Friday, April 26, 2013

Garuda Pancasila, Lambang Negara Hasil Rancangan Orang Arab




Oleh: Helmi Junaidi


Saya baru tahu kalau perancang lambang Garuda Pancasila adalah Sultan Hamid II dari Pontianak. Ada di Wikipedia, nama lengkapnya adalah Syarief Abdul Hamid Al-Kadrie, seorang keturunan Arab Indonesia. Saya pertama kali tahu hal ini sewaktu secara tak sengaja membaca artikel Garuda Pancasila di website Badan Intelejen Negara Republik Indonesia. Tapi, karena disebut sekilas saja, saya lalu googling mencari beberapa referensi yang lainnya. Tak saya sangka, ternyata perancang lambang Garuda adalah orang Arab, seorang habib pula. Nama depan Syarief itu artinya memang sama dengan habib atau sayyid. 

Entah kenapa kok tidak pernah diajarkan di sekolah sehingga jarang yang tahu. Beda dengan nama pencipta lagu Indonesia Raya yang dihapal tiap anak sekolah. Mungkin karena perbedaan pendapat Sultan Hamid dengan mayoritas politisi pada masa itu yang menginginkan negara kesatuan sehingga namanya kemudian dihapus dari sejarah.

Di artikel  wikipedia  yang berbahasa Inggris disebutkan bahwa Sultan Hamid menginginkan negara federal karena khawatir dengan dominasi Jawa. Kekhawatiran tersebut ternyata di kemudian hari, bahkan sampai saat ini, menjadi kenyataan. Kenyataan pahit bagi orang luar Jawa, Kekayaan daerah dirampok habis-habisan sementara daerah-daerah penghasil kekayaan tersebut tetap miskin merana, termasuk Kalimantan Barat, daerah Sultan Hamid. Hutan ditebang habis dan uang hasil kayu-kayu gelondongan tersebut tak ada yang sampai ke rakyat setempat. Sampai saat ini pun 70% uang rupiah cuma beredar di Jakarta, dan tentu saja selalu dikorup habis, lihat artikel detik tadi dan di artikel DKI Jakarta, Wikipedia. Cuma 30% sisanya dibagi sebagai secuil remah-remah di daerah-daerah penghasil kekayaan tersebut. Kalau dihitung per provinsi, masing-masing provinsi cuma dapat  sekitar 1% saja. Benar-benar cuma secuil. Sangat menyedihkan dan luar biasa timpangnya. Yang juga ketiban sial adalah rakyat jelata di Jawa, yang sudah tetap miskin ikut kena tuduh sebagai perampas kekayaan di luar Jawa pula, padahal yang menikmati cuma kalangan pejabat dan pengusaha korup saja. Rakyat baik di Jawa maupun di luar Jawa tetap sama-sama miskinnya.

Setelah Sultan Hamid II kemudian dituduh terlibat APRA dan hendak melakukan kudeta, maka makin tersingkirlah ia dari lingkar pemerintahan. Dan setelah itu namanya dihapus dan hilang dari sejarah. Tak pernah disebutkan di buku-buku sekolah siapa perancang lambang negara.

Tapi, terlepas dari perbedaan pendapat tadi, Garuda tetap dipakai juga. Malah lambang ciptaan Sultan Hamid tetap dipuja habis-habisan oleh para pendukung negara kesatuan sampai sekarang. Ada di kaos timnas sepakbola kita, lagu Garuda di Dadaku juga sering dinyanyikan dengan gempar (atau cetar?) membahana di TV dan stadion. Bahkan, menjadi bendera kebanggaan salah satu parpol juga.

Bagamana kalau timnas diganti nama dengan tim Sultan Hamid saja. Nah, pemain-pemain Arab Saudi kemarin akan bisa beri salut duluan sebelum laga. :D Sekaligus untuk buang sial. Selama ini keok terus-terusan sih. Kagak pernah menang. :( Lha, lambang ciptaannya dipakai, tapi perancangnya malah sengaja dihapus dan dilupakan.

Baca juga:

Malang, 30 Mar 2013

Sayyid Ahmad Khan, Guru Besar dari Ghulam Ahmad


Oleh: Helmi Junaidi




Kesalahan orang-orang saat berdebat tentang Ahmadiyah adalah cuma terfokus pada klaim kenabian Ghulam Ahmad. Tawur habis-habisan di situ. Akibatnya tidak ada perhatian kepada berbagai penafsiran-penafsiran lainnya, yang mana orang-orang Ahmadiyah zaman Ghulam Ahmad sangat terpengaruh dengan pemikiran Sayyid Ahmad Khan, pembaharu Islam dari India yang juga pendiri perguruan Aligarh. Selain itu, pemikiran Ahmad Khan juga banyak mempengaruhi kaum intelektual lainnya di India pada masa itu. Silakan lihat antara lain di link ini, Sir Syed Ahmed Khan's religious view.

Bila anda membaca kitab tafsir Ahmadiyah, isinya ya sama persis dengan pemikiran Ahmad Khan di atas. Mereka memang murid-murid Ahmad Khan. Termasuk penafsiran Yesus sudah wafat. Yang juga saya tulis itu. :D Itu penafsiran Ahmad Khan juga.  Tapi, yang paling kacau adalah mayoritas umat Ahmadiyah, mungkin 99%, tidak tahu bahwa itu adalah penafsiran Ahmad Khan. Mereka menyangkanya asli ajaran Ghulam Ahmad. Coba saja tanya langsung sendiri ke mereka. Kebanyakan umat Ahmadiyah memang awam saja tentang seluk beluk agamanya.

Ajaran Ahmad Khan lainnya lagi yang turut dianut Ghulam Ahmad adalah mengharamkan jihad dengan senjata. Ini bagi Ahmad Khan agaknya instruksi yang berfungsi sementara saja. Supaya umat Islam di India tidak dicurigai dan ditindas oleh pemerintah kolonial Inggris, supaya bisa tetap berkembang dan tidak dipinggirkan. Maklumlah, saat itu masih baru saja terjadi pemberontakan Sepoy dan banyak juga tentara Sepoy beragama Islam yang terlibat. Ajaran anti jihad inilah yang lalu dianjurkan juga oleh Ghulam Ahmad. Celakanya, oleh Ghulam Ahmad dianggap berlaku selamanya. Tidak bersifat sementara sesuai dengan kondisi yang ada, seperti kalau di sini kondisi zaman revolusi 1945 misalnya. Kalau tak diusir dengan senapan tak bakalan penjajah Belanda mau pergi. Belanda saat itu kan ngotot sekali ingin tetap berkuasa di sini. Dan kita sampai sekarang pun tetap terbungkuk-bungkuk menyembah tuan-tuan kebun Belanda kalau tak berjihad dengan senapan pada tahun 1945.

Silakan lihat di link ini, kita akan tahu bahwa semua pandangan Sir Syed Ahmad Khan memang dianut habis oleh Ahmadiyah.

Meski demikian, tetap menarik juga untuk mempelajari pemikiran Ahmad Khan. Tentu jangan lantas asal anut semuanya. Harus pandai memilah-milah juga. Saya juga kan cuma menganut seperlunya saja. Yang menurut kita benar saja. Kalau yang menurut kita salah tentu buat apa dianut.

Oke, silakan Anda baca kitab tafsir Ahmadiyah. Saya kira mesti ada di internet, cari saja sendiri. Isinya akan banyak yang sama persis dengan pemikiran-pemikiran Ahmad Khan.

Malang, 29 Maret 2013

Wednesday, April 24, 2013

Belajar dengan Senang

Oleh: Helmi Junaidi



Orang biasanya akan bersedia belajar rajin bila mereka menyukai topik yang dipelajarinya. Sewaktu di sekolah menengah dahulu ada teman saya mengeluh kenapa ia mesti mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak disukainya dan ia mempelajarinya karena terpaksa saja. Karena ada di kurikulum dan kalau tak mempelajarinya tentu ia bisa tak naik kelas. Ia suka pelajaran eksakta dan tidak menyukai pelajaran lainnya. Sebaliknya, ia dengan senang hati mempelajari suatu pelajaran yang disukainya tersebut walaupun sedang tidak ada PR atau pun tugas lainnya. Teman tersebut memang terkenal sangat jago dalam pelajaran eksakta. Suatu ketika, sewaktu saya mampir ke kosnya saya menjadi tahu penyebabnya. Sewaktu saya ke sana ia sedang sibuk mengerjakan PR. Ketika PR tersebut sudah selesai ia tidak berhenti, tetapi terus mengerjakan soal-soal yang sebetulnya tidak dijadikan tugas. Itu berlangsung sampai hampir tiga jam sehingga membuat saya menjadi kagum karena ketekunannya. Pantas ia menjadi sangat jago dalam pelajaran-pelajaran tersebut. Kalau sudah sibuk begitu ia kalau diajak ngobrol hanya menjawab singkat-singkat saja. Alasannya mengerjakan soal-soal tersebut hanyalah karena sekedar hobi saja. Ia sangat suka mengerjakannya. Dan itu ia lakukan setiap hari. Sedangkan saya sendiri, karena saat itu kurang menyukai eksakta, maka sambil menunggu PR yang dikerjakannya selesai saya hanya sibuk leyeh-leyeh saja di kamarnya. Setelah ia selesai mengerjakan saya pun segera  menconteknya. Dan memang itulah tujuan utama saya berkunjung ke tempatnya. :D 

Sewaktu masih SD nilai matematika saya sebetulnya termasuk selalu paling bagus di kelas. Entah kenapa sewaktu SMP dan SMA minat saya hampir tak ada sama sekali. Saya waktu itu lebih tertarik belajar ilmu agama dan ilmu sosial. Minat saya kepada eksakta dan ilmu alam baru bangkit lagi sewaktu mempelajari evolusi, karena di situ ada kaitan antara ilmu alam dengan hiruk pikuk sosial dan agama. Bahkan amat sangat hiruk pikuk.  Akhirnya saya tertarik lagi dengan ilmu alam.

Sewaktu pertama kali datang ke Yogya saya juga kebetulan kenal dengan seorang anak SMM yang permainan pianonya sangat lihai dan membuat saya menjadi kagum. Padahal, ia baru tiga tahun saja belajar piano. Dan itu disebabkan karena ia berlatih piano delapan jam setiap hari. Mulai pukul 5 sampai jam 7 pagi. Kemudian sorenya mulai jam 3 sampai jam 9 malam atau lebih. Dan alasannya berlatih piano itu juga sama, yaitu karena sudah menjadi hobi. Jadi, belajar karena inisiatif sendiri, karena sudah menjadi hobi,  tanpa perlu dijewer oleh orang tua atau dimarahi oleh guru. Dan seperti pada teman saya sebelumnya, anak SMM ini juga tak peduli dengan pelajaran selain yang diminatinya saja. Karena jiwanya, bakatnya dan minatnya memang bukan pada selain itu.

Ada pepatah Arab yang berbunyi bahwa "setiap orang itu mempunyai kelebihannya masing-masing".  Agaknya pepatah ini perlu juga diterapkan di dalam menyusun sistem pendidikan karena masing-masing orang itu memang punya kelebihan dan bakat sendiri-sendiri. Karena itu, sebetulnya saya lebih cenderung kalau pembagian jurusan itu bisa dimulai semenjak SMP. Dan sewaktu di SMP dulu saya kadang jengkel juga kenapa harus mempelajari pelajaran-pelajaran yang tidak saya sukai dan saya merasa tidak berbakat di dalamnya dan seandainya saya sudah lulus nanti mungkin tidak akan pernah saya pelajari lagi. Meski demikian ini tentunya tidak berarti pelajaran-pelajaran yang lain tersebut tidak diberikan pada masing-masing jurusan. Tetapi tetap di berikan dalam porsi yang ringan untuk sekedar menambah wawasan sehingga mereka tidak buta sama sekali tentang pelajaran yang di luar jurusannya. Selanjutnya bila di tingkatan yang lebih tinggi berangsur dikurangi sehingga mereka bisa lebih berkosentrasi pada bidang yang mereka pilih dan mereka sukai dan mereka memang berbakat di dalamnya sehingga mereka betul-betul menguasai masing-masing bidangnya. Dan satu hal yang tak kalah pentingnya, pelajaran-pelajaran yang hanya menjadi pelajaran sekunder pada masing-masing jurusan itu tidak diberikan tugas atau PR yang berlebihan sehingga mereka di rumah tidak bisa berkonsentrasi mempelajari bidang pelajaran primer mereka.

Yogyakarta, 2001

Tuesday, April 23, 2013

I Don’t Believe In Charity. There Is Something Sacred About Wages






Demikian kata Henry Ford. Maka, ia kemudian menaikkan upah pekerja di pabrik mobilnya hingga lima kali lipat dari standar UMR di Amerika pada masa itu. Suatu tindakan yang sangat mengejutkan banyak pengusaha di Amerika pada masa itu. Tetapi, ia tidak jatuh bangkrut karena tindakannya. Malah, semakin berkembang dan tetap bertahan sebagai salah satu perusahaan raksasa di Amerika hingga saat ini.

Tentu, anjuran ini hanya dimaksudkan bagi perusahaan yang sebenarnya mampu menaikkan gaji pekerjanya, tetapi lebih suka menumpuknya bagi diri sendiri. Bukan yang benar-benar tidak sanggup melakukannya. Atau bila pun tidak seperti Henry Ford, paling tidak gaji para pekerja itu bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa harus berhutang kanan-kiri.


Yogyakarta, 2001.

Jemuran Anti Hujan


Oleh: Helmi Junaidi


Selama ini, entah kenapa orang membuat atap jemuran dengan setengah-setengah saja untuk menangkal hujan. Biasanya hanya sekedar diberi tutup atap plastik. Dan bila hujan turun, maka tentu saja pakaian masih tetap terkena hujan karena bagian kanan-kiri jemuran masih terbuka lebar-lebar untuk masuknya air hujan, apalagi kalau itu berupa hujan angin. Padahal, orang seringkali lupa mengangkat jemuran, terutama kalau pas sedang bepergian atau ketiduran. Jadinya, baju pun batal menjadi kering. Malah menjadi semakin basah kuyup. Atau kalau pun ingat, mereka jadi tergesa-gesa cepat pulang, padahal siapa tahu urusan belum selesai. Bila pun terpaksa harus mengambil jemuran, seringkali banyak yang masih setengah basah dan esoknya terpaksa harus kerja dua kali untuk menjemurnya kembali, ruwet dan repot.

Oleh karena itu, saya akan membuatkan rancangan jemuran untuk Anda supaya hidup Anda bisa lebih aman dan nyaman dari serbuan hujan. Bahkan bila hujan sedang deras-derasnya. Untuk itu kita perlu mengubah konsep jemuran yang selama ini hanya dianggap sebagai ruangan aksesoris yang dibangun ala kadarnya. Jadi, dengan konsep yang baru ini jemuran dianggap sebagai bagian dari ruangan rumah yang dibangun sepenuhnya. Mengingat ruangan jemuran itu biasanya kecil saja, rata-rata hanya berkisar 2 kali 3 m, maka biaya tambahan yang diperlukan rasanya tidaklah terlalu banyak bila dibandingan dengan manfaat yang bisa kita rasakan. Mengenai rancangannya lihat gambar di bawah.





Ini hanya gambar dari salah satu sisi saja. Tapi, karena tiga sisi yang lainnya bentuknya identik, maka rasanya satu gambar saja sudah cukup untuk mewakilinya. Jadi, ruangan jemuran ditembok penuh, tidak hanya setinggi pinggang seperti yang umumnya ada selama ini. Kemudian masing-masing sisi ruangan diberi jendela kaca yang cukup lebar untuk masuknya sinar matahari. Genting tidak terbuat dari plastik, tetapi dari genting bata seperti juga bagian rumah yang lainnya. Selain itu, juga diberi tambahan genting kaca yang cukup banyak dan lebar. Kalau untuk genting ini tentunya hanya perlu dua sisi saja, atau bisa juga hanya satu sisi mengingat ruangan jemuran yang tak terlalu lebar. Dengan demikian, walau ruangan tertutup penuh, sinar matahari tetap bisa menyinari ruangan dengan teriknya. Bagian gambar yang berwarna putih itu adalah jendela dan genting kaca.

Desain baru yang sederhana dan biayanya tambahannya pun relatif murah saja, tapi bisa dipastikan akan bisa sangat membantu Anda supaya tidak selalu tergopoh-gopoh naik turun tangga mengusungi pakaian setiap kali turun hujan. Pakaian Anda juga bisa menjadi lebih bersih karena dengan ruangan jemuran yang tertutup pakaian tak terkena debu dari luar. Nilai plusnya lagi, pemandangan di lingkungan sekitar pun bisa menjadi lebih asri karena tidak lagi terganggu pemandangan semrawut dari bentangan pakaian yang melambai-lambai diterpa angin, apalagi kalau yang lagi turut melambai-lambai itu adalah pakaian penutup aurat dalam Anda.

Malang, 5 September 2006

Trench Warfare Analysis

By: Generalfeldmarschall Helmut von Clausewitz



No man’s land varied from less than 30 yards (27 meters) wide at some points to more than 1 mile (1.6 kilometers) wide at others. And from 1.8 to 2.5 m (6 to 8 ft) deep. In time, artillery fire tore up the earth, making it very difficult to cross no man’s land during an attack. (sumber: Encarta)

Difficult? Menurut para jendral baik dari pihak sekutu maupun sentral pada PD I, trench warfare ini nampaknya memang satu hal yang very very difficult. Sampai-sampai berlarut hingga 4 tahun dan menghabiskan nyawa jutaan manusia. Menurut saya itu sebenarnya karena siasat yang tak becus saja. Memerintahkan massa pasukan infantri berlari frontal menghadapi senapan mesin yang berada di balik selubung kawat berduri. Gila. Ini namanya bunuh diri. Siasat yang paling bodoh yang pernah ada, sebodoh-bodohnya siasat. Ya tentu saja very difficult untuk mengakhiri deadlock, lha siasatnya begitu. Karena siasat semacam itu, walaupun telah jatuh jutaan nyawa prajurit, garis parit tak pernah banyak bergeser selama 4 tahun pertempuran. Berkali-kali ratusan ribu prajurit infantri diperintahkan maju menembus hujan peluru senapan mesin, hujan bom meriam artileri dan selubung kawat berduri. Gelombang demi gelombang barisan prajurit yang maju disapu bersih oleh hujan bom dan peluru. Dan jutaan nyawa itu melayang sia-sia sedangkan garis parit tetap tak bergeser seinci pun. Dan lucunya, siasat semacam ini diulang sampai berkali-kali!! Mungkin isi kepala para komandan sekutu dan sentral pada masa itu perlu diperiksa, apa sebenarnya yang ada di dalamnya, otak atau goplem.

Bagaimana kemudian kalau menurut saya? Hmm.. kalau menurut Generalfeldmarschall sih, seperti biasanya, selalu gampang-gampang saja. Tidak difficult difficult amat. Seandainya saja Generalfeldmarschall hidup pada masa itu, mungkin perang bisa diperingkas dalam waktu bulanan saja dan tak sampai timbul korban yang bertumpuk-tumpuk. Karena memang very very easy. Silakan ikuti uraian di bawah ini.

Pertama-tama, coba lihat tuh peta baik-baik. Perhatikan bagian no man’s land yang dianggap sebagai tanah kematian itu, yang lebarnya berkisar antara 27 meters sampai 1.6 km. Di no man’s land inilah sebenarnya letak kunci strateginya. Caranya yaitu dengan membuat semacam communication trench di bagian no man’s land tersebut. Tentu namanya bukan communication trench, melainkan attack trench. Membuat trench terobosan untuk menyerbu trench lawan. Tentu tanah bagian atas tak turut dibuang, jadi membuat semacam lorong yang bagian atasnya tetap tertutup. Membuatnya di bagian no man’s land yang paling sempit, yaitu yang lebarnya hanya 30 yard tadi, sehingga risikonya kecil dari hujanan artileri musuh dan tak terlalu makan waktu dan tenaga untuk membuatnya. Supaya lawan tak curiga, selama membuatnya dikamuflase dengan hujan tembakan artileri, baik dibagian front maupun belakang. Dan bagian front lawan yang berdekatan dengan attack trench dibuat, dibersihkan dengan hujan artileri dulu.

Dan setelah attack trench tadi selesai dibuat, bisa beberapa lorong, pasukan bisa menyerbu mendadak ke arah lawan. Angriiiff!! Tanpa perlu lagi khawatir dengan senapan mesin, kawat berduri dan hujan artileri dari pihak lawan secara frontal. Dan bisa dipastikan trench warfare akan bisa selesai dalam waktu yang singkat. Deadlock sudah diselesaikan. Perkara pemenangnya? Pihak yang memberi serangan dadakan biasanya akan berada di atas angin. Karena yang menyerang berada dalam kondisi siap tempur sedangkan musuh yang diserang masih leha-leha dan tidur-tiduran. Very simple, bukan? Demikianlah analisa dari Generalfeldmarschall Helmi von Clausewitz untuk trench warfare pada PD I. Kapan-kapan Herr Marschall akan kasih analisa dan kuliah lagi.

Malang, 5 September 2006

Battles are won by slaughter and manuever. The greater the general, the more he contributes in manuever, the less he demands in slaughter.
 (Winston Churchill)

Progressive Watchmaker


Oleh: Helmi Junaidi




Sebenarnya, jika mereka yakin bahwa alam itu diciptakan oleh Allah, niscaya mereka akan mengakui bahwa tidak ada bukti yang lebih baik akan wujud sang pencipta selain hadirnya benda-benda yang teratur dengan rapi. (Ibnu Rusyd)



Sekitar dua minggu yang lalu (tulisan ini saya buat tgl. 5-7 November 2002), sewaktu saya berjalan-jalan melihat pameran komputer di Graha Saba, kebetulan di luar gedung pameran ada orang yang berjualan buku-buku dan VCD. Di antaranya ada beberapa VCD dari Harun Yahya. Karena saya waktu itu hanya bermaksud berjalan-jalan, maka saya hanya membawa uang secukupnya saja, sekedar untuk nanti pulangnya bisa mampir ke warung makan siang. Rencananya saya besoknya saja balik lagi untuk membeli satu atau dua VCD. Sialnya, besoknya ternyata pedagangnya lagi tak jualan. Sebenarnya ada juga pedagang yang lainnya, tetapi koleksi yang dia punya tak cukup lengkap dan VCD yang saya cari agaknya sudah terjual. Besoknya mau balik lagi juga sudah malas. Jarak UGM dari tempat saya kan lumayan juga. Apalagi, cuaca mulai sering mendung saja. Jadi, terpaksa saya besoknya pergi ke warnet terdekat saja. Untunglah, ternyata koleksi di internet cukup lengkap juga walau memang hanya versi cetaknya saja. Tapi, yang penting saya bisa tahu juga pendapat Harun Yahya tentang evolusi dari karyanya yang asli. Perkara VCD-nya itu kan nanti bisa menyusul saja. Yang penting saya bisa tahu juga pendapatnya. Terlebih lagi, untuk yang versi bahasa Inggris buku-bukunya bisa di-download dengan gratis. Saya pindah hasil download ke disket dan sebagian saya print di rumah.

Sebenarnya sudah agak lama juga saya mendengar nama pena ini, tetapi memang baru setelah melihat beberapa keterangan pada sampul beberapa VCD tersebut, saya lalu ingin mempelajarinya lebih lanjut. Setelah saya kemudian membaca buku-buku tersebut, ternyata banyak sekali pendapat mereka yang agaknya terinspirasi oleh Henry Morris, pendiri ICR (Institute for Creation Research) yang mengembangkan ide “scientific creationism”. Dalam banyak hal pendapat mereka memang persis sama karena memang dikutip dari sana. Seperti masalah Archaeopteryx atau Australopitechus misalnya. Atau juga yang lainnya. Mungkin karena Harun Yahya ini merasa seide dengan mereka. Tetapi, sebenarnya pendapat-pendapat mereka itu sudah dibantah oleh para ilmuwan karena dasar-dasarnya memang sangat lemah. Ini antara lain bisa Anda lihat pada buku Darwinism Defended karya Michael Ruse, Bab 14, “Creationism Considered”. Ada di perpustakaan wilayah Yogya kalau ada yang mau lihat. Saya sempat baca juga di situs Harun Yahya bahwa pernah beberapa kali diadakan pertemuan di Istambul oleh mereka dan salah satu tokoh yang diundang adalah Henry Morris. Jadi, hubungan mereka memang cukup dekat juga. Maklumlah, satu aliran. Dan memang ada juga salah satu situs internet yang menjuluki Harun Yahya ini sebagai pelopor “Islamic Creationism”. Tentu, ini bukan berarti saya tak percaya dengan penciptaan. Saya percaya juga. Sayangnya, saya ini agaknya tak terlalu berminat dengan ide “scientific” mereka. Ogah, ah. Saya lebih suka yang scientific betulan saja.

Entah kenapa Harun Yahya dan para pendukungnya ini begitu getol memusuhi evolusi. Itu mungkin karena mereka hanya mau melihat dari sisi buruknya saja. Padahal, kita kan tidak bisa berpikir secara hitam putih begitu. Atau mungkin juga itu karena Harun Yahya ini sangat terpengaruh pemikiran kaum fundamentalis Kristen di Amerika. Saya dulu mengira bahwa gerakan “scientific” semacam ini hanya ada di Amerika, tetapi ternyata sudah lama juga ada juga di Istambul dan sekarang agaknya mulai merambah ke Indonesia dan dunia Islam lainnya. Kalau saya baca di situs tersebut, alasan penentangan mereka terhadap evolusi, seperti biasanya, adalah berbagai alasan yang bersifat “standar” juga. Bosan deh saya dengan berbagai alasan yang bersifat standar macam begitu. Apalagi dengan dibumbui berbagai macam retorika yang bersifat standar pula.

Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin saya tanggapi. Dan saya kemarin sempat download beberapa buah buku juga dari situs www.harunyahya.com. Akan tetapi, untuk sementara masalah ini dulu saja yang saya tanggapi, yang saya anggap paling penting. Salah satu keberatan mereka tentang teori evolusi, kalau saya baca adalah bahwa mahluk hidup ini terjadi secara kebetulan, by chance, begitu istilah sononya dan tidak melalui kun fayakun seperti yang diyakini selama ini. Memang banyak ilmuwan di Barat sana meyakini demikian. Dan banyak di antara mereka yang atheis. Kalau saya pribadi tetaplah masih mempercayai kun fayakun. Akan tetapi, kun fayakun ini menurut saya bukanlah sim salabim. Tuhan bukanlah tukang sulap, tapi Tuhan menciptakan alam ini melalui hukum-hukum abadi yang telah berlaku di alam. Atau bila ada yang masih menentang teori ini karena alasan-alasan keagamaan, silakan membaca sekali lagi pendapat Muhammad Abduh tentang masalah ini. Ada di kitab Al-Maraghi. Dari situ kita bisa tahu bahwa salah satu pembaharu Islam paling terkemuka dari abad kemarin ini pun ternyata tak berkeberatan dengan pendapat bahwa Adam bukan manusia pertama. Sebenarnya, pembaharu Islam dari Mesir ini pemikirannya memang banyak yang cenderung kepada rasionalisme. Sayangnya, hingga sekarang hal itu agaknya tak begitu diketahui oleh kebanyakan umat Islam. Semangat filsafat Asyari’isme yang anti-rasionalisme, yang telah membawa umat Islam kepada abad kegelapan, masih tetap kuat bercokol di banyak kalangan hingga sekarang ini. Perlu kita ketahui bahwa selama kita masih menganut paham filsafat semacam itu, maka kita tak akan pernah beranjak dari abad kegelapan.

Melanjutkan masalah by chance tadi, keberatannya biasanya adalah bagaimana mungkin segala sesuatu yang bersifat acak dan kebetulan itu bisa menghasilkan berbagai mahluk hidup yang bersifat sangat kompleks? Bahkan menghasilkan mahluk secerdas manusia? Memang, bila kita berbicara masalah by chance, maka seakan-akan yang terbayang di pikiran kita adalah suatu proses yang sepenuhnya bersifat acak dan buta. Rata-rata kaum evolusionis di Barat sana hingga sekarang memang berpendapat demikian. Akan tetapi, saya tidak menyetujui pendapat seperti itu. Dan saya punya alasan yang cukup kuat juga. Jadi, bisa turut Anda pertimbangkan. Ini masalah yang cukup penting. Boleh Anda nanti membacanya ulang lebih dari sekali. Baiklah, silakan kemudian membaca uraian berikut ini.

Proses evolusi, sekilas memang akan terkesan demikian, buta dan acak. Sebenarnya tidak demikian. Bila kita mau melihat secara lebih dekat dan mendalam lagi, maka proses evolusi itu sebenarnya adalah suatu proses yang berjalan menurut aturan hukum alam yang senantiasa bersifat tetap, pasti, teratur dan tak berubah. Bukan suatu proses yang buta dan kacau. Bukan sekedar proses yang hanya bersifat by chance. Ada hukum-hukumnya yang bersifat tetap juga. Dalam hal ini, hukum alam yang mengatur proses evolusi itu adalah suatu hukum yang menetapkan bahwa: Evolusi itu adalah suatu proses yang senantiasa bersifat PROGRESIF. Begitu rumusnya. Tidak bersifat kacau. Tidak bersifat “pokoknya evolusi”, pokoknya berubah. Tidak demikian.

Sepanjang sejarah evolusi mahluk hidup, yang kita temui memang adalah terjadinya suatu progresi. Lamarck juga berpendapat demikian, bahwa makhluk hidup di muka bumi ini senantiasa mengalami progresi. Karena proses evolusi ini bersifat progresif, maka pada akhirnya bisa menghasilkan sesuatu yang bersifat terbaik pula, suatu jenis mahluk hidup yang bersifat ahsani takwim. Kata progress, bila kita lihat di kamus Oxford berarti: advance or development toward completion, betterment, etc; improvement. Kita bisa melihat bahwa bermula dari protozoa lalu ber-evolusi menjadi ikan purba, menjadi amphibi, lalu menjadi reptil, lalu menjadi mamalia. Pada akhirnya lahirlah manusia, sang ahsani takwim, puncak dari segala proses progresi tersebut. Atau dalam skala yang lebih kecil dan bisa kita lihat secara lebih jelas, kita bisa memperhatikan proses evolusi bangsa hominid secara khusus. Semuanya menunjukkan adanya suatu progresi. Dan mekanisme yang mengatur adanya progresi ini biasanya kita sebut sebagai seleksi alam (natural selection). Proses seleksi alam ini, sebagaimana kita ketahui, selalu pada akhirnya menghadirkan mereka yang paling baik, paling fit dan paling durable. Survival of the fittest. Senantiasa menghadirkan suatu progresi. Kita tidak pernah misalnya menemui Homo erectus ber-evolusi menjadi Neandertal, lantas setelah itu menjadi Homo erectus lagi, lalu berubah menjadi Homo sapiens, dan setelah itu berubah menjadi Australopithecus lagi dan setelah itu berubah lagi menjadi ikan atau reptil. Tidak pernah terjadi demikian. Karena segalanya memang telah berjalan menurut hukum alam yang bersifat tetap, dan dalam hal ini senantiasa bersifat progresif. Bila dilihat sekilas saja memang proses evolusi itu terlihat seperti berjalan acak dan buta, tetapi bila kita mau mengamati secara lebih mendalam lagi, pada dasarnya semuanya itu berjalan menurut aturan hukum alam yang bersifat rapi, tetap dan pasti. Senantiasa bersifat progresif dan mengarah menuju kemajuan. Dan proses makhluk hidup menuju kesempurnaan adalah dengan cara semacam ini.

Bila kita teliti secara kasus per kasus memang akan terdapat beberapa hal yang bersifat kurang progresif, seperti terjadinya stagnasi selama ratusan ribu atau malah jutaan tahun pada beberapa jenis spesies, adanya fosil hidup atau mungkin juga beberapa hal yang sekilas terkesan seperti mengalami degradasi. Tetapi, hal ini sebenarnya lebih disebabkan bahwa tingkatan dan proses evolusi itu sangat bervariasi pada setiap makhluk hidup. Proses evolusi itu sangat tergantung kepada lingkungan yang ditempati mereka masing-masing. Tergantung tuntutan keadaan dan lingkungan yang mereka hadapi. (Lihat artikel Gradualisme atau Punctuated Equilibria di blog ini). Hanya saja, yang jelas semua jenis mahluk hidup yang ada dan survive hingga sekarang, semuanya saja, lebih durable dan lebih fit ketimbang jenis yang ada sebelumnya. Kalau tidak tentunya mereka sudah lama punah. Dan walau pada proses evolusi masing-masing mahluk hidup itu memang terdapat berbagai tingkatan dan variasi, secara umum evolusi itu tetaplah suatu proses yang bersifat progresif. Perubahan dari protozoa menjadi mamalia adalah suatu progresi, bukan? Terlebih lagi bila itu menyangkut evolusi hominid selama sekitar lima atau empat juta tahun terakhir. Kita bisa dengan jelas melihat proses progresi tersebut. Kalau menyangkut evolusi manusia ini malah bersifat “terlalu progresif” barangkali. Dari Homo habilis yang tinggal di savana dan mencari makan berbekal senjata tulang dan batu, sekarang sudah menjadi Homo sapiens yang memasak nasi pakai rice cooker dan menyimpan daging di dalam kulkas. Dan kita di sini agaknya memang perlu sedikit memberi penekanan untuk melihat kepada proses evolusi manusia. Ini karena yang selama ini kita persoalkan adalah evolusi yang menyangkut umat manusia dan leluhurnya (hominid). Seandainya saja evolusi ini tidak melibatkan manusia tentunya tak akan terjadi perdebatan berlarut-larut. Berlarut-larutnya masalah ini karena manusia dilibatkan di dalam proses tersebut, bukan?

Kemudian kita sekarang membahas apa yang tadi saya sebut seperti mengalami degradasi. Memang, sepanjang sejarah evolusi, ada mahluk hidup yang kehilangan kemampuannya dalam suatu hal. Bila dilihat sekilas ini memang terkesan seperti degradasi. Akan tetapi,bila dia mengalami degradasi pada suatu hal, maka itu akan diimbangi suatu progresi dalam hal yang lain. Bila tidak demikian yang terjadi, maka spesies tersebut akan punah. Seperti misalnya saja kita umat manusia. Kita memang kehilangan kemampuan untuk memanjat dan berloncatan di atas pohon seperti nenek moyang kita. Malah banyak di antara kita yang takut ketinggian. Ini suatu degradasi, bukan? Akan tetapi, di pihak lain, kita mengalami kemajuan yang luar biasa di dalam masalah kecerdasan. Dan kita tahu bahwa kecerdasan otak ini jauh lebih penting untuk survive ketimbang keahlian berjumpalitan di atas pohon. Kemampuan memanjat pohon itu hanya sekedar berfungsi untuk bisa lari menghindari singa dan hyena. Akan tetapi, dengan kemajuan kecerdasan otak kita malah mampu berburu singa dan memakan hyena. Oleh karena itu, secara umum kita tetaplah mengalami suatu progresi. Hal semacam ini terjadi juga pada berbagai mahluk hidup yang lainnya. Mereka mungkin juga kehilangan kemampuan di dalam satu atau dua hal. Akan tetapi, mereka mengalami kemajuan dan perkembangan dalam hal yang lainnya. Dan secara keseluruhan, mereka tetap bisa disebut mengalami progresi. Oleh karena itu, mereka tetap bisa survive, memenangkan persaingan atau malah mendominasi suatu lingkungan tertentu. Jadi, mereka tentunya adalah jenis yang terbaik di lingkungan tersebut. Dan suatu kemajuan itu tentunya diukur menurut lingkungan yang mereka tinggali dan dengan siapa mereka bersaing. Juga tentunya diukur berdasarkan seberapa jauh hal tersebut bermanfaat bagi survival suatu jenis spesies. Kalau suatu perubahan itu malah membawa kepunahan, maka itu tentu bukan kemajuan namanya.

Demikianlah teori progressive watchmaker ini. Dan saya memang lebih menyukai teori melek watchmaker ini ketimbang blind watchmaker. Bila pun nanti ada yang tak setuju ya boleh-boleh saja. Akan tetapi, sepanjang yang saya ketahui, protozoa ber-evolusi menjadi mamalia itu tetaplah merupakan suatu progresi. Homo habilis menjadi Homo sapiens juga tetaplah suatu progresi. Kalau ada yang bilang itu bukan progesi ya terserah saja, tetapi saya kira sebagian besar dari Anda akan setuju bahwa itu merupakan suatu progresi. Oleh karena itu pula, saya berpendapat bahwa proses evolusi ini adalah suatu proses yang di dalamnya berlaku hukum alam yang bersifat tetap, teratur dan senantiasa mengarah kepada suatu progres atau kemajuan. Tidak bersifat acak dan buta, lantas bisa maju dan mundur semau-maunya. Tidak demikian. Dan mekanisme yang mengatur terjadinya kemajuan secara terus-menerus ini, seperti yang saya sebutkan tadi, adalah suatu mekanisme yang bernama seleksi alam. Seleksi itu pada dasarnya suatu mekanisme untuk memilih yang terbaik, bukan? Seperti juga halnya pada setiap kompetisi olahraga, selalu juaranya adalah mereka yang paling tinggi rekornya. Dan umat manusia ini tentunya adalah spesies yang terbaik dan paling tinggi rekornya di kalangan bangsa hominid. Oleh karena itu, ia bisa menjadi juara, tetap survive hingga sekarang dan mendominasi setiap relung di muka bumi ini. Sementara itu, jenis hominid yang lainnya, yang kurang baik dan kurang memuaskan rekornya, mereka sudah lama punah. Hanya jenis yang terbaik yang bisa survive. 

Jadi, penciptaan manusia itu memang bukanlah hasil suatu proses yang bersifat kebetulan dan awur-awuran. Tetapi, proses evolusi itu memang telah diatur sedemikian rupa melalui suatu mekanisme seleksi alam yang senantiasa memilih yang terbaik. Oleh karena itu, pada akhirnya proses ini bisa menghasilkan suatu jenis makhluk hidup yang terbaik pula, yang bersifat ahsani takwim. Dan tentunya juga menghasilkan beragam amazing creatures lainnya yang bersifat sangat kompleks dan benar-benar amazing juga. Tentu, yang saya maksudkan dengan kata “terbaik” tadi bukanlah terbaik yang bersifat absolut alias superman, superanimal atau pun superplant. Terbaik yang saya maksudkan di sini adalah bersifat relatif. Terbaik bila dibandingkan dengan para pendahulunya. Paling fit bila dibandingkan mahluk-mahluk yang telah punah sebelumnya. Dan kata ter, paling itu memang selalu menunjukkan adanya perbandingan, bukan? Ter bila dibandingkan dengan siapa, paling bila dibandingkan dengan yang mana? Tanpa adanya perbandingan, maka kata ter dan paling itu tidak akan ada artinya apa-apa. Bukankah demikian?

Tentu, setelah membaca uraian di atas tadi kaum kreasionis pastilah akan kecewa berat sebab ternyata berbagai keajaiban makhluk hidup yang ada di alam ini bukanlah menunjukkan adanya suatu kreasi khusus (special creation), tetapi semua makhluk hidup itu menjadi sedemikian menakjubkan karena mereka semuanya adalah hasil terbaik dari seleksi alam yang berlangsung selama jutaan tahun. Jadi, foto “jerapah nungging”, yang menjadi gambar kebanggaan (maskot) kaum kreasionis selama ini dan mesti terdapat di website mereka, lebih baik segera disingkirkan saja. Lebih baik sekarang ini pemasang fotonya nungging sendiri saja. :D

Demikian pula, setelah membaca pembahasan di atas tadi, maka kita sekarang rasanya boleh mempertanyakan kebenaran teori Richard Dawkins tentang blind watchmaker karena kita sekarang ini tentunya menjadi tahu bahwa proses evolusi itu ternyata punya arah tertentu juga, yaitu senantiasa menuju progresi. Tidak bersifat buta dan acak sebagaimana yang diyakini oleh Dawkins dan juga sebagian besar evolusionis pada saat ini. Seleksi alam itulah yang telah memberikan arah progresi di dalam proses evolusi seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini sehingga alam akhirnya senantiasa menghadirkan jenis-jenis makhluk hidup yang semakin maju dan kompleks pula. Jadi, kalau Tuhan menciptakan manusia dengan berfirman kun fayakun, itu tidak berarti lantas manusia hadir dengan cara langsung njedul begitu saja. Tetapi, melalui proses yang bersifat alami. Melalui hukum-hukum alam yang sebelumnya telah ditetapkan oleh Allah sendiri. Dan Allah tidak akan melanggar hukum yang telah ditetapkannya karena Allah bersifat Maha Menepati Janji. Dan sebagaimana kita ketahui, waktu yang bagi Allah hanya sedetik, bagi manusia itu bisa berarti jutaan tahun. (Masalah ini saya sudah bahas di “Kun Fayakun dan Relativitas Waktu”).

Dan akhirnya, untuk menutup tulisan ini saya ingin mengutip sekali lagi apa kata Ibnu Rusyd di atas tadi: “Sebenarnya, jika mereka yakin betul bahwa alam itu diciptakan oleh Allah, niscaya mereka akan mengakui bahwa tidak ada bukti yang lebih baik akan wujud Sang Pencipta selain hadirnya benda-benda yang teratur dengan rapi.” Atau kalau boleh saya tambahi di sini, yaitu dengan adanya hukum-hukum alam yang senantiasa bersifat teratur, tetap dan rapi.

Yogyakarta, 2002