Monday, November 11, 2013

Prinsip Keadilan dan Pemikiran Kembali Tentang Hukum Had

Oleh: Helmi Junaidi




Pada saat ini, walaupun hukum had (hukum pidana dalam agama Islam) tidak diberlakukan di Indonesia, rasanya hal ini perlu juga untuk dibahas oleh umat Islam di Indonesia karena hingga sekarang memang masih banyak umat Islam di sini yang tetap bersikap terlalu kaku di dalam memandang masalah ini. Dan mudah-mudahan, tulisan ini nanti bisa juga dibaca oleh mereka yang tinggal di negara-negara di mana hukum had diberlakukan.Sangsi hukum pidana dalam agama Islam seringkali oleh sebagian orang dipandang sebagai suatu hukum yang kejam, tak berperikemanusiaan dan merupakan relik dari abad pertengahan yang tak layak lagi diberlakukan di zaman modern sekarang ini. Apabila dipandang dari bentuk sangsinya secara fisik, pendapat tersebut mungkin bisa dibenar kan mengingat kerasnya sangsi yang diberlakukan, seperti misalnya saja hukuman mati dengan cara memenggal kepala dengan pedang, hukuman cambuk dan juga hukum potong tan gan. Tetapi, bila dipandang dari segi keefektifannya, maka sangsi yang keras tersebut sangatlah efektif untuk menurunkan dan meminimalkan angka kejahatan. Meminimalkan, bukan meniadakan sebab sekeras apa pun hukuman yang diterapkan, kejahatan itu akan tetap ada. Dan dunia ini memang tak pernah sempurna.

Meski demikian, pada masa sekarang ini nampaknya umat Islam perlu meninjau kembali bentuk sangsi yang ada. Berusaha mencari alternatif lain yang dari sangsi tersebut. Tentu saja tanpa menghilangkan prinsip dan tujuan hukum itu sendiri, yaitu menegakkan keadilan. Ini adalah hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi sebab pada dasarnya hukum Islam memang bertujuan menegakkan keadilan di muka bumi. Keadilan bagi seluruh umat manusia, baik yang Islam maupun yang non-Islam karena Islam memang adalah rahmatan lil alamin, bukannya rahmatan lil muslimin. Jadi, bentuk sangsi bagaimana pun yang kita berlakukan, bila tujuan dari hukum Islam, yaitu menegakkan keadilan bisa dicapai dengan cara tersebut, maka berarti hukum Islam telah berhasil ditegakkan.

Mungkin akan banyak yang berpendapat bahwa demikianlah yang tertulis di dalam Al-Quran dan dilaksanakan di zaman Rasulullah. Karena itu, sangsi hukuman seperti yang termaktub dalam  Al-Quran dan sunah rasul itu wajib dilaksanakan tanpa kecuali. Dan di beberapa negara Islam, sangsi-sangsi tersebut memang telah lama dilaksanakan. Sementara itu, di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi sangsi tersebut tidak diberlakukan, maka di sana masih banyak di antara umat Islam yang mempunyai pendapat yang sama dengan mereka yang tinggal di negara tempat sangsi tersebut diberlakukan.

Memang cukup sulit untuk merumuskan kira-kira bentuk sangsi yang bagaimana yang bisa mnghilangkan kesan bahwa hukum Islam itu adalah hukum yang kejam tanpa menghilang kan tujuan dari hukum Islam itu sendiri, yaitu menegakkan keadilan. Mungkin akan ada yang berkata bahwa mencari alternatif seperti itu adalah tidak mungkin karena bentuk sangsi sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Quran dan sunah rasul tidak mungkin dapat digantikan dengan bentuk sangsi yang lain. Selain itu, ada kekuatiran bahwa memi lirkan alternatif seperti itu akan bisa dituduh "kafir" atau "ahli bid'ah".


Beberapa Contoh Tentang Penyesuaian Hukum-hukum yang ada dengan Kondisi Masyarakat

Sebenarnya, bila kita mau menengok sedikit saja  ke dalam sejarah, maka kita akan bisa melihat bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu, peraturan-peraturan yang ada di dalam agama Islam ternyata memang bisa disesuaikan dengan zaman serta kondisi dan situasi yang ada di masyarakat, meski hal ini tentunya harus dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dan tidak boleh gegabah. Mereka yang melakukannya pun bukanlah orang-orang sembarangan. Kita bisa mengingat misalnya khalifah Umar yang membebaskan pencuri pada saaat musim paceklik karena orang itu mencuri bukanlah karena dia serakah ingin memiliki harta yang bukan haknya, tetapi ia mencuri hanyalah sekedar untuk mengganjal perutnya yang kelaparan karena berhari-hari tak makan.

Atau contoh yang lain lagi misalnya Sunan Kudus yang mengharamkan penduduk untuk menyembelih sapi karena dikhawatirkan akan bisa menyinggung perasaan orang Hindu yang begitu mengeramatkan sapi. Dan masyarakat Kudus masih baru-baru ini saja berani menyembelih sapi untuk merayakan hari raya Idul Adha. Kalau dulu mereka takut jika "dikutuk" oleh Sunan Kudus yang nama aslinya adalah Ja'far Shodiq ini. Atau contoh yang mungkin lebih "ekstrim" lagi, ada pula juru dakwah di masa lampau yang mengajarkan bahwa shalat itu hanya ping telu (tiga kali) dalam sehari dan bukannya lima kali karena kondisi masyarakat yang masih sulit diajak untuk shalat secara penuh.  Hal serupa juga terjadi di Lombok dan mereka menyebutnya sebagai shalat waktu telu.

Mengenai contoh yang pertama, kita tentu tahu bahwa bahwa nash Al-Quran dengan tegas menyebut bahwa pencuri wajib dipotong tangannya, tanpa ada perkecualian. Jadi, kalau kita baca secara harfiah saja, maka seorang pencuri bila dia tertangkap akan langsung saja kita potong tangannya. Tak peduli apakah dia seorang koruptor kelas kakap yang masih tetap gemar mencuri walaupun perutnya sudah buncit berlemak ataukah dia itu orang  yang jujur yang terpaksa mencuri karena hanya sekedar untuk mengganjal perutnya yang sudah berhari-hari kelaparan.

Kalau kita pandang sekilas saja, tentunya tindakan khalifah Umar itu merupakan suatu pelanggaran terhadap perintah Al-Quran. Terlebih lagi pada masa Nabi tidak pernah ada peristiwa serupa. Tetapi, bila kita mau meng kaji lebih jauh, maka apa yang dilakukan oleh khalifah Umar itu sebenarnya malah sesuai dengan perintah Al-Quran, yaitu menegakkan keadilan. Dan tujuan dari diturunkannya ayat Al-Quran itu memang adalah untuk menegakkan keadilan, bukan untuk memotong tangan orang. Sedangkan mengenai tindakan Sunan Kudus, kita semua tentu sudah tahu bahwa daging sapi itu halal, dan mengenai shalat wajib tentu saja jumlahnya ada lima kali.

Dengan dilakukannya ijtihad-ijtihad oleh mereka, disesuaikannya hukum-hukum dengan kondisi yang ada, lalu apakah kita bisa menuduh Khalifah Umar dan para wali itu sebagai orang kafir dan ahli bid'ah? Tentu jawabannya adalah tidak sebab bagaimana mungkin khalifah Umar yang merupakan salah seorang sahabat utama akan menyeleweng dari ajaran Islam. Demikian pula para wali sebab mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan agama Islam dengan penuh keikhlasan dan ketulusan hati.

Jadi, apa yang dilakukan oleh khalifah Umar itu sebenarnya malah sesuai dengan tujuan hukum Islam itu sen diri, yaitu untuk menegakkan keadilan, sedangkan yang dilakukan oleh para wali tersebut sebenarnya malah mendu kung syiar agama Islam biarpun bila kita pandang sekilas saja seolah-olah seperti melanggar peraturan yang ada dalam agama Islam. Dan kita tahu bahwa dakwah para wali itu ternyata bisa berhasil dengan baik karena mereka melaku kan dakwah tersebut dengan cara yang tidak kontradiktif dan melakukan penyesuaian-penyesuaian seperlunya dengan kondisi dan adat-istiadat masyarakat yang ada pada masa mereka. Masyarakat Kudus yang semula masih banyak yang menganut Hindu pun sekarang semuanya telah menjadi penganut Islam yang taat karena cara berdakwah yang penuh toleransi dan kebijaksanaan dari Sunan Kudus tersebut. Cobalah kita bayangkan seandainya saja pada waktu itu Sunan Kudis merayakan Idul Adha dengan cara menyembelih sapi secara demonstratif di hadapan orang-orang Hindu, yang terjadi pastilah bukan penyebaran agama Islam, sebaliknya orang Hindu akan bersikap antipati dan bermusuhan terhadap agama Islam. Dakwah pun bisa dipastikan akan gagal total. Sedangkan masyarakat yang semula hanya shalat ping telu sekarang ini mereka sudah menjalankan shalat lima waktu sebagaimana umat Islam yang lainnya.

Sedangkan mengenai contoh yang lain terjadi pada masa Nabi Muhammad itu sendiri, yaitu dilarangnya umat Islam pada masa awal dimulainya dakwah Islam untuk melakukan ziarah kubur sedangkan pada masa yang selanjutnya hal itu malah dianjurkan. Hal ini disebabkan karena pada masa awal dimulainya dakwah kondisi keimanan umat Islam masihlah sangat labil. Mereka dikhawatirkan akan mengeramatkan kuburan sehingga bisa  membuat keimanan mereka menjadi luntur kembali. Sedangkan pada masa yang selanjutnya ketika keimanan umat Islam dirasa sudah cukup kuat hal itu malah dianjurkan karena umat Islam diharapkan akan senantiasa mengingat bahwa hidup ini tidaklah kekal dan pada akhirnya kita semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang semua hal yang pernah kita lakukan di dunia ini. Dan ini tentunya diharapkan akan bisa menambah keimanan umat Islam sehingga akan bisa mencegah mereka melakukan hal-hal yang tercela. Sepeninggal Nabi Muhammad umat Islam memang mulai kambuh lagi kebiasaannya untuk mengera matkan kuburan dan hingga sekarang hal itu masih terjadi di banyak tempat. Tetapi, di masa depan hal ini rasanya akan semakin menurun kecenderungannya seiring dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan dari umat Islam.

Sebenarnya, pada saat ini tanpa disadari oleh umat Islam sendiri, dalam beberapa hal telah bisa memahami tujuan dari apa yang tertera dalam suatu ayat Al-Quran atau hadits dengan cukup baik dan tidak memahaminya secara harfiah saja. Misalnya saja mengenai lukisan (termasuk di dalamnya adalah fotografi) atau membuat patung. Pada saat ini, bagi sebagian besar umat Islam hal ini sudah tidak menjadi masalah lagi.1

Padahal, kalau kita mau membuka kitab-kitab hadits, di sana jelas-jelas tertera bahwa menggambar mahluk hidup adalah haram, terlebih lagi membuat patung. Tetapi, kenapa umat Islam sekarang sudah tidak mempersoalkannya lagi. Bukankah ini jelas suatu pelanggaran terang-terangan terhadap sunah Nabi! Mengapa tidak kita bakar saja setiap foto dan luki san yang terpasang di dinding rumah kita? Atau di koran dan majalah? Juga mengapa tidak kita bongkar saja setiap patung yang kita temui di pingggir jalan? Atau mengapa tidak kita gebuki saja setiap pelukis gondrong yang nongkrong di jalanan?

Pada saat ini, kita nampaknya sudah cukup menyadari bahwa walaupun banyak terdapat patung atau lukisan berbentuk manusia atau hewan, rasanya sudah tidak mungkin lagi kita akan menyembah lukisan atau patung tersebut meskipun bentuk dan warnanya sangatlah indah. Keadaan ini tentunya berbeda dengan dengan masa pada saat Islam baru saja berkembang di mana masyarakat masih baru saja lepas dari kemusyrikan. Bila mereka diizinkan membuat patung atau melukis mahluk hidup, dikhawatirkan mereka akan menyembah benda-benda tersebut dan menjadi musyrik kembali. Itulah sebabnya Nabi melarang membuat patung atau melukis karena kondisi masyarakatnya yang masih tidak memungkinkan. Oleh karena itu, sikap kita pada saat ini bisa diang gap sudah benar karena bisa memahami maksud dan tujuan yang sebenarnya dari hadits tersebut, yaitu menghindarkan umat Islam yang pada masa itu masih baru saja lepas dari paganisme untuk menjadi penyembah berhala kembali. Sedangkan pada masa kini hal seperti itu tentunya sudah tidak mungkin terjadi lagi. Jadi, sama sekali tidak ada masalah bila sekarang ini ada di antara kita yang mau menjadi pelukis, fotografer atau pematung karena rasanya mustahil bila kita bisa menjadi musyrik hanya gara-gara sebuah karya seni meskipun karya tersebut sangatlah indah.

Jadi persoalannya di sini adalah seperti misalnya saja contoh berikut. Misalnya saja kita sering melihat seorang ibu melarang anaknya yang masih balita untuk bermain-main di jalanan. Padahal, itu hanyalah jalan kampung yang sangat lengang. Ibu itu tentunya melarang atas dasar anaknya masih kecil dan belum mengerti bahaya, suka main selonong saja. Tetapi, kalau anak itu sudah besar, ibu itu tentu tidak akan melarangnya walaupun anak itu hendak mengendarai mobil di jalan raya. Kalau  ibu itu terus melarang anaknya pergi ke jalan meskipun anak itu sudah berumur tujuhbelas, maka anak itu akan menjadi
balita abadi. Atau contoh yang lainnya lagi misalnya seseorang yang dilarang oleh dokter untuk minum jeruk karena sakit maagnya sedang kambuh. Tetapi, kalau sudah sembuh ya silakan saja minum es jeruk. Kalau tidak malah bisa terkena sariawan. Selain contoh di atas, masih banyak lagi yang lainnya, bisa mencarinya sendiri.

Alternatif Bentuk Sangsi

Setelah melihat beberapa contoh di atas, maka semakin jelaslah bahwa kita memang harus selalu berusaha  memahami makna dan tujuan yang sebenarnya dari suatu ayat  Al-Quran atau  hadits. Tidak memahaminya secara harfiah saja. Dan hal  ini sekarang nampaknya perlu juga dilakukan di  dalam memahami ajaran  Islam yang berkenaan  dengan  hukum  had karena  penerapan  sangsi-sangsi semacam itu  di berbagai negara  Islam dengan alasan untuk menjalankan hukum  Islam secara murni dan konsekuen malah membuat orang beranggapan bahwa  Islam  itu agama yang kejam dan  berlumuran  darah. Membuat orang menjadi merasa takut dan ngeri bila  mendengar kata hukum Islam.

Dan yang lebih celaka lagi, pada sebagian negara yang menerapkan sangsi semacam itu, lantas sudah merasa  berhak menyebut  dirinya  sebagai negara Islam,  padahal  ajaran-ajaran  Islam  yang lain, yang justru sangat  penting dan mendasar seperti  adanya persamaan  hak  di depan  hukum,  kebebasan berbicara dan  berpendapat  malah dibungkam  begitu  saja.  Bukankah hal semacam  itu  juga melanggar ajaran Islam. Tetapi mereka tidak pernah menyebutnya sebagai hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Oleh  karena  itu, dengan masih  terdapatnya  hal-hal yang  tidak  sesuai dengan ajaran  Islam  tersebut,  maka mereka  pun rasanya belum bisa menyebut negaranya sebagai negara Islam meskipun hukum had diberlakukan di sana.  Dan agama  Islam memang tidaklah  hanya  sekedar  mengajarkan hukum  had.  Lagipula, dengan menyebut  negaranya  sebagai negara  Islam, maka orang akan berpandangan  bahwa memang demikianlah  ajaran  Islam sehingga  Islam  dianggap  juga sebagai agama yang tidak mengenal demokrasi dan  mendukung otoritarianisme. Maka, semakin lengkaplah citra yang buruk tentang Islam. Dan pada sebagian negara yang secara resmi menyebut  dirinya sebagai negara Islam, rata-rata di  sana memang masih belum terdapat pemerintahan yang  demokratis, Bila  pun sudah ada yang demokratis, maka biasanya  masih tenggelam  dalam  kemiskinan dan keterbelakangan.

Sebenarnya,  bila  suatu negara itu  hendak  menyebut negaranya  sebagai negara Islam, maka  seharusnya  paling tidak  ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu terwu judnya suatu pemerintahan yang bisa menjamin:
1. Kebebasan untuk berbicara dan mengemukakan pendapat.
2. Kebebasan untuk beragama
3. Kebebasan dari rasa takut.
4. Bebas dari kekurangan (dari rasa lapar dan kemiskinan)


Demikianlah syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi bila  suatu  negara  itu ingin menyebut  dirinya  sebagai negara  Islam.  Seandainya pun masih belum bisa  memenuhi maka  haruslah ada upaya-upaya untuk  mewujudkannya.  Bila pun  ada yang ingin menambah sendiri syarat-syarat  tersebut, boleh-boleh saja, asalkan yang empat itu tetap disertakan dan didahulukan. Tetapi, kalau diperkenankan, maka kita di sini  ingin menambah satu satu syarat lagi. Satu saja, tidak  banyak-banyak, yaitu suatu pemerintahan yang bisa menjamin negara yang bebas dari apa yang biasanya disebut sebagai mo limo. Dan rasanya, walaupun falsafah ini  dikemukakan oleh orang Jawa, tetapi rasanya bersifat universal juga,  baik  bagi orang Jawa maupun non Jawa.  Malah  juga bagi  seluruh bangsa-bangsa di dunia sebab kelima hal  itu memang  banyak menjadi sumber kesengsaraan dan  penindasan bagi  umat  manusia.

Meski  demikian,  untuk  membebaskan negara dari kelima hal tersebut tidaklah bisa dengan  cara "asal  garuk" begitu saja, tetapi dengan cara  meniadakan, atau paling tidak meminimalkan kondisi lingkungan yang bisa menyebabkan berbagai keburukan itu bisa terjadi.  Masalah ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab yang berikutnya.

Selain  pendapat yang menyatakan bahwa  suatu  negara mesti  bisa melengkapi empat  syarat  tersebut,  ternyata sekarang  ini juga berkembang sebuah teori baru tentang "hak-hak  asasi manusia", yaitu yang dinamakan Asian  cow values.  Sebuah nilai-nilai yang digali dari “ajaran  luhur“ para leluhur  bangsa Asia, yang menyatakan bahwa  bangsa Asia  ini  adalah bangsa yang sangat  unik,  seunik  sapi. Karena itu, tak perlu ada kebebasan, baik itu kebebasan berbicara dalam  bidang  politik, mengekspresikan  seni  dan budaya atau pun yang lainnya. Tetapi, cukuplah bangsa Asia ini ditaruh di  dalam kandang yang rapat dan bersih, bebas dari hama lalat asing dan diberi pakan yang teratur setiap hari, supaya  selalu kenyang, cepat gemuk dan tidak mudah mengamuk. Dan beberapa  waktu  yang lalu memang ada berita bahwa  telah lahir generasi  baru  di lembah sungai Yang  Tse  sana yang  dinamai generasi anak gemuk. Jadi, program mensapikan manusia  ini memang  telah berhasil dengan cukup sukses  di  mana-mana. Kemudian, kalau  ada  sapi yang menderita  sakit gara-gara hama penyakit yang  menyelundup dari  luar  kandang, maka supaya sehat kembali marilah kita  suntik sapi itu sekali-kali. Berilah mereka suntikan ala Tiananmen misalnya....

Selain negara yang menganut  kapitalisme sepeti Singapura,  mereka yang suka menganjurkan Asian cow values ini memang adalah negara-negara yang berpaham komunis, suatu paham yang jelas berasal dari Eropa  Barat. Barangkali mereka mengira Karl Marx lahir di Shanghai dan  Engel di sungai Mekong.

Pada  masa lampau, bentuk-bentuk sangsi yang  seperti yang  ada  dalam hukum had, bahkan yang lebih  kejam  dari itu,  seperti  hukuman dipaku di kayu  salib sehingga  si terhukum  mati  perlahan-lahan, atau diumpankan  ke singa Afrika yang kelaparan seperti yang terjadi pada masyarakat Romawi merupakan  hal yang lumrah, malah  bisa  dianggap sebagai  suatu "hiburan segar", yang bisa  ditonton  orang secara beramai-ramai,  seperti menonton bioskop.  Bahkan, sampai  ke masa yang lebih dekat lagi seperti  zaman Inquisition,  revolusi Perancis atau zaman koboi  Amerika, hukuman dipanggang hidup-hidup,  penggal  kepala  dengan guillotine atau  hukum gantung sampai mati  bagi  pencuri kuda merupakan hal yang biasa dan dianggap wajar saja. Tetapi,  pada  masa  sekarang,  hukuman  semacam  itu dianggap  sudah tidak sesuai lagi. Oleh karena  itu,  umat Islam Islam memang perlu memikirkan dan mencari alternatif bentuk  sangsi yang lain yang sesuai  dengan  perkembangan peradaban manusia sebab diterapkannya sangsi-sangsi  semacam  itu malah semakin memperbutuk citra agama Islam.  Apa yang harus kita lakukan sekarang ini memang adalah mencip takan  wajah  Islam yang humane dan manusiawi,  yang  bisa menimbulkan simpati bagi orang lain, bukannya malah menim bulkan  rasa antipati dan ketakutan seperti  yang terjadi selama ini sebab bagaimana syiar Islam akan berhasil kalau orang memandang Islam saja sudah merasa takut dan ngeri.

Dalam  hal ini, rasanya sekali lagi perlu  ditegaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk menegakkan keadilan, sedangkan bentuk-bentuk sangsi yang diberlakukan bukanlah tujuan  dari hukum Islam itu sendiri melainkan hanya cara untuk  mencapai tujuan. Dan apabila  bentuk-bentuk  sangsi tersebut hanyalah  salah satu cara  saja untuk  mencapai tujuan, mengapa umat Islam tidak mencari cara lain, alternatif lain, tentu saja dengan syarat tidak menyimpang dari tujuan hukum Islam itu sendiri, yaitu menegakkan keadilan.

Seperti  misalnya  saja hukum potong  tangan.  Mungkin hukum semacam ini bisa diganti dengan hukuman denda  sebesar  nilai barang yang dicurinya untuk kemudian diberikan kepada  si  korban  sebagai ganti  barangnya  yang hilang dengan ditambah kurungan sebagai hukuman atas perbuatannya tersebut. Apabila si pencuri tidak mampu mengganti  barang tersebut,  maka ia dihukum kurungan sambil bekerja hingga hasil kerjanya bisa untuk membayar ganti rugi kepada  si korban.

Ganti  rugi kepada si korban ini merupakan  hal  yang sangat penting untuk menumbuhkan rasa keadilan sebab apalah artinya  bagi  si korban meskipun pencuri barangnya  itu tertangkap dan dihukum bila barangnya tidak kembali. Boleh jadi barangnya yang hilang itu adalah hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun atau mungkin barangnya yang  hilang itu adalah sepeda motor atau televisi kreditan yang belum lunas sehingga tentunya sangat mengecewakan bila barangnya itu hilang begitu saja meskipun pencurinya bisa tertangkap dan  dihukum  dengan  hukuman yang  sangat berat,  bahkan hukuman mati sekali pun. Malah bagi si  korban,  diganti atau kembalinya barangnya yang hilang itu  lebih  penting dari tertangkap dan dihukumnya si pencuri. Bukankah demikian?

Apa  yang  disebutkan  di atas  adalah  suatu  contoh alternatif.  Meski demikian, tentunya tidak  tertutup  ke mungkinan  adanya  alternatif lain yang lebih  baik.  Ini merupakan  tugas  dan  kewajiban bagi   umat  Islam  untuk bersama-sama  turut memikirkannya. Tidak  hanya  mengenai masalah  hukum potong tangan saja, tetapi juga  mengenai sangsi  yang lainnya seperti rajam sampai mati  dan  hukum cambuk.

Hanya saja, perlu dipahami bahwa suatu alternatif itu baru  boleh dianggap tepat bila sudah dibuktikan  terlebih dahulu.  Jadi,  memerlukan suatu uji coba. Bila  ternyata  kurang tepat maka harus segera diganti dan dicari alterna tif lain yang lain hingga benar-benar tercipta yang paling baik  dan  paling adil. Dan tolok ukur dari  kebaikan  dan keadilan  suatu  hukum adalah  terciptanya rasa aman  dan tentram  di dalam masyarakat. Terbebasnya masyarakat  dari perasaan  takut  dan cemas. Bila hal itu belum  tercapai, maka hukum yang ada berarti masih perlu diperbaiki.

Dari sini mungkin masih ada yang belum setuju  dengan apa  yang dikemukakan di atas. Karena  itu,  mungkin  ada baiknya  bila  di sini diberikan suatu  perumpamaan, yang gampang-gampang saja. Misalnya saja kita biasanya pergi ke Surabaya  lewat Madiun, tetapi kemudian ada  berita  bahwa ada Jembatan yang rusak di Madiun sehingga tak bisa  dile wati. Maka yang harus kita lakukan tentunya mencari  jalan alternatif yang lain. Lewat pantura misalnya, atau mencari jalan  alternatif  yang lain lagi. Yang penting  kan  bisa sampai  ke Surabaya. Kalau bersikeras lewat  Madiun malah bisa-bisa kecemplung  sungai dan tidak  pernah  sampai  ke Surabaya.

Jadi, mudah-mudahan contoh di  atas  akan bisa membuat semakin jelas bahwa kita ini memang  haruslah selalu  berusaha  memahami ayat Al-Quran atau hadits  itu berdasarkan  maksud dan tujuannya sebab memang  tidak  ada suatu  perintah atau larangan itu  yang  tidak  mempunyai tujuan.  Jadi,  kita pahami dahulu  tujuannya, lalu  bila terjadi   perubahan-perubahan  keadaan maka   disesuaikan dengan  perubahan keadaan tersebut tanpa  menyimpang dari tujuan yang semula.

Kemudian,  untuk bisa lebih mudah memahami  apa  yang telah dikemukakan di atas, maka patut pula kita perhatikan bahwa Nabi  Muhammad tidak  memaksa umatnya untuk pergi shalat Jumat  bila  hujan sedang deras dan jalanan menjadi becek dan kotor. Dan kita cukup  menggantinya  dengan shalat Dzuhur di  rumah  saja. Padahal, kita tahu bahwa shalat Jumat adalah sesuatu yang wajib  dan  orang yang meninggalkannya selama  tiga  kali berturut-turut  bisa dianggap telah murtad. Jadi, Islam memang  sebenarnya agama yang mudah dan luwes, tidak ingin memberatkan umatnya. Hanya saja, kita seringkali membuatnya  menjadi sangat sukar dan memberatkan.

Selain hadits di atas, masih banyak lagi contoh  yang serupa,  seperti misalnya ajaran bertayamum sebagai  peng ganti  mandi  dan wudlu ataupun  membayar fidyah sebagai pengganti  puasa.  Malah  pernah pula  seorang  sahabat  yang dibebaskan  sama sekali dari berpuasa dan membayar  fidyah karena ia memang benar-benar tak mampu memenuhi  keduanya. Dan sebenarnya masih banyak lagi contoh yang lainnya. Kita bisa membacanya  lebih lanjut pada berbagai  kitab  yang telah ada.

Tentang Hukuman Mati

Mengenai alternatif hukuman bagi orang yang melakukan pembunuhan rasanya tidak mungkin ada karena nyawa  manusia tidak  bisa  digantikan dengan uang atau barang  berharga lainnya,  barang semahal apa pun. Apalagi bila pembunuhan itu dilakukan hanya sekedar karena ingin  merampas  harta korbannya. Oleh  karena  itu, bagaimana pun  juga  hukuman  mati masih tetap bisa diberlakukan.  Tetapi  mungkin caranya perlu  diatur  sedemikian rupa sehingga  tidak  terkesan kejam, apalagi sadis. Dan satu hal yang tidak kalah pentingnya  untuk dipertimbangkan adalah apakah orang tersebut membunuh karena  ia memang sudah sejak  semula  bermaksud untuk melakukan kejahatan ataukah ia  melakukannya  hanya untuk membela diri, melindungi nyawanya yang terancam. 


Memang banyak orang yang tidak setuju dengan hukuman mati karena dianggap kejam dan menyarankan supaya  dihapus saja. Mereka juga berpendapat bahwa dengan diberlakukannya hukuman  mati, maka berarti tidak memberikan kesempatan orang untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukannya.  Tetapi,  argumen tersebut rasanya kurang tepat  sebab apakah sang  pembunuh  juga pernah memberikan kesempatan  kepada korbannya yang sudah mati itu untuk  bertobat.  Perhatian hak asasi sebaiknya lebih ditekankan kepada  korban  yang kemungkinan  besar tidak bersalah apa-apa dan  karena  itu merekalah  yang  lebih  patut  dibela.  Lagipula, mengapa mereka mesti melindungi seorang pembunuh sadis yang jelas-jelas bersalah, yang  terkadang  membunuh  hanya  karena sekedar  iseng-iseng dan gagah-gagahan saja  seperti  yang kerap  terjadi  di kalangan anak  muda. Sebaliknya juga, mengapa mereka membutakan diri terhadap nasib  si  korban dan keluarganya, yang boleh jadi korban  tersebut  adalah tulang  punggung dari keluarga  dan  sepeninggal  korban keluarganya  akan mengalami kesulitan mencari nafkah.  Dan selama  ini kita memang bisa menyaksikan  dan membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa karena tindak pembunuhan tidak  diberi  sangsi yang berat, maka  hal  ini  ternyata telah menyebabkan orang tidak lagi menghargai nyawa  orang lain.  Bila yang dibunuh itu hanya seorang mungkin  masih bisa  diampuni,  tetapi bagaimana bila  yang  dibunuh itu mencapai belasan atau malah puluhan orang. Atau  bagaimana bila mereka mencingcang para korbannya seperti yang  kerap terjadi  pada  pembunuhan berantai. Dengan  adanya sangsi yang  tegas dan pasti  (jadi, sudah  pasti  akan menerima hukuman  mati  bila ia melakukan pembunuhan),  maka  orang akan bertobat dan memperbaiki kesalahan niatnya  sebelum melakukan pembunuhan.  Pada akhirnya,  akan  terhindarlah adanya korban yang sia-sia, baik karena tindak  pembunuhan maupun  karena hukuman mati. Kepastian ini merupakan  hal yang sangat  penting karena bila ada yang lolos  dan  ada yang tidak  lolos, maka orang masih  akan  bisa berharap bahwa  ia   nanti tetap bisa terbebas dari  hukumam  mati. Apalagi  bila  ternyata lebih banyak yang  lolos daripada yang terkena. Bila sampai terjadi demikian, maka  meskipun hukuman mati diterapkan, janganlah berharap  kejahatan  jenis  ini  akan bisa berhenti. Harus ada kepastian.

Dan memang  hanya dengan adanya sangsi yang tegas dan pasti, maka orang akan bertobat dan memperbaiki kesalahan niatnya sebelum melaku kan pembunuhan. Bila pun ada yang baru  bertobat  setelah melakukan pembunuhan,  maka Tuhan  Maha Penerima  Tobat, tetapi  hukum tetaplah harus tetap dijalankan. Dan  urusan bertobat memang adalah urusan manusia dengan Tuhan,  bukan antara  manusia dengan manusia. Biarlah ia nanti bertobat di  hadapan  Tuhan. Dan kita bisa membantu mempercepatnya. Dalam hal ini kita memang  lebih  baik bersikap preventif sebab berbeda dengan harta benda,  bila nyawa  sudah hilang, maka ia tak akan pernah bisa  kembali lagi. Dan memang lebih baik kita mengingatkan seorang  sopir  untuk tidak ngebut sebelum ia berangkat daripada mengingatkannya ketika ia telah masuk jurang bersama puluhan penumpangnya. Sudah  terlambat dan percuma saja. Sudah terlanjur jatuh banyak korban. Upaya preventif memang selalu lebih  baik ketimbang kuratif.

Selain  itu,  sangsi hukuman mati  ini  bisa  efektif karena  menyentuh  instink manusia yang  paling  mendasar, yaitu  instink untuk survive atau bertahan hidup. Dengan diberlakukannya  hukuman mati, maka ini akan bisa  membuat seseorang yang kurang bisa menghargai nyawa orang lain dan berniat melakukan pembunuhan akan selalu ingat bahwa  bila dia melkukan pembunuhan, maka dia berarti membunuh  dirinya sendiri.  Dengan  demikian, orang  akan  selalu  berusaha menghindarkan diri dari melakukan tindak pembunuhan karena hal  itu akan bisa membahayakan keselamatan dirinya  sen diri. Oleh karena itu, hukuman mati masih perlu diterapkan untuk mencegah seseorang melakukan tindak pembunuhan orang lain.

Apabila kita tidak menerapkan hukum yang tegas  untuk kejahatan  jenis ini, maka akan membuat tidak  dihargainya lagi nyawa manusia. Orang bisa saja ditembak mati, disabit clurit  dan  terkapar  di jalanan  hanya  karena  masalah-masalah  yang sangat sepele. Mungkin hanya karena  sekedar ingin merampas dompet yang berisi uang sepuluh ribu  saja. Atau  mungkin hanya karena perselisihan kecil di  jalanan. Dan pembunuhnya kemudian bisa bebas beberapa tahun  lagi, untuk kemudian membunuh orang lagi. Ditahan lagi, keluar dan membunuh lagi. Berkali-kali. Dan ini memang ini adalah hal yang kerap terjadi. Jadi, mereka ternyata tidak berto bat seperti yang disangka. Apakah mereka yang menolak hukuman mati bisa menjamin mereka akan bisa bertobat sepenuhnya? Jawabannya kemungkinan besar adalah tidak. Kalau mereka yang menolak bisa menjamin, maka baiklah kita bisa setuju. Bila mereka tak mau bertanggung jawab, maka kita tidak setuju. Setiap orang yang berpendapat haruslah turut serta bertanggung jawab atas akibat-akibat pendapatnya.

Selain itu, kita bisa melihat bahwa di beberapa negara lain  seringkali  terjadi bagaimana  seorang  pembunuh  sadis  yang jelas-jelas bersalah dan telah membunuh puluhan atau belasan orang  dan dia  juga jelas-jelas anggota sebuah  organisasi kejahatan dapat dengan mudah lolos dari hukuman, malah bisa  dengan santai  muncul di muka umum dan tampil  sebagai milyuner dermawan.  Dan bila dia tertangkap lalu diadili,  maka  ia tidaklah diadili karena perkara kriminal yang  dilakukannya, tetapi malah diadili karena penggelapan pajak. Suatu hukum yang aneh. Mengapa kita tidak sekalian menghukum seorang pencuri mobil dengan tuduhan melanggar lampu merah? Sistem hukum yang buruk semacam ini tentunya akan mendukung semakin berkembangbiaknya aksi kejahatan  karena para  penjahat menganggap sangsi hukumannya  ringan  saja. Mengenai  masalah  ini, beberapa warga pernah menulis di surat  pembaca majalah Time untuk menanggapi berita yang menyatakan bahwa polisi sudah "berhasil" memerangi kejahatan. Dan boleh jadi keluhan berikut ini mencerminkan sikap banyak warga yang dirundung kecemasan karena sangat  tingginya angka kriminalitas di sana. Satu di antaranya:

Berapa  banyak  uang yang harus  kita  keluarkan untuk membeli kunci dan peralatan anti pencuri  mobil jenis baru serta premi asuransi yang semakin meningkat sementara kita sudah berani menyatakan  berhasil memenangkan perang melawan kejahatan. Saya mengkhawatirkan  hukum  dan tatanan (law and order)  yang  ada saat ini dan juga apa yang kita namakan sistem keadi lan.  Saya lebih menyukai keadilan dan hukuman  a la Singapore. (Joachim H. Barz, Mesa Arizona).2

Melihat hal di atas, maka dalam hal ini kita  nampak nya perlu sekali lagi mengingat prinsip dan tujuan  hukum, yaitu menegakkan keadilan serta menciptakan rasa aman  dan tentram  dalam  kehidupan masyarakat. Bila hak itu  belum tercapai, maka berarti hukum yang ada masih perlu  diperbaiki.


Sedangkan mengenai hukum di Indonesia sendiri, kita agaknya sudah waktunya merevisi kitab-kitab hukum yang ada, terutama lagi yang berkaitan dengan masalah pidana. Bagaimana mungkin kita bisa menjalankan hukum dengan baik kalau perangkat hukumnya adalah diadopsi dari zaman Belanda? Padahal, keadaan masyarakat tidaklah statis dan tetap seperti zaman Belanda. Jadi, sudah sangat ketinggalan zaman dan perlu direvisi sepenuhnya sejalan dengan perkembangan yang ada. Sistem hukum haruslah mampu menjamin keamanan dan ketentraman masyarakat.

Masalah Kejahatan dan Watak Manusia

Banyak orang yang berpendapat bahwa penyebab kejaha tan antara lain adalah masalah ekonomi. Ini memang ada benarnya mengingat kebutuhan pangan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Di dalam Islam sendiri terdapat kelonggaran apabila orang yang melakukan kejahatan itu karena terpaksa, terdesak oleh perut yang lapar, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar.  Tetapi, masalah ekonomi agaknya bukanlah penjelasan satu-satunya karena tidak bisa menjelaskan kenapa banyak orang miskin yang tetap jujur dan memilih berjualan di kaki lima atau jadi tukang semir sepatu daripada melakukan kejahatan. Juga tidak bisa menerangkan kenapa seorang pejabat yang hidupnya sudah sangat berkecukupan masih suka korupsi atau kenapa seorang pengusaha yang sudah sangat kaya raya tetapi masih suka serakah dan menggusur harta milik orang lain yang jauh lebih miskin. Juga kenapa seorang penjahat yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara tidak juga merasa jera, padahal seandainya saja uang hasil kejahatan nya itu dikumpulkan mungkin ia sudah bisa hidup dengan makmur. Meski demikian, ini bukanlah berarti bahwa masalah ekonomi bisa diremehkan begitu saja sebab kemiskinan dan perut yang lapar bisa mendorong orang untuk berbuat apa saja, termasuk juga berbuat kejahatan tanpa mempedulikan lagi keselamatan jiwanya, apalagi jiwa orang lain.

Untuk menerangkan penyebab dari kejahatan selain yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi ini, maka kita di sini perlu untuk memahami watak manusia. Pada hakikatnya, watak manusia itu terbagi atas dua golongan. Ada orang yang berkecenderungan baik dan ada yang berkecenderungan jahat. Akan tetapi, dua jenis orang watak yang berbeda ini tidaklah bisa kita samakan dengan warna hitam dan putih. Orang yang berkecenderungan baik juga ada kecenderungan jahatnya walaupun kecil. Orang yang berkecenderungan jahat juga mempunyai kecenderungan berbuat baik walaupun kecil juga. Faktor lingkungan akan sangat berpengaruh di dalam pembentukan watak manusia. Bila dua orang yang kecenderungan wataknya berbeda itu tinggal di suatu lingkungan  yang baik, maka orang yang berkecenderungan baik itu akan semakin terbentuk sifat baiknya, sedangkan yang berkecenderungan jahat akan ada kemungkinan dia akan terpengaruh menjadi lingkungannya sehingga menja di menjadi orang baik, atau mungkin juga dia kan tetap menjadi jahat. Sebaliknya, bila dua orang yang tersebut tinggal di lingkungan yang buruk, maka yang berkecenderungan jahat akan semakin terbentuk sifat jahatnya, sedangkan yang berkecenderungan baik ada kemungkinan dia akan ter pengaruh menjadi  jahat atau tetap menjadi baik. Kisah berikut ini mungkin akan bisa sedikit menjelaskan bagaima na seorang anak yang semula mempunyai sifat-sifat yang buruk kemudian berubah menjadi baik dan tertib karena pengaruh lingkungan barunya.

Kami menyewa lantai dua sebuah rumah dan Koji hidup bersama kami. Koji telah mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk selama tiga tahun semenjak kematian orang tuanya. Keponakan-keponakan saya kemudian meniru-niru kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut. Koji dianggap membawa pengaruh buruk kepada mereka.3

Selanjutnya lalu dikisahkan :

Kami semua mulai bersikap hati-hati dalam segala hal, bahkan sampai pada tata-cara mengucapkan salam dan mengatur sepatu setiap kali memasuki rumah. Kami diam saja dan tidak mengeluhkan kebiasaan-kebiasaan buruknya. Kami mengubah sikap dan hidup secara baik-baik sesuai dengan tata krama kami.Tahun demi tahun Koji beradaptasi dengan lingkungan barunya. Lama-kelamaan cara hidupnya juga berubah sesuai dengan cara hidup kami. Secara alami ah, tanpa disadarinya, ia telah mengubah cara hidupnya hingga ia melakukan segala sesuatu dengan teratur tanpa perlu dimarahi sama sekali.4

Bila contoh di atas mengisahkan perubahan dari sifat buruk ke sifat baik, maka  tentunya adalah hal yang menyedihkan bila karena pengaruh lingkungannya seseorang yang semula bersifat baik berubah menjadi buruk secara alamiah, tanpa disadarinya. Dari pengalamannya tersebut Suzuki kemudian mengambil kesimpulan:

Pengaruh daya hidup ini sangat kuat. Sekalipun seorang anak berusaha menjadi anak yang manis, namun apabila daya hidupnya telah beradaptasi dengan ling kungan sekitarnya yang tidak baik, maka ia akan terus melakukan apa yang sudah selalu dilakukannya. Hal ini sama sulitnya dengan usaha seseorang yang untuk mencoba berhenti menggunakan dialek Osaka sementara setiap orang di sekitarnya selalu bercakap-cakap dengan menggunakan dialek tersebut. Usaha ini tidak akan berhasil kecuali ia tinggal di suatu tempat yang tak seorang pun berbicara dalam dialek tersebut. Manusia dibentuk oleh lingkungannya.5

Meski demikian, faktor lingkungan ini tidaklah hanya bisa berarti teman sepergaulan, lingkungan keluarga atau semacamnya, tetapi juga bisa diartikan kondisi sosial dan hukum yang berlaku di lingkungannya. Apabila orang yang berkecenderungan baik tinggal di suatu tempat yang memungkinkannya berbuat jahat, besar kemungkinan dia akan tetap berbuat baik walaupun tidak tertutup kemungkinan ia akan berbuat jahat karena terbukanya kesempatan yang ada. Sedangkan bagi orang yang berkecenderungan jahat, maka sifat jahatnya itu akan semakin berkembang karena kondisi lingkungan yang mendukung berkembangnya sifat tersebut. Oleh karena itu, di suatu negara yang sangsi hukum bagi berbagai tindak kejahatan dianggap ringan saja, maka kejahatan akan semakin berkembang luas karena kondisi lingkungan semacam merupakan lahan yang subur bagi ber kembangnya sifat jahat. Kita seringkali mendengar orang yang melakukan tindak kejahatan yang tergolong berat ternyata hanya dihukum ringan saja atau malah bisa lolos dari hukuman. Hal semacam ini akan menyebabkan orang tidak takut untuk melakukan kejahatan sehingga tindak kejahatan pun akan semakin merajalela.

Meski demikian, walaupun hukum yang dan adil tegas sangat diperlukan untuk  memberantas kejahatan, ini nam paknya hanya akan bisa memberantas kejahatan yang disebab kan oleh hukum yang kurang tegas saja, bukan karena sebab kemiskinan. Kita tahu bahwa meskipun sudah ribuan orang dihukum mati di Cina, kejahatan tetaplah ada. Juga meski pun di Pakistan dan Arab Saudi pelacuran diancam hukuman yang berat, kegiatan itu tetap ada. Dan yang lebih mem prihatinkan lagi, yang di Arab Saudi itu banyak di antara nya yang berasal dari Indonesia. Jadi, kemiskinan ini memang berkaitan erat dengan pelanggaran hukum dan norma agama sehingga yang harus dibenahi memang bukanlah masalah hukum saja, tetapi juga masalah ekonomi.

Mengenai bagaimana sifat jahat dan serakah yang ada pada manusia mula-mula timbul, nampaknya diwarisi dari keadaan zaman purba di mana setiap mahluk hidup memang harus berjuang keras untuk mendapatkan makanan. Dan ini pula yang mesti dilakukan oleh para leluhur manusia. Kehidupan yang keras dan berat tersebut nampaknya memang menimbulkan banyak pengaruh buruk. Setiap mahluk hidup seringkali harus bersaing dengan mahluk hidup yang lainnya untuk bertahan hidup termasuk pula bila itu harus dengan cara merampas atau bahkan membunuh yang lainnya yang disebut dengan istilah struggle for existence. Dan insting untuk survive ini memang adalah insting yang terkuat yang ada pada mahluk hidup, termasuk pula manusia. Karena itu, bila kita memang ingin memberantas kejahatan, maka salah satu hal yang perlu dilakukan memang adalah memperkecil atau kalau bisa meniadakan sama sekali kesulitan bagi manusia untuk memperoleh makanan atau sumber penghidupannya. Dengan cara ini, maka secara perlahan-lahan kejahatan dan sifat jahat yang ada pada manusia bisa disingkirkan. Ini akan kita bahas lebih lanjut dalam bab yang berikutnya.


Yogyakarta, 1998.


Endnote
1  Beberapa waktu yang lalu ada berita yang menyata kan bahwa kaum Taliban melarang fotografi, membakar klise foto dan menghancurkan patung antik sisa-sisa peninggalan agama Budha di sana.

2 Time, 5 Februari 1996, hlm. 7. Hukuman dan keadilan a la  Singapore  ini dimaksudkan  untuk  mengingatkan  kepada hukum cambuk yang saat itu baru saja dilaksanakan kepada seorang pemuda kulit putih yang melakukan vandalisme di Singapura.

3 Shinichi Suzuki, Mengembangkan Bakat Anak Sejak Lahir, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 32.
4  Ibid.
5 Ibid.