by : Helmi Junaidi
Menjelang keberangkatan
pasukan Persia menuju Eropa untuk melakukan revanche atas kekalahannya
dalam perang Marathon, dari kejauhan Sang Maharaja Xerxes mengawasi puluhan
ribu pasukannya yang berkumpul di tepi selat Dardanela.
And seeing all the Hellespont covered over with the ships and all the
shores and the plains of Abidos full of men, then Xerxes pronounced himself a
happy man, and after that he fell to weeping. Artabanus, his uncle, having
observed that Xerxes wept, asked as follows:
- O, king, how far different from one another are the things thou hast done
now and short a while before now! for , having pronounced thyself a happy man,
thou art now shedding tears.
+ Yea, for after I had reckoned up,
it came to my mind to fell pity at the thought how brief was the whole life of
man, seeing of this multitudes not one will be alive when a hundred years have
gone by.
Sekitar lima tahun yang lalu
(tahun 1995, hehehe... jadul abis ya) ketika pulang ke Malang dan mengunjungi seorang
teman lama, saya menceritakan kisah tersebut kepadanya. Ia sempat memprotes bahwa 100 tahun itu terlalu lama. Kemudian sambil
tertawa kecil ia menunjuk ke arah jalan raya dan berkata, ”Berarti orang-orang
yang sekarang pada bising serta berseliweran di jalan itu 100 tahun lagi sudah
berhenti berseliweran lagi. Sudah anteng semua.” Kebetulan rumahnya terletak di
pinggir Jl. Gajayana yang selalu ramai itu, dan sekarang mungkin sudah semakin
ramai lagi. Ia nampak sedikit tertegun setelah itu, menyadari kenyataan yang sebenarnya sudah lama menjadi kenyataan.
Ya”, kata saya kemudian, “Termasuk juga bayi yang baru lahir tadi pagi, yang sekarang masih nangis owek-owek. Sudah pada ayem semuanya.” Dan ia kemudian tersenyum saja, mungkin sambil membayangkan “masa depannya” sendiri. “Masa depan” anak cucu kita bersama semua harta tujuh turunannya.
Ya”, kata saya kemudian, “Termasuk juga bayi yang baru lahir tadi pagi, yang sekarang masih nangis owek-owek. Sudah pada ayem semuanya.” Dan ia kemudian tersenyum saja, mungkin sambil membayangkan “masa depannya” sendiri. “Masa depan” anak cucu kita bersama semua harta tujuh turunannya.
Yogyakarta, 2000