Monday, April 15, 2013

Nasehat dari Firaun






Oleh: Helmi Junaidi
 
Suatu nasehat dari kitab hikmah para pharaoh yang ditulis 3000 tahun SM ini kiranya bisa kita petik hikmahnya, termasuk untuk zaman sekarang:

Rulers should treat their people justly and jugde impartially between their subjetcs. Avoid unnecessary trouble. They should aim to make their people prosperous. Those who have bread are urged to share it with the hungry. Humble and lowly people must be treated with kindness. One should not laugh at blinds or at dwarfs dst...

Dan itulah sebabnya kenapa dinasti kaum pharaoh bisa bertahan hingga ribuan tahun dan mereka pun mampu membangun peradaban yang tetap dikagumi orang hingga sekarang. Tetapi, agaknya nasehat itu ditujukan untuk bangsa Mesir sendiri dan tidak kepada bangsa lain, termasuk juga kepada umatnya Nabi Musa. Maklumlah, ini adalah zaman Age of Empires dan perbudakan adalah hal yang masih lazim pada masa itu.

Memang harus diakui bahwa kenyataan di lapangan tidak selalu seindah yang tertera di “kitab suci” mereka. Tetapi, paling tidak pedoman itu telah membuat mereka tetap makmur dan berjaya selama ribuan tahun dan tidak hanya beberapa tahun atau sekian puluh tahun saja. Terlebih lagi bila mengingat bahwa pada masa lampau bila rakyat sudah merasa tidak puas dengan pemerintah, mereka bisa dengan mudah menumbangkannya sebab pada masa itu tidak ada senapan mesin atau senjata semacamnya. Cobalah kita bayangkan seandainya saja kerusuhan di Jakarta itu terjadi pada bulan Mei tahun 1998 SM dan pihak keamanan hanya bersenjata tombak dan pedang sedangkan rakyat yang mengamuk membawa senjata yang sama pula. Tentu pemerintahan akan bisa tumbang dengan segera meskipun seandainya presiden tidak mau turun. Demikian pula yang akan terjadi pada raja-raja pada masa lampau bila mereka tidak bisa memenuhi harapan rakyatnya. Tetapi, para Pharaoh bisa bertahan hingga ribuan tahun. Ini tentunya membuktikan bahwa mereka sedikit banyak bisa memenuhi harapan rakyatnya.

Yogyakarta, 2001

Harga: Pulang Kampung


Oleh: Helmi Junaidi




           
Sekitar setahun yang lalu ada teman saya yang bermaksud menjual televisinya. Maklumlah, harga kebutuhan makin meningkat saja sedangkan penghasilannya tetap setia jalan di tempat sehingga sesekali ia merasa perlu juga untuk melego satu dua barang. Indikator mikro peningkatan ini bisa kita lihat dari harga pecel lele yang semakin meningkat tajam selama tiga tahun ini. Dulu cukup sekitar Rp. 900 plus Rp. 100 kita sudah bisa makan kenyang lengkap dengan es teh atau es jeruk. Kini harus keluar Rp 3.000 untuk hal yang sama. Demikian juga harga siomai, soto atau bakso. Semuanya meningkat rata-rata tiga kali lipat. Saya memang tak begitu tahu harga sembako sebab memang jarang beli sembako. Tapi, harga makanan jadi tersebut tentunya bisa mencerminkan harga bahan mentahnya.

Ia kemudian mengiklankan televisinya di sebuah surat kabar yang ada di Yogya. Ia bermaksud menjualnya dengan harga yang miring sebab ia memang sedang butuh uang. Tetapi, untuk lebih meyakinkan calon pembeli bahwa harganya cukup murah dan asli tangan pertama, bukan makelar, maka ia kemudian ada ide yang cukup nyleneh juga. Ia tidak mengawali iklannya dengan kata “dijual murah”, “harga bersaing”, “butuh uang” atau semacamnya, tetapi mengawalinya dengan kata ”pulang kampung”.  Supaya disangka sebagai mahasiswa yang mau pulang kampung dan sedang “cuci gudang” yang biasanya tentu harganya cukup murah. Tentu, ia tak bermaksud pulang kampung sungguhan sebab ia bekerja di Yogya. Dalam iklan itu ia sama sekali tidak menulis kata “dijual” . Toh, orang sudah paham juga.

Karena lokasi rumahnya yang di daerah kabupaten dan agak susah bagi calon pembeli untuk mencarinya ia kemudian menitipkannya di rumah saya. Dan ide tersebut agaknya cukup jitu juga.  Baru siangnya pergi ke kantor koran untuk pasang iklan, esok harinya sekitar pukul setengah enam pagi ada orang yang mengetuk pintu rumah saya. Aneh, saya pikir, siapa yang hendak bertamu sepagi ini. Ternyata yang datang adalah calon pembeli. Penawaran berlangsung cepat sebab harganya memang cukup murah dan kondisinya masih bagus. Sebentar kemudian, ia sudah pamit pulang sambil memboyong barangnya.

Ketika teman saya datang jam tujuh pagi untuk mengecek televisinya, ia sangat terheran-heran dan terkejut ketika saya balik menyodorkan uang hasil penjualan. Ia setengah tidak percaya dan menyangka kalau saya beli sendiri. Kemudian ia balik pulang sambil mengantongi uangnya setelah memberi saya sedikit komisi. Jadinya saya deh yang menjadi  makelar.  Hahahaha... Sampai siangnya masih banyak calon pembeli yang berdatangan sampai saya capek melayaninya. Untunglah tadi diberi uang komisi, lumayan untuk makan siang sebagai penghilang capek. Celakanya, ada juga di antara mereka yang dengan santainya menanyakan apakah masih ada teman saya yang mau pulang kampung lagi. Kalau ada tolong nanti diberitahu. Untung saya tidak kelepasan tertawa. Tidak tahu dia kalau sedang diapusi. Agaknya, orang tak begitu tertarik dengan barang yang dijual dengan “harga murah”, tetapi lebih tertarik dengan “harga pulang kampung”. 


Yogyakarta, 2001

A Hundred Years Is Too Long I Reckon…

by : Helmi Junaidi



          
Menjelang keberangkatan pasukan Persia menuju Eropa untuk melakukan revanche atas kekalahannya dalam perang Marathon, dari kejauhan Sang Maharaja Xerxes mengawasi puluhan ribu pasukannya yang berkumpul di tepi selat Dardanela.      
     
And seeing all the Hellespont covered over with the ships and all the shores and the plains of Abidos full of men, then Xerxes pronounced himself a happy man, and after that he fell to weeping. Artabanus, his uncle, having observed that Xerxes wept, asked as follows:
-          O, king, how far different from one another are the things thou hast done now and short a while before now! for , having pronounced thyself a happy man, thou art now shedding tears.
+   Yea, for after I had reckoned up, it came to my mind to fell pity at the thought how brief was the whole life of man, seeing of this multitudes not one will be alive when a hundred years have gone by.

Sekitar lima tahun yang lalu (tahun 1995, hehehe... jadul abis ya)  ketika pulang ke Malang dan mengunjungi seorang teman lama, saya menceritakan kisah tersebut kepadanya. Ia sempat memprotes bahwa 100 tahun itu terlalu lama. Kemudian sambil tertawa kecil ia menunjuk ke arah jalan raya dan berkata, ”Berarti orang-orang yang sekarang pada bising serta berseliweran di jalan itu 100 tahun lagi sudah berhenti berseliweran lagi. Sudah anteng semua.” Kebetulan rumahnya terletak di pinggir Jl. Gajayana yang selalu ramai itu, dan sekarang mungkin sudah semakin ramai lagi. Ia nampak sedikit tertegun setelah itu, menyadari kenyataan yang sebenarnya sudah lama menjadi kenyataan.

Ya”, kata saya kemudian, “Termasuk juga bayi yang baru lahir tadi pagi, yang sekarang masih nangis owek-owek. Sudah pada ayem semuanya.” Dan ia kemudian tersenyum saja, mungkin sambil membayangkan “masa depannya”  sendiri. “Masa depan” anak cucu kita bersama semua harta tujuh turunannya.


Yogyakarta, 2000