Oleh: Helmi Junaidi
Saya
baru tahu kalau perancang lambang Garuda Pancasila adalah Sultan Hamid II dari
Pontianak. Ada di Wikipedia,
nama lengkapnya adalah Syarief
Abdul Hamid Al-Kadrie, seorang keturunan Arab Indonesia. Saya pertama kali tahu hal ini sewaktu secara tak sengaja membaca artikel Garuda Pancasila di website Badan Intelejen Negara Republik Indonesia. Tapi,
karena disebut sekilas saja, saya lalu googling mencari beberapa referensi yang lainnya. Tak saya sangka, ternyata perancang lambang Garuda adalah orang Arab,
seorang habib pula. Nama depan Syarief itu artinya memang sama dengan habib atau
sayyid.
Entah
kenapa kok tidak pernah diajarkan di sekolah sehingga jarang yang tahu. Beda
dengan nama pencipta lagu Indonesia Raya yang dihapal tiap anak sekolah. Mungkin
karena perbedaan pendapat Sultan Hamid dengan mayoritas politisi pada masa itu
yang menginginkan negara kesatuan sehingga namanya kemudian dihapus dari
sejarah.
Di
artikel wikipedia yang berbahasa Inggris disebutkan bahwa Sultan
Hamid menginginkan negara federal karena khawatir dengan dominasi
Jawa. Kekhawatiran tersebut ternyata di kemudian hari, bahkan sampai saat ini,
menjadi kenyataan. Kenyataan pahit bagi orang luar Jawa, Kekayaan daerah
dirampok habis-habisan sementara daerah-daerah penghasil kekayaan tersebut tetap
miskin merana, termasuk Kalimantan Barat, daerah Sultan Hamid. Hutan ditebang
habis dan uang hasil kayu-kayu gelondongan tersebut tak ada yang sampai ke
rakyat setempat. Sampai saat ini pun 70% uang rupiah cuma beredar di Jakarta,
dan tentu saja selalu dikorup habis, lihat artikel detik tadi dan di artikel DKI Jakarta, Wikipedia. Cuma
30% sisanya dibagi sebagai secuil remah-remah di daerah-daerah penghasil
kekayaan tersebut. Kalau dihitung per provinsi, masing-masing provinsi cuma
dapat sekitar 1% saja. Benar-benar cuma
secuil. Sangat menyedihkan dan luar biasa timpangnya. Yang juga ketiban sial
adalah rakyat jelata di Jawa, yang sudah tetap miskin ikut kena tuduh sebagai
perampas kekayaan di luar Jawa pula, padahal yang menikmati cuma kalangan
pejabat dan pengusaha korup saja. Rakyat baik di Jawa maupun di luar Jawa tetap
sama-sama miskinnya.
Setelah
Sultan Hamid II kemudian dituduh terlibat APRA dan hendak melakukan kudeta, maka
makin tersingkirlah ia dari lingkar pemerintahan. Dan setelah itu namanya
dihapus dan hilang dari sejarah. Tak pernah disebutkan di buku-buku sekolah
siapa perancang lambang negara.
Tapi,
terlepas dari perbedaan pendapat tadi, Garuda tetap dipakai juga. Malah lambang
ciptaan Sultan Hamid tetap dipuja habis-habisan oleh para pendukung negara kesatuan sampai
sekarang. Ada di kaos timnas sepakbola kita, lagu Garuda di Dadaku juga sering
dinyanyikan dengan gempar (atau cetar?) membahana di TV dan stadion. Bahkan,
menjadi bendera kebanggaan salah satu parpol juga.
Bagamana
kalau timnas diganti nama dengan tim Sultan Hamid saja. Nah, pemain-pemain Arab
Saudi kemarin akan bisa beri salut duluan sebelum laga. :D Sekaligus untuk buang
sial. Selama ini keok terus-terusan sih. Kagak pernah menang. :( Lha, lambang
ciptaannya dipakai, tapi perancangnya malah sengaja dihapus dan
dilupakan.
Baca juga:
Malang, 30
Mar
2013