By: Helmi Djunaidi
Selama ini ada yang beranggapan bahwa sumber energi Reiki adalah dari jin. Mengingat saya memang belum waskita, maka saya tak bisa mengiyakan atau menolak bila ada yang bilang begitu, walau saya tak setuju. Karena walau saya belum waskita, saya cukup peka dan bisa merasakan energi. Dan kehadiran suatu energi, baik atau buruk, terutama adalah dari niat praktisinya. Bila yang kita niatkan untuk kita akses adalah energi ilahi, maka yang hadir adalah energi Ilahi pula. Demikian pula bila ada orang yang hendak mengakses energi-energi yang lainnya, seperti jin, malaikat atau setan. Semata-mata tergantung dari niat atau istilah populernya afirmasi (mantra). Dan innama a’malu bin niyat. Sebagai contoh, misalnya kita berniat memusatkan perhatian di cakra dasar, maka akan terasa energi bergerak di cakra dasar, lalu memusatkan perhatian di cakra pusar, maka akan terasa energi mengalir di cakra pusar, dst. Mustahil kita niatkan di cakra dasar lalu tiba-tiba energi bergerak di cakra mahkota. 100 persen mustahil. Atau misalnya kita berniat mengakses/menaikkan energi kundalini, maka akan terasa energi itu naik. Demikian pula bila kita bermaksud mengakses energi-energi lainnya, seperti energi malaikat misalnya. Tiap-tiap energi ada ciri khasnya, sehingga kita bisa tahu bahwa memang energi yang kita niatkan itu yang sedang mengalir.
Saya khawatir bahwa anggapan energi reiki dari jin adalah dari mereka yang tidak peka dan tidak bisa merasakan energi. Karena mereka tidak peka ya lalu bicara ngawur, karena mereka tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Analoginya, bisakah kita mempercayai penjelasan tentang rasa mangga dari orang yang tak pernah makan mangga? Rasa duren dari orang yang tak pernah makan duren? Atau penjelasan tentang cara berenang dari orang yang tidak bisa berenang? Tidak mungkin. Dia sendiri renangnya gaya batu kok mau memberi penjelasan tentang gaya bebas dan gaya katak. Kan mustahil.
Akan tetapi, terlepas dari kontroversi apakah itu dari energi alam atau jin, yang memang akan tetap menjadi kontroversi karena secara default sebagian besar manusia tidak waskita, dan memerlukan banyak latihan untuk menjadi waskita, maka saya lebih suka memandang suatu ilmu dari sudut apakah ia membawa manfaat atau mudlarat. Bila membawa manfaat, misalnya kesembuhan, kesehatan, maka ia datangnya dari Tuhan. Bila ilmu itu membawa mudlarat, maka tentu datangnya dari syetan.
Yang mengherankan adalah pihak-pihak yang bilang energi reiki dari jin menuduh praktisi reiki sebagai musyrik karena minta tolong kepada selain Tuhan. Pendapat yang tentu saja masih patut dipertanyakan karena mereka umumnya tidak waskita juga. Darimana mereka tahu reiki dari jin kalau mereka tidak waskita? Nah, kalau memang meminta tolong kepada selain Tuhan adalah musyrik, lantas kenapa bila mereka sakit minta tolong misalnya ke dokter atau mantri? Apakah itu tidak musyrik juga karena dokter dan mantri bukan Tuhan. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari pun kita tiap hari meminta tolong kepada selain Tuhan karena manusia adalah makhluk sosial. Minta tolong diantar ke sana kemari kepada pak sopir, entah sopir pribadi, sopir bis atau sopir mikrolet. Minta tolong diajari pelajaran oleh teman. Minta tolong diambilkan sesuatu kepada saudara. Dan lain-lain. Berarti kita semua musyrik, dong. Dan calon penghuni neraka semua. Karena setiap hari kita selalu minta tolong kepada selain Tuhan. Jadi, lalu apakah musyrik itu? Silakan definisikan yang jelas dulu.
Atau kadang ada yang bilang reiki dari jin kafir. Mengingat mereka tidak waskita, tentu itu hanya masih dugaan belaka. Akan tetapi, kenapa yang sudah jelas-jelas bukan dugaan, yakni berobat kepada orang non-Islam--yang menurut definisi mereka adalah kafir--tidak pernah dibilang musyrik dan kafir? Bahkan, banyak yang bangga. Misalnya ada saudaranya atau temannya yang berobat ke Eropa, Amerika, Singapore atau Jepang. Akan dibanggakan ke mana-mana, ke seantero kampung. Padahal, siapa yang mengobati mereka di negara-negara tersebut? Sudah jelas orang kafir. Bukan orang Islam. Dan itu bukan dugaan belaka, karena negara-negara itu jelas bukan negara Islam. Apalagi kalau berobat ke wilayah bekas Jerman Timur atau Rusia, diobati orang atheis di sana. Yang belum jelas dari jin kafir atau bukan kok sudah tergesa diharamkan, tapi yang sudah jelas-jelas diobati orang kafir atau malah atheis kok dihalalkan dan sama sekali tidak pernah dipermasalahkan. Sebaliknya, malah dibanggakan kemana-mana. Bagaimana ini maunya? Jadi, definisikan yang jelas dulu istilah kafir yang mereka maksudkan itu.
Kalau definisi saya pribadi, bila membawa manfaat, misalnya kesembuhan, kesehatan, maka ia datangnya dari Tuhan. Entah melalui perantaraan siapa pun dan diobati dengan ilmu apa pun, entah dengan reiki atau kedokteran modern, entah dengan dokter muslim atau non-muslim. Sebaliknya, bila membawa mudlarat, tentu datangnya dari setan.
Pada saat belajar “ilmu-ilmu gaib”, seringkali kita juga mendengar ucapan, “Ah, Nabi Muhammad saja tidak bisa masa mereka bisa.” Atau bilang “buat apa kita belajar itu, lha wong tidak ada pada zaman nabi.” Perlu kita maklumi bahwa Nabi Muhammad tidak bisa kita jadikan ukuran dalam segala hal. Misalnya, kita tahu bahwa Nabi adalah seorang ‘ummi alias buta huruf. Tak bisa baca dan tulis. Apakah itu lantas kita jadikan patokan dan berkata, “Ah, Nabi Muhammad saja buta huruf lalu ngapain kamu sekolah. Udah, bubarkan saja semua sekolah. Kamu wajib buta huruf karena itu adalah sunnah rosul.” Kalau begitu caranya, kacau dunia. Buta huruf semua umat Islam sebab Nabi memang buta huruf. Naik onta semua umat Islam sebab Nabi tak pernah naik pesawat dan mobil. Dan itu katanya sunnah rosul....
Kalau kita mau menengok ke zaman yang lebih silam, banyak di antara umat Islam yang dulu juga susah sekali menerima hal-hal baru dan tiap ada hal baru langsung saja mereka beri label kafir atau haram. Sepakbola dulu sempat diharamkan, menerjemahkan Al-Quran diharamkan, huruf latin diharamkan, juga ilmu-ilmu umum dan sebagainya. Baru setelah lewat beberapa generasi dihalalkan, bahkan banyak tokoh-tokoh Islam yang lalu gemar menonton dan main sepakbola. Dan tentu saja belajar huruf latin. Jadi, sebaiknya jangan bersikap reaktif dan tertutup setiap ada hal-hal yang baru. Nanti itu bisa mempermalukan umat Islam sendiri. Orang akan menganggap umat Islam sebagai umat yang picik. Cobalah misalnya pikirkan tentang kasus pengharaman ilmu-ilmu umum dan sepakbola dahulu. Apa pendapat kita sekarang tentang hal-hal semacam itu? Jadi, mesti dipikirkan dulu matang-matang sebelum mengharamkan atau menghalalkan sesuatu. Tidak boleh fatwa asal-asalan saja. Ada kutipan bijaksana dari Walter Gropius, “The human mind is like an umbrella. It functions best when open.”
Jadi, memang tidak semua yang ada pada diri Nabi dan zaman Nabi bisa kita jadikan ukuran. Bisa kacau nanti. Nabi sendiri pernah bersabda: “Kamu lebih tahu urusan duniamu”. Lalu, apa hal utama yang bisa kita jadikan patokan pada diri Nabi? Akhlak yang mulia. Nabi pernah bersabda bahwa beliau tidak diutus ke dunia kecuali untuk memperbaiki akhlak manusia. Itulah hal paling utama yang wajib kita teladan pada diri Nabi. Perkara lain-lainnya, sepanjang hal itu membawa kebaikan, maka hukumnya mubah saja, atau bisa sunah. Tak perlu kita mengharamkan sesuatu yang membawa kebaikan. Malah dosa nanti.
Sebelum belajar reiki saya ini termasuk orang yang skeptis terhadap hal-hal gaib. Saya juga kadang menulis begitu. Saya dulu juga tidak percaya dengan doa-doa dan jarang berdoa. Akan tetapi, setelah mempelajari reiki dan beberapa “ilmu gaib” lainnya sebagian dari isi tulisan-tulisan saya itu agaknya perlu saya revisi lagi.
Hal yang membuat saya percaya adalah karena saya kebetulan peka terhadap energi. Saya bisa merasakan energi yang ada, baik yang berasal dari reiki maupun doa-doa, atau juga merasakan energi jin dan malaikat. Kaum jin biasanya paling benci dengan energi malaikat. Karena bisa merasakan, maka akhirnya saya percaya. Kalau ada teman atau saudara saya yang masih tidak percaya dengan reiki, biasanya saya bilang bahwa bagi saya energi reiki itu seperti angin. Saya belum bisa melihatnya, tapi bisa merasakannya. Angin itu kan tergolong “barang gaib” juga. Apa ada di antara Anda yang pernah melihat angin? Tidak pernah, bukan? Tapi kita bisa merasakannya.
Jadi memang tak hanya seeing is believing, tapi juga sensing is believing. Saya yakin bahwa seandainya ada orang ateis yang di-attunement reiki dan kebetulan dia peka, maka dijamin dia langsung mengubah keyakinannya. Saya tak tahu jumlah pastinya dan ini hanya kira-kira saja, tapi mungkin perbandingan antara yang orang yang peka dan tidak peka bisa sekitar 50:50. Jadi, barangkali kita bisa membuat bertobat sekitar 50 persen orang atheis. Dan seandainya saja Richard Dawkins ternyata tergolong orang yang peka, lalu dia berbalik jadi theis, kan bisa gempar dunia. Jadi, cover story di mana-mana.
Kepekaan ini saya kira adalah sebuah anugrah dari Tuhan juga sebab bila saya tidak peka, maka saya sampai sekarang masih skeptis. Meski demikian, bukan berarti saya sudah tidak yakin dengan teori evolusi, saya masih yakin, dan keyakinan saya itu didukung oleh pendapat Ibnu Rusyd tentang adanya kerapian yang ada di alam semesta ini.
Malang, 2 Juni 2010.