Teologi pemerdekaan di Asia punya pengaruh
luas, seperti di Filipina yang mayoritas Katolik, dan punya warisan kebudayaan
agama Katolik Spanyol, mirip dengan di Amerika Latin. Juga di Korea
Selatan yang struktur industrialisasinya menanjak, mirip di Brasil, walaupun di
bawah tangan besi. Y.B. Mangunwijaya menambahkan bahwa, seperti di Amerika
Latin, teologi pemerdekaan dimungkinkan berkat sikap profetic yang tegak
prinsipiil dari para pemimpin Gereja Katolik yang tidak gentar bersikap
kenabian. Lalu, bagaimana dengan di Indonesia sendiri?
Teologi Pembebasan atau lebih simpatik Teologi Pemerdekaan adalah
suatu teologi. Artinya: refleksi nalar manusia tentang penerimaan Wahyu yang
mendahuluinya, sehingga tidak hanya kemauan atau emosi, melainkan pikiran
(manusia beriman) diikutsertakan dalam pertanggungjawaban suatu sikap beriman,
sebab walaupun hidup beriman pada esensinya bukan semata-mata prestasi
kenalaran belaka, namun nalar sebagai potensi hakiki manusiawi yang maha
berharga adalah anugerah Tuhan juga. Jadi sewajarnya nalar/pikiran manusia
harus diaktualisasi pula selaku instrumen pertanggungjawaban sikap manusia yang
beriman terhadap diri sendiri, sesama manusia dan Tuhan.[i]
Setiap manusia sebenarnya sudah berteologi, hanya secara spontan, baru
implisit dan kadang-kadang. Sebaliknya Teologi adalah satu "ilmu
pengetahuan", karena bekerja refleksip, sistematis dan dengan hukum-hukum
logika yang sah. Namun tidak seperti sains atau ilmu-ilmu eksperimental yang
disebut (ideologis sejak A, Comte) ilmu-ilmu positif. Teologi pun positif,
bukan khayalan belaka atau puisi perasaan. la bekerja baik secara deduktif
maupun induktif dari pengalaman dan sumbangan ilmu-ilmu eksperimental juga.
Teologi maupun sains punya instrumen sendiri-sendiri karena obyek formal dan
tujuannya tidak sebidang, walaupun sering seperkara, tetapi kedua-duanya
mempunyai tujuan yang sama, ialah pengetahuan.
Manusia tahu dalam beberapa lapis,
dalam beberapa tingkat abstraksi dan dimensi. Dimensi teologi dan dimensi sains
memang tidak sama, namun satulah yang menghubungkan mereka, ialah pemenuhan
hasrat manusia yang terdalam, ialah hasrat "tahu", dan' garansi pada
"tahu" itu, ialah kemungkinan mencapai "kebenaran".
Kebenaran pada manusia memang hanya mungkin secara pengumpulan batu-batu mosaik
atau pijar-pijar kebenaran. Tidak pernah seutuhnya secara total sempurna, lagi
harus berkembang secara historis. Pijar satu disusun di samping pijar yang
lain, sehingga dalam perkembangan sekian abad pengetahuan, ibarat peta angkasa
bintang-bintang dan galaksi semakin lengkap. Tentulah itu sering melalui trial
and error, namun justeru itulah: secara manusiawi. Perumusan dogma agama
apa pun dan dalil sains apa pun tidak mungkin bernilai mutlak komprehensip
sempurna; lebih merupakan "pendekatan" iaripada
"pencapaian" esensi perkara. Hal itu akan selamanya begitu karena
keterbatasan manusia menghalang-halanginya meraih sekian milyar galaksi
universum kebenaran dengan sekali tangkap.
Demikianlah teologi pemerdekaan adalah suatu teori, bukan ajaran agama,
atau jawaban atas Wahyu, atau sikap iman sebagai iman. Namun sekaligus ia
adalah konsekuensi suatu iman, dan tafsiran manusiawi terhadap yang diajarkan
oleh agama.
Sejak Nabi Ibrahim
Di kalangan Katolik, teologi pemerdekaan sebenarnya sudah setua Injil
Yesus dari Nasaret, bahkan tanah-tumbuh awalnya sudah ada dalam penghayatan
keTuhanan Yang Maha Esa bangsa Hibrani sejak Nabi Ibrahim. Namun secara
refleksif metodis, teologi pemerdekaan baru tumbuh di sekitar tahun
tujuhpuluhan di Amerika Latin. Teologi selalu berjalan kemudian di belakang
penghayatan praksis iman; in hoc casu, teologi pemerdekaan adalah Defleksi
sistematis dari "praksis pemerdekaan". di Amerika Latin yang telah
berjalan sejak kekejaman-kekejaman para conquistadores Spanyol yang menindas
dan membunuh orang-orang pribumi Indian di abad 16, seperti yang dipendekari
para rahib Dominikan Antonio de Montesinos dan Bartholome de las Casas.[ii] Jadi rahib-rahib
Katolik melawan militer Katolik. Para rahib itu ingin konsekuen melaksanakan
Hukum Cinta-Kasih Injil dengan membela suku-suku India melawan kaum politici
imperial yang berkedok agama. Namun pada hakekatnya, teologi pemerdekaan pada
instansi terakhir bukan pertama dan terutama persoalan kemerdekaan politik ataupun
ekonomi (walaupun itu merupakan unsur-unsur bagian juga), akan tetapi
pemerdekaan manusia secara "total utuh sejati" dari kedosaannya,
kekejaman, keserakahan dan exploitation de l’homme par l'homme, tak
peduli kedudukan, kepandaian, kemampuan, kulit, bangsa maupun agama. Bahkan, di
dalam praksis pemerdekaan di Amerika Latin itu, sering terjadi Gereja terbelah
menjadi Gereja yang bekerja sama dengan kaum penindas, dan disisi lain Gereja
yang memihak serta membela kaum tertindas. Polarisasi itu tentulah tidak simpel
hitam-putih begitu saja dalam praktek, sebab cukup kompleks strukturnya.[iii]
Pengaruh Figur Yesus
Dari sejarah sering muncul fakta bahwa, dari pihak satu, agama (selaku
lembaga, jadi lain dari pijar-pijar beberapa agamawan yang saleh) secara
pinsipiil membina kesalehan dan pemuliaan jiwa manusia, akan tetapi de facto
sering terjadi, secara kolektip selaku lembaga mapan agama menjadi demon
kefanatikan, kekejaman dan pembunuhan yang merajalela "atas nama Tuhan".
Citra Maryam ibu Yesus (Isa) dan citra Yesabel atau Herodias, kedua-duanya
dikenal dalam Kitab Suci. Pembunuh-pembunuh Yesus justeru adalah imam-imam
agung dan ahli-ahli Kitab Suci. Realita ini sebetulnya terjadi di mana-mana,
akan tetapi di Amerika Latin tragedi macam itu berjalan secara sangat dramatis.
Orang-orang Amerika Latin memang jenis orang Spanyol-Portugal yang emosional
dengan percampuran macam-macam darah yang mudah mendidih dalam kawah warisan
kolonial.
Sebaliknya, dalam Injil yang menjadi makanan sehari-hari orang
Amerika-Latin yang Katolik, figur Yesus adalah citra pemuda rakyat jelata biasa
pecinta damai, yang dalam kata dan perbuatannya tidak pernah mengidentifikasi
diri dengan kaum kaya atau penguasa (duniawi maupun lembaga agama), tetapi yang
bergaul intim dengan rakyat jelata sampai la mengatakan tentang Dirinya:
"Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi
Putera Manusia (Yesus) tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya"
(Luk, 9.58).
Bahkan dalam klimaks hidupnya Yesus berhadapan dengan penguasa dunia
dan agama hanya untuk difitnah, divonnis, didera, dan disalib. Maka pendidikan
Katolik de facto, dengan tradisi Hibrani sejak Nabi Ibrahim, Nabi Musa yang
bertema dasar "pemerdekaan manusia"; mulai dari belenggu-belenggu tahayul,
dari penjajahan Mesir sampai ke pengakuan Tuhan Maha Esa dan "Tanah
Perjanjian Allah". Jadi sejak kecil secara sadar dan di bawah sadar,
pewartaan yang diresapkan pada setiap anak kuli maupun anak jenderal di Amerika
Latin sudah digenangi dengan tema: pemerdekaan dari segala bentuk belenggu yang
berasal dari dosa manusia, melewati pembaptisan (lambang penenggelaman diri
dalam air laut Merah agar bebas dari "hidup-lama", lalu bangkit ke
dalam "hidup-baru" menurut konsepsi Cinta-Kasih Tuhan.).
Di Eropa permasalahan intern agama Katolik secara historis sangat
diwarnai oleh hal-hal dogmatis dan politik nasional, perebutan kekuasaan kaum
borjuasi melawan kaum ningrat dan politik nasional yang menyertai proses
masyarakat agraria berubah menjadi industrial. Sejajar itu taufan
anti-klerikalisme dan reformasi meruntuhkan kerajaan duniawi Vatikan, sedangkan
sekularisme yang radikal memisahkan kehidupan publik dari agama, dengan segala
akibat berbentuk kapitalisme, kolonialisme imperialisme yang berorientasi eksteren
ke benua-benua lain. Tetapi perkembangan di Amerika Latin menjurus ke
pemerdekaan kaum kolonis yang sudah berpanca-darah melawan negeri-negeri
"ibu" Spanyol dan Portugal.
Namun semua masih tetap dalam kerangka agama warisan dan
kebudayaan katolik. Setelah kaum kolonis membebaskan diri dari raja-raja
Spanyol-Portugal dan bergilir menjadi kaum tuan-tanah yang kejam terhadap
rakyat kecil yang seagama, maka tradisi perang kemerdekaan melawan Spanyol dan
Portugal beralih ke pergulatan kaum tani dan buruh kecil menghadapi tuan-tuan
"pribumi" mereka. Kaum yang paling pribumi, ialah suku-suku Indian
(ditambah Negro) dalam perkembangan itu menjadi golongan yang paling menderita,
akibat penjajahan pangkat dua itu. Amerika Latin pada dasarnya belum pernah
mengalami keadaan negara hukum. Setiap jenderal diktator setiap saat dapat
digulingkan oleh kelompok militer lain. Celakanya, setiap kaum penguasa dan
kapitalis besar di Amerika Latin, dengan perkecualian Kuba, Chili Allende dan
Nicaragua Sandinista, adalah komprador (kakitangan) sistem kapitalisme Amerika
Serikat, sehingga biang-keladi segala penindasan di Amerika Latin bukan
rahasia lagi, justeru adalah Amerika Serikat (yang ironis, selalu membanggakan
diri sebagai pendekar "Dunia Bebas").
Maka di kalangan rakyat Amerika Latin
telah lama orang sadar bahwa, masalah penindasan rakyat bersumber pada
imperialisme ekonomi Amerika Serikat. Dengan
akibat, bahwa praksis perlawanan rakyat kecil sudah lama diwarnai oleh
kesadaran perjuangan melawan kapitalisme selaku sistem ekonomi-sosial-politik,
yang dikongkritisasikan dalam solidaritas antara kaum tani dan buruh kecil,
dengan dukungan moral dan faktual dari sebagian besar rohaniwan katolik serta
uskup-uskup sebagai pemimpin-pemimpin non-formal. Namun juga tak terelakkan, perlawanan
rakyat itu berkembang dalam suatu rasa simpati (yang sukar dipersalahkan)
terhadap analisa serta metoda Karl Marx, yang historis memang merupakan
satu-satunya teori yang berklaim ilmiah dan meyakinkan, membuka kedok sistem
kapitalisme-liberal yang jahat.
Dimulai dari Praxis Paguyuban Umat Basis
Demikianlah di tengah penderitaan
rakyat' selama berabad-abad, perlahan-lahan tumbuh suatu sistem yang disebut
Umat-umat Basis, yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil kaum beriman dengan sebentuk
agama rakyat miskin. Kendati praksis umat-umat basis itu berlainan menurut
sikon kedaerahan, akan tetapi ada 5 prinsip-dasar yang dapat dicatat: 1.
keyakinan bahwa segala ketidakadilan harus digugat; 2. bahwa untuk itu
dibuuthkan proses yang oleh Paulo Freire disebut conscientizacao (penyadaran
berupa proses belajar, di mana manusia miskin semakin tahu dan sadar tentang
mekanisme-mekanisme apa yang "membuat" mereka miskin; 3. bahwa
situasi kemiskinan "dapat" berubah. Namun hanya oleh perjuangan
"mereka kaum miskin sendiri" secara gotong-royong; 4. demi semua itu
dibutuhkan solidaritas (gotong-royong) antara kaum sadar yang punya kedudukan
(intelektual, struktural lebih mampu, rohaniwan, pimpinan Gereja,
sarjana-sarjana, sukarelawan-sukarelawati terpelajar dan sebagainya) dengan
yang tidak punya kedudukan, kaum lemah, tuna keadilan dan sebagainya; 5. dan
yang menjadi kunci vital: kaum miskin sendiri, biar sudah naik setingkat,
jangan sekali-kali "bergiliran" menginjak kaum yang lebih miskin
lagi.
Begitulah semakin terorganisasi suatu
gerakan protes, baik insidentil maupun sistematis, melawan struktur-struktur
kekuasaan masyarakat (termasuk Gereja sendiri bila bersikap menindas atau
menjadi kolaborator kaum penindas) demi pembentukan suatu tata masyarakat yang
lebih adil.[iv]
Bagaimana Sikap Pimpinan Hirarki Gereja?
Dukungan tak ternilai kuatnya selaku tanggapan terhadap gerakan
paguyuban-paguyuban umat basis tersebut untuk merefleksi serius masalah
pehderitaan rakyat datang dari pimpinan hirarkis Gereja Amerika Latin sendiri. Pada tahun 1968 sekitar 180 uskup dari Amerika Latin dengan inti dari
Brasil yang paling berpengaruh berkumpul di Medellin.
Dalam sidang historis itu Pimpinan
Gereja seluruh Amerika Latin secara besar-besaran menyatakan diri "tidak
netral". Dengan resmi dinyatakan, bahwa Gereja Katolik terang-terangan
memihak pada mereka yang miskin dan tuna-hukum dalam bidang kemasyarakatan
serta ekonomi; mendukung rakyat kecil yang sebenarnya merupakan mayoritas massa
Rakyat, menurut Dokumen Medellin. Semakin lama semakin tenggelam oleh
kekuasaan-kekuasaan struktural dan institusional, oleh perusahaan-perusahaan
transnasional serta kekuasaan keuangan internasional. Keadaan semacam itu,
demikian keyakinan Majelis Wali-wali Gereja seluruh Amerika Latin, menurut
"suatu perubahan pembaharuan yang global, berani, segera dan
radikal."[v] Dengan demikian sekali lagi Gereja Amerika Latin, dalam konteks moderen,
menggemakan lagi Firman Tuhan yang terera dalam Kitab Exodus:
"Aku telah melihat kesengsaraan
bangsaKu ..., tangis dan kesah mereka karena ditindas. Ya, aku tahu penderitaan
rakyat. Aku, (Tuhan), turun ke bawah untuk memerdekakan rakyatKu," (Ex. 3,
7-8).
Tergugah oleh keputusan Majelis
Wali-wali Gereja mereka, para imam, umat dan khususnya para ahli teologi mulai
merefleksi kembali sikap teologis mereka. Perintis pertama teori sistematis
mengenai panggilan pembebasan rakyat kecil mengikuti jiwa Medellin ialah
seorang imam teolog dari Lima, Gustavo Gutierrez,[vi] yang sampai
sekarang menjadi dermaga tolak dari pemikiran penerbitan buku-buku dan
artikel-artikel lebih dari 6000 buah. Tentulah sikap Gereja yang begitu
terang-terangan memihak kepada rakyat kecil sama sekali tidak disukai oleh para
dewa-kuasa, kaum kapitalis dan sekutu mereka, kaum militer. Kekuatan-kekuatan
konservatif yang masih sangat kuat mendapat backing dari dunia usaha Amerika
Serikat sudah lama merumuskan dalih penindasan mereka atas prinsip
Securidad Nacional (Hankam nasional) dan Anti-Komunisme, sebagai dalih-dalih
yang sudah lama tidak dipercaya oleh massa rakyat maupun dunia internasional,
sehingga tidak pernah efektif. Oleh karena itu kaum penguasa Amerika Latin
memperdahsyat represi teror mereka yang merupakan praksis sehari-hari di
Amerika Latin, dan yang memuncak antara lain dengan pembunuhan Uskup-Agung
Oscar A. Romero dari El Savador. "We theorize today within the sound
of guns", demikianlah keluh sosiolog A. Gouldner. Menurut ahli teologi
tenar E. Schillebeeks keluhan itu dinyatakan
lebih relevan untuk para teoretici teologi pemerdekaan.[vii]
Praxis dulu, baru Teori
Salah satu jasa dan sumbangan unik dari para teolog Amerika latin
kepada dunia teologi Kristen seumumnya ialah: Pertama, penemuan bahwa, teologi,
apalagi Gereja, pada hakekatnya bukanlah kumpulan dogma-dogma yang abstrak,
tetapi sistematisasi sikap serta peristiwa kongkrit, kontekstual". Manusia
yang wajar selalu berteori teologis (beragama dan beriman) sesudah berpraktek
dalam suatu sikon,--suatu pengalaman suka-duka kongkrit dari fakta-fakta
ekonpmik, sosial, politis dan sebagainya. Dengan kata lain, historis, sebagai
proses. Teologi pun seharusnya bukan kumpulan teori abstrak, melainkan sebagian
dari proses-proses historis. Karena itu ia harus selalu diuji dan ditinjau
kembali di dalam dan oleh pengalaman serta penghayatan peristiwa-peristiwa
dunia, bangsa, maupun perorangan. Dengan kata lain lagi: Hakekat Gereja adalah
identitas historisnya. Prinsip kedua, bahwa teologi pemerdekaan pun bukan
segugusan tesis-tesis abstrak yang tugas pertamanya harus dikuliahkan,
melainkan sesuatu yang "dikerjakan", dalam suatu perjalanan praktis
kongkrit dalam dialog dan proses meremaja diri dengan fakta dan data-data;
sekaligus suatu "sumbangan hidup" demi sejarah pemerdekaan manusia
yang tertindas dan terbelenggu.[viii]
Kritik dan Debat tentang Teologi Pemerdekaan
Tentulah bila dibanding dengan tradisi berabad-abad berteologi di
Eropa dan dunia Barat seumumnya, yang (terpengaruh konteks jiwa abstrak
analitis Barat) lazimnya berciri deduktif, spekulatif, abstrak dan mengklaim
diri zeitlos (tak terpengaruh oleh perubahan zaman), cara berteologi ahli-ahli
Amerika Latin itu sangat menggoncangkan.[ix] Maka berkobarlah
suatu debat besar (debat di dunia ilmu-pengetahuan internasional adalah suatu
gejala yang normal dan wajar saja, bahkan diharapkan; jadi lain dari di Indonesia)
yang berkisar pada dua pertanyaan fundamental:
Apakah dengan begitu, para teolog itu
tidak main-main api, terperangkap dalam suatu godaan teologi (dan Gereja) yang
dipolitisir? Apalagi bila seorang teolog ternama dari Jerman, J.B. Metz
melontarkan suatu teori baru yang terang-terangan diberi nama Politische
Theologie?[x] Apakah dengan demikian Gereja nanti tidak akan
terseret kembali ke dalam kesalahan vital selama lebih dari 1000 tahun, yakni
Gereja yang aktif berpolitik-praktis menjadi kekuasaan politik sehingga berakibat
fatal sekali? Gereja akan muncul murni dan lebih mendekati kekhasan
panggilannya apabila abstain dari soal-soal duniawi yang praktis, khususnya
dunia politik. Tidakkah lebih arif bila Gereja mengkhususkan diri dalam ajaran,
prinsip-prinsip serta pertanyaan-pertanyaan universal yang berlaku untuk segala
zaman, situasi dan kondisi? Segala-gala telah termaktub dalam Al-Kitab dan
ajaran tradisional Gereja. Petiklah buah-buah pirnsipilnya karena buah-buah itu
berlaku abadi. Demikian kurang-lebih reaksi terhadap teologi yang berkonteks
dan mengidentifikasi diri sebagai bagian proses historis, walau proses yang
paling mulia pun seperti pemerdekaan manusia tertindas. Terhadap keberatan itu,
para teolog Amerika Latin, seperti misalnya Segundo Galilea dalam bukunya
"Contemplaciony Apostolado"[xi] menguraikan
bahwa, dimensi praksis (duniawi, peristiwa, pengalaman kongkrit) dengan dimensi
rohani ataupun mistika justeru harus bergandengan tangan. Tuhan menolong
manusia tidak abstrak tetapi kongkrit, dengan dan ciri kemanusiawian di sini
justeru: kongkrit, historis, eksistensial, di dalam konteks. Orang Barat yang
berwatak analitis dan kuat daya abstraksinya terlalu mudah memilah-milah dan
mengurai perkara dalam unsur-unsur yang lepas-lepas, serta selalu cenderung
berkata "atau ini atau itu." Sedangkan orang Amerika Latin (seperti
orang Indonesia
juga) lebih suka berkata "ya ini ya itu." Jangan hendaknya memandang
segala-gala serba dualistis. Dualisme boleh dalam konstruksi abstraksi atau
analisa teoretis, tetapi dalam kehidupan kongkrit, segala dimensi menyatu dalam
pengalaman yang unik dan sintetis.
Oleh karena itu istilah Politische Theologie bukan nomor satu, Teologi
selaku backing ideologis sesuatu kebijaksanaan (atau ketidakbijaksanaan)
program politik-partai ini atau itu, tetapi suatu sumbangan refleksi nalar
manusia beriman Kristen demi peneguhan sikap menyeluruh, yang sadar akan
historisitas dan data realita, bahwa manusia beriman pun adalah manusia yang
selalu dan tidak bisa lain kecuali hidup dalam suatu konteks historis, beriman
dalam suatu konteks historis, bertanya dan bergulat dalam suatu konteks
historis. Konteks yang jelas mengenai segala yang berhubungan dengan
kawan-kawan manusia lain, jadi tak bisa lain: sosial-politis juga (politik
dalam arti asli: kearifan bertindak dalam kebersamaan orang-orang lain demi
kepentingan umum). Seperti Tuhan pun menolong, membina dan mendampingi manusia
tidak secara abstrak teoretis saja, tetapi kongkrit, historis, dalam konteks
juga.
Tetapi selain itu, bukanlah sikap memihak pada kaum miskin itu
berlawanan dengan ajaran autentik Yesus dari Nasaret, bahwa kita secara
prinsipiil harus mencintai "semua" orang, termasuk musuh-musuh kita
pun, tidak terkecuali orang-orang kaya dan kuasa? Juga, bukankah prinsip
cinta-kasih autentik kristiani tidak pernah ingin menyemai segala macam bentuk
kekerasan? Bukankah Yesus sendiri berkata:
"Barang siapa menggunakan pedang
akan binasa oleh pedang" (Mt. 26.52).
Keberatan ini tidak sulit dijawab. Cinta-kasih
pun tidak abstrak. Cinta-kasih bukan sesuatu yang buta berdalih netral
(sebentuk sikap pengecut yang bertopeng di belakang "hukum-hukum universal
yang abadi dan berlaku di segala situasi maupun zaman). "Cinta-kasih
manusia pun harus ditempatkan dalam konteks. Bila ada seorang sadis
memukul anak yang tak berdaya, cinta-kasih-dalam-konteks (dan begitulah selalu
reaksi spontan setiap manusia normal berakal sehat) tidak akan
"netral". Kita akan spontan melindungi anak itu dan terpaksanya
menendang si penjahat dengan kekerasan agar tangan anak tak berdaya itu lepas.
Demi pembelaan korban tak bersalah,
seorang bandit dalam situasi darurat terpaksa akan ditembak penegak Hukum. Maka
berkatalah Uskup-agung Helder Camara yang merupakan eksponen prinsip Kristen
mengikuti Yesus yang serba non-violence, dan sejajar dengan yang dikerjakan
oleh Martin Luther King di Amerika Serikat dan seorang non-Kristen Mahatma
Gandhi dengan "satyagraha" (Daya Batin);
"Bila orang (dengan bersikap
apolitis) memelihara suatu tata-masyarakat yang tidak adil, apakah itu bukan
sebentuk politik (praktis) juga?" Dalam konteks penindasan dan
penghisapan, menurut Helder Camara, "Netral artinya pengkhianatan."[xii]
Sanggahan ketiga: Bukankah konsep
pemerdekaan menurut ajaran Gereja tidak boleh ditafsir sebagai suatu gerakan
"langsung" berpolitik, berekonomi dan sebagainya? Bukankah
pemerdekaan yang secara tradisional diajarkan Gereja adalah penebusan dari
dosa, penyelamatan illahi Kerajaan Allah dari dosa yang menjerumuskan manusia
jauh dari panggilan sejatinya menuju ke Tuhan? Bukan kerajaan dunia! Para
penyanggah menunjuk pada larangan disipltn Gereja Katolik bagi para uskup,
pastor, biarawan, biarawati untuk langsung berpolitik praktis atau menduduki
jabatan-jabatan negara. Sebab tuas primer Gereja adalah "persaksian"
mengenai dimensi-dimensi "terakhir", tentang eskhatologi[xiii] Dunia Atas
Koderati, persaksian tentang Kristus dan dimensi penebusanNya. Bolehlah itu
disebut pemerdekaan, namun pemerdekaan dari "dosa", dari
"akar-akar eksistensial" yang "mengatasi" dimensi-dimensi
duniawi belaka, fana, politik praktis, ekonomi, sosiologi, bahkan kebudayaan
apa pun.[xiv] Tugas Gereja
primer dan khas adalah tugas pernyataan dan pembelaan
"prinsip-prinsip," bukan penerjemahan langsung prinsip-prinsip itu
dalam bahasa dan langkah kongkrit operasional langsung sosial-politis. Apalagi
bila bahasa dan langkah operasional itu sudah memakai atau berbau kekerasan ala
Marx, atau "pedang", karena keraslah peringatan Yesus kepada Petrus
(baca, Gereja):
"Barang siapa menggunakan
pedang, akan binasa oleh pedang juga ",
yang telah terbukti pula di abad-abad
lampau, nyaris Gereja sebagai kekuatan spiritual binasa karena langsung
berpolitik praktis sebagai kekuasaan duniawi.
Sanggahan ketiga ini adalah kritik
yang paling berat untuk para teolog pemerdekaan, sebab hampir tak mungkin
argumen yang begitu berbobot dan yang begitu menyangkut prinsip-prinsip
terdalam dari Kristianitas dibantah, Juga memang sudah dibuktikan secara nyata
oleh sejarah pahit Gereja lebih dari 1000 tahun sejak Kaisar Konstantin
Byzantium. Betapa berbahaya dan betapa mudah terlampaui batas-batas antara
"cinta-kasih kontekstual dalam situasi penindasan" dengan
ketergelinciran dalam jerat "rasionalitas murni" perlawanan politik
yang akhirnya tidak berbeda dari yang sudah dilakukan oleh setiap partai
politik atau badan negara. Konflik batin yang disebabkan oleh dilema ini untuk
orang-orang beragama lain barangkali tidak sulit penyelesaiannya. Akan tetapi
bagi orang Kristen yang ingin mengikuti Yesus sang Lemah-Lembut dan Juru Damai,
masalah penggunaan kekerasan memang persoalan yang tidak mudah.
Dalam hubungan itu Kuba, dengan imam bersenjata Camilo Torres dan imam-imam/biarawan
yang menjadi menteri-menteri kabinet Nicaragua-Sandinista sangat berhikmah.
Untuk rakyat Amerika Latin, eksperimen Kuba di bawah pimpinan Fidel Castro (dan
prestasi Sandinista Nicaragua)
merupakan sumber inspirasi kepahlawanan yang historis luar biasa hebatnya.
Analog dengan kemenangan Jepang lawan Rusia di abad yang lampau bagi seluruh
bangsa Asia. Kita harus melihat peristiwa
Kuba tidak sempit di dalam kerangka Marxis atau anti-Marxis melulu, tetapi
dalam tradisi dan dambaan ratusan juta orang-orang kecil Amerika Latin yang
menderita luar biasa di bawah penghisapan kapitalisme Amerika Serikat dengan
para kompradornya. Maka dalam konteks gerakan berabad tentang pemerdekaan
manusia jelata itulah tidak mengherankan bila seorang pastor Camilo Torres
bergabung dengan Che Guevarra dalam perang gerilya rakyat Bolivia
menantang pemerintah komprador. Peristiwa Camilo Torres mendapat pengikut di
Filipina melawan rezim Marcos (baca: kapitalis komprador) dan memang
menimbulkan debat sengit dan luas di kalangan Gereja Katolik, yang masih
bergema dalam Musyawarah Besar Majelis Wali-wali Gereja 1981 di Puebla, Meksiko
sebagai konperensi besar semua uskup Amerika Latin, follow-up dari Medellin
1968.
Secara resmi Gereja tidak merestui langkah Torres untuk mengangkat
senjata, walaupun dengan maksud-maksudnya mulia. Namun rakyat biasa umat
Katolik Amerika Latin dan opini publik generasi muda Barat menghormati Torres
(ia terbunuh dalam operasi gerilya) sebagai martir pembela rakyat, bahkan tidak
sedikit rakyat kecil menganggapnya orang suci. Namun Gereja resmi memang harus
bersikap prinsipiil.
Satu-satunya jalan yang direstui adalah jalan non-violence, seperti
yang sudah diteladani oleh Yesus dari Nasaret dan yang mendapat peneguhan
misalnya dari Martin Luther King, juga seorang non-Kristen, Mahatma Gandhi.
Tetapi itu dalam taraf ajaran "resmi" atau boleh disebut pada tingkat
"obyektif". Secara pribadi "subyektif", menurut konsensus
ahli moral Katolik sekarang, orang tidak bersalah bila ia tidak mempersalahkan
perbuatan sesituasi Camilo Torres.[xv] (Dari redaksi:
Lihat endnote no. 15 di bagian bawah). Peristiwa-peristiwa semacam itu
tidak bisa dan tidak boleh simpel dipukul-rata atau diabstraksi dengan suatu
hukum umum yang berlaku mutlak. Karena di sini kita sudah tersentuh pada
situasi "pribadi" dalam konteks yang khas. Yesus pun tidak
membenarkan pelacuran. Tetapi juga tidak menghakimi seorang (jadi pribadi)
pelacur yang oleh kaum agamawan Yahudi dihadapkan padaNya untuk menguji Yesus,
bagaimana penyelesaian soal terhadap konflik cinta-kasih dan hukum agama
(resmi). Demikian juga, analog dalam konteks dan sikon Amerika Latin, sungguh
tidaklah mudah kasus pastor Ernesto Cardenal, pastor Edgard Parrales, Pater
Miguel d'Escoto M.M. dan Pater Fernando, Cardenal S.J. (adik dari Ernesto),
masing-masing menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesejahteraan
Sosial, Menteri Luar-Negeri dan Menteri Urusan Pemuda dalam pemerintah
Sandinista, Nicaragua, yang merupakan eksperimen kedua sesudah Kuba dengan
radikal melawan tata-kapitalisme Amerika Serikat dengan para kompradornya,
tetapi tanpa bendera merah Marx.
Roma telah menyerahkan kebijaksanaan mengenai kasus tersebut kepada
Pimpinan Hirarki setempat yang merasa wajib menindak keempat pastor itu dengan
larangan fungsi pemimpin ibadat dalam Gereja. Konteksnya tidak sederhana.
Pertama, karena di Nicaragua
betul-betul kekurangan tenaga intelektual untuk memegang jabatan-jabatan tinggi
negara. Kedua, karena kader sipil yang ada
kebanyakan korup dan kapitalis. Ketiga, karena kaum Sandinista benar-benar
ingin berikhtiar bahwa, operasi politik pemerdekaan bangsa tidak mutlak harus
bersendi pada Marxisme. Keempat, karena di dalam pribadi pastor,
biarawan-biarawati pun harus diakui dan dimanfaatkan dimensi warga-negara biasa
dan kualitas-kualitas manusia normal seperti manusia-manusia lain yang berwajib
menanam kebaikan dan pemerdekaan bagi sesama manusia dengan cara-cara normal,
manusiawi (jadi termasuk segi politik pula). Dan kelima, dan ini menyangkut
lebih langsung segi'segi moral selaku konsekuensi teologi pemerdekaan:
"dosa" dan "penebusan dari dosa" juga bukan sesuatu yang
abstrak, semacam "ide abadi universal" yang insidentil dapat kita
petik deduktif dan "diterjemahkan"kedalam sikon nyata; bagaikan
bayangan-bayangan filsafat Plato dunia fana (dan maya).[xvi] Tetapi kongkrit,
historis, mengejewantah dengan sosok dan wajah yang tampak, teraba dan terasa
nyata dalam represi dan exploitation de l'homme secara struktural politis,
sosial, ekonomi, kultural yang riil.
Sikon Nicaragua
yang khas tidak dapat diukur dengan sikon negeri-negeri-lain; justeru karena
sedang bereksperimen seperti di Kuba, tetapi sedapat mungkin non-Marxis.
Dari pihak lain Hirarki Gereja yang di masa lalu dengan penuh pengorbanan
melawan diktator komprador Somoza, merasa wajib untuk memperingatkan keempat
imam itu, bahwa untuk sementara hanya dalam awal Revolusi Sandinista mereka
boleh menolong grup politik Sandinista, demi rakyat terbanyak dan dalam situasi
darurat. Akan tetapi menurut Uskup-agung Obando y Bravo, Gereja tidak boleh
dijadikan sebentuk partai politik dan kendaraan gerobak kaum yang sedang menang
politik. Dalam macam pemerintahan apa pun,
Gereja mengemban tugas yang khusus (Persaksian mengenai yang benar dan baik,
adil dan pembelaan martabat manusia). Juga di bawah pemerintah Sandinista, yang
seperti setiap lembaga manusia, pasti juga menjalankan kekeliruan-kekeliruan.
Gerakan Sandinista untuk menyusun "suatu Gereja-Rakyat yang harus menikah
dengan mereka (Sandinista)" juga ditentang Hirarki Gereja di Nicaragua.
Saat ini Pemerintah Sandinista berciri menghormati Gereja dan berniat lepas
dari kapitalisme liberal (yang sejak awal dikutuk Gereja secara resmi) maupun
dari Komunisme-Marxisme atheis (yang sejak awal dikutuk Gereja juga). Apakah
saat ini suatu sikap ke luar dari eselon penentu keputusan tertinggi tidak
berakibat pintu bagi Marxisme akan terbuka lebar? Lebih celaka lagi, bila para
Uskup itu akan dicap sebagai kakitangan kaum kapitalis? Dilema seperti yang
terjadi di Nicaragua atau dalam kasus Camilo Torres rupa-rupanya akan terus
merupakan "masalah abadi".
Seperti Yesus yang tidak merestui
pelacuran toh tidak menghakimi si pelacur, demikian juga kita dapat berpegangan
pada pendirian Uskup agung Brasil di Refice, Dom Helder Camara.[xvii] Pertama, seluruh
dunia-dunia maju maupun belum maju—membutuhkan suatu evolusi struktural. Penindasan tidak hanya terdapat di negara-negara berkembang, tetapi juga di
Amerika Serikat dan di Eropa. Namun bangsa-bangsa yang belum maju secara
keseluruhan menderita lebih parah di bawah penindasan bangsa-bangsa maju.
Kedua, siapa bertanya, apakah revolusi itu harus berjalan dengan kekerasan atau
tidak, harus sadar dahulu, bahwa sistem yang sedang berkuasa jelas hanya
berdiri dan, hanya dapat dipertahankan atas kekuasaan sewenang-wenang.
Kekuasaan mapan itu di Amerika Latin menghalang-halangi usah'a pendidikan pada
tingkat basis, yang bermaksud memungkinkan persatuan dalam paguyuban-paguyuban
dan organisasi-organisasi berdisiplin. Ketiga, pemerintah yang hanya membuat
janji-janji elok dengan tata-hukum yang tidak mereka taati sendiri dan tinggal
tulisan kertas belaka, mereka sendirilah yang menjadi penyebab utama
tindakan-tindakan kekerasan. Dengan begitu kaum muda mengambil kesimpulan,
bahwa mereka tidak berniat serius, dan bahwa semua macet bila yang ditempuh
jalan Hukum. Keempat, Dom Helder Camara yang berprinsip non-violence merasa
"pribadinya terpanggil mengambil jalan damai" untuk menyampaikan
cermin kebenaran kepada para penguasa, dan sekaligus membangun terus-menerus
kesadaran massa. Akan tetapi beliau menghargai panggilan-panggilan lain seperti
diyakini Camilo Torres dan Che Guevara. Bahkan Uskup-agung berhati lemah-lembut
itu meramalkan pecahnya suatu revolusi kekerasan kepada para penguasa, jika
mereka tidak menyetujui perubahan struktural yang meniadakan keterbelakangan
400 tahun perbudakan dan kolonialisme. Kelima, kepada para muda di Amerika
Latin yang mendesakkan suatu revolusi kekerasan, Helder Camara menunjuk pada
Revolusi Kebudayaan yang tidak hariya meniru model-model revolusi yang asing
dan impor, tetapi mematangkan suatu revolusi khas dan asli.
Konperensi di Puebla, Meksiko
Sebagai penerus Konperensi Medellin 1968,
Konperensi Uskup se Amerika Latin di Puebla tahun 1981 tidak lepas dari banyak
ketegangan. Menjelang Konperensi Puebla dimulai, banyak kekhawatiran timbul
bahwa, para Pemimpin Gereja Amerika Latin akan melunak dan sedikit banyak
menyerah kepada para jenderal-diktator pemerintah-pemerintah Amerika Latin yang
semakin mengganas, sedangkan pendapat-umum Amerika Serikat semakin keras
menjurus ke sebentuk Perang Dingin baru, skeptis terhadap bantuan ke
negara-negara dunia ketiga. Memang dari Dokumen Persiapan (Documento de
consulta) yang dipersiapkan oleh Sekretaris Jenderal CELAM (Consejo Episcopal
Latino-americano),[xviii] Lopez Trujillo, yang terkenal konservatip, timbullah kesan yang
menimbulkan kecurigaan bahwa, inti persoalan konsensus Medellin 1968 dahulu
secara halus akan dibelokkan ke arah pembicaraan abstrak tentang
"sumbangan umat katolik di Amerika Latin menghadapi perubahan kebudayaan
agraria ke kebudayaan industri" dan sebagainya, sehingga esensi solidaritas
Gereja dengan kaum miskin dan tuna-hukum secara diam-diam akan dikesampingkan,
sementara pandangan teologis dikembalikan lagi ke konsep tradisional Barat yang
abstrak. Ada sebabnya.
Selama duabelas tahun pengalaman
sejak 1968, di kalangan sejumlah Uskup (juga Vatikan) timbul kekhawatiran,
bahwa keputusan-keputusan Medellin akan dijuruskan ke arah Marxisme, seperti
yang pernah terungkap dalam Kongres "Kaum Kristen untuk Sosialisme"
di Santiago Chili, 1975, di bawah pimpinan teolog Gonzalo Arroyo. Selain itu,
di kalangan kaum militer jelas dengan keras diusahakan, agar di Konperensi
Puebla nanti, pengaruh Medellin sedapat mungkin harus dibelokkan ke kanan. Bahkan
dari CIA pun telah bocor dalam harian Le Monde, Paris suatu instruksi kepada
agen-agen CIA, bahwa:
"hanya sayap progresip dari
Gerejalah yang boleh ditentang. Jangan Gereja sebagai institusi atau Uskup-uskup
sebagai kelompok ... Haruslah ber-tubi-tubi diulang-ulang, bahwa sayap
progresip itu berkait dengan komunisme internasional."
Memang Dokumen Persiapan Konperensi
Puebla (1981) titik-tolak lain dari Medellin. Permasalahan tidak lagi
diletakkan dalam konteks praktis realita, tetapi abstrak deduk-tif ditolakkan
dari prinsip saran suatu "ma-syarakat baru" (Nr. 212) yang harus
"berkebudayaan Kristen". Namun dalam pasal Nr. 357 ternyata bahwa
"kebudayaan Kristen" tersebut diidentifikasi dengan kebudayaan Barat,
yang tumbuh dari iman-kepercayaan kepada Wahyu Tuhan yang menuntun sejarah yang
dari pihak satu berdasar pada Injil, dan di pihak lain pada Teknologi moderen
(Nr 206). Documento de consulta yang datang dari sekretaris Jenderal CELAM
Alfonso Lopez Trujillo dan penasehat ahlinya seorang Jesuit Belgia Roger
Vekkemans S.J. itu sangatlah mengecewakan para pejuang di paguyuban-paguyuban
basis, kaum teologi pemerdekaan dan para Uskup, sebab dalam konsepsi yang
diusulkan itu, memang betul ditolak model pengembangan masyarakat ala
kapitalisme liberal maupun model kolektivis-marxis, sehingga Gereja Kristen,
akan tetapi dengan tafsiran teknologi moderen dan kebudayaan industri sebagai
salah satu "sendi kebudayaan di hari depan". Secara implisit Gereja
Amerika Latin lalu dianjurkan menerima dan prinsipiil mengakui para pendekat
dan protagonis teknologi moderen itu, yakni transnational corporations yang
memelaratkan rakyat, sebagai pendukung kebudayaan Kristen. Untunglah Dokumen
Persiapan yang abstrak, apalagi tidak benar itu, tidak diterima sebagai dokumen
dasar konperensi Puebla.
Sesudah mendapat kritik dari pelbagai
penjuru ahli teologi maupun paguyuban-paguyuban basis, telah disusun suatu
pegangan baru,[xix] Documento de Trabajo (Dokumen Kerja), yang tidak lagi mengidealkan suatu
"kebudayaan Kristen" yang abstrak.
Namun dalam praktek Konperensi Puebla
itu dokumen-dokumen dan naskah-naskah pegangan lain tidak. sangat dihiraukan
oleh para Uskup. Mereka lebih suka spontan dari hati-nurani berbicara dengan
semangat dan nada keNabian, artinya Persaksian Kebenaran. Pertama, dengan suara
jaya seratus tujuhpuluh delapan lawan satu suara abstain, Konperensi Puebla
Meksiko 1981 konsekuen meneguhkan segala yang sudah dimulai dan diperkembangkan
sejak Medellin, memerdekakan massa miskin dari belenggu-belenggu sosio-ekonomi,
politik dan kebudayaan. Kedua, di dalam soal interen Gereja sendiri, para Uskup
ingin, agar semakin meninggalkan konsep Gereja "untuk rakyat", jadi
suatu gereja yang terlalu klerikal dikuasai hirarki (yang tidak ditentang
tetapi diletakkan dalam proporsi sebenarnya). Sistem piramida sentralistis yang
lama diubah ke susunan Gereja "dari" dan "bersama" umat
rakyat. Maka sekali lagi diteguhkan praksis dan proses paguyuban-paguyuban
basis yang mengulurkan tangan ke massa paling luas di Amerika Latin.
"Permasalahan paguyuban basis ini," demikian Ketua CELAM, Kardinal
Aloisio Lorscheider: "lebih terletak pada soal mentalitas, daripada soal
struktur."[xx] Hal yang ketiga ialah pengisian arti Pemerdekaan itu. Untuk menghindarkan
salah-paham istilah Teologi Pemerdekaan tidak dipakai dalam Dokumen Keputusan Konperensi
Puebla, diganti dengan Teologi tentang Pemerdekaan. Jelas seperti yang
dikatakan oleh Kard A. Lorscheider tadi, arah pokok (konperensi) bagiku ialah;
Teologia de la Liberacion. (teologi tentang Pemerdekaan). Artinya, kami
berbicara tentang pemerdekaan "dari" dan pemerdekaan "ke"
dari Dosa dan segala akibatnya (ketidakadilan dan sebagainya) dan ke arah
kedekatan kita dengan Tuhan dan sesama manusia. Dari situ keluarlah kerukunan
solider, dan begitulah kita datang pada "aksi."Kami menyebutnya
Evangelisacion liberadora, suatu pewartaan Kabar Gembira yang benar-benar
memerdekaan manusia.
Perflial ini kekuatan kita yang besar ada pada umat-umat kecil pada
basis-basis rakyat. Di sanalah orang mudah saling mengungkapkan diri dan
tolong-menolong. Kelompok-kelompok basis itu tidak hanya terbentuk atas dasar
Katolik, tetapi Oekumenis (kerukunan antar umat-umat yang berlainan agama). Di
samping anggota yang Katolik ada juga yang Protestan atau juga yang tidak
beragama sama sekali. Titik-tolak selalu masalah-masalah kongkrit. Bagi kami
yang tinggal di sini, ada kebutuhan apa, dan apa yang kurang? Bagaimana orang
dapat saling menolong, misalnya jika salah seorang terkena sakit? Sebab dengan
begitu orang dapat merasa bahwa dia diakui sebagai pribadi. Inilah perbedaan
dari susunan "bapakisme". Tujuan kita ialah agar orang-orang kita
menjadi kritis dan berjiwa merdeka."[xxi] Hal yang keempat
ialah masalah inkulturasi, bagaimana mengingat kebudayaan kongkrit, Gereja
dapat merakyat dan membudaya secara pribumi. Asas-asas Kristen berlaku di
seluruh dunia, akan tetapi bagaimana "ungkapannya" dan
"penghayatannya"? Bagaimana iman dapat
diekspresikan secara autentik, jujur, dan benar dalam kerangka, dan iklim
kebudayaan Amerika Latin? "Di Medellin dibicarakan permasalahan
"kemasyarakatan", struktur ketidakadilan dan sebagainya. Itu semua
tidak kami tinggalkan. Namun di Puebla ada sesuatu yang baru yang tumbuh, ialah
pemecahan soal-soal inkulturasi. "[xxii]
Namun Teologi Pemerdekaan bukanlah
(tidak akan) sesuatu yang telah bulat selesai, melainkan suatu proses yang
selalu berdialektik dengan realita yang serba berkembang. Ada tiga arus besar
di dalamnya, ialah pertama, suatu teologi pemerdekaan yang merakyat berupa perjuangan
perubahan radikal dari struktur-struktur kemasyarakatan (khususnya ekonomi dan
politik pembelengguan) berupa pendidikan pemerdekaan mental yang berwarna
kritis, nasional dan berhaluan sosialisme Kristen. Kedua, su'atu teologi
pemerdekaan yang kategorial berorientasi Marxis, dengan inti gerakan "Kaum
Kristen untuk Sosialisme." Ketiga, suatu teologi pemerdekaan dalam arti
penghayatan Injil secara konsekuen, antara lain dalam sikap prinsipiil
non-violence.
Ketiga arus itu masih serba bergerak
dan batas-batasnya sering kabur. Tetapi dalam satu-dua hal mereka seia-sekata,
ialah perihal, menolak dalih "Keamanan Nasional" yang didengungkan
oleh para diktator militer untuk menyelubungi struktur-struktur ketidakadilan
serta aksi-aksi teror mereka melawan rakyat yang sering memberontak bela diri.[xxiii] Semua sadar,
betapa jahat kapitalisme-liberal dengan perusahaan-perusahaan transnasional
sebagai intinya, yang mengurung dan menghisap negeri mereka. Gereja dan umat Katolik dalam struktur ketidakadilan secara prinsipiil
tidak boleh bersikap netral, dan bahwa sikap beriman tidak bisa lepas dari
sikap politis. Bagaimana sikap politis itu akan diungkapkan, terserah pada
sikon dan konteks. Tetapi umumnya diakui bahwa, analisa dan metoda praksis yang
bersandarkan atas "beberapa" unsur ajaran Karl Marx dapat berguna. Di
Amerika Latin (jadi dalam konteks kongkrit), seorang Katolik
"dapat" dan "boleh" dengan beberapa prasyarat, mengakui dan
mempergunakan alat analisa serta metoda Marxis tanpa menjadi seorang atheis. Namun
diakui juga, bahwa analisa dan metoda Marx bukan satu-satunya jalan yang dapat
dilalui proses pemerdekaan. Teologi pemerdekaan memang[xxiv] tumbuh dalam alam
rakyat yang miskin, bodoh dan menderita dan beriklini lain sama sekali dari
teologi "Barat" yang banyak mengandung unsur-unsur tak kentara dari
kebudayaan borjuis/kapitalis liberal. Pemerdekaan politik dan ekonomi bukanlah
tujuan terakhir dari rakyat yang menderita, melainkan hanya dimensi-dimensi
bagian saja, namun bersifat asasi bagi kemerdekaan manusia utuh yang harus
dibebaskan dari dosa dalam segala akibat serta bentuknya.[xxv]
Demikianlah rakyat harus menuju ke suatu status atau lebih tepat,
dinamika kemerdekaan yang dekat dengan Tuhan serta melaksanakan cinta-kasih
kepada sesama manusia, tanpa memandang ras, agama maupun kedudukan. Kemerdekan dalam arti sejati baik mendalam/immanen maupun transenden
pertama-tama perlu dipraktekkan dahulu sebelum orang berteori.
Bagaimana di Asia?
Di Asia Teologi Pemerdekaan sangat berpengaruh. Di Filipina yang
situasinya mirip Amerika Latin dengan mayoritas Katolik, berwarisan kebudayaan
agama Katolik-Spanyol dan keadaan ekonomi-sosial serta politik yang dikuasai tuan-tuan
tanah dan para komprador. Begitu juga di Korea Selatan yang struktur
industrialisasinya menanjak seperti di Brasil, namun di bawah tangan besi.
Tetapi di kedua negara itu, seperti di Amerika Latin, teologi pemerdekaan
dimungkinkan berkat sikap profetic yang tegak prinsipiil dari dua pemimpin
berwibawa, Gereja Katolik; di Filipina, Kardinal Sin dan di Korea Selatan,
Kardinal Kim, yang kedua-duanya tak gentar bersikap kenabian dalam hal
melakukan pembelaan bagi keadilan demi kaum tertindas.
Roma mengenai: Hubungan Antara
Kesejahteraan Manusiawi dan Keselamatan Kristiani. Dalam dokumen ini
ditegaskan, bahwa kita tidak boleh mendewakan diraensi politik praktis. Namun
Gereja benar-benar mendengarkan tangis kaum miskin dan tertindas. Ada kesatuan
antara Penyelamatan Kristiani dan usaha-usaha pengangkatan manusia dari lembab
kesengsaraan duniawi ke tingkat yang lebih baik, namun janganlah hendaknya
kesejahteraan duniawi diidentifikasi dengan keselamatan Kristiani/IIahi yang
dari kodratnya mengatasi segala yang duniawi. Jangan juga dikaburkan
batas-batas antara "Kerajaan Allah"dengan "Kemajan
manusia". Dalam Gereja diperbolehkan pluralisme dalam pandangan politik
praktis. Dari pihak lain jangantah ditafsir dan diperkuat kesan, seolah-olah
Gereja dengan sikapnya yang prinsipiil itu menyelubungi ketidakadilan. Gereja
membela kaum miskin dan yang tertindas. Tetapi secara Gereja.
Di Indonesia Teologi Pembebasan hampir tidak dikenal oleh para
imamnya, apalagi oleh umat. MAWI adalah badan pimpinan dari suatu Gereja
yang merupakan minoritas di Indonesia,
sedangkan para anggotanya kebanyakan terdidik dalam lingkup pengaruh teologi
Barat, namun yang di pihak lain sudah banyak diresapi unsur-unsur kebudayaan
pribumi yang terkenal sebagai soft nation, dengan segala akibatnya,
positif maupun negatif.
Umumnya Gereja Katolik di Indonesia baru berjasa kepada pihak yang
miskin dan tertindas dalam bidang caritas, kasih sayang yang menghadiahkan dana
dan jasa. Belum pada dimensi struktural.[xxvi] Perkecualian di
sana-sini sporadis tentu saja ada, tetapi seperti yang (barangkali keterlaluan
tetapi karakteristik) dikatakan oleh seorang wartawan suatu harian terkenal di
ibukota: "Gereja Katolik di Indonesia masih Gereja Dangdut."
THE END.
[ii] Informasi baik tentang sejarah Amerika Latin dari
aspek Pemerdekaan, lihat antara lain, Enrique Dussel, History and the Theology
of Liberation (New York, 1976).
[iii] Rakyat yang tertindas di Amerika Latin (sebagian
terbesar beragama katolik) seumumnya membedakan "prinsip" hirarki
pimpinan Gereja selaku harta pusaka yang tidak mereka lepaskan, demi persatuan
dan pemersatuan umat beriman. Akan tetapi, dalam
perkara-perkara duniawi dan politik praktis yang tidak langsung mengenai
dalil-dalil resmi iman dan moral, rakyat cukup merdeka dalam sikap. Jadi lain
pertumbuhannya dibanding dengan perkembangan sekularisme dan anti-klerikalisme
(anti imam-imam hirarkis) yang terjadi di Eropa Barat misalnya. Maka sering
aneh (tetapi bijak dalam konteks dan sikon) bila terjadi seorang
presiden-diktator yang dalam soal nasib kaum buruh dan tani benar-benar lawan bermusuhan
terhadap seorang uskup-agung yang membela buruh dan tani itu. Dalam
peristiwa-peristiwa resmi umum seperti hari-hari nasional atau penerimaan
kunjungan Sri Paus, bersatu di alun-alun upacara keagamaan, di mana uskup-agung
itu sering (dengan kata-kata mulia tentu saja) menghantam habis-habisan sang
presiden-diktator yang duduk di situ, tidak sebagai presiden tetapi sebagai
umat Gereja biasa. Hubungan-hubungan antara penguasa politik dan Gereja di
Amerika Latin meraang cukup rumit, tidak dapat dihitamputihkan simpel belaka
menurut bagan-bagan "rasional" yang berlaku di negeri-negeri lain.
Maklumlah, dari tradisi dan keyakinan yang dididikkan sejak anak masih kecil,
Gereja memiliki kedudukan kewibawaan yang sangat besar terhadap mayoritas rakyat,
sampai dengan para bankir atau jenderal pun. Dari pihak lain, kebrutalan para
penguasa (dari yang paling atas sampai polisi paling bawah) juga tidak pernah
kendor sejak Cortez dengan para conquistadoresnya memulai tragedi kekejaman dan
keserakhan yang ditopengi dengan slogan Pro Ecclesia et Patria, demi Gereja dan
Tanah air.
[v] Keputusan-keputusan Medellin, The Church in the
Present—Day Transformation of Latin America in the light of the Council, 2 VIs.
Position Papers, II. Conclusious. (Washington,
1973).
[vi] a.l. 1) Teologia de la liberacion. Perspectivas, Salamanca 1972, Terbitan pertama (lima, 1971). 2) Teology of liberation,
History, Politics and Salvation, (New York, 1973).
[vii] 1) Kuliah HUT Universitas Ratolik Nijmegen Holland, 13 Oktober 1978. 2)
Eurique Dussel, op. cit.
[viii] "Refleksi bukan akhir, melainkan bagian dari suatu proses yang
mengubah dunia." Namun, seperti yang dikomentarkan oleh teolog E;
Schillebeekx: "Jenis menjalani teologi seperti itu... tidak dimaksud
sebagai pencerminan mumi belaka dari suatu gerakan pemerdekaan yang sudah
ada... bukan sebentuk ideologi yang menyertai gerakan-gerakan itu, akan tetapi
suatu renungan teologis yang kritis-teoretis (jadi demikian lalu sering
mengoreksi)...
Teologi-teologi Pemerdekaan ingin
membuat Firman Allah, Kitab Suci dan Injil menyentuh dalam pembicaraan
(besprechbar) dan mudah dilaksanakan (operationalisierbar) di dalam konteks
penindasan dan tekad untuk merdeka. Jadi suatu teologi, dapat kita katakan
begini, "Kabar Gembira untuk para miskin", (Kitab Yesaya 52,7). Dari
bacaan kritis tentang "Tanda-tanda Zaman" dalam cahaya Kabar Gembira
para teolog itu mengihtiarkan suatu penciptaan struktur dari proses-proses
pemerdekaan secara kongktit ... Teologi selaku perenungan tentang iman
Kristiani sebagai praxis pemerdekaan." (Pidato HUT Universitas Nijmegen,
Holland 1978). Maka perumusan G. Gutierrez tentang definisi Gereja misalnya
berbunyi: Gereja adalah tanda yang tampak dari kehadiran Allah di dalam
aspirasi-aspirasi (rakyat) dan yang mendampingi demi pemerdekaan dan perjuangan
menuju ke masyarakat yang lebih manusiawi dan lebih adil." (Theology of
liberation, New York, 1973, p. 262). Bila Yohanes Sang Penginjil (di bawah
pengaruh alam pikir dan cara berbicara para filusuf Yunani) menulis tentang
Kristus: "Sang Sabda telah menjadi daging (manusia) maka teolog
Universitas di El Salvador, Ignacio Ellacuria S.J. menerjemahkan teks itu
secara kontekstual Amerika Latin: "Sang Merdeka telah menjadi
daging." Terbitan bahasa Inggeris, Freedom Made Flesh, (The Mission of
Christ and His Church: New York, 1976).
[ix] Sebagai contoh akhir Desember 1977 di Jerman
sekelompok ahli teologi Katolik yang berwibawa, antara lain W. Dirks, N.
Greimacher, Karl Rahner, H. Vorgrimler, J. Zwiefelhofer ditambah lima ahli
teologi Protestan, profesor-profesor Gollwitzer, Kaesemann, Massing, Missalla,
Moltmann dan Siefer mengajukan "memorandum" yang ditujukan kepada
Pimpinan Gereja Katolik di Jerman; Isinya menyesalkan beberapa pembesar tinggi
Gereja Katolik di Jerman yang "mengadakan persekutuan gawat" dengan
seorang pater Jesuit Belgia Roger Vekemans S.J. dan Uskup-uskup Kolumbia Lopez
Trujillo dan Castrillon melawan Teologi Pemerdekaan. Vekemans adalah penasehat
ahli pada CEDIAL (Pusat Studi untuk Pengembangan dan Integrasi Amerika Latin)
dan Trujillo Sekretaris Jenderal CELAM, Konperensi Uskup-uskup Amerika Latin,
kedua-duanya di Bogota. Bersama dengan beberapa Uskup Jerman mereka membentuk
suatu "Lingkungan Studi Gereja dan Pemerdekaan", yang menyatakan Teologi
Pemerdekaan sebagai "baksil berbahaya yang menjalarkan wabah." Pada
hakekatnya ketakutan kelompok Vekemans-Trujillo dan beberapa Uskup Jerman yang
memimpin organissi bantuan material-spiritual kepada Amerika Latin itu ialah
ketakutan terhadap bahaya komunis. Ansich tidak salah, tetapi defacto sikap
mereka ditunggangi kapital besar dan konsern-konsern transnasional. Untuk
menghindarkan Gereja dari bahaya persekutuan (kendati pun tak tersengaja)
dengan kekuatan raksasa kapital besar yang memelaratkan rakyat Amerika Latin
itulah, memorandura para ahli teologi kedua agama Kristen itu ditulis dan
tersiar di pers.
[x] Sebagai akibat perkembangan sejarah Gereja yang di
masa lalu terlalu hanyut dalam soal-soal politik-praktis, sejak abad kesembilan
belas bandul sikap umat bergoyang ke ekstrim sebaliknya, sikap pemisahan total)
antara soal-soal agama dan negara/ masyarakat (sekularisme). Begitulah agama
(juga di Amerika Serikat) adalah soal yang menjadi sama sekali privat. Teologi
politis (politik dalam arti asli, kerjasama di dalam publik demi kepentingan
publik) menghendaki agar sikap Privatisierung agama itu ditinggalkan, karena
tidak benar. Manusia Kristen juga wajib aktif sebagai orang Kristen untuk
membangun suatu "dunia fana" yang lebih baik. Tetapi tidak dengan
cara melebur soal agama dan soal kemasyarakatan/negara dalam satu bubur
(teokrasi), melainkan dalam suatu "dinamika, dialektis, dialogis"
antara dimensi iman/agama dan dimensi kemasyarakatan/kenegaraan, teristimewa dalam
hal struktur-struktur ketidakadilan dan penindasan kaum miskin-lemah.
Politische Theologie secara spontan tanpa refleksi teoretis telah
dilakukan/dianut oleh umat/Gereja Katolik di Indonesia, karena prinsip-prinsip
Pancasila sangat cocok dengan sendi-sendi pemikiran Politische Theologie,
Paul Tillich dari kalangan teologi Protestan yang melihat egoisme
sebagai dasar masyarakat borjuis juga menyarankan suatu Sosialisme Kristen
sebagai kritik terhadap sosialisme Marx dan tanggungjawab riil kaum Kristen
terhadap sejarah dan perkembangan masyarakat.
[xii] Disitir oleh E. Schillebeelkx O.P. ibid.,
halaman 9 dari Helder Camara, Celam: Histories implacable, in: Cross Currents,
28, 1978, halaman 56.
[xiii] Ajaran mengenai Hari Terakhir, tentang Harapan pada
Yang Sejati (Surga, Hidup Baka) setelah kurun hidup fana manusia/bangsa manusia
usai.
[xv] Dalam konteks penindasan rakyat oleh penguasa yang
lalim, manusia pada dasamya terlempar dalam sikon yang sama dengan suatu bangsa
yang tanpa salah diserang oleh agresi musuh. Misalnya Rakyat Palestina yang
sesudah Perang Dunia II selesai, diusir begitu saja dalam satu malam oleh kaum
Zionis dari tanah yang sudah berabad-abad mereka diami. Orang dalam situasi dan
konteks semacam itu oleh Gereja pun diakui secara resmi hak-asasinya untuk
membela diri; kendati dengan kekerasan senjata. Tentu saja kekerasan
senjata atau perang selalu disarankan hanya sebagai sarana terakhir apabila
cara-cara damai sudah gagal semua. Lihat juga Catatan kaki 16: Pandangan
Uskup-agung Dom Helder Camara tentang Camilo Torres.
[xvi] Jadi justeru realita yang "primer"
(idenya, abstraksinya, ajaran tentangnya itulah yang justeru sekunder); Jadi
buka cuma "terjemahan" belaka dari "naskah-asli" di
khayangan dunia ide sana." Gereja dan agama ada, tidak untuk kaum
psikoanalis, tidak untuk skripsi teologis para sarjana, tetapi primer untuk
"kehidupan riil" untuk "membangun sejarah" bangsa manusia
yang semakin tua sewajarnya semakin dewasa serta semakin baik juga. Surga
"sudah" hadir dalam cara tertentu, dalam dimensi realita dunia dan
semesta galaksi ini, walaupun surga dan dunia itu dua dimensi yang tidak
sebidang atau sekodrat. Namun keabadian sudah hadir dalam kefanaan historis
sekarang. Tuhan bukan sesuatu "pahala" kelak di kemudian hari
sesudah kita dikubur, tetapi sudah diantisipasi yang berhembus di dalam hidup
fana kita sekarang ini juga; berbentuk segala kebaikan, pengangkatan martabat
manusia, cinta-kasih dan pengorbanan manusia-manusia secara manusiawi. Maka
tugas umat Kristen bukan saja berpelukan platonik dengan prinsip-prinsip
abstrak atau ajaran-ajaran universal-abadi, tetapi tidak ada sangkut-pautnya
dengan realita (ingat dualisme: Katolik di dalam gedung gereja, tetapi kafir
di luar gereja), melainkan riil dan faktual menyumbang, agar dunia semakin
menjadi surga menurut kehendak Tuhan, dan tidak dijadikan kancah saling bunuh
dan saling menindas.
[xvii] Wawancara Uskup-Agung Dom Helder Camara dengan L.
Kaufmann S.J. dari majalah Orientierung, 30 April 1968, Zurich, Swiss.
[xix] Antara lain J.B. Metz "Puebla: Kriche, Staat und Politiek"
dalam Orientierung 15/31 August 1978, halaman 186-167;
[xx] Wawancara Ketua CELAM, Kardinal A. Lorscheider dengan L. Kaufmann,
Orientierung 15 September 1978, halaman 181.
[xxiii] Kardinal Aloisio Lorscheider, Ketua CELAM (Konperensi/Majelis Wali Gereja
Amerika Latin): "Memanglah kami menilai Ideologi Ajaran Keamanan
(Nasional), seperti yang dilaksanakan praktis oleh pemerintah-pemerintah
militer, juga dalam sikap mereka terhadap Gereja, sebagai sangat
berbahaya." Wawancara dengan Ludwig Kaufmann S.J, dari majalah
Orientierung, Zuerich, Swiss, 15 September 1981.
[xxiv] Secara prinsipiil, obyektif abstrak, metodis ilmiah, orang Kristen
mustahil sekaligus sebagai seorang Marxis, karena banyak sekali ketidakcocokan
fundamental, antara lain klaim atheis dalam ajaran Marx. Hanya saja perlu
dipresiskan, definisi atheis itu apa.
Namun dari segi psikologis, subyektif
(jadi tidak prinsipiil) dalam suatu konteks kongkrit eksistensial, seperti yang
dirasakan oleh manusia/kelompok orang yang serba menderita, tertindas oleh
suatu sistem kapitalisme secara struktural, bisa terjadi situasi-kondisinya
"memaksa" dia untuk yakin, bahwa beberapa analisa dan metoda Marxlah
yang dapat menolongnya. Dan memang tidak dapat diingkari, bahwa historis
faktual Karl Marxlah yang untuk pertarma kali secara metodis (walaupun dalam
banyak hal keliru dan tidak didukung oleh realitas sejarah kemudian) menelanjangi
struktur penindasan kapitalisme. Kita boleh saja menganggap ular itu berbahaya
tinja kotor dan sebagainya, akan tetapi jangan mengatakan, bahwa ular dan tinja
dalam sistem ekologi itu tidak berguna.
Beberapa hikmah (kegunaan dari tinja)
yang berharga dari ajaran Marx (muda) bagi seorang Kristen antara lain ialah:
1. Filsafat (baca: beragama) itu
tidak untuk "memahami" dunia (baca: memahami rahasia-rahasia Tuhan) tetapi
untuk "mengubah" dunia (baca: berbuat baik membongkar
kejahatan di dunia, antara lain kejahatan penindasan struktural kaum
miskin, menjadi dunia yang lebih adil dan lebih baik). Jadi adalah primer,
dan sekunder (atau tertier) baru teori (ajaran, dogma abstrak). Dalam bahasa Yesus
dan Santo Paulus dalam Al Kitab, cinta-kasih riil harus didahulukan daripada
hukum/ peraturan agama).
2. Penanaman bibit bagi metodologi
ilmiah, yang kelak diperdalam lagi oleh M. Horkheimer, tentang dialektik. Yakni
dinamika saling buah-membuahi antara Handeln (tindak) dan Denken (pikir),
sehingga tindakan beriman kita terlalu saling buah-membuai dengan
refleksi/renungan kita tentang yang kita imani, dalam dialektik
"koreksi" dan "ciptaan". Kreatip serba hidup, kendati pada
prinsip dasar "identitas iman" kita yang tak tergoyahkan oleh waktu.
3. Pemahaman, bahwa sejarah itu data
tetapi sekaligus himbauan untuk dinibab (baca: diperbaiki). Manusia miskin
tertindas "dapat" merubah "nasibnya", jika ia tahu
struktur-struktur apa yang dibuat oleh orang lain padanya, sehingga ia
"menjadi" dan "disuruh tetap" miskin. Orang-orang miskin
pun harus bersatu, agar mampu memperbaiki keadaannya.
4. Seperti seorang Kristen baik tidak bisa sekaligus menjadi seorang
Marxis (prinsipiil), demikian pun seorang Kristen baik juga tidak mungkin
menjadi seorang penganut kapitalisme-liberalisme tulen jalan ketiga atau
keempat kelima harus ia cari.
5. Manusia Kristen harus menyumbang pikiran dan percobaan praktis demi
kebudayaan industrialisasi yang manusiawi, lepas dari mental Faust dan kapitalisme/komunisme,
juga lepas dari keadaan perbudakan yang untuk pertama kali ditelanjangi oleh
Marx, yakni Entfremdung, alienation, keasingan yang ditimbulkan oleh sistem
industri kapitalistis.
6. Manusia Kristen harus memetik hikmah tuntutan Marx, lebih menghayati
apa yang biasanya dianggap "kafir", yakni "materi". Materi
adalah ciptaan Tuhan juga dan seorang Kristen yang utuh pada hakekatnya harus
menjadi seorang materialis yang yakin, tetapi materialis secara benar.
Materialisme yang benar justeru memperdalam pemujaan kita terhadap Allah Maha
Pencipta Segala.
7. Dengan demikian seorang Kristen harus melebihi seorang Marxis
dogmatis, menjadi "manusia" yang semakin "manusiawi".
8. Kritik Marx "Agama adalah candu" jangan hendaknya kita
abaikan dengan sikap mental yang sombong dan puas diri, seolah-olah orang
beragama itu "dengan sendirinya" orang baik. Kritik itu justeru
harus kita terima dengan penuh syukur sebagai koreksi yang pahit tetapi obat
mujarab, agar kehidupan agama kita lebih sehat, sebab agama pun bukan Tuhan
Allah. Jadi dapat tercampur dengan lekatan-lekatan bikinan manusia sendiri
yang mengotorinya. Bagaimana manusia Kristen dapat memurnikan agamanya? Dan
bagaimana ia dapat meningkat dari orang beragama melulu, agamawan menjadi
manusia yang beriman Kristiani, mengikuti teladan Yesus dari Nasaret?
[xxvi] Suatu bentuk "Medellin" Asia telah pernah berlangsung di
Bangalore, 16 Juli sampai 14 Agustus '73. Delegasi dari Bangladesh, India,
Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand dan Vietnam
sangatlah bagus dan penuh hikmah. Namun sampai sekarang, gemanya di Indonesia
dapat dikatakan hanya mengambang. Kebudayaan khas Katolik di Indonesia
rupa-rupanya belum mampu tumbuh. Yang seumumnya dan praktis tampak ialah
kebudayaan atau sikap pribumi biasa (dengan segala campuran eklektisisme normal
pula) seperti golongan-golongan lain. Khususnya di Jawa kita baru melihat orang
Jawa yang berbaju Katolik, seperti banyak orang Jawa pula yang berbaju Islam.
Hal itu sebetulnya normal juga, karena pengendapan prinsip-prinsip
Kristen/Katolik di Indonesia belum lama. Pengaruh Katolik dari zaman
Spanyol/Portugis dapat dikatakan tidak berarti.