertama, ialah anjuran-anjuran yang diucapkan pada Konperensi Profesor-profesor Kristen seluruh Asia di Priangan itu. Dengan terang dan secara terbuka disebutkan bahwa Indonesia haruslah menjadi negara Kristen. Tentang anjuran-anjuran demikian dilihat dari sudut mereka pihak Nasrani, tidaklah kami akan gugat-gugat atau kritik, sebab hal itu adalah hak mereka. Di dalam negara demokrasi seperti Indonesia (walaupun oleh Majalah Minggu Pagi dinamakan demokrasi ugal-ugalan), tiap-tiap orang boleh berbicara apa yang dikehendakinya, boleh mengemukakan pendapat dan pikirannya sebebas-bebasnya asal di dalam batas undang-undang. Oleh karenanya, dalam ucapan tadi kita tidak akan menggugat-gugat atau mengkritik. Hanya kepada pihak kita, umat Islam yang menurut hukum-hukum demokrasi itu pula mempunyai hak untuk hidup dan untuk mengeluarkan pikiran, kami mengeluarkan penyesalan-penyesalan dan kritik-kritik. Terutama kepada pemimpin-pemimpin Islam. Kami menyesal, oleh karena terjadi peristiwa demikian itu, dan tidak ada seorang pun dari pemimpin-pemimpin yang tergerak hatinya untuk mensinyalir dan menunjukkan umat Islam Indonesia, agar jangan tetap dalam tidurnya yang nyenyak dan mabuk politiknya yang membahayakan ini. Kami ingin bertanya kepada Bapak Dr. Soekiman, Ketua Partai Islam Indonesia dulu sebelum perang, dan kini telah menjadi ketua Muktamar Masyumi, dan konon kabarnya menjabat pula kedudukan sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. Di manakah perhatian Bapak akan hal-hal semacam ini? Kepada Bapak Mohammad Natsir dari Pembela Islam Bandung, yang kini menjadi Ketua Dewan Pimpinan Partai Masyumi dan konon kabarnya menjabat pula Pemimpin Fraksi Partai Masyumi di dalam Parlemen, kami ingin bertanya manakah pimpinan Bapak kepada kami umat Islam di dalam saat-saat yang demikian genting dan berbahaya ini?

Adapun peristiwa kedua, ialah ucapan yang dikemukakan Profesor Doktor Sardjito, Presiden Universitas Gajah Mada pada upacara peletakan batu pertama bagi Universitas tersebut tanggal 19 Desember (1951) ini. Di dalam pidatonya, Profesor Sardjito menerangkan, bahwasanya ada seorang tuan yang tidak mau disebut namanya, dan yang hadir di upacara tersebut, memajukan usul dan anjuran kepadanya. Dan oleh karena dirinya sudah tua, maka profesor tersebut lalu meneruskannya dari panggung tempatnya berpidato kepada mahasiswa-mahasiswa Gajah Mada, agar mereka kelak melaksanakan pesanan tadi dan mewujudkannya. Anjuran tadi ialah, oleh karena gedung Universitas Gajah Mada itu tempatnya terletak di antara candi Borobudur dan Prambanan haruslah kelak menjelmakan (reinkarnasi) Borobudur dan Prambanan itu. Atas anjuran yang mengharuskan Gajah Mada menjelmakan Borobudur dan Prambanan itu, akhirnya para mahasiswa yang 70%-nya terdiri dari mahasiswa Gajah Mada itu bertepuk tangan. Kami tidak tahu apa artinya tepuk tangan itu? Apakah berarti ikrar (janji batin) akan menjalankan anjuran Bapak Sardjito yang mengharuskan Gajah Mada menjelmakan Borobudur dan Prambanan itu, ataukah merasa lucu bahwa di abad demokrasi dan suasana republik ini, masih ada orang yang menganjurkan Jawaisme yang feodal dan provinsialitas sebagai inti Borobudur dan Prambanan tadi, atau bagaimana?

Terhadap hak Pak Sardjito akan menguraikan pendapat dan pikirannya, sesuai dengan hukum demokrasi (entah demokrasi yang betul atau yang ugal-ugalan), kami tiada mengemukakan gugatan-gugatan serta kritik-kritik, karena itu adalah haknya Pak Sardjito dan "tuan" yang mengilhaminya. Akan tetapi kepada pemimpin-pemimpin Islam, kami menggugat dan menuntut agar mereka itu agak membuka matanya sedikit, serta pula membuang selimutnya, karena hari sudah siang. Mereka itu masih juga keenakan tidur sambil memimpikan gambaran-gambaran yang bagus-bagus. Kiranya Bapak Dr. Soekiman dan Bapak Mohammad Natsir sudi memikirkan sejenak, sampai dimanakah penyakit dan kuman-kuman berbisa telah menghinggapi tubuh umat Islam Indonesia, sehingga menyebabkan kehilangan kekuatan dan daya, sehingga segala bahaya tiada terasa lagi olehnya seperti sekarang ini. Ibaratnya seperti orang yang mengalami sakratul maut, tiada sadar lagi akan segala hal yang terjadi di kanan-kirinya. Kami mengharap bahwa Dr. Soekiman dan Mohammad Natsir tidaklah marah kepada kami yang memanggil beliau berdua di muka umum dengan perantaraan majalah yang dibaca ribuan orang. Ini lebih baik daripada bapak-bapak mengalami gugatan-gugatan rakyat jelata Muslimin di neraka kelak, seperti yang diceritakan Al-Qur'an menggambarkan umpatan rakyat jelata dalam surat Al-Ahzab ayat 66, 67, 68, yang artinya: "Ingatlah pada waktu muka mereka dibolak-balikkan di dalam neraka Jahannam, sambil berteriak-teriak, alangkah baiknya apabila dulu kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya; mereka berkata, 'Ya Tuhan, kami dulu mengikuti pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin kami, rupanya mereka itu telah menyesatkan jalan kami; ya Tuhan, berilah mereka itu dua kali lipat siksaan dan kutuklah mereka itu sejadi-jadinya'."

Jika sebagian besar uraian ini kami tujukan kepada kedua bapak tadi, maka tidaklah itu berarti bahwa pemimpin-pemimpin Islam lainnya tidak kami tuju dengan tulisan ini. Kepada mereka sekalian kami menyampaikan jeritan ini. Kami tidak tahu, apakah ayat-ayat Al-Qur'an yang kami sebutkan di sini ini masih diterima dengan baik oleh kaum Muslimin ataukah tidak. Sebab, kami melihat bahwa setelahnya kaum Muslimin main main internasional-internasionalan, maka segala yang berasal dari Al-Qur'an itu telah ditalak tiga, dicarikan dalil macam-macam, lalu ditaruh dasar-dasar baru yang internasional. Kalau yang menyingkirkan Al-Qur'an itu orang luar Islam, maka dapatlah difahami, tetapi anehnya, orang-orang Islam sendiri yang menyingkirkannya. Di dalam hati kecil mereka, merasa malu masih berpegang kepada Al-Qur'an, masih kolot, tidak modern. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Selanjutnya tulisan ini kami tujukan kepada penulis-penulis Islam yang tidak doyan lagi pada kupasan-kupasan tentang Islam lama. Mereka yang dulu menuliskan politik Islam, dan kini menuliskan Islam politik; mereka yang dulu menuliskan falsafat Islam, dan kini menguraikan Islam falsafat; mereka yang dulu mempropagandakan kebudayaan Islam, dan kini mempropagandakan Islam kebudayaan. Kepada saudara-saudara, kami berseru, rnarilah kita tengok jalan yang kini kita tempuh. Rupanya jalan ini tidak lagi akan membawa kita ke masjid, akan tetapi ke bar tempat orang minum-minum dan ke dance-hall tempat orang goyang-goyang, berpeluk-pelukan. Kepada saudara-saudara yang kini masih ragu-ragu menulis karena suasana kesusastraan Islam "baru" sekarang bertentangan dengan jiwa mereka yang menangis seperti jiwa kami, kami mengajak tampillah ke muka lagi, peganglah pena saudara-saudara yang berkarat dengan kalimah Allah itu. Tinggalkanlah parker fifty-one saudara-saudara yang mengkilap dengan gosokan sivilisasi (peradaban) model dance-hall dan bar itu. Kami tidak tahu apakah saudara-saudara pemimpin-pemimpin Adil di Solo, Hikmat di Jakarta, Bintang di Medan, Suara Washliyah di Medan dan lain-lainnya lagi sudi memuatkan tulisan kami ini."