Sekitar setahun yang lalu ada
teman saya yang bermaksud menjual televisinya. Maklumlah, harga kebutuhan makin
meningkat saja sedangkan penghasilannya tetap setia jalan di tempat sehingga
sesekali ia merasa perlu juga untuk melego satu dua barang. Indikator mikro
peningkatan ini bisa kita lihat dari harga pecel lele yang semakin meningkat
tajam selama tiga tahun ini. Dulu cukup sekitar Rp. 900 plus Rp. 100 kita sudah
bisa makan kenyang lengkap dengan es teh atau es jeruk. Kini harus keluar Rp
3.000 untuk hal yang sama. Demikian juga harga siomai, soto atau bakso.
Semuanya meningkat rata-rata tiga kali lipat. Saya memang tak begitu tahu harga
sembako sebab memang jarang beli sembako. Tapi, harga makanan jadi tersebut
tentunya bisa mencerminkan harga bahan mentahnya.
Ia kemudian mengiklankan
televisinya di sebuah surat kabar yang ada di Yogya. Ia bermaksud menjualnya
dengan harga yang miring sebab ia memang sedang butuh uang. Tetapi, untuk lebih
meyakinkan calon pembeli bahwa harganya cukup murah dan asli tangan pertama,
bukan makelar, maka ia kemudian ada ide yang cukup nyleneh juga. Ia
tidak mengawali iklannya dengan kata “dijual murah”, “harga bersaing”, “butuh
uang” atau semacamnya, tetapi mengawalinya dengan kata ”pulang kampung”. Supaya disangka sebagai mahasiswa yang mau
pulang kampung dan sedang “cuci gudang” yang biasanya tentu harganya cukup
murah. Tentu, ia tak bermaksud pulang kampung sungguhan sebab ia bekerja di
Yogya. Dalam iklan itu ia sama sekali tidak menulis kata “dijual” . Toh, orang
sudah paham juga.
Karena lokasi rumahnya yang di
daerah kabupaten dan agak susah bagi calon pembeli untuk mencarinya ia kemudian
menitipkannya di rumah saya. Dan ide tersebut agaknya cukup jitu juga.
Baru siangnya pergi ke kantor koran untuk pasang iklan, esok harinya sekitar
pukul setengah enam pagi ada orang yang mengetuk pintu rumah saya. Aneh, saya
pikir, siapa yang hendak bertamu sepagi ini. Ternyata yang datang adalah calon
pembeli. Penawaran berlangsung cepat sebab harganya memang cukup murah dan kondisinya
masih bagus. Sebentar kemudian, ia sudah pamit pulang sambil memboyong
barangnya.
Ketika teman saya datang jam
tujuh pagi untuk mengecek televisinya, ia sangat terheran-heran dan terkejut
ketika saya balik menyodorkan uang hasil penjualan. Ia setengah tidak percaya
dan menyangka kalau saya beli sendiri. Kemudian ia balik pulang sambil
mengantongi uangnya setelah memberi saya sedikit komisi. Jadinya saya deh yang
menjadi makelar. Hahahaha... Sampai siangnya masih banyak calon
pembeli yang berdatangan sampai saya capek melayaninya. Untunglah tadi diberi
uang komisi, lumayan untuk makan siang sebagai penghilang capek. Celakanya, ada
juga di antara mereka yang dengan santainya menanyakan apakah masih ada teman
saya yang mau pulang kampung lagi. Kalau ada tolong nanti diberitahu. Untung
saya tidak kelepasan tertawa. Tidak tahu dia kalau sedang diapusi. Agaknya,
orang tak begitu tertarik dengan barang yang dijual dengan “harga murah”,
tetapi lebih tertarik dengan “harga pulang kampung”.
Yogyakarta, 2001