Monday, August 19, 2013

Gereja antara Yesus dari Nasaret dan Caesar Oleh: Y.B. Mangunwijaya



Teologi pemerdekaan di Asia punya pengaruh luas, seperti di Filipina yang mayoritas Katolik, dan punya warisan kebudayaan agama Katolik Spanyol, mirip dengan di Amerika Latin. Juga di Korea Selatan yang struktur industrialisasinya menanjak, mirip di Brasil, walaupun di bawah tangan besi. Y.B. Mangunwijaya menambahkan bahwa, seperti di Amerika Latin, teologi pemerdekaan dimungkinkan berkat sikap profetic yang tegak prinsipiil dari para pemimpin Gereja Katolik yang tidak gentar bersikap kenabian. Lalu, bagaimana dengan di Indonesia sendiri?

Teologi Pembebasan atau lebih simpatik Teologi Pemerdekaan adalah suatu teologi. Artinya: refleksi nalar manusia tentang penerimaan Wahyu yang mendahuluinya, sehingga tidak hanya kemauan atau emosi, melainkan pikiran (manusia beriman) diikutsertakan dalam pertanggungjawaban suatu sikap beriman, sebab walaupun hidup beriman pada esensinya bukan semata-mata prestasi kenalaran belaka, namun nalar sebagai potensi hakiki manusiawi yang maha berharga adalah anugerah Tuhan juga. Jadi sewajarnya nalar/pikiran manusia harus diaktualisasi pula selaku instrumen pertanggungjawaban sikap manusia yang beriman terhadap diri sendiri, sesama manusia dan Tuhan.[i]

Setiap manusia sebenarnya sudah berteologi, hanya secara spontan, baru implisit dan kadang-kadang. Sebaliknya Teologi adalah satu "ilmu pengetahuan", karena bekerja refleksip, sistematis dan dengan hukum-hukum logika yang sah. Namun tidak seperti sains atau ilmu-ilmu eksperimental yang disebut (ideologis sejak A, Comte) ilmu-ilmu positif. Teologi pun positif, bukan khayalan belaka atau puisi perasaan. la bekerja baik secara deduktif maupun induktif dari pengalaman dan sumbangan ilmu-ilmu eksperimental juga. Teologi maupun sains punya instrumen sendiri-sendiri karena obyek formal dan tujuannya tidak sebidang, walaupun sering seperkara, tetapi kedua-duanya mempunyai tujuan yang sama, ialah pengetahuan.

Manusia tahu dalam beberapa lapis, dalam beberapa tingkat abstraksi dan dimensi. Dimensi teologi dan dimensi sains memang tidak sama, namun satulah yang menghubungkan mereka, ialah pemenuhan hasrat manusia yang terdalam, ialah hasrat "tahu", dan' garansi pada "tahu" itu, ialah kemungkinan mencapai "kebenaran". Kebenaran pada manusia memang hanya mungkin secara pengumpulan batu-batu mosaik atau pijar-pijar kebenaran. Tidak pernah seutuhnya secara total sempurna, lagi harus berkembang secara historis. Pijar satu disusun di samping pijar yang lain, sehingga dalam perkembangan sekian abad pengetahuan, ibarat peta angkasa bintang-bintang dan galaksi semakin lengkap. Tentulah itu sering melalui trial and error, namun justeru itulah: secara manusiawi. Perumusan dogma agama apa pun dan dalil sains apa pun tidak mungkin bernilai mutlak komprehensip sempurna; lebih merupakan "pendekatan" iaripada "pencapaian" esensi perkara. Hal itu akan selamanya begitu karena keterbatasan manusia menghalang-halanginya meraih sekian milyar galaksi universum kebenaran dengan sekali tangkap.

Demikianlah teologi pemerdekaan adalah suatu teori, bukan ajaran agama, atau jawaban atas Wahyu, atau sikap iman sebagai iman. Namun sekaligus ia adalah konsekuensi suatu iman, dan tafsiran manusiawi terhadap yang diajarkan oleh agama.

Sejak Nabi Ibrahim

 

Di kalangan Katolik, teologi pemerdekaan sebenarnya sudah setua Injil Yesus dari Nasaret, bahkan tanah-tumbuh awalnya sudah ada dalam penghayatan keTuhanan Yang Maha Esa bangsa Hibrani sejak Nabi Ibrahim. Namun secara refleksif metodis, teologi pemerdekaan baru tumbuh di sekitar tahun tujuhpuluhan di Amerika Latin. Teologi selalu berjalan kemudian di belakang penghayatan praksis iman; in hoc casu, teologi pemerdekaan adalah Defleksi sistematis dari "praksis pemerdekaan". di Amerika Latin yang telah berjalan sejak kekejaman-kekejaman para conquistadores Spanyol yang menindas dan membunuh orang-orang pribumi Indian di abad 16, seperti yang dipendekari para rahib Dominikan Antonio de Montesinos dan Bartholome de las Casas.[ii] Jadi rahib-rahib Katolik melawan militer Katolik. Para rahib itu ingin konsekuen melaksanakan Hukum Cinta-Kasih Injil dengan membela suku-suku India melawan kaum politici imperial yang berkedok agama. Namun pada hakekatnya, teologi pemerdekaan pada instansi terakhir bukan pertama dan terutama persoalan kemerdekaan politik ataupun ekonomi (walaupun itu merupakan unsur-unsur bagian juga), akan tetapi pemerdekaan manusia secara "total utuh sejati" dari kedosaannya, kekejaman, keserakahan dan exploitation de l’homme par l'homme, tak peduli kedudukan, kepandaian, kemampuan, kulit, bangsa maupun agama. Bahkan, di dalam praksis pemerdekaan di Amerika Latin itu, sering terjadi Gereja terbelah menjadi Gereja yang bekerja sama dengan kaum penindas, dan disisi lain Gereja yang memihak serta membela kaum tertindas. Polarisasi itu tentulah tidak simpel hitam-putih begitu saja dalam praktek, sebab cukup kompleks strukturnya.[iii]

Pengaruh Figur Yesus

 

Dari sejarah sering muncul fakta bahwa, dari pihak satu, agama (selaku lembaga, jadi lain dari pijar-pijar beberapa agamawan yang saleh) secara pinsipiil membina kesalehan dan pemuliaan jiwa manusia, akan tetapi de facto sering terjadi, secara kolektip selaku lembaga mapan agama menjadi demon kefanatikan, kekejaman dan pembunuhan yang merajalela "atas nama Tuhan". Citra Maryam ibu Yesus (Isa) dan citra Yesabel atau Herodias, kedua-duanya dikenal dalam Kitab Suci. Pembunuh-pembunuh Yesus justeru adalah imam-imam agung dan ahli-ahli Kitab Suci. Realita ini sebetulnya terjadi di mana-mana, akan tetapi di Amerika Latin tragedi macam itu berjalan secara sangat dramatis. Orang-orang Amerika Latin memang jenis orang Spanyol-Portugal yang emosional dengan percampuran macam-macam darah yang mudah mendidih dalam kawah warisan kolonial.

Sebaliknya, dalam Injil yang menjadi makanan sehari-hari orang Amerika-Latin yang Katolik, figur Yesus adalah citra pemuda rakyat jelata biasa pecinta damai, yang dalam kata dan perbuatannya tidak pernah mengidentifikasi diri dengan kaum kaya atau penguasa (duniawi maupun lembaga agama), tetapi yang bergaul intim dengan rakyat jelata sampai la mengatakan tentang Dirinya:
"Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Putera Manusia (Yesus) tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya" (Luk, 9.58).

Bahkan dalam klimaks hidupnya Yesus berhadapan dengan penguasa dunia dan agama hanya untuk difitnah, divonnis, didera, dan disalib. Maka pendidikan Katolik de facto, dengan tradisi Hibrani sejak Nabi Ibrahim, Nabi Musa yang bertema dasar "pemerdekaan manusia"; mulai dari belenggu-belenggu tahayul, dari penjajahan Mesir sampai ke pengakuan Tuhan Maha Esa dan "Tanah Perjanjian Allah". Jadi sejak kecil secara sadar dan di bawah sadar, pewartaan yang diresapkan pada setiap anak kuli maupun anak jenderal di Amerika Latin sudah digenangi dengan tema: pemerdekaan dari segala bentuk belenggu yang berasal dari dosa manusia, melewati pembaptisan (lambang penenggelaman diri dalam air laut Merah agar bebas dari "hidup-lama", lalu bangkit ke dalam "hidup-baru" menurut konsepsi Cinta-Kasih Tuhan.).

Di Eropa permasalahan intern agama Katolik secara historis sangat diwarnai oleh hal-hal dogmatis dan politik nasional, perebutan kekuasaan kaum borjuasi melawan kaum ningrat dan politik nasional yang menyertai proses masyarakat agraria berubah menjadi industrial. Sejajar itu taufan anti-klerikalisme dan reformasi meruntuhkan kerajaan duniawi Vatikan, sedangkan sekularisme yang radikal memisahkan kehidupan publik dari agama, dengan segala akibat berbentuk kapitalisme, kolonialisme imperialisme yang berorientasi eksteren ke benua-benua lain. Tetapi perkembangan di Amerika Latin menjurus ke pemerdekaan kaum kolonis yang sudah berpanca-darah melawan negeri-negeri "ibu" Spanyol dan Portugal. Namun semua masih tetap dalam kerangka agama warisan dan kebudayaan katolik. Setelah kaum kolonis membebaskan diri dari raja-raja Spanyol-Portugal dan bergilir menjadi kaum tuan-tanah yang kejam terhadap rakyat kecil yang seagama, maka tradisi perang kemerdekaan melawan Spanyol dan Portugal beralih ke pergulatan kaum tani dan buruh kecil menghadapi tuan-tuan "pribumi" mereka. Kaum yang paling pribumi, ialah suku-suku Indian (ditambah Negro) dalam perkembangan itu menjadi golongan yang paling menderita, akibat penjajahan pangkat dua itu. Amerika Latin pada dasarnya belum pernah mengalami keadaan negara hukum. Setiap jenderal diktator setiap saat dapat digulingkan oleh kelompok militer lain. Celakanya, setiap kaum penguasa dan kapitalis besar di Amerika Latin, dengan perkecualian Kuba, Chili Allende dan Nicaragua Sandinista, adalah komprador (kakitangan) sistem kapitalisme Amerika Serikat, sehingga biang-keladi segala penindasan di Amerika Latin bukan rahasia lagi, justeru adalah Amerika Serikat (yang ironis, selalu membanggakan diri sebagai pendekar "Dunia Bebas").

Maka di kalangan rakyat Amerika Latin telah lama orang sadar bahwa, masalah penindasan rakyat bersumber pada imperialisme ekonomi Amerika Serikat. Dengan akibat, bahwa praksis perlawanan rakyat kecil sudah lama diwarnai oleh kesadaran perjuangan melawan kapitalisme selaku sistem ekonomi-sosial-politik, yang dikongkritisasikan dalam solidaritas antara kaum tani dan buruh kecil, dengan dukungan moral dan faktual dari sebagian besar rohaniwan katolik serta uskup-uskup sebagai pemimpin-pemimpin non-formal. Namun juga tak terelakkan, perlawanan rakyat itu berkembang dalam suatu rasa simpati (yang sukar dipersalahkan) terhadap analisa serta metoda Karl Marx, yang historis memang merupakan satu-satunya teori yang berklaim ilmiah dan meyakinkan, membuka kedok sistem kapitalisme-liberal yang jahat.

Dimulai dari Praxis Paguyuban Umat Basis

 

Demikianlah di tengah penderitaan rakyat' selama berabad-abad, perlahan-lahan tumbuh suatu sistem yang disebut Umat-umat Basis, yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil kaum beriman dengan sebentuk agama rakyat miskin. Kendati praksis umat-umat basis itu berlainan menurut sikon kedaerahan, akan tetapi ada 5 prinsip-dasar yang dapat dicatat: 1. keyakinan bahwa segala ketidakadilan harus digugat; 2. bahwa untuk itu dibuuthkan proses yang oleh Paulo Freire disebut conscientizacao (penyadaran berupa proses belajar, di mana manusia miskin semakin tahu dan sadar tentang mekanisme-mekanisme apa yang "membuat" mereka miskin; 3. bahwa situasi kemiskinan "dapat" berubah. Namun hanya oleh perjuangan "mereka kaum miskin sendiri" secara gotong-royong; 4. demi semua itu dibutuhkan solidaritas (gotong-royong) antara kaum sadar yang punya kedudukan (intelektual, struktural lebih mampu, rohaniwan, pimpinan Gereja, sarjana-sarjana, sukarelawan-sukarelawati terpelajar dan sebagainya) dengan yang tidak punya kedudukan, kaum lemah, tuna keadilan dan sebagainya; 5. dan yang menjadi kunci vital: kaum miskin sendiri, biar sudah naik setingkat, jangan sekali-kali "bergiliran" menginjak kaum yang lebih miskin lagi.

Begitulah semakin terorganisasi suatu gerakan protes, baik insidentil maupun sistematis, melawan struktur-struktur kekuasaan masyarakat (termasuk Gereja sendiri bila bersikap menindas atau menjadi kolaborator kaum penindas) demi pembentukan suatu tata masyarakat yang lebih adil.[iv]

Bagaimana Sikap Pimpinan Hirarki Gereja?

 

Dukungan tak ternilai kuatnya selaku tanggapan terhadap gerakan paguyuban-paguyuban umat basis tersebut untuk merefleksi serius masalah pehderitaan rakyat datang dari pimpinan hirarkis Gereja Amerika Latin sendiri. Pada tahun 1968 sekitar 180 uskup dari Amerika Latin dengan inti dari Brasil yang paling berpengaruh berkumpul di Medellin.

Dalam sidang historis itu Pimpinan Gereja seluruh Amerika Latin secara besar-besaran menyatakan diri "tidak netral". Dengan resmi dinyatakan, bahwa Gereja Katolik terang-terangan memihak pada mereka yang miskin dan tuna-hukum dalam bidang kemasyarakatan serta ekonomi; mendukung rakyat kecil yang sebenarnya merupakan mayoritas massa Rakyat, menurut Dokumen Medellin. Semakin lama semakin tenggelam oleh kekuasaan-kekuasaan struktural dan institusional, oleh perusahaan-perusahaan transnasional serta kekuasaan keuangan internasional. Keadaan semacam itu, demikian keyakinan Majelis Wali-wali Gereja seluruh Amerika Latin, menurut "suatu perubahan pembaharuan yang global, berani, segera dan radikal."[v] Dengan demikian sekali lagi Gereja Amerika Latin, dalam konteks moderen, menggemakan lagi Firman Tuhan yang terera dalam Kitab Exodus:

"Aku telah melihat kesengsaraan bangsaKu ..., tangis dan kesah mereka karena ditindas. Ya, aku tahu penderitaan rakyat. Aku, (Tuhan), turun ke bawah untuk memerdekakan rakyatKu," (Ex. 3, 7-8).

Tergugah oleh keputusan Majelis Wali-wali Gereja mereka, para imam, umat dan khususnya para ahli teologi mulai merefleksi kembali sikap teologis mereka. Perintis pertama teori sistematis mengenai panggilan pembebasan rakyat kecil mengikuti jiwa Medellin ialah seorang imam teolog dari Lima, Gustavo Gutierrez,[vi] yang sampai sekarang menjadi dermaga tolak dari pemikiran penerbitan buku-buku dan artikel-artikel lebih dari 6000 buah. Tentulah sikap Gereja yang begitu terang-terangan memihak kepada rakyat kecil sama sekali tidak disukai oleh para dewa-kuasa, kaum kapitalis dan sekutu mereka, kaum militer. Kekuatan-kekuatan konservatif yang masih sangat kuat mendapat backing dari dunia usaha Amerika Serikat sudah lama merumuskan dalih penindasan mereka atas prinsip Securidad Nacional (Hankam nasional) dan Anti-Komunisme, sebagai dalih-dalih yang sudah lama tidak dipercaya oleh massa rakyat maupun dunia internasional, sehingga tidak pernah efektif. Oleh karena itu kaum penguasa Amerika Latin memperdahsyat represi teror mereka yang merupakan praksis sehari-hari di Amerika Latin, dan yang memuncak antara lain dengan pembunuhan Uskup-Agung Oscar A. Romero dari El Savador. "We theorize today within the sound of guns", demikianlah keluh sosiolog A. Gouldner. Menurut ahli teologi tenar E. Schillebeeks keluhan itu dinyatakan lebih relevan untuk para teoretici teologi pemerdekaan.[vii]

Praxis dulu, baru Teori

 

Salah satu jasa dan sumbangan unik dari para teolog Amerika latin kepada dunia teologi Kristen seumumnya ialah: Pertama, penemuan bahwa, teologi, apalagi Gereja, pada hakekatnya bukanlah kumpulan dogma-dogma yang abstrak, tetapi sistematisasi sikap serta peristiwa kongkrit, kontekstual". Manusia yang wajar selalu berteori teologis (beragama dan beriman) sesudah berpraktek dalam suatu sikon,--suatu pengalaman suka-duka kongkrit dari fakta-fakta ekonpmik, sosial, politis dan sebagainya. Dengan kata lain, historis, sebagai proses. Teologi pun seharusnya bukan kumpulan teori abstrak, melainkan sebagian dari proses-proses historis. Karena itu ia harus selalu diuji dan ditinjau kembali di dalam dan oleh pengalaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa dunia, bangsa, maupun perorangan. Dengan kata lain lagi: Hakekat Gereja adalah identitas historisnya. Prinsip kedua, bahwa teologi pemerdekaan pun bukan segugusan tesis-tesis abstrak yang tugas pertamanya harus dikuliahkan, melainkan sesuatu yang "dikerjakan", dalam suatu perjalanan praktis kongkrit dalam dialog dan proses meremaja diri dengan fakta dan data-data; sekaligus suatu "sumbangan hidup" demi sejarah pemerdekaan manusia yang tertindas dan terbelenggu.[viii]

Kritik dan Debat tentang Teologi Pemerdekaan

 

Tentulah bila dibanding dengan tradisi berabad-abad berteologi di Eropa dan dunia Barat seumumnya, yang (terpengaruh konteks jiwa abstrak analitis Barat) lazimnya berciri deduktif, spekulatif, abstrak dan mengklaim diri zeitlos (tak terpengaruh oleh perubahan zaman), cara berteologi ahli-ahli Amerika Latin itu sangat menggoncangkan.[ix] Maka berkobarlah suatu debat besar (debat di dunia ilmu-pengetahuan internasional adalah suatu gejala yang normal dan wajar saja, bahkan diharapkan; jadi lain dari di Indonesia) yang berkisar pada dua pertanyaan fundamental:

Apakah dengan begitu, para teolog itu tidak main-main api, terperangkap dalam suatu godaan teologi (dan Gereja) yang dipolitisir? Apalagi bila seorang teolog ternama dari Jerman, J.B. Metz melontarkan suatu teori baru yang terang-terangan diberi nama Politische Theologie?[x] Apakah dengan demikian Gereja nanti tidak akan terseret kembali ke dalam kesalahan vital selama lebih dari 1000 tahun, yakni Gereja yang aktif berpolitik-praktis menjadi kekuasaan politik sehingga berakibat fatal sekali? Gereja akan muncul murni dan lebih mendekati kekhasan panggilannya apabila abstain dari soal-soal duniawi yang praktis, khususnya dunia politik. Tidakkah lebih arif bila Gereja mengkhususkan diri dalam ajaran, prinsip-prinsip serta pertanyaan-pertanyaan universal yang berlaku untuk segala zaman, situasi dan kondisi? Segala-gala telah termaktub dalam Al-Kitab dan ajaran tradisional Gereja. Petiklah buah-buah pirnsipilnya karena buah-buah itu berlaku abadi. Demikian kurang-lebih reaksi terhadap teologi yang berkonteks dan mengidentifikasi diri sebagai bagian proses historis, walau proses yang paling mulia pun seperti pemerdekaan manusia tertindas. Terhadap keberatan itu, para teolog Amerika Latin, seperti misalnya Segundo Galilea dalam bukunya "Contemplaciony Apostolado"[xi] menguraikan bahwa, dimensi praksis (duniawi, peristiwa, pengalaman kongkrit) dengan dimensi rohani ataupun mistika justeru harus bergandengan tangan. Tuhan menolong manusia tidak abstrak tetapi kongkrit, dengan dan ciri kemanusiawian di sini justeru: kongkrit, historis, eksistensial, di dalam konteks. Orang Barat yang berwatak analitis dan kuat daya abstraksinya terlalu mudah memilah-milah dan mengurai perkara dalam unsur-unsur yang lepas-lepas, serta selalu cenderung berkata "atau ini atau itu." Sedangkan orang Amerika Latin (seperti orang Indonesia juga) lebih suka berkata "ya ini ya itu." Jangan hendaknya memandang segala-gala serba dualistis. Dualisme boleh dalam konstruksi abstraksi atau analisa teoretis, tetapi dalam kehidupan kongkrit, segala dimensi menyatu dalam pengalaman yang unik dan sintetis.

Oleh karena itu istilah Politische Theologie bukan nomor satu, Teologi selaku backing ideologis sesuatu kebijaksanaan (atau ketidakbijaksanaan) program politik-partai ini atau itu, tetapi suatu sumbangan refleksi nalar manusia beriman Kristen demi peneguhan sikap menyeluruh, yang sadar akan historisitas dan data realita, bahwa manusia beriman pun adalah manusia yang selalu dan tidak bisa lain kecuali hidup dalam suatu konteks historis, beriman dalam suatu konteks historis, bertanya dan bergulat dalam suatu konteks historis. Konteks yang jelas mengenai segala yang berhubungan dengan kawan-kawan manusia lain, jadi tak bisa lain: sosial-politis juga (politik dalam arti asli: kearifan bertindak dalam kebersamaan orang-orang lain demi kepentingan umum). Seperti Tuhan pun menolong, membina dan mendampingi manusia tidak secara abstrak teoretis saja, tetapi kongkrit, historis, dalam konteks juga.
Tetapi selain itu, bukanlah sikap memihak pada kaum miskin itu berlawanan dengan ajaran autentik Yesus dari Nasaret, bahwa kita secara prinsipiil harus mencintai "semua" orang, termasuk musuh-musuh kita pun, tidak terkecuali orang-orang kaya dan kuasa? Juga, bukankah prinsip cinta-kasih autentik kristiani tidak pernah ingin menyemai segala macam bentuk kekerasan? Bukankah Yesus sendiri berkata:
"Barang siapa menggunakan pedang akan binasa oleh pedang" (Mt. 26.52).
Keberatan ini tidak sulit dijawab. Cinta-kasih pun tidak abstrak. Cinta-kasih bukan sesuatu yang buta berdalih netral (sebentuk sikap pengecut yang bertopeng di belakang "hukum-hukum universal yang abadi dan berlaku di segala situasi maupun zaman). "Cinta-kasih manusia pun harus ditempatkan dalam konteks. Bila ada seorang sadis memukul anak yang tak berdaya, cinta-kasih-dalam-konteks (dan begitulah selalu reaksi spontan setiap manusia normal berakal sehat) tidak akan "netral". Kita akan spontan melindungi anak itu dan terpaksanya menendang si penjahat dengan kekerasan agar tangan anak tak berdaya itu lepas.
Demi pembelaan korban tak bersalah, seorang bandit dalam situasi darurat terpaksa akan ditembak penegak Hukum. Maka berkatalah Uskup-agung Helder Camara yang merupakan eksponen prinsip Kristen mengikuti Yesus yang serba non-violence, dan sejajar dengan yang dikerjakan oleh Martin Luther King di Amerika Serikat dan seorang non-Kristen Mahatma Gandhi dengan "satyagraha" (Daya Batin);
"Bila orang (dengan bersikap apolitis) memelihara suatu tata-masyarakat yang tidak adil, apakah itu bukan sebentuk politik (praktis) juga?" Dalam konteks penindasan dan penghisapan, menurut Helder Camara, "Netral artinya pengkhianatan."[xii]
Sanggahan ketiga: Bukankah konsep pemerdekaan menurut ajaran Gereja tidak boleh ditafsir sebagai suatu gerakan "langsung" berpolitik, berekonomi dan sebagainya? Bukankah pemerdekaan yang secara tradisional diajarkan Gereja adalah penebusan dari dosa, penyelamatan illahi Kerajaan Allah dari dosa yang menjerumuskan manusia jauh dari panggilan sejatinya menuju ke Tuhan? Bukan kerajaan dunia! Para penyanggah menunjuk pada larangan disipltn Gereja Katolik bagi para uskup, pastor, biarawan, biarawati untuk langsung berpolitik praktis atau menduduki jabatan-jabatan negara. Sebab tuas primer Gereja adalah "persaksian" mengenai dimensi-dimensi "terakhir", tentang eskhatologi[xiii] Dunia Atas Koderati, persaksian tentang Kristus dan dimensi penebusanNya. Bolehlah itu disebut pemerdekaan, namun pemerdekaan dari "dosa", dari "akar-akar eksistensial" yang "mengatasi" dimensi-dimensi duniawi belaka, fana, politik praktis, ekonomi, sosiologi, bahkan kebudayaan apa pun.[xiv] Tugas Gereja primer dan khas adalah tugas pernyataan dan pembelaan "prinsip-prinsip," bukan penerjemahan langsung prinsip-prinsip itu dalam bahasa dan langkah kongkrit operasional langsung sosial-politis. Apalagi bila bahasa dan langkah operasional itu sudah memakai atau berbau kekerasan ala Marx, atau "pedang", karena keraslah peringatan Yesus kepada Petrus (baca, Gereja):
"Barang siapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang juga ",
yang telah terbukti pula di abad-abad lampau, nyaris Gereja sebagai kekuatan spiritual binasa karena langsung berpolitik praktis sebagai kekuasaan duniawi.
Sanggahan ketiga ini adalah kritik yang paling berat untuk para teolog pemerdekaan, sebab hampir tak mungkin argumen yang begitu berbobot dan yang begitu menyangkut prinsip-prinsip terdalam dari Kristianitas dibantah, Juga memang sudah dibuktikan secara nyata oleh sejarah pahit Gereja lebih dari 1000 tahun sejak Kaisar Konstantin Byzantium. Betapa berbahaya dan betapa mudah terlampaui batas-batas antara "cinta-kasih kontekstual dalam situasi penindasan" dengan ketergelinciran dalam jerat "rasionalitas murni" perlawanan politik yang akhirnya tidak berbeda dari yang sudah dilakukan oleh setiap partai politik atau badan negara. Konflik batin yang disebabkan oleh dilema ini untuk orang-orang beragama lain barangkali tidak sulit penyelesaiannya. Akan tetapi bagi orang Kristen yang ingin mengikuti Yesus sang Lemah-Lembut dan Juru Damai, masalah penggunaan kekerasan memang persoalan yang tidak mudah.
Dalam hubungan itu Kuba, dengan imam bersenjata Camilo Torres dan imam-imam/biarawan yang menjadi menteri-menteri kabinet Nicaragua-Sandinista sangat berhikmah. Untuk rakyat Amerika Latin, eksperimen Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro (dan prestasi Sandinista Nicaragua) merupakan sumber inspirasi kepahlawanan yang historis luar biasa hebatnya. Analog dengan kemenangan Jepang lawan Rusia di abad yang lampau bagi seluruh bangsa Asia. Kita harus melihat peristiwa Kuba tidak sempit di dalam kerangka Marxis atau anti-Marxis melulu, tetapi dalam tradisi dan dambaan ratusan juta orang-orang kecil Amerika Latin yang menderita luar biasa di bawah penghisapan kapitalisme Amerika Serikat dengan para kompradornya. Maka dalam konteks gerakan berabad tentang pemerdekaan manusia jelata itulah tidak mengherankan bila seorang pastor Camilo Torres bergabung dengan Che Guevarra dalam perang gerilya rakyat Bolivia menantang pemerintah komprador. Peristiwa Camilo Torres mendapat pengikut di Filipina melawan rezim Marcos (baca: kapitalis komprador) dan memang menimbulkan debat sengit dan luas di kalangan Gereja Katolik, yang masih bergema dalam Musyawarah Besar Majelis Wali-wali Gereja 1981 di Puebla, Meksiko sebagai konperensi besar semua uskup Amerika Latin, follow-up dari Medellin 1968.
Secara resmi Gereja tidak merestui langkah Torres untuk mengangkat senjata, walaupun dengan maksud-maksudnya mulia. Namun rakyat biasa umat Katolik Amerika Latin dan opini publik generasi muda Barat menghormati Torres (ia terbunuh dalam operasi gerilya) sebagai martir pembela rakyat, bahkan tidak sedikit rakyat kecil menganggapnya orang suci. Namun Gereja resmi memang harus bersikap prinsipiil.
Satu-satunya jalan yang direstui adalah jalan non-violence, seperti yang sudah diteladani oleh Yesus dari Nasaret dan yang mendapat peneguhan misalnya dari Martin Luther King, juga seorang non-Kristen, Mahatma Gandhi. Tetapi itu dalam taraf ajaran "resmi" atau boleh disebut pada tingkat "obyektif". Secara pribadi "subyektif", menurut konsensus ahli moral Katolik sekarang, orang tidak bersalah bila ia tidak mempersalahkan perbuatan sesituasi Camilo Torres.[xv] (Dari redaksi: Lihat endnote no. 15 di bagian bawah). Peristiwa-peristiwa semacam itu tidak bisa dan tidak boleh simpel dipukul-rata atau diabstraksi dengan suatu hukum umum yang berlaku mutlak. Karena di sini kita sudah tersentuh pada situasi "pribadi" dalam konteks yang khas. Yesus pun tidak membenarkan pelacuran. Tetapi juga tidak menghakimi seorang (jadi pribadi) pelacur yang oleh kaum agamawan Yahudi dihadapkan padaNya untuk menguji Yesus, bagaimana penyelesaian soal terhadap konflik cinta-kasih dan hukum agama (resmi). Demikian juga, analog dalam konteks dan sikon Amerika Latin, sungguh tidaklah mudah kasus pastor Ernesto Cardenal, pastor Edgard Parrales, Pater Miguel d'Escoto M.M. dan Pater Fernando, Cardenal S.J. (adik dari Ernesto), masing-masing menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesejahteraan Sosial, Menteri Luar-Negeri dan Menteri Urusan Pemuda dalam pemerintah Sandinista, Nicaragua, yang merupakan eksperimen kedua sesudah Kuba dengan radikal melawan tata-kapitalisme Amerika Serikat dengan para kompradornya, tetapi tanpa bendera merah Marx.
Roma telah menyerahkan kebijaksanaan mengenai kasus tersebut kepada Pimpinan Hirarki setempat yang merasa wajib menindak keempat pastor itu dengan larangan fungsi pemimpin ibadat dalam Gereja. Konteksnya tidak sederhana. Pertama, karena di Nicaragua betul-betul kekurangan tenaga intelektual untuk memegang jabatan-jabatan tinggi negara. Kedua, karena kader sipil yang ada kebanyakan korup dan kapitalis. Ketiga, karena kaum Sandinista benar-benar ingin berikhtiar bahwa, operasi politik pemerdekaan bangsa tidak mutlak harus bersendi pada Marxisme. Keempat, karena di dalam pribadi pastor, biarawan-biarawati pun harus diakui dan dimanfaatkan dimensi warga-negara biasa dan kualitas-kualitas manusia normal seperti manusia-manusia lain yang berwajib menanam kebaikan dan pemerdekaan bagi sesama manusia dengan cara-cara normal, manusiawi (jadi termasuk segi politik pula). Dan kelima, dan ini menyangkut lebih langsung segi'segi moral selaku konsekuensi teologi pemerdekaan: "dosa" dan "penebusan dari dosa" juga bukan sesuatu yang abstrak, semacam "ide abadi universal" yang insidentil dapat kita petik deduktif dan "diterjemahkan"kedalam sikon nyata; bagaikan bayangan-bayangan filsafat Plato dunia fana (dan maya).[xvi] Tetapi kongkrit, historis, mengejewantah dengan sosok dan wajah yang tampak, teraba dan terasa nyata dalam represi dan exploitation de l'homme secara struktural politis, sosial, ekonomi, kultural yang riil.
Sikon Nicaragua yang khas tidak dapat diukur dengan sikon negeri-negeri-lain; justeru karena sedang bereksperimen seperti di Kuba, tetapi sedapat mungkin non-Marxis. Dari pihak lain Hirarki Gereja yang di masa lalu dengan penuh pengorbanan melawan diktator komprador Somoza, merasa wajib untuk memperingatkan keempat imam itu, bahwa untuk sementara hanya dalam awal Revolusi Sandinista mereka boleh menolong grup politik Sandinista, demi rakyat terbanyak dan dalam situasi darurat. Akan tetapi menurut Uskup-agung Obando y Bravo, Gereja tidak boleh dijadikan sebentuk partai politik dan kendaraan gerobak kaum yang sedang menang politik. Dalam macam pemerintahan apa pun, Gereja mengemban tugas yang khusus (Persaksian mengenai yang benar dan baik, adil dan pembelaan martabat manusia). Juga di bawah pemerintah Sandinista, yang seperti setiap lembaga manusia, pasti juga menjalankan kekeliruan-kekeliruan. Gerakan Sandinista untuk menyusun "suatu Gereja-Rakyat yang harus menikah dengan mereka (Sandinista)" juga ditentang Hirarki Gereja di Nicaragua. Saat ini Pemerintah Sandinista berciri menghormati Gereja dan berniat lepas dari kapitalisme liberal (yang sejak awal dikutuk Gereja secara resmi) maupun dari Komunisme-Marxisme atheis (yang sejak awal dikutuk Gereja juga). Apakah saat ini suatu sikap ke luar dari eselon penentu keputusan tertinggi tidak berakibat pintu bagi Marxisme akan terbuka lebar? Lebih celaka lagi, bila para Uskup itu akan dicap sebagai kakitangan kaum kapitalis? Dilema seperti yang terjadi di Nicaragua atau dalam kasus Camilo Torres rupa-rupanya akan terus merupakan "masalah abadi".
Seperti Yesus yang tidak merestui pelacuran toh tidak menghakimi si pelacur, demikian juga kita dapat berpegangan pada pendirian Uskup agung Brasil di Refice, Dom Helder Camara.[xvii] Pertama, seluruh dunia-dunia maju maupun belum maju—membutuhkan suatu evolusi struktural. Penindasan tidak hanya terdapat di negara-negara berkembang, tetapi juga di Amerika Serikat dan di Eropa. Namun bangsa-bangsa yang belum maju secara keseluruhan menderita lebih parah di bawah penindasan bangsa-bangsa maju. Kedua, siapa bertanya, apakah revolusi itu harus berjalan dengan kekerasan atau tidak, harus sadar dahulu, bahwa sistem yang sedang berkuasa jelas hanya berdiri dan, hanya dapat dipertahankan atas kekuasaan sewenang-wenang. Kekuasaan mapan itu di Amerika Latin menghalang-halangi usah'a pendidikan pada tingkat basis, yang bermaksud memungkinkan persatuan dalam paguyuban-paguyuban dan organisasi-organisasi berdisiplin. Ketiga, pemerintah yang hanya membuat janji-janji elok dengan tata-hukum yang tidak mereka taati sendiri dan tinggal tulisan kertas belaka, mereka sendirilah yang menjadi penyebab utama tindakan-tindakan kekerasan. Dengan begitu kaum muda mengambil kesimpulan, bahwa mereka tidak berniat serius, dan bahwa semua macet bila yang ditempuh jalan Hukum. Keempat, Dom Helder Camara yang berprinsip non-violence merasa "pribadinya terpanggil mengambil jalan damai" untuk menyampaikan cermin kebenaran kepada para penguasa, dan sekaligus membangun terus-menerus kesadaran massa. Akan tetapi beliau menghargai panggilan-panggilan lain seperti diyakini Camilo Torres dan Che Guevara. Bahkan Uskup-agung berhati lemah-lembut itu meramalkan pecahnya suatu revolusi kekerasan kepada para penguasa, jika mereka tidak menyetujui perubahan struktural yang meniadakan keterbelakangan 400 tahun perbudakan dan kolonialisme. Kelima, kepada para muda di Amerika Latin yang mendesakkan suatu revolusi kekerasan, Helder Camara menunjuk pada Revolusi Kebudayaan yang tidak hariya meniru model-model revolusi yang asing dan impor, tetapi mematangkan suatu revolusi khas dan asli.

Konperensi di Puebla, Meksiko

Sebagai penerus Konperensi Medellin 1968, Konperensi Uskup se Amerika Latin di Puebla tahun 1981 tidak lepas dari banyak ketegangan. Menjelang Konperensi Puebla dimulai, banyak kekhawatiran timbul bahwa, para Pemimpin Gereja Amerika Latin akan melunak dan sedikit banyak menyerah kepada para jenderal-diktator pemerintah-pemerintah Amerika Latin yang semakin mengganas, sedangkan pendapat-umum Amerika Serikat semakin keras menjurus ke sebentuk Perang Dingin baru, skeptis terhadap bantuan ke negara-negara dunia ketiga. Memang dari Dokumen Persiapan (Documento de consulta) yang dipersiapkan oleh Sekretaris Jenderal CELAM (Consejo Episcopal Latino-americano),[xviii] Lopez Trujillo, yang terkenal konservatip, timbullah kesan yang menimbulkan kecurigaan bahwa, inti persoalan konsensus Medellin 1968 dahulu secara halus akan dibelokkan ke arah pembicaraan abstrak tentang "sumbangan umat katolik di Amerika Latin menghadapi perubahan kebudayaan agraria ke kebudayaan industri" dan sebagainya, sehingga esensi solidaritas Gereja dengan kaum miskin dan tuna-hukum secara diam-diam akan dikesampingkan, sementara pandangan teologis dikembalikan lagi ke konsep tradisional Barat yang abstrak. Ada sebabnya.
Selama duabelas tahun pengalaman sejak 1968, di kalangan sejumlah Uskup (juga Vatikan) timbul kekhawatiran, bahwa keputusan-keputusan Medellin akan dijuruskan ke arah Marxisme, seperti yang pernah terungkap dalam Kongres "Kaum Kristen untuk Sosialisme" di Santiago Chili, 1975, di bawah pimpinan teolog Gonzalo Arroyo. Selain itu, di kalangan kaum militer jelas dengan keras diusahakan, agar di Konperensi Puebla nanti, pengaruh Medellin sedapat mungkin harus dibelokkan ke kanan. Bahkan dari CIA pun telah bocor dalam harian Le Monde, Paris suatu instruksi kepada agen-agen CIA, bahwa:
"hanya sayap progresip dari Gerejalah yang boleh ditentang. Jangan Gereja sebagai institusi atau Uskup-uskup sebagai kelompok ... Haruslah ber-tubi-tubi diulang-ulang, bahwa sayap progresip itu berkait dengan komunisme internasional."
Memang Dokumen Persiapan Konperensi Puebla (1981) titik-tolak lain dari Medellin. Permasalahan tidak lagi diletakkan dalam konteks praktis realita, tetapi abstrak deduk-tif ditolakkan dari prinsip saran suatu "ma-syarakat baru" (Nr. 212) yang harus "berkebudayaan Kristen". Namun dalam pasal Nr. 357 ternyata bahwa "kebudayaan Kristen" tersebut diidentifikasi dengan kebudayaan Barat, yang tumbuh dari iman-kepercayaan kepada Wahyu Tuhan yang menuntun sejarah yang dari pihak satu berdasar pada Injil, dan di pihak lain pada Teknologi moderen (Nr 206). Documento de consulta yang datang dari sekretaris Jenderal CELAM Alfonso Lopez Trujillo dan penasehat ahlinya seorang Jesuit Belgia Roger Vekkemans S.J. itu sangatlah mengecewakan para pejuang di paguyuban-paguyuban basis, kaum teologi pemerdekaan dan para Uskup, sebab dalam konsepsi yang diusulkan itu, memang betul ditolak model pengembangan masyarakat ala kapitalisme liberal maupun model kolektivis-marxis, sehingga Gereja Kristen, akan tetapi dengan tafsiran teknologi moderen dan kebudayaan industri sebagai salah satu "sendi kebudayaan di hari depan". Secara implisit Gereja Amerika Latin lalu dianjurkan menerima dan prinsipiil mengakui para pendekat dan protagonis teknologi moderen itu, yakni transnational corporations yang memelaratkan rakyat, sebagai pendukung kebudayaan Kristen. Untunglah Dokumen Persiapan yang abstrak, apalagi tidak benar itu, tidak diterima sebagai dokumen dasar konperensi Puebla.
Sesudah mendapat kritik dari pelbagai penjuru ahli teologi maupun paguyuban-paguyuban basis, telah disusun suatu pegangan baru,[xix] Documento de Trabajo (Dokumen Kerja), yang tidak lagi mengidealkan suatu "kebudayaan Kristen" yang abstrak.
Namun dalam praktek Konperensi Puebla itu dokumen-dokumen dan naskah-naskah pegangan lain tidak. sangat dihiraukan oleh para Uskup. Mereka lebih suka spontan dari hati-nurani berbicara dengan semangat dan nada keNabian, artinya Persaksian Kebenaran. Pertama, dengan suara jaya seratus tujuhpuluh delapan lawan satu suara abstain, Konperensi Puebla Meksiko 1981 konsekuen meneguhkan segala yang sudah dimulai dan diperkembangkan sejak Medellin, memerdekakan massa miskin dari belenggu-belenggu sosio-ekonomi, politik dan kebudayaan. Kedua, di dalam soal interen Gereja sendiri, para Uskup ingin, agar semakin meninggalkan konsep Gereja "untuk rakyat", jadi suatu gereja yang terlalu klerikal dikuasai hirarki (yang tidak ditentang tetapi diletakkan dalam proporsi sebenarnya). Sistem piramida sentralistis yang lama diubah ke susunan Gereja "dari" dan "bersama" umat rakyat. Maka sekali lagi diteguhkan praksis dan proses paguyuban-paguyuban basis yang mengulurkan tangan ke massa paling luas di Amerika Latin. "Permasalahan paguyuban basis ini," demikian Ketua CELAM, Kardinal Aloisio Lorscheider: "lebih terletak pada soal mentalitas, daripada soal struktur."[xx] Hal yang ketiga ialah pengisian arti Pemerdekaan itu. Untuk menghindarkan salah-paham istilah Teologi Pemerdekaan tidak dipakai dalam Dokumen Keputusan Konperensi Puebla, diganti dengan Teologi tentang Pemerdekaan. Jelas seperti yang dikatakan oleh Kard A. Lorscheider tadi, arah pokok (konperensi) bagiku ialah; Teologia de la Liberacion. (teologi tentang Pemerdekaan). Artinya, kami berbicara tentang pemerdekaan "dari" dan pemerdekaan "ke" dari Dosa dan segala akibatnya (ketidakadilan dan sebagainya) dan ke arah kedekatan kita dengan Tuhan dan sesama manusia. Dari situ keluarlah kerukunan solider, dan begitulah kita datang pada "aksi."Kami menyebutnya Evangelisacion liberadora, suatu pewartaan Kabar Gembira yang benar-benar memerdekaan manusia.
Perflial ini kekuatan kita yang besar ada pada umat-umat kecil pada basis-basis rakyat. Di sanalah orang mudah saling mengungkapkan diri dan tolong-menolong. Kelompok-kelompok basis itu tidak hanya terbentuk atas dasar Katolik, tetapi Oekumenis (kerukunan antar umat-umat yang berlainan agama). Di samping anggota yang Katolik ada juga yang Protestan atau juga yang tidak beragama sama sekali. Titik-tolak selalu masalah-masalah kongkrit. Bagi kami yang tinggal di sini, ada kebutuhan apa, dan apa yang kurang? Bagaimana orang dapat saling menolong, misalnya jika salah seorang terkena sakit? Sebab dengan begitu orang dapat merasa bahwa dia diakui sebagai pribadi. Inilah perbedaan dari susunan "bapakisme". Tujuan kita ialah agar orang-orang kita menjadi kritis dan berjiwa merdeka."[xxi] Hal yang keempat ialah masalah inkulturasi, bagaimana mengingat kebudayaan kongkrit, Gereja dapat merakyat dan membudaya secara pribumi. Asas-asas Kristen berlaku di seluruh dunia, akan tetapi bagaimana "ungkapannya" dan "penghayatannya"? Bagaimana iman dapat diekspresikan secara autentik, jujur, dan benar dalam kerangka, dan iklim kebudayaan Amerika Latin? "Di Medellin dibicarakan permasalahan "kemasyarakatan", struktur ketidakadilan dan sebagainya. Itu semua tidak kami tinggalkan. Namun di Puebla ada sesuatu yang baru yang tumbuh, ialah pemecahan soal-soal inkulturasi. "[xxii]
Namun Teologi Pemerdekaan bukanlah (tidak akan) sesuatu yang telah bulat selesai, melainkan suatu proses yang selalu berdialektik dengan realita yang serba berkembang. Ada tiga arus besar di dalamnya, ialah pertama, suatu teologi pemerdekaan yang merakyat berupa perjuangan perubahan radikal dari struktur-struktur kemasyarakatan (khususnya ekonomi dan politik pembelengguan) berupa pendidikan pemerdekaan mental yang berwarna kritis, nasional dan berhaluan sosialisme Kristen. Kedua, su'atu teologi pemerdekaan yang kategorial berorientasi Marxis, dengan inti gerakan "Kaum Kristen untuk Sosialisme." Ketiga, suatu teologi pemerdekaan dalam arti penghayatan Injil secara konsekuen, antara lain dalam sikap prinsipiil non-violence.
Ketiga arus itu masih serba bergerak dan batas-batasnya sering kabur. Tetapi dalam satu-dua hal mereka seia-sekata, ialah perihal, menolak dalih "Keamanan Nasional" yang didengungkan oleh para diktator militer untuk menyelubungi struktur-struktur ketidakadilan serta aksi-aksi teror mereka melawan rakyat yang sering memberontak bela diri.[xxiii] Semua sadar, betapa jahat kapitalisme-liberal dengan perusahaan-perusahaan transnasional sebagai intinya, yang mengurung dan menghisap negeri mereka. Gereja dan umat Katolik dalam struktur ketidakadilan secara prinsipiil tidak boleh bersikap netral, dan bahwa sikap beriman tidak bisa lepas dari sikap politis. Bagaimana sikap politis itu akan diungkapkan, terserah pada sikon dan konteks. Tetapi umumnya diakui bahwa, analisa dan metoda praksis yang bersandarkan atas "beberapa" unsur ajaran Karl Marx dapat berguna. Di Amerika Latin (jadi dalam konteks kongkrit), seorang Katolik "dapat" dan "boleh" dengan beberapa prasyarat, mengakui dan mempergunakan alat analisa serta metoda Marxis tanpa menjadi seorang atheis. Namun diakui juga, bahwa analisa dan metoda Marx bukan satu-satunya jalan yang dapat dilalui proses pemerdekaan. Teologi pemerdekaan memang[xxiv] tumbuh dalam alam rakyat yang miskin, bodoh dan menderita dan beriklini lain sama sekali dari teologi "Barat" yang banyak mengandung unsur-unsur tak kentara dari kebudayaan borjuis/kapitalis liberal. Pemerdekaan politik dan ekonomi bukanlah tujuan terakhir dari rakyat yang menderita, melainkan hanya dimensi-dimensi bagian saja, namun bersifat asasi bagi kemerdekaan manusia utuh yang harus dibebaskan dari dosa dalam segala akibat serta bentuknya.[xxv]
Demikianlah rakyat harus menuju ke suatu status atau lebih tepat, dinamika kemerdekaan yang dekat dengan Tuhan serta melaksanakan cinta-kasih kepada sesama manusia, tanpa memandang ras, agama maupun kedudukan. Kemerdekan dalam arti sejati baik mendalam/immanen maupun transenden pertama-tama perlu dipraktekkan dahulu sebelum orang berteori.
Bagaimana di Asia?
Di Asia Teologi Pemerdekaan sangat berpengaruh. Di Filipina yang situasinya mirip Amerika Latin dengan mayoritas Katolik, berwarisan kebudayaan agama Katolik-Spanyol dan keadaan ekonomi-sosial serta politik yang dikuasai tuan-tuan tanah dan para komprador. Begitu juga di Korea Selatan yang struktur industrialisasinya menanjak seperti di Brasil, namun di bawah tangan besi. Tetapi di kedua negara itu, seperti di Amerika Latin, teologi pemerdekaan dimungkinkan berkat sikap profetic yang tegak prinsipiil dari dua pemimpin berwibawa, Gereja Katolik; di Filipina, Kardinal Sin dan di Korea Selatan, Kardinal Kim, yang kedua-duanya tak gentar bersikap kenabian dalam hal melakukan pembelaan bagi keadilan demi kaum tertindas.
Roma mengenai: Hubungan Antara Kesejahteraan Manusiawi dan Keselamatan Kristiani. Dalam dokumen ini ditegaskan, bahwa kita tidak boleh mendewakan diraensi politik praktis. Namun Gereja benar-benar mendengarkan tangis kaum miskin dan tertindas. Ada kesatuan antara Penyelamatan Kristiani dan usaha-usaha pengangkatan manusia dari lembab kesengsaraan duniawi ke tingkat yang lebih baik, namun janganlah hendaknya kesejahteraan duniawi diidentifikasi dengan keselamatan Kristiani/IIahi yang dari kodratnya mengatasi segala yang duniawi. Jangan juga dikaburkan batas-batas antara "Kerajaan Allah"dengan "Kemajan manusia". Dalam Gereja diperbolehkan pluralisme dalam pandangan politik praktis. Dari pihak lain jangantah ditafsir dan diperkuat kesan, seolah-olah Gereja dengan sikapnya yang prinsipiil itu menyelubungi ketidakadilan. Gereja membela kaum miskin dan yang tertindas. Tetapi secara Gereja.
Di Indonesia Teologi Pembebasan hampir tidak dikenal oleh para imamnya, apalagi oleh umat. MAWI adalah badan pimpinan dari suatu Gereja yang merupakan minoritas di Indonesia, sedangkan para anggotanya kebanyakan terdidik dalam lingkup pengaruh teologi Barat, namun yang di pihak lain sudah banyak diresapi unsur-unsur kebudayaan pribumi yang terkenal sebagai soft nation, dengan segala akibatnya, positif maupun negatif.
Umumnya Gereja Katolik di Indonesia baru berjasa kepada pihak yang miskin dan tertindas dalam bidang caritas, kasih sayang yang menghadiahkan dana dan jasa. Belum pada dimensi struktural.[xxvi] Perkecualian di sana-sini sporadis tentu saja ada, tetapi seperti yang (barangkali keterlaluan tetapi karakteristik) dikatakan oleh seorang wartawan suatu harian terkenal di ibukota: "Gereja Katolik di Indonesia masih Gereja Dangdut." THE END.


[i] Bahasa Yunani: Theos=Tuhan; Logos=Kata, Sabda, Ilmu.
[ii] Informasi baik tentang sejarah Amerika Latin dari aspek Pemerdekaan, lihat antara lain, Enrique Dussel, History and the Theology of Liberation (New York, 1976).
[iii] Rakyat yang tertindas di Amerika Latin (sebagian terbesar beragama katolik) seumumnya membedakan "prinsip" hirarki pimpinan Gereja selaku harta pusaka yang tidak mereka lepaskan, demi persatuan dan pemersatuan umat beriman. Akan tetapi, dalam perkara-perkara duniawi dan politik praktis yang tidak langsung mengenai dalil-dalil resmi iman dan moral, rakyat cukup merdeka dalam sikap. Jadi lain pertumbuhannya dibanding dengan perkembangan sekularisme dan anti-klerikalisme (anti imam-imam hirarkis) yang terjadi di Eropa Barat misalnya. Maka sering aneh (tetapi bijak dalam konteks dan sikon) bila terjadi seorang presiden-diktator yang dalam soal nasib kaum buruh dan tani benar-benar lawan bermusuhan terhadap seorang uskup-agung yang membela buruh dan tani itu. Dalam peristiwa-peristiwa resmi umum seperti hari-hari nasional atau penerimaan kunjungan Sri Paus, bersatu di alun-alun upacara keagamaan, di mana uskup-agung itu sering (dengan kata-kata mulia tentu saja) menghantam habis-habisan sang presiden-diktator yang duduk di situ, tidak sebagai presiden tetapi sebagai umat Gereja biasa. Hubungan-hubungan antara penguasa politik dan Gereja di Amerika Latin meraang cukup rumit, tidak dapat dihitamputihkan simpel belaka menurut bagan-bagan "rasional" yang berlaku di negeri-negeri lain. Maklumlah, dari tradisi dan keyakinan yang dididikkan sejak anak masih kecil, Gereja memiliki kedudukan kewibawaan yang sangat besar terhadap mayoritas rakyat, sampai dengan para bankir atau jenderal pun. Dari pihak lain, kebrutalan para penguasa (dari yang paling atas sampai polisi paling bawah) juga tidak pernah kendor sejak Cortez dengan para conquistadoresnya memulai tragedi kekejaman dan keserakhan yang ditopengi dengan slogan Pro Ecclesia et Patria, demi Gereja dan Tanah air.
[iv] Paulo Preire, Pedagogy of the Oppressed , (New York, 1970).
[v] Keputusan-keputusan Medellin, The Church in the Present—Day Transformation of Latin America in the light of the Council, 2 VIs. Position Papers, II. Conclusious. (Washington, 1973).
[vi] a.l. 1) Teologia de la liberacion. Perspectivas, Salamanca 1972, Terbitan pertama (lima, 1971). 2) Teology of liberation, History, Politics and Salvation, (New York, 1973).
[vii] 1) Kuliah HUT Universitas Ratolik Nijmegen Holland, 13 Oktober 1978. 2) Eurique Dussel, op. cit.
[viii] "Refleksi bukan akhir, melainkan bagian dari suatu proses yang mengubah dunia." Namun, seperti yang dikomentarkan oleh teolog E; Schillebeekx: "Jenis menjalani teologi seperti itu... tidak dimaksud sebagai pencerminan mumi belaka dari suatu gerakan pemerdekaan yang sudah ada... bukan sebentuk ideologi yang menyertai gerakan-gerakan itu, akan tetapi suatu renungan teologis yang kritis-teoretis (jadi demikian lalu sering mengoreksi)...
Teologi-teologi Pemerdekaan ingin membuat Firman Allah, Kitab Suci dan Injil menyentuh dalam pembicaraan (besprechbar) dan mudah dilaksanakan (operationalisierbar) di dalam konteks penindasan dan tekad untuk merdeka. Jadi suatu teologi, dapat kita katakan begini, "Kabar Gembira untuk para miskin", (Kitab Yesaya 52,7). Dari bacaan kritis tentang "Tanda-tanda Zaman" dalam cahaya Kabar Gembira para teolog itu mengihtiarkan suatu penciptaan struktur dari proses-proses pemerdekaan secara kongktit ... Teologi selaku perenungan tentang iman Kristiani sebagai praxis pemerdekaan." (Pidato HUT Universitas Nijmegen, Holland 1978). Maka perumusan G. Gutierrez tentang definisi Gereja misalnya berbunyi: Gereja adalah tanda yang tampak dari kehadiran Allah di dalam aspirasi-aspirasi (rakyat) dan yang mendampingi demi pemerdekaan dan perjuangan menuju ke masyarakat yang lebih manusiawi dan lebih adil." (Theology of liberation, New York, 1973, p. 262). Bila Yohanes Sang Penginjil (di bawah pengaruh alam pikir dan cara berbicara para filusuf Yunani) menulis tentang Kristus: "Sang Sabda telah menjadi daging (manusia) maka teolog Universitas di El Salvador, Ignacio Ellacuria S.J. menerjemahkan teks itu secara kontekstual Amerika Latin: "Sang Merdeka telah menjadi daging." Terbitan bahasa Inggeris, Freedom Made Flesh, (The Mission of Christ and His Church: New York, 1976).
[ix] Sebagai contoh akhir Desember 1977 di Jerman sekelompok ahli teologi Katolik yang berwibawa, antara lain W. Dirks, N. Greimacher, Karl Rahner, H. Vorgrimler, J. Zwiefelhofer ditambah lima ahli teologi Protestan, profesor-profesor Gollwitzer, Kaesemann, Massing, Missalla, Moltmann dan Siefer mengajukan "memorandum" yang ditujukan kepada Pimpinan Gereja Katolik di Jerman; Isinya menyesalkan beberapa pembesar tinggi Gereja Katolik di Jerman yang "mengadakan persekutuan gawat" dengan seorang pater Jesuit Belgia Roger Vekemans S.J. dan Uskup-uskup Kolumbia Lopez Trujillo dan Castrillon melawan Teologi Pemerdekaan. Vekemans adalah penasehat ahli pada CEDIAL (Pusat Studi untuk Pengembangan dan Integrasi Amerika Latin) dan Trujillo Sekretaris Jenderal CELAM, Konperensi Uskup-uskup Amerika Latin, kedua-duanya di Bogota. Bersama dengan beberapa Uskup Jerman mereka membentuk suatu "Lingkungan Studi Gereja dan Pemerdekaan", yang menyatakan Teologi Pemerdekaan sebagai "baksil berbahaya yang menjalarkan wabah." Pada hakekatnya ketakutan kelompok Vekemans-Trujillo dan beberapa Uskup Jerman yang memimpin organissi bantuan material-spiritual kepada Amerika Latin itu ialah ketakutan terhadap bahaya komunis. Ansich tidak salah, tetapi defacto sikap mereka ditunggangi kapital besar dan konsern-konsern transnasional. Untuk menghindarkan Gereja dari bahaya persekutuan (kendati pun tak tersengaja) dengan kekuatan raksasa kapital besar yang memelaratkan rakyat Amerika Latin itulah, memorandura para ahli teologi kedua agama Kristen itu ditulis dan tersiar di pers.
[x] Sebagai akibat perkembangan sejarah Gereja yang di masa lalu terlalu hanyut dalam soal-soal politik-praktis, sejak abad kesembilan belas bandul sikap umat bergoyang ke ekstrim sebaliknya, sikap pemisahan total) antara soal-soal agama dan negara/ masyarakat (sekularisme). Begitulah agama (juga di Amerika Serikat) adalah soal yang menjadi sama sekali privat. Teologi politis (politik dalam arti asli, kerjasama di dalam publik demi kepentingan publik) menghendaki agar sikap Privatisierung agama itu ditinggalkan, karena tidak benar. Manusia Kristen juga wajib aktif sebagai orang Kristen untuk membangun suatu "dunia fana" yang lebih baik. Tetapi tidak dengan cara melebur soal agama dan soal kemasyarakatan/negara dalam satu bubur (teokrasi), melainkan dalam suatu "dinamika, dialektis, dialogis" antara dimensi iman/agama dan dimensi kemasyarakatan/kenegaraan, teristimewa dalam hal struktur-struktur ketidakadilan dan penindasan kaum miskin-lemah. Politische Theologie secara spontan tanpa refleksi teoretis telah dilakukan/dianut oleh umat/Gereja Katolik di Indonesia, karena prinsip-prinsip Pancasila sangat cocok dengan sendi-sendi pemikiran Politische Theologie,
Paul Tillich dari kalangan teologi Protestan yang melihat egoisme sebagai dasar masyarakat borjuis juga menyarankan suatu Sosialisme Kristen sebagai kritik terhadap sosialisme Marx dan tanggungjawab riil kaum Kristen terhadap sejarah dan perkembangan masyarakat.
[xi] Lihat: majalah Concilium 10, Nr. 6, 1974.
[xii] Disitir oleh E. Schillebeelkx O.P. ibid., halaman 9 dari Helder Camara, Celam: Histories implacable, in: Cross Currents, 28, 1978, halaman 56.
[xiii] Ajaran mengenai Hari Terakhir, tentang Harapan pada Yang Sejati (Surga, Hidup Baka) setelah kurun hidup fana manusia/bangsa manusia usai.
[xiv] Lihat catatan kaki 23.
[xv] Dalam konteks penindasan rakyat oleh penguasa yang lalim, manusia pada dasamya terlempar dalam sikon yang sama dengan suatu bangsa yang tanpa salah diserang oleh agresi musuh. Misalnya Rakyat Palestina yang sesudah Perang Dunia II selesai, diusir begitu saja dalam satu malam oleh kaum Zionis dari tanah yang sudah berabad-abad mereka diami. Orang dalam situasi dan konteks semacam itu oleh Gereja pun diakui secara resmi hak-asasinya untuk membela diri; kendati dengan kekerasan senjata. Tentu saja kekerasan senjata atau perang selalu disarankan hanya sebagai sarana terakhir apabila cara-cara damai sudah gagal semua. Lihat juga Catatan kaki 16: Pandangan Uskup-agung Dom Helder Camara tentang Camilo Torres.
[xvi] Jadi justeru realita yang "primer" (idenya, abstraksinya, ajaran tentangnya itulah yang justeru sekunder); Jadi buka cuma "terjemahan" belaka dari "naskah-asli" di khayangan dunia ide sana." Gereja dan agama ada, tidak untuk kaum psikoanalis, tidak untuk skripsi teologis para sarjana, tetapi primer untuk "kehidupan riil" untuk "membangun sejarah" bangsa manusia yang semakin tua sewajarnya semakin dewasa serta semakin baik juga. Surga "sudah" hadir dalam cara tertentu, dalam dimensi realita dunia dan semesta galaksi ini, walaupun surga dan dunia itu dua dimensi yang tidak sebidang atau sekodrat. Namun keabadian sudah hadir dalam kefanaan historis sekarang. Tuhan bukan sesuatu "pahala" kelak di kemudian hari sesudah kita dikubur, tetapi sudah diantisipasi yang berhembus di dalam hidup fana kita sekarang ini juga; berbentuk segala kebaikan, pengangkatan martabat manusia, cinta-kasih dan pengorbanan manusia-manusia secara manusiawi. Maka tugas umat Kristen bukan saja berpelukan platonik dengan prinsip-prinsip abstrak atau ajaran-ajaran universal-abadi, tetapi tidak ada sangkut-pautnya dengan realita (ingat dualisme: Katolik di dalam gedung gereja, tetapi kafir di luar gereja), melainkan riil dan faktual menyumbang, agar dunia semakin menjadi surga menurut kehendak Tuhan, dan tidak dijadikan kancah saling bunuh dan saling menindas.
[xvii] Wawancara Uskup-Agung Dom Helder Camara dengan L. Kaufmann S.J. dari majalah Orientierung, 30 April 1968, Zurich, Swiss.
[xviii] Majelis Wali-wali Gereja se-Amerika Latin.
[xix] Antara lain J.B. Metz "Puebla: Kriche, Staat und Politiek" dalam Orientierung 15/31 August 1978, halaman 186-167;
[xx] Wawancara Ketua CELAM, Kardinal A. Lorscheider dengan L. Kaufmann, Orientierung 15 September 1978, halaman 181.
[xxi] A. Lorscheider, Ibid., halaman 181.
[xxii] A. Lorscheider, ibid.,halaman 182.
[xxiii] Kardinal Aloisio Lorscheider, Ketua CELAM (Konperensi/Majelis Wali Gereja Amerika Latin): "Memanglah kami menilai Ideologi Ajaran Keamanan (Nasional), seperti yang dilaksanakan praktis oleh pemerintah-pemerintah militer, juga dalam sikap mereka terhadap Gereja, sebagai sangat berbahaya." Wawancara dengan Ludwig Kaufmann S.J, dari majalah Orientierung, Zuerich, Swiss, 15 September 1981.
[xxiv] Secara prinsipiil, obyektif abstrak, metodis ilmiah, orang Kristen mustahil sekaligus sebagai seorang Marxis, karena banyak sekali ketidakcocokan fundamental, antara lain klaim atheis dalam ajaran Marx. Hanya saja perlu dipresiskan, definisi atheis itu apa.
Namun dari segi psikologis, subyektif (jadi tidak prinsipiil) dalam suatu konteks kongkrit eksistensial, seperti yang dirasakan oleh manusia/kelompok orang yang serba menderita, tertindas oleh suatu sistem kapitalisme secara struktural, bisa terjadi situasi-kondisinya "memaksa" dia untuk yakin, bahwa beberapa analisa dan metoda Marxlah yang dapat menolongnya. Dan memang tidak dapat diingkari, bahwa historis faktual Karl Marxlah yang untuk pertarma kali secara metodis (walaupun dalam banyak hal keliru dan tidak didukung oleh realitas sejarah kemudian) menelanjangi struktur penindasan kapitalisme. Kita boleh saja menganggap ular itu berbahaya tinja kotor dan sebagainya, akan tetapi jangan mengatakan, bahwa ular dan tinja dalam sistem ekologi itu tidak berguna.
Beberapa hikmah (kegunaan dari tinja) yang berharga dari ajaran Marx (muda) bagi seorang Kristen antara lain ialah:
1. Filsafat (baca: beragama) itu tidak untuk "memahami" dunia (baca: memahami rahasia-rahasia Tuhan) tetapi untuk "mengubah" dunia (baca: berbuat baik membongkar kejahatan di dunia, antara lain kejahatan penindasan struktural kaum miskin, menjadi dunia yang lebih adil dan lebih baik). Jadi adalah primer, dan sekunder (atau tertier) baru teori (ajaran, dogma abstrak). Dalam bahasa Yesus dan Santo Paulus dalam Al Kitab, cinta-kasih riil harus didahulukan daripada hukum/ peraturan agama).
2. Penanaman bibit bagi metodologi ilmiah, yang kelak diperdalam lagi oleh M. Horkheimer, tentang dialektik. Yakni dinamika saling buah-membuahi antara Handeln (tindak) dan Denken (pikir), sehingga tindakan beriman kita terlalu saling buah-membuai dengan refleksi/renungan kita tentang yang kita imani, dalam dialektik "koreksi" dan "ciptaan". Kreatip serba hidup, kendati pada prinsip dasar "identitas iman" kita yang tak tergoyahkan oleh waktu.
3. Pemahaman, bahwa sejarah itu data tetapi sekaligus himbauan untuk dinibab (baca: diperbaiki). Manusia miskin tertindas "dapat" merubah "nasibnya", jika ia tahu struktur-struktur apa yang dibuat oleh orang lain padanya, sehingga ia "menjadi" dan "disuruh tetap" miskin. Orang-orang miskin pun harus bersatu, agar mampu memperbaiki keadaannya.
4. Seperti seorang Kristen baik tidak bisa sekaligus menjadi seorang Marxis (prinsipiil), demikian pun seorang Kristen baik juga tidak mungkin menjadi seorang penganut kapitalisme-liberalisme tulen jalan ketiga atau keempat kelima harus ia cari.
5. Manusia Kristen harus menyumbang pikiran dan percobaan praktis demi kebudayaan industrialisasi yang manusiawi, lepas dari mental Faust dan kapitalisme/komunisme, juga lepas dari keadaan perbudakan yang untuk pertama kali ditelanjangi oleh Marx, yakni Entfremdung, alienation, keasingan yang ditimbulkan oleh sistem industri kapitalistis.
6. Manusia Kristen harus memetik hikmah tuntutan Marx, lebih menghayati apa yang biasanya dianggap "kafir", yakni "materi". Materi adalah ciptaan Tuhan juga dan seorang Kristen yang utuh pada hakekatnya harus menjadi seorang materialis yang yakin, tetapi materialis secara benar. Materialisme yang benar justeru memperdalam pemujaan kita terhadap Allah Maha Pencipta Segala.
7. Dengan demikian seorang Kristen harus melebihi seorang Marxis dogmatis, menjadi "manusia" yang semakin "manusiawi".
8. Kritik Marx "Agama adalah candu" jangan hendaknya kita abaikan dengan sikap mental yang sombong dan puas diri, seolah-olah orang beragama itu "dengan sendirinya" orang baik. Kritik itu justeru harus kita terima dengan penuh syukur sebagai koreksi yang pahit tetapi obat mujarab, agar kehidupan agama kita lebih sehat, sebab agama pun bukan Tuhan Allah. Jadi dapat tercampur dengan lekatan-lekatan bikinan manusia sendiri yang mengotorinya. Bagaimana manusia Kristen dapat memurnikan agamanya? Dan bagaimana ia dapat meningkat dari orang beragama melulu, agamawan menjadi manusia yang beriman Kristiani, mengikuti teladan Yesus dari Nasaret?
[xxv] Lihat: Dokumen, Kesimpulan-kesimpulan Komisi Ahli Teologi Internasional, Oktober 1976 di
[xxvi] Suatu bentuk "Medellin" Asia telah pernah berlangsung di Bangalore, 16 Juli sampai 14 Agustus '73. Delegasi dari Bangladesh, India, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam sangatlah bagus dan penuh hikmah. Namun sampai sekarang, gemanya di Indonesia dapat dikatakan hanya mengambang. Kebudayaan khas Katolik di Indonesia rupa-rupanya belum mampu tumbuh. Yang seumumnya dan praktis tampak ialah kebudayaan atau sikap pribumi biasa (dengan segala campuran eklektisisme normal pula) seperti golongan-golongan lain. Khususnya di Jawa kita baru melihat orang Jawa yang berbaju Katolik, seperti banyak orang Jawa pula yang berbaju Islam. Hal itu sebetulnya normal juga, karena pengendapan prinsip-prinsip Kristen/Katolik di Indonesia belum lama. Pengaruh Katolik dari zaman Spanyol/Portugis dapat dikatakan tidak berarti.