Oleh: K.H. Wahid Hasjim
Dari
Redaksi: K.H. Wahid Hasjim bin K.H. Hasyim Asy'ari lahir pada tahun 1914 dan meninggal pada tahun 1953.
Ia memang meninggal pada usia yang terhitung masih sangat muda, yakni saat masih
berusia sekitar 39 tahun, pada saat anak-anaknya masih kecil-kecil. K.H. Wahid
Hasjim, sebagaimana kita ketahui, adalah seorang pemuka NU yang terkemuka pada
masanya. Menjabat sebagai ketua MIAI pada tahun 1940 dan anggota panitia
sembilan BPUPKI pada masa menjelang kemerdekaan, sehingga bisa dikatakan ia
termasuk salah seorang founding fathers Indonesia juga. Pada masa kemerdekaan
sempat menjabat Menteri Agama dalam beberapa kabinet hingga tahun 1952. Selamat
membaca.
Dalam bulan
Desember 1951 ini terjadi dua hal yang mengandung arti dalam sekali. Dua
kejadian tadi telah lewat begitu saja dengan tidak ada orang yang
menghiraukannya baik di kalangan rakyat jelata Islam atau dengan terminologi
Al-Qur'an: mustadh'afin; maupun di kalangan pemimpin-pemimpin Islam yang
menurut terminologi Al-Qur'an disebut mustakbirin, atau juga disebut
kubara'. Kejadian pertama, ialah Konperensi Profesor-profesor Kristen
seluruh Asia yang berlangsung di Priangan, dan yang kedua peletakan batu pertama
Gedung Universits Gajah Mada di Yogya. Letak kepentingannya soal tadi tidaklah
pada terjadinya peristwa-peristiwa itu sendiri, tetapi maksud "dalam: yang tidak
tampak", dan walaupun bagaimana juga ditutupi toh akhirnya kelihatan juga.
Dzaalika qauluhum biafwaahihim, wamaa tukhfi shuduuruhum akbar (Al-Qur'an
surat At-Taubat, ayat 31).
Peristiwa
pertama, ialah anjuran-anjuran yang diucapkan pada Konperensi Profesor-profesor
Kristen seluruh Asia di Priangan itu. Dengan terang dan secara terbuka
disebutkan bahwa Indonesia haruslah menjadi negara Kristen. Tentang
anjuran-anjuran demikian dilihat dari sudut mereka pihak Nasrani, tidaklah kami
akan gugat-gugat atau kritik, sebab hal itu adalah hak mereka. Di dalam negara
demokrasi seperti Indonesia (walaupun oleh Majalah Minggu Pagi dinamakan
demokrasi ugal-ugalan), tiap-tiap orang boleh berbicara apa yang dikehendakinya,
boleh mengemukakan pendapat dan pikirannya sebebas-bebasnya asal di dalam batas
undang-undang. Oleh karenanya, dalam ucapan tadi kita tidak akan menggugat-gugat
atau mengkritik. Hanya kepada pihak kita, umat Islam yang menurut hukum-hukum
demokrasi itu pula mempunyai hak untuk hidup dan untuk mengeluarkan pikiran,
kami mengeluarkan penyesalan-penyesalan dan kritik-kritik. Terutama kepada
pemimpin-pemimpin Islam. Kami menyesal, oleh karena terjadi peristiwa demikian
itu, dan tidak ada seorang pun dari pemimpin-pemimpin yang tergerak hatinya
untuk mensinyalir dan menunjukkan umat Islam Indonesia, agar jangan tetap dalam
tidurnya yang nyenyak dan mabuk politiknya yang membahayakan ini. Kami ingin
bertanya kepada Bapak Dr. Soekiman, Ketua Partai Islam Indonesia dulu sebelum
perang, dan kini telah menjadi ketua Muktamar Masyumi, dan konon kabarnya
menjabat pula kedudukan sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. Di manakah
perhatian Bapak akan hal-hal semacam ini? Kepada Bapak Mohammad Natsir dari
Pembela Islam Bandung, yang kini menjadi Ketua Dewan Pimpinan Partai Masyumi dan
konon kabarnya menjabat pula Pemimpin Fraksi Partai Masyumi di dalam Parlemen,
kami ingin bertanya manakah pimpinan Bapak kepada kami umat Islam di dalam
saat-saat yang demikian genting dan berbahaya ini?
Adapun peristiwa
kedua, ialah ucapan yang dikemukakan Profesor Doktor Sardjito, Presiden
Universitas Gajah Mada pada upacara peletakan batu pertama bagi Universitas
tersebut tanggal 19 Desember (1951) ini. Di dalam pidatonya, Profesor Sardjito
menerangkan, bahwasanya ada seorang tuan yang tidak mau disebut namanya, dan
yang hadir di upacara tersebut, memajukan usul dan anjuran kepadanya. Dan oleh
karena dirinya sudah tua, maka profesor tersebut lalu meneruskannya dari
panggung tempatnya berpidato kepada mahasiswa-mahasiswa Gajah Mada, agar mereka
kelak melaksanakan pesanan tadi dan mewujudkannya. Anjuran tadi ialah, oleh
karena gedung Universitas Gajah Mada itu tempatnya terletak di antara candi
Borobudur dan Prambanan haruslah kelak menjelmakan (reinkarnasi) Borobudur dan
Prambanan itu. Atas anjuran yang mengharuskan Gajah Mada menjelmakan Borobudur
dan Prambanan itu, akhirnya para mahasiswa yang 70%-nya terdiri dari mahasiswa
Gajah Mada itu bertepuk tangan. Kami tidak tahu apa artinya tepuk tangan itu?
Apakah berarti ikrar (janji batin) akan menjalankan anjuran Bapak Sardjito yang
mengharuskan Gajah Mada menjelmakan Borobudur dan Prambanan itu, ataukah merasa
lucu bahwa di abad demokrasi dan suasana republik ini, masih ada orang yang
menganjurkan Jawaisme yang feodal dan provinsialitas sebagai inti Borobudur dan
Prambanan tadi, atau bagaimana?
Terhadap hak Pak
Sardjito akan menguraikan pendapat dan pikirannya, sesuai dengan hukum demokrasi
(entah demokrasi yang betul atau yang ugal-ugalan), kami tiada mengemukakan
gugatan-gugatan serta kritik-kritik, karena itu adalah haknya Pak Sardjito dan
"tuan" yang mengilhaminya. Akan tetapi kepada pemimpin-pemimpin Islam, kami
menggugat dan menuntut agar mereka itu agak membuka matanya sedikit, serta pula
membuang selimutnya, karena hari sudah siang. Mereka itu masih juga keenakan
tidur sambil memimpikan gambaran-gambaran yang bagus-bagus. Kiranya Bapak Dr.
Soekiman dan Bapak Mohammad Natsir sudi memikirkan sejenak, sampai dimanakah
penyakit dan kuman-kuman berbisa telah menghinggapi tubuh umat Islam Indonesia,
sehingga menyebabkan kehilangan kekuatan dan daya, sehingga segala bahaya tiada
terasa lagi olehnya seperti sekarang ini. Ibaratnya seperti orang yang mengalami
sakratul maut, tiada sadar lagi akan segala hal yang terjadi di kanan-kirinya.
Kami mengharap bahwa Dr. Soekiman dan Mohammad Natsir tidaklah marah kepada kami
yang memanggil beliau berdua di muka umum dengan perantaraan majalah yang dibaca
ribuan orang. Ini lebih baik daripada bapak-bapak mengalami gugatan-gugatan
rakyat jelata Muslimin di neraka kelak, seperti yang diceritakan Al-Qur'an
menggambarkan umpatan rakyat jelata dalam surat Al-Ahzab ayat 66, 67, 68, yang
artinya: "Ingatlah pada waktu muka mereka dibolak-balikkan di dalam neraka
Jahannam, sambil berteriak-teriak, alangkah baiknya apabila dulu kita taat
kepada Allah dan Rasul-Nya; mereka berkata, 'Ya Tuhan, kami dulu mengikuti
pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin kami, rupanya mereka itu telah menyesatkan
jalan kami; ya Tuhan, berilah mereka itu dua kali lipat siksaan dan kutuklah
mereka itu sejadi-jadinya'."
Jika sebagian
besar uraian ini kami tujukan kepada kedua bapak tadi, maka tidaklah itu berarti
bahwa pemimpin-pemimpin Islam lainnya tidak kami tuju dengan tulisan ini. Kepada
mereka sekalian kami menyampaikan jeritan ini. Kami tidak tahu, apakah ayat-ayat
Al-Qur'an yang kami sebutkan di sini ini masih diterima dengan baik oleh kaum
Muslimin ataukah tidak. Sebab, kami melihat bahwa setelahnya kaum Muslimin main
main internasional-internasionalan, maka segala yang berasal dari Al-Qur'an itu
telah ditalak tiga, dicarikan dalil macam-macam, lalu ditaruh dasar-dasar baru
yang internasional. Kalau yang menyingkirkan Al-Qur'an itu orang luar Islam,
maka dapatlah difahami, tetapi anehnya, orang-orang Islam sendiri yang
menyingkirkannya. Di dalam hati kecil mereka, merasa malu masih berpegang kepada
Al-Qur'an, masih kolot, tidak modern. Laa haula walaa quwwata illaa
billaah. Selanjutnya tulisan ini kami tujukan kepada penulis-penulis Islam
yang tidak doyan lagi pada kupasan-kupasan tentang Islam lama. Mereka yang dulu
menuliskan politik Islam, dan kini menuliskan Islam politik; mereka yang dulu
menuliskan falsafat Islam, dan kini menguraikan Islam falsafat; mereka yang dulu
mempropagandakan kebudayaan Islam, dan kini mempropagandakan Islam kebudayaan.
Kepada saudara-saudara, kami berseru, rnarilah kita tengok jalan yang kini kita
tempuh. Rupanya jalan ini tidak lagi akan membawa kita ke masjid, akan tetapi ke
bar tempat orang minum-minum dan ke dance-hall tempat orang
goyang-goyang, berpeluk-pelukan. Kepada saudara-saudara yang kini masih
ragu-ragu menulis karena suasana kesusastraan Islam "baru" sekarang bertentangan
dengan jiwa mereka yang menangis seperti jiwa kami, kami mengajak tampillah ke
muka lagi, peganglah pena saudara-saudara yang berkarat dengan kalimah Allah
itu. Tinggalkanlah parker fifty-one saudara-saudara yang mengkilap dengan
gosokan sivilisasi (peradaban) model dance-hall dan bar itu. Kami tidak
tahu apakah saudara-saudara pemimpin-pemimpin Adil di Solo, Hikmat di Jakarta,
Bintang di Medan, Suara Washliyah di Medan dan lain-lainnya lagi sudi memuatkan
tulisan kami ini."