DIALOG DENGAN H. DOEL ARNOWO, KETUA DEWAN
PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN NASIONALISME INDONESIA (PNI)* TENTANG MASALAH
REGENERASI. Thn 1980.
Pembangunan Nasionalisme Indonesia
(PNI) adalah sebuah organisasi sosial yang didirikan oleh beberapa orang bekas
anggota Partai Nasional Indonesia, pada tanggal 20 Mei 1979 di Malang, Jawa Timur,
dengan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi. Organisasi
sosial ini untuk saat sekarang menekankan kegiatan dalam bidang pendidikan.
Sebetulnya tidak ada masalah dalam pergantian generasi. Orang tua semakin tua. Dalam hal fisik dan psikis dia semakin menurun. Secara otomatis yang muda harus muncul sebagai pengganti, dan dalam keadaan demikian, orang tua sendiri jangan hendaknya berpikir untuk tetap duduk pada posisinya. Sudah menjadi kewajibannya untuk menyerahkan segala sesuatunya—terutama mengenai hidup bernegara—kepada yang muda-muda. Tendensi untuk "terus bercokol" itu, ada pada saat sekarang.
Tidak Diberikan Contoh yang Baik
Yang menjadi persoalan, sebenarnya adalah
orang tua harus memberi contoh yang baik dalam semua soal. Contoh baik inilah
yang jarang saya lihat dewasa ini. Negeri kita banyak rusaknya dalam bidang
sosial dan ekonomi. Dalam dunia usaha misalnya, fasilitas-fasilitas banyak
diberikan kepada golongan non pribumi, padahal fasilitas seperti itu seharusnya
dapat diberikan dan dinikmati golongan pribumi. Untuk masalah ini, terlihat
kurangnya kesadaran nasionalisme. Yang jadi penyebab adalah uang. Ada saja oknum yang
berbuat demikian. Itu pulalah yang menjadi sumber kurangnya partisipasi
masyarakat dalam pembangunan, karena mau tidak mau orang akan merasa
dianaktirikan. Timbul jurang dalam masalah ini, dan jurang itu harus diatasi.
Kalau tidak, rasialisme dapat saja muncul. Rasialisme dapat timbul kalau
hal-hal yang mengabaikan nasionalisme terlalu banyak diperlihatkan, dan kita
tahu sendiri bahwa akibat rasialisme itu sangatlah buruk.
Ketika kita mengharapkan adanya
contoh baik itu, kita melihat moral orang tua banyak luntur. Kalau mereka
berpidato, isinya selalu bagus. Namun di balik itu, kenyataan bukanlah
demikian. Orang muda menyaksikan semuanya ini.
Di luar pemberian fasilitas dalam
bidang usaha seperti yang saya sebut tadi, masih banyak contoh buruk lainnya
yang tampak. Ada anak pejabat menembak mati orang lain, namun ia bebas
dari hukuman. Karena itulah, saya berpendapat dalam masalah generasi,
orang-orang tua seharusnya memberikan teladan kepada yang muda-muda.
Dialog Bukan Tugas Pemerintah
Dalam
menyiapkan generasi berikutnya— orang-orang pengganti—saya pikir
pemerintah tidak perlu langsung campur tangan. Tugas itu harus diserahkan
kepada lembaga-lembaga pendidikan yang ada dalam masyarakat dan kepada
organisasi-organisasi politik. Namun, kecenderungan yang tampak sekarang
bukanlah demikian. la tampak "terpimpin" seperti dahulu, misalnya
untuk demokrasi dan masalah kepemudaan. Kini ada Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).
Bagaimana hasilnya setelah KNPI didirikan? Coba bandingkan dengan pemuda di
masa kolonial.
Kalau para pemuda tahu, bahwa dahulu
penjajah tidak memberi jalan untuk bangsa kita buat jadi pintar dan jadi kaya,
bandingkan ia dengan keadaan sekarang. Saya ingin tahu bagaimana tanggapan para
pemuda, dan saya khawatir mereka kurang memikirkan hal itu. Dalam sebuah
diskusi panel yang diselenggarakan di Surabaya,
saya kemukakan bahwa nasionalisme kita timbul karena pemerintah kolonial tidak
memberi jalan bagi bangsa kita untuk pintar dan membuat kita semakin miskin.
Dari pernyataan itu saya mengharapkan munculnya pertanyaan dari pemuda-pemuda
yang hadir untuk menjelaskan masalahnya. Tak seorang pun yang mengajukan
pertanyaan buat mempermasalahkannya. Mungkin mereka tidak mengerti sama sekali,
atau mungkin mereka terlalu sibuk dengan urusan dirinya sendiri, saya tidak
tahu. Padahal, jika ingin memperbaiki masa sekarang, kita harus memiliki
pemahaman tentang masa lalu.
Motivasi Berubah, Rakyat Ditinggalkan
Orang memasuki partai politik di
masa penjajahan dahulu, selalu disertai motivasi dan cita-cita bahwa tujuannya
adalah untuk memerdekakan bangsa. Segala risiko yang menghadang siap untuk
dihadapi, baik ditangkap, dipenjarakan, dibuang atau pun jadi sengsara. Itikad
seperti itu ada pada Bung Hatta dan kawan-kawannya di Negeri Belanda, dan juga
begitu pada Bung Karno serta beberapa pemimpin yang ada di tanah air kita.
Begitulah prinsip mereka dahulu. Pada masa sekarang, katanya orang masuk partai
politik untuk menampung aspirasi rakyat buat kehidupan yang lebih baik. Tetapi,
ternyata prinsip ini hilang, dan kini orang berpikir bahwa karir politik
dijadikan jalan untuk mencapai kedudukan dan mengumpul kekayaan. Saya melihat
tidak hanya dari partai lain. Dari partai saya sendiri—orang-orang PNI
dahulu—juga demikian, yang mungkin disebabkan oleh kebodohannya atau
mungkin pula oleh ketamakannya.
Kaderisasi Terganggu
Sebetulnya masalah ini dapat kita
pulangkan kepada peranan organisasi untuk menyelenggarakan kaderisasi. Tetapi
di sini kita terbentur pada campur tangan penguasa. Pengawasan dan kecurigaan
sekarang cukup banyak. Saya punya pengalaman-pengalaman pribadi dalam soal ini.
Jika sudah diakui bahwa kita menganut demokrasi, seharusnya perbedaan pendapat
adalah suatu kewajaran, dan ia tidak boleh dipandang sebagai musuh. Lihatlah di
Dewan Perwakilan Rakyat, oposisi tidak dibenarkan.
Seorang anggota Dewan Pertimbangan
Agung (DPA) pernah diutus untuk menemui saya, dan bertanya tentang pendapat
saya mengenai Demokrasi Pancasila. Terus terang saya menjawab, "Saya tidak
mengerti apa yang dimaksud dengan Demokrasi Pancasila." Saya hanya paham
apa yang dimaksud dengan demokrasi dalam pengertian yang biasa. Sampai sekarang
saya tak mengerti apa makna Demokrasi Pancasila.
Campur tangan pemerintah, yang
datang karena kecurigaan ini antara lain menghalangi jalannya kaderisasi yang
dapat mencetak orang-orang yang berprinsip dan berpandangan lebih baik. Dahulu
sebetulnya masalah kaderisasi partai saya itu (PNI lama) sudah terasa sebagai
kebutuhan, tetapi setelah pecahnya Gerakan 30 September 1965, muncul halangan
baru.
Setelah dilakukan fusi dari
beberapa partai politik di tahun 1975, Partai Nasional Indonesia (PNI)
bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bersama empat partai lainnya.
Saya melihat bahwa terutama dari bekas orang-orang PNI yang aktif dalam PDI,
aspirasi rakyat tidak terbawakan lagi secara baik. Karena itu saya dan beberapa
kawan bekas PNI yang tidak aktif dalam PDI mendirikan Pembangunan Nasionalisme
Indonesia (PNI) yang anggaran dasamya hampir sama dengan PNI lama. Namun,
dewasa ini kita tidak dapat mendirikan partai politik yang baru. Oleh sebab itu
dipilih bentuk organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan. Lewat
jalan inilah hendak disampaikan hakekat nasionalisme yang sesungguhnya kepada
generasi mendatang. Wadah pendidikan, seperti sekolah-sekolah dan kursus terasa
dibutuhkan, karena selama ini kita tidak memiliki sekolah. Kalau Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama (NU) sudah lama memiliki langgar, pesantren dan madrasah
sebagai tempat berpijak, dengan sekolah-sekolah yang akan didirikan, kita
sampaikan ajaran seperti yang kita terima dahulunya.
Memulihkan yang Telah Luntur
Dalam Anggaran Dasar Pembangunan
Nasionalisme Indonesia ini, cita-cita Marhaenisme dicantumkan. Nasionalisme
dan Marhaenisme itu sekarang telah luntur. Pemahaman kita tentang kemiskinan
saja misalnya, dapat dijadikan contoh. Karena itulah dengan PNI yang baru
berdiri ini, perhatian ditujukan ke desa-desa. Kita ingin generasi muda
memiliki kesadaran yang tinggi tentang bangsanya dan tentang negerinya yang
harus dibangunnya. Sebetulnya, kita bangsa Indonesia sekarang dengan kekayaan
yang kita punyai, dapat hidup baik dan senang.
Di
samping itu, sikap seperti yang diperlihatkan pemimpin-pemimpin partai yang
menjadikan organisasinya sebagai batu loncatan buat mencapai kedudukan, harus
dihilangkan. Dahulu orang Belanda mengatakan, "Seorang priyayi lebih
berharga dari seratus pemimpin rakyat." Tapi kita berpandangan sebaliknya,
"Seorang pemimpin rakyat lebih berharga dari seratus priyayi."
Tentunya di sini' pemimpin rakyat yang betul-betul berjuang untuk aspirasi dan
kepentingan rakyat banyak. Sikap seperti itu yang ingin kita tanamkan.
Gejala
yang diperlihatkan pemimpin kaum Marhaenis—kurang ikhlas, dan
meninggalkan aspirasi rakyat—sebetulnya mulai terlihat sejak pecahnya PNI
menjadi PNI Osa-Usep dan PNI Ali-Surachman. Setelah fusi diadakan ia semakin
merosot. Oleh karena itu saya berpendapat, sebaiknya pemerintah membiarkan saja
sembilan partai politik—yang diharuskan berfusi menjadi dua—itu
hidup sendiri-sendiri. Hanya saja, tentu perlu ada persyaratan. Jika
persyaratan-persyaratan tak terpenuhi barulah suatu partai tak diakui lagi
adanya. Dengan demikian, partai yang tinggal, betul-betul akan berakar dalam
masyarakat. Pemberian
bantuan dana dari pemerintah untuk partai-partai sebetulnya juga tidak baik.
Dana memang penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah ikatan organisasi
dengan anggotanya, Karena itu, biarkanlah partai dihidupi oleh anggotanya, dan
jangan terlalu banyak campur-tangan penguasa di dalamnya.
Peranan "Bapak"
Apakah lunturnya semangat
nasionalisme dan Marhaenisme itu terjadi karena kehilangan Bung Karno sebagai
bapak dan pengobar semangat? Mungkin juga ia terjadi karena itu. Tetapi kalau
kita bersikap demikian—semangat itu hanya ada selama sang Bapak
ada—tentunya sudah terjadi kultus individu.
Dalam hal memahami ajaran dan
cita-citanya, jangan sampai ada kultus individu, agar ia tetap ada dan tak
pernah luntur. Jangan hanya terpancang pada Bung Karno, tapi sadari tujuan
perjuangan yang sesungguhnya. Lembaga-lembaga pendidikan yang hendak didirikan
Pembangunan Nasionalisme Indonesia nanti, mudah-mudahan dapat menggantikan
peranan "pengobar semangat" itu.
Dalam menanggapi suara anak muda
dewasa ini, kita juga sering keliru. Dengarkan apa yang mereka katakan, beri
mereka kesempatan bicara, karena dia adalah orang-orang "masa
datang." Mereka tak perlu dicurigai, ditangkap, dan adalah buruk sekali
kalau kita menuduhnya bersangkut paut dengan PKI. Kita dengar orang-orang tua
berbicara misalnya tentang pewarisan nilai-nilai 45. Menurut saya sebelum
berkata, lakukanlah koreksi diri terlebih dahulu. Jika kita sendiri kotor, tak
pantas kita berkata tentang pewarisan nilai-nilai.
Saya melihat bahwa kini adalah
saatnya orang-orang muda untuk muncul. Walaupun saya bukan anggota PDI, kepada
Saudara Sanusi sebagai salah seorang pimpinan, saya katakan agar dalam kongres
yang akan datang ditampilkan yang muda-muda sebagai pimpinan. Yang tua-tua
cukup hanya mendampingi, memberikan advis jika diminta. Tujuannya tiada lain,
agar organisasi berjalan baik, dan kehidupan bernegara juga makin sempurna.
Seharusnya yang tua-tua dewasa ini harus bersikap jujur dan ikhlas, bahwa
tugasnya sudah selesai, dan memberikan tugas tersebut kepada generasi yang
lebih muda. Jika kita berkata bahwa 'yang muda masih belum mengerti apa-apa,'
berarti kita telah keliru.