Oleh: Helmi Djunaidi
Tulisan kali ini akan menyambung tentang pengaruh Mithraisme kepada doktrin agama Kristen. Juga sekaligus menyambung sedikit kisah tentang buah khuldi yang dulu. Karena kedua masalah ini memang saling berkaitan. Bila dulu hanya membahas siapakah penyusun filsafat tersebut, maka sekarang ini antara lain akan membahas mengapa St. Paulus sampai menyusun filsafat yang sedemikian rupa.
Ternyata, bila St. Paulus sampai menyusun filsafat semacam itu, sebabnya dia masih sangat terpengaruh agama-agama lama yang ada di Timur Tengah yang telah ada sebelum datangnya agama Kristen. Dan yang paling meresap di dalam alam pikiran Paulus adalah ajaran Mithraisme karena ini adalah agama yang paling populer di Timur Tengah pada masa itu. Agama mayoritas rakyat Timur Tengah pada masa itu, bahkan dianut pula oleh hampir semua penduduk di wilayah kerajaan Romawi. Oleh karena itu, kita di sini nanti akan mencoba meneliti sekilas tentang sejarah dan ajaran dari Mithraisme tersebut.
Tetapi, sebelum melanjutkan ke topik utamanya, saya di sini akan memberikan penjelasan sekilas tentang satu nama wilayah yang barangkali sedikit membuat bingung sebagian dari Anda. Pada tulisan yang terdahulu dan juga di sini nanti, saya akan banyak menyebutkan nama wilayah Anatolia. Mungkin akan ada yang kurang mengerti kenapa kok tidak disebut dengan namanya yang sekarang saja, yaitu Turki. Supaya tidak bingung lagi, silakan membaca penjelasan berikut ini.
Bila kita membahas sejarah zaman antik di wilayah tersebut, maka memang lebih tepat bila kita menggunakan nama Anatolia karena pada masa itu penduduk di wilayah tersebut bukanlah bangsa Turki, tetapi campuran penduduk asli dan keturunan bangsa-bangsa imigran Indo-Eropa dari Utara, antara lain bangsa Hittite, Galatia, Lidya, Phrygia serta koloni-koloni Yunani di sepanjang pantai Barat Anatolia. Galatia tadi adalah nama setempat untuk menyebut bangsa Galia, saudara sebangsa dari Asterix yang bermukim di wilayah Ankara dan sekitarnya. Dan selama ribuan tahun keturunan beragam bangsa itu bermukim di Anatolia.
Jadi, bila menggunakan nama Turki tentunya tidak tepat karena bangsa Turki baru datang dan menguasai wilayah Anatolia pada tahun 1071, yaitu setelah Turki Saljuk berhasil mengalahkan pasukan Byzantium (Romawi Timur) dalam perang Manzikert, bahkan berhasil menangkap kaisarnya sekalian. Kemenangan beruntun Turki Saljuk selanjutnya atas Byzantium itulah yang pada akhirnya mencetuskan perang salib karena Kaisar Byzantium kemudian meminta bantuan kepada Eropa Barat sebab ia sudah tak sanggup lagi menghadapi serbuan pasukan Turki. Permintaan ini segera disambut dengan sangat meriah di Eropa Barat dengan seruan “Deus volt” atau “Tuhan menghendakinya”. Seandainya saja orang Yunani yang menyambutnya tentulah dengan seruan “Zeus Volt”. Kata Deus (Tuhan, bahasa Latin) dan Zeus (Dewa Zeus, bahasa Yunani) memang berasal dari akar kata yang sama.
Selain karena direbutnya Anatolia, pencetus perang salib lainnya adalah karena Yerusalem juga berhasil direbut Turki dari tangan Mesir. Berbeda dengan bangsa Arab yang selama berabad lamanya bersikap toleran kepada para peziarah Eropa yang berkunjung ke Yerusalem, maka orang Turki Saljuk ini suka mengganggu para peziarah dan menghalangi mereka berkunjung ke tanah suci. Setelah terjadinya serbuan besar-besaran oleh pasukan salib, ternyata dinasti Saljuk ini tetap bisa bertahan walau harus kehilangan sebagian wilayahnya. Mereka tetap tak bisa diusir dari Anatolia. Kelincahan kavaleri ringan Turki agaknya masih lebih unggul ketimbang pasukan infantri dan kavaleri berat Eropa.
Dengan diawali datangnya dinasti Turki Saljuk ini, tanah Anatolia kemudian banyak didiami oleh suku-suku Turki yang lainnya, termasuk di antaranya adalah klan Ottoman. Kekuasaan dinasti Saljuk ini kemudian digantikan oleh dinasti Ottoman sekitar awal abad ke-14, dan setelah itu oleh Republik Turki semenjak tahun 1922 sampai sekarang.
Walau sekarang memang sudah disebut dengan nama Republik Turki, tapi dengan melihat sejarah kuno Anatolia tadi, maka tentu saja penduduk Turki yang sekarang ini tidak murni 100 persen ras Turki, tetapi sudah bercampur baur dengan bangsa-bangsa kuno tadi, ditambah lagi dengan keturunan orang Romawi, Arab dan Persia yang telah menggunakan bahasa Turki sebagai bahasa ibunya. Suatu hal yang juga lazim terjadi di berbagai wilayah Timur Tengah lainnya karena itu memang wilayah tempat perlintasan beragam bangsa. Cobalah perhatikan wajah orang Turki yang sekarang ini, apakah masih ada kemiripannya dengan orang Uzbek atau Uighur misalnya?
Atau bila Anda ingin tahu wajah ras Turki yang masih asli, yang wajahnya cukup kita kenal, lihatlah wajah mantan Presiden Iran Rafsanjani. Dia ini masih tulen ras Turki, dengan wajah yang relatif bulat dan jenggot yang tipis-tipis saja atau kayaknya dia ini malah hampir tidak berjenggot sama sekali. Tipikal wajah Asia Timur, tak beda jauh dengan tampang klimis rata-rata orang Melayu di sini. Berbeda sekali bukan dengan wajah lonjong dan jenggot berewokan mayoritas orang Persia yang tinggal di sekitarnya? Dan itu bukanlah disebabkan karena Rafsanjani ini suka bercukur. Mana ada mullah di sana yang suka bercukur. Bisa dipecat jadi mullah nanti. Begitulah memang wajah orang Turki yang masih asli. Tapi, mereka yang tinggal di negara Turki sebagian sudah mirip orang Arab atau Persia.
Sebagian orang Turki yang lain tinggal di Hungaria atau Bulgaria, dua bangsa yang sebenarnya juga masih termasuk bersaudara dengan mereka, sama-sama keturunan orang Asia yang kemudian banyak bercampur dengan bangsa-bangsa di wilayah yang telah ditaklukannya. Saudara jauh orang-orang Turki ini masih terdapat lagi di belahan Utara Eropa, yaitu di Estonia dan Finlandia, negara asal Si Linus pencipta Linux, musuh bebuyutan Bill Gates dengan Microsoftnya. Tetapi, mereka memang sudah pada malih rupa semuanya akibat berbaur dengan penduduk di sekitarnya. Padahal, sebagai bangsa asal Asia Timur, wajah mereka itu aslinya ya ganteng-ganteng kayak kita yang di sini, tipe wajah yang walau sudah dikasih obat jenggot cap paling manjur sekali pun, eh ternyata tetap tak mau subur juga, tetap gersang-gersang saja.
Atau bila Anda ingin tahu wajah ras Turki yang masih asli, yang wajahnya cukup kita kenal, lihatlah wajah mantan Presiden Iran Rafsanjani. Dia ini masih tulen ras Turki, dengan wajah yang relatif bulat dan jenggot yang tipis-tipis saja atau kayaknya dia ini malah hampir tidak berjenggot sama sekali. Tipikal wajah Asia Timur, tak beda jauh dengan tampang klimis rata-rata orang Melayu di sini. Berbeda sekali bukan dengan wajah lonjong dan jenggot berewokan mayoritas orang Persia yang tinggal di sekitarnya? Dan itu bukanlah disebabkan karena Rafsanjani ini suka bercukur. Mana ada mullah di sana yang suka bercukur. Bisa dipecat jadi mullah nanti. Begitulah memang wajah orang Turki yang masih asli. Tapi, mereka yang tinggal di negara Turki sebagian sudah mirip orang Arab atau Persia.
Sebagian orang Turki yang lain tinggal di Hungaria atau Bulgaria, dua bangsa yang sebenarnya juga masih termasuk bersaudara dengan mereka, sama-sama keturunan orang Asia yang kemudian banyak bercampur dengan bangsa-bangsa di wilayah yang telah ditaklukannya. Saudara jauh orang-orang Turki ini masih terdapat lagi di belahan Utara Eropa, yaitu di Estonia dan Finlandia, negara asal Si Linus pencipta Linux, musuh bebuyutan Bill Gates dengan Microsoftnya. Tetapi, mereka memang sudah pada malih rupa semuanya akibat berbaur dengan penduduk di sekitarnya. Padahal, sebagai bangsa asal Asia Timur, wajah mereka itu aslinya ya ganteng-ganteng kayak kita yang di sini, tipe wajah yang walau sudah dikasih obat jenggot cap paling manjur sekali pun, eh ternyata tetap tak mau subur juga, tetap gersang-gersang saja.
Demikian sekilas sejarah kenapa nama Turki dan Anatolia itu memang mesti digunakan dalam kurun waktu yang berbeda. Selain Anatolia, bisa juga kita menggunakan nama Asia Kecil (Asia Minor) untuk menyebut wilayah itu pada zaman antik. Dari sini mudah-mudahan sudah tidak ada yang bingung lagi, bila dulu memang ada yang demikian. Dan sekarang kita lanjutkan lagi pembahasan utamanya.
Sejarah Mithraisme
Mithra ini adalah dewa cahaya atau dewa matahari dari suku-suku kuno Indo-Iran yang semula mengembara di antara Laut Hitam dan Asia Tengah. Keturunan suku-suku pengembara ini antara lain adalah bangsa India dan Persia, dan juga bangsa kuno Hitit yang hidup di Anatolia. Catatan tertua tentang pemujaan kepada Dewa Mithra ini terdapat pada prasasti perjanjian yang ditulis secara bersama oleh kerajaan Hitit dan Mitanni di dekat danau Van, Anatolia, sekitar tahun 1500 SM. Prasasti itu ditulis dalam huruf paku (cuneiform). Huruf paku asal Sumeria ini memang lazim dipakai di Timur Tengah pada masa sebelum dipakainya alphabet. Dalam prasasti itu, nama Dewa Mithra disebut bersama dengan empat dewa bangsa Indo-Iran lainnya, lengkapnya yaitu dewa Indara (di India disebut Indra), Uruvna (Varuna) Mitira (Mitra) dan dewa kembar yang disebut dengan nama Nasatya (Asvin). Untuk dua nama yang pertama tadi rasanya sudah sangat populer di telinga kita, bahkan banyak orang Indonesia yang memakai nama Indra. Sedangkan Dewa Asvin sepertinya kurang ngetop di sini dan hanya satu dua orang saja yang memakainya dan biasanya sudah diindonesiakan menjad Aswin. Sebenarnya masih ada satu lagi dewa bangsa Hitit (tak turut disebutkan disebutkan di prasasti tersebut) yang namanya cukup menarik juga, yaitu Dewa Tarhun atau Tahr, dewa cuaca yang bersenjatakan petir di tangannya. Namanya tak jauh berbeda dengan Dewa Thor, dewa petir dan cuaca juga, yang disembah oleh orang-orang Viking di Skandinavia.
Kerajaan Hitit ini lebih tua usianya ketimbang kerajaan-kerajaan Hindu di India dan Zoroaster di Persia. Kerajaan Hitit telah berdiri sekitar tahun 1750 SM sementara yang di India dan Persia masing-masing sekitar tahun 1500 dan 700 SM. Tetapi, agaknya kerajaan Hitit tadi nasibnya tak cukup baik karena kemudian binasa sekitar tahun 1200 SM setelah diserbu bangsa-bangsa dari Laut Tengah, yang dalam literatur sejarah biasanya disebut Sea People, di antaranya adalah bangsa Filistin itu. Sisa-sisa terakhir peradaban Hitit yang masih survive di Anatolia Tenggara dan Syria Utara, kemudian punah sama sekali setelah ditaklukan oleh bangsa Assyria sekitar abad ke-8 SM. Meski sudah punah sebagai bangsa, ternyata ada juga orang Hitit yang namanya masih tetap ngetop hingga zaman milenium sekarang ini, dia adalah Uriah, seorang panglima perang bangsa Hitit yang turut bergabung di dalam pasukan Israel dan setelah itu istrinya dikawin oleh Raja Daud. Nama Uriah ini sempat pula dijadikan nama grup rock band segala. Satu grup dengan harmoni vokal yang sangat bagus. Lagu mereka yang cukup ngetop antara lain berjudul In the Park dan Come Away Melinda.
Jadi, Mithraisme yang populer hingga zaman Romawi dan kemudian banyak mempengaruhi agama Kristen itu memang adalah yang versi Persia karena pemujaan Dewa Mithra ini tetap bertahan di Persia hingga berabad lamanya. Bukan yang versi Hittite karena bangsa ini sudah lama punah, juga bukan yang versi India karena di India dewa ini sudah lama tak populer lagi dan telah digantikan oleh dewa-dewa yang lainnya seperti Trimurti Brahma, Wisnu dan Siwa. Bahkan peranan Dewa Mithra ini di India telah digusur habis oleh Dewa Surya. Dewa utama orang India memang suka berganti-ganti. The mythology of India is in constant flux, however, and gods who have but a minor part in the Rig-Veda become important in later Vedic and other literature. Pertama-tama Dewa Mitra-Varuna yang disebut sebagai dewa utamanya, lalu diganti-ganti lagi dengan banyak dewa yang lainnya. Malah dewa-dewa seram seperti Batara Kala dan Batari Durga pun turut dipuja pula. Pencipta dunia juga mula-mula adalah Prajapati dan setelah itu diganti lagi dengan Brahma.
Setelah kerajaan Persia menjadi penguasa tunggal di Timur Tengah, maka Mithraisme versi Persia tadi dengan segera ikut menyebar ke berbagai wilayah taklukannya, termasuk juga ke Syria, Anatolia dan Armenia. Setelah tentara Romawi masuk ke Timur Tengah, maka agama ini pun turut dianut oleh bangsa Roma juga. Dan boleh dikatakan ini adalah agama universal di wilayah Mediterania dan sekitarnya pada masa sebelum datangnya agama Islam dan Kristen. Meski demikian, Mithraisme yang tersebar ke luar Persia itu sudah agak berbeda dengan versi yang dianut di Persia sendiri. Yang tersebar ke mana-mana itu sebenarnya adalah Mithraisme yang terutama dianut di propinsi-propinsi perbatasan Barat Persia, yang agak jauh dari pusat kerajaan dan tak begitu terpengaruh ajaran Zoroaster. Di pusat kerajaan Persia sendiri, di samping masih memuja Mithra, orang-orang Persia sudah banyak terpengaruh oleh ajaran Zoroaster.
Jadi, yang ada di Persia sendiri adalah sinkretisme antara Mithraisme dan Zoroastrianisme. Zoroastrianisme agaknya tak bisa sama sekali menghapus pemujaan dewa-dewa kuno Persia, termasuk Dewa Mithra. Dan itu memang sulit sekali bisa karena masih dianut dengan setia oleh banyak bangsawan dan rakyat Persia. Akhirnya, pemujaan kepada Dewa Mithra lambat laun turut merayap masuk ke dalam ajaran Zoroaster. Oleh karena itu, jadilah kemudian sinkretisme semacam itu. Meski demikian, pengaruh ajaran Zoroaster cukup terasa di dalam kehidupan agama rakyat Persia saat itu. Dan kedua agama itu memang saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk mudahnya mungkin bisa kita bandingkan dengan sinkretisme yang ada pada masyarakat Islam Jawa saat ini, yang walaupun sudah menganut Islam, tetapi masih banyak pula yang tetap menganut beragam tradisi lama. Dan tradisi lama itu memang amat sangat susah dihapus, bukan? Termasuk juga tradisi lama yang hidup di kalangan santri sendiri. Demikianlah bila kita mau membayangkan relasi antara Mithraisme dan Zoroastrianisme yang ada di Persia pada masa itu.
Jadi, yang ada di Persia sendiri adalah sinkretisme antara Mithraisme dan Zoroastrianisme. Zoroastrianisme agaknya tak bisa sama sekali menghapus pemujaan dewa-dewa kuno Persia, termasuk Dewa Mithra. Dan itu memang sulit sekali bisa karena masih dianut dengan setia oleh banyak bangsawan dan rakyat Persia. Akhirnya, pemujaan kepada Dewa Mithra lambat laun turut merayap masuk ke dalam ajaran Zoroaster. Oleh karena itu, jadilah kemudian sinkretisme semacam itu. Meski demikian, pengaruh ajaran Zoroaster cukup terasa di dalam kehidupan agama rakyat Persia saat itu. Dan kedua agama itu memang saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk mudahnya mungkin bisa kita bandingkan dengan sinkretisme yang ada pada masyarakat Islam Jawa saat ini, yang walaupun sudah menganut Islam, tetapi masih banyak pula yang tetap menganut beragam tradisi lama. Dan tradisi lama itu memang amat sangat susah dihapus, bukan? Termasuk juga tradisi lama yang hidup di kalangan santri sendiri. Demikianlah bila kita mau membayangkan relasi antara Mithraisme dan Zoroastrianisme yang ada di Persia pada masa itu.
Dalam banyak hal, Mithraisme dan Zoroastrianism sebenarnya sangat berbeda. Zoroaster mengajarkan dualisme sedangkan Mithraisme adalah sisa-sisa agama lama politeisme. Perbedaannya lagi adalah Zoroaster melarang upacara pengorbanan lembu, suatu hal yang sangat lazim di dalam Mithraisme. Satu hal lagi yang sangat berbeda, yaitu tentang tradisi mengurus jenazah. Walaupun berisi banyak ajaran-ajaran yang luhur, tetapi ajaran Zoroaster tentang tatacara mengurus jenazah sangatlah janggal, bizarre adalah kata yang tepat dalam bahasa Inggrisnya. Penganut Zoroaster ini mempunyai tradisi mengumpankan jenazah ke burung nasar (burung pemakan bangkai). Tradisi seram semacam ini masih dianut kaum Parsi hingga saat ini.
Kaum Parsi adalah pelarian penganut Zoroaster yang terutama banyak menetap di kota Bombay dan sekitarnya. Pada hari keempat setelah kematian, jenazah penganut Zoroaster yang telah meninggal ditaruh di atas menara setinggi sekitar 8 meter yang dinamakan dakhma (menara kesunyian) dan dibiarkan di sana sampai dagingnya habis dimakan burung nasar dan tinggal tersisa tulang belulangnya saja. Ngeri, bukan? Anda mau “dimakamkan” semacam itu? Setelah itu, tulang belulang tersebut dicemplungkan saja ke lubang di bawahnya. Oladalah, tradisi kok ya aneh-aneh saja. Seandainya saja saya ini penganut Zoroaster, maka bila merasa sudah mau meninggal pastilah saya akan mengungsi dahulu saja. Melarikan diri jauh-jauh dari kampung saya. Escape pokoknya.
Kaum Parsi adalah pelarian penganut Zoroaster yang terutama banyak menetap di kota Bombay dan sekitarnya. Pada hari keempat setelah kematian, jenazah penganut Zoroaster yang telah meninggal ditaruh di atas menara setinggi sekitar 8 meter yang dinamakan dakhma (menara kesunyian) dan dibiarkan di sana sampai dagingnya habis dimakan burung nasar dan tinggal tersisa tulang belulangnya saja. Ngeri, bukan? Anda mau “dimakamkan” semacam itu? Setelah itu, tulang belulang tersebut dicemplungkan saja ke lubang di bawahnya. Oladalah, tradisi kok ya aneh-aneh saja. Seandainya saja saya ini penganut Zoroaster, maka bila merasa sudah mau meninggal pastilah saya akan mengungsi dahulu saja. Melarikan diri jauh-jauh dari kampung saya. Escape pokoknya.
Mungkin antara lain karena adanya tradisi yang neko-neko semacam itulah orang-orang Persia yang telah memeluk Islam tidak menyukai saudaranya yang masih tetap memegang tradisi lama dan kemudian mengusir mereka ke India.
Salah seorang superstar rock dunia, yaitu almarhum Farrukh Bulsara, berasal dari komunitas Parsi ini. Lahir di Zanzibar dan besar di kota Bombay. Setelah itu dia pindah ke Inggris dan menjadi bintang musik rock yang terkenal di seluruh dunia. Farrukh ini masih menganut agama nenek moyangnya, tetapi dia dulu hanya dikremasi saja walaupun upacara kematiannya diurus oleh seorang pendeta Zoroaster. Cara kremasi sebenarnya masih ditentang oleh penganut Zoroaster yang masih konservatif. Tetapi, karena lama hidup di Inggris, cara berpikir Farrukh nampaknya tergolong sudah lebih liberal.
Omong-omong, Anda kenal nggak dengan bintang musik rock yang bernama Farrukh Bulsara ini? Tentu Anda sudah mengenalnya saudara-saudara. Dan Anda tentu sudah kenal pula dengan lagu-lagunya yang antara lain berjudul Mustapha, Bicycle Race dan Millionare Waltz. Yup, dialah seorang yang selama ini lebih kita kenal dengan nama popnya Freddie Mercury, vokalis dan pianis dari grup Queen. Jadi, bila ada lirik lagu Queen yang berbau oriental, seperti misalnya yang ada pada lagu Mustapha dan Bohemian Rhapsody, itu adalah hasil kreasi dari Si Bulsara.
Omong-omong, Anda kenal nggak dengan bintang musik rock yang bernama Farrukh Bulsara ini? Tentu Anda sudah mengenalnya saudara-saudara. Dan Anda tentu sudah kenal pula dengan lagu-lagunya yang antara lain berjudul Mustapha, Bicycle Race dan Millionare Waltz. Yup, dialah seorang yang selama ini lebih kita kenal dengan nama popnya Freddie Mercury, vokalis dan pianis dari grup Queen. Jadi, bila ada lirik lagu Queen yang berbau oriental, seperti misalnya yang ada pada lagu Mustapha dan Bohemian Rhapsody, itu adalah hasil kreasi dari Si Bulsara.
Walau tradisi pemakaman di atas dakhma tadi sudah cukup seram, ternyata itu pun masih mending juga bila dibandingkan dengan tradisi Sati yang asli berasal dari India. Ini adalah tradisi pemakaman--atau lebih tepatnya pembunuhan--yang telah ada semenjak zaman Mahabarata. Bisa Anda lihat pada kisah-kisah pewayangan, termasuk juga yang dialami salah seorang istri Pandu. Kalau tradisi ini bukan hanya seram, tetapi sangat sadistis. Jadi, bila seorang suami meninggal, maka istrinya pun harus segera turut menyusulnya dengan cara dibakar hidup-hidup bersama jenazah suaminya. Ikut dijadikan kayu ngaben hidup. Bila wanita tadi ketakutan dan tidak mau membakar diri secara sukarela, maka dia akan segera diseret dan dilemparkan oleh para tetangga dan saudara-saudara suaminya dan ke dalam api unggun yang telah menyala-nyala. Inilah dia yang namanya suwargo nunut neroko katut dalam arti yang seharfiah-harfiahnya.
Beberapa sarjana memperkirakan sekitar satu juta wanita India yang telah mati mengenaskan dengan cara seperti ini. (“Sutte”, World Book 2000). Tapi, kalau saya sendiri memperkirakan jauh lebih banyak dari itu. Cobalah Anda turut memperkirakan sendiri berapa banyak jumlah rumah tangga di India semenjak zaman Mahabarata. Jadi, mungkin sudah berjuta-juta lebih wanita India yang mati dibakar hidup-hidup semacam ini. Biarpun tradisi sadis semacam ini sudah pernah dilarang oleh Sultan Humayun semasa dinasti Mughal berkuasa di India, dan selanjutnya dilarang pula oleh pemerintah kolonial Inggris, ternyata hingga sekarang masih tetap saja ada orang India yang bandel menjalankannya. Dalam soal lain, hingga sekarang ini pun kita terkadang masih bisa membaca berita tentang wanita India yang dibakar hidup-hidup karena kurang uang maharnya. Agaknya banyak di antara orang India itu yang punya hobi bakar-bakar manusia.
Beberapa sarjana memperkirakan sekitar satu juta wanita India yang telah mati mengenaskan dengan cara seperti ini. (“Sutte”, World Book 2000). Tapi, kalau saya sendiri memperkirakan jauh lebih banyak dari itu. Cobalah Anda turut memperkirakan sendiri berapa banyak jumlah rumah tangga di India semenjak zaman Mahabarata. Jadi, mungkin sudah berjuta-juta lebih wanita India yang mati dibakar hidup-hidup semacam ini. Biarpun tradisi sadis semacam ini sudah pernah dilarang oleh Sultan Humayun semasa dinasti Mughal berkuasa di India, dan selanjutnya dilarang pula oleh pemerintah kolonial Inggris, ternyata hingga sekarang masih tetap saja ada orang India yang bandel menjalankannya. Dalam soal lain, hingga sekarang ini pun kita terkadang masih bisa membaca berita tentang wanita India yang dibakar hidup-hidup karena kurang uang maharnya. Agaknya banyak di antara orang India itu yang punya hobi bakar-bakar manusia.
Pengaruh Mithraisme
Mengingat bahwa tulisan ini hendak membahas pengaruh Mithraisme ke dalam agama Kristen, maka kita perlu memberi penekanan di sini bahwa hingga pada masa Paulus, Mithraisme tetap merupakan agama rakyat di Anatolia. Dan perlu diingat pula bahwa Paulus itu bukanlah penduduk Judea, tetapi dia lahir dan besar di Tarsus, Cilicia, Anatolia. Silakan anda bukan google map supaya lebih jelas. Tarsus adalah ibukota dari provinsi Cilicia dan merupakan sebuah kota bandar yang besar pada masa itu. Dan kalau kita mau mengingat sejarah romantisnya, kota ini juga adalah tempat Mark Anthony dan Cleopatra pertama kali berjumpa. Sebagai ibukota provinsi yang besar dan makmur, kota Tarsus juga merupakan salah satu pusat dari Mithraisme di Anatolia. Jadi, tentunya mustahil bukan bila St. Paulus tidak mengenal ajaran Mithraisme? Karena dia sehari-harinya tentu bergaulan dengan para tetangganya yang menganut Mithraisme. Karena itu memang agama rakyat di sana.
Karena St. Paulus memang lahir di wilayah yang masih sangat kuat menganut agama kuno tersebut, maka alam pikiran Paulus secara sadar atau tidak sadar agaknya turut terpengaruh oleh agama tersebut. Dan ini bukan hanya Paulus saja, tetapi banyak juga orang Kristen pada masa itu yang terpengaruh. Hanya saja, Paulus yang kemudian membakukan dan menjabarkan teologi semacam itu di dalam surat-suratnya.
Berikut kita akan memberikan beberapa contoh tentang betapa dalamnya pengaruh Mithraisme ke dalam agama Kristen, baik itu yang diuraikan oleh Paulus maupun para penulis Injil lainnya. Beberapa hal yang paling penting saja yang akan saya sebutkan di sini. Atau bila memang diperlukan, masalah-masalah yang lainnya akan saya bahas pada tulisan yang berikutnya. Atau untuk sementara boleh Anda cari dan baca sendiri di internet. Banyak juga artikel di internet yang membahasnya.
Berikut kita akan memberikan beberapa contoh tentang betapa dalamnya pengaruh Mithraisme ke dalam agama Kristen, baik itu yang diuraikan oleh Paulus maupun para penulis Injil lainnya. Beberapa hal yang paling penting saja yang akan saya sebutkan di sini. Atau bila memang diperlukan, masalah-masalah yang lainnya akan saya bahas pada tulisan yang berikutnya. Atau untuk sementara boleh Anda cari dan baca sendiri di internet. Banyak juga artikel di internet yang membahasnya.
1. Yang pertama-tama akan kita ungkap di sini, karena yang paling penting, adalah doktrin agama Kristen tentang diteteskannya darah Yesus untuk menebus dosa umat manusia. Di sini bisa kita dapati bahwa doktrin tersebut tak jauh berbeda dengan bunyi salah satu hymne Mithraisme yang dimulai dengan kalimat: "Thou hast redeemed us too by shedding the eternal blood." (“Mithraisme”, Britannica). Kau telah menebus kami pula dengan meneteskan darah abadi, demikian artinya. Hymne semacam ini tentunya sudah sering didengar oleh St. Paulus semenjak masa kecilnya di Cilicia dan kemudian dicampuraduknya dengan kisah buah khuldi dan peristiwa penyaliban. Bila dalam Mithraisme yang disembelih dan diteteskan darahnya adalah lembu suci inkarnasi Dewa Soma, maka dalam filsafat St. Paulus itu yang disembelih adalah anak domba Tuhan sendiri, yaitu Yesus yang dikorbankan demi keselamatan umat manusia. Cobalah bandingkan teologi tersebut dengan ajaran Mithraisme berikut ini: Thus, through the sacrifice which he had so resignedly undertaken, the tauroctonous hero became the creator of all the beneficent beings on earth; and, from the death which he had caused, was born a new life, more rich and more fecund than the old. (Franz Cumont, The Mysteries of Mithra, 2nd edition, 1909, p. 138). Franz Cumont, sarjana asal Perancis ini, adalah orang yang pertama kali meneliti sejarah dan ajaran Mithraisme.
2. Sebelum kembali pulang ke langit, Dewa Mithra mengadakan jamuan makan bersama dengan 12 orang muridnya. Sama bukan dengan kisah yang terdapat di Injil? Lalu kenapa angka 12 dan bukannya 11 atau 13? Karena angka itu melambangkan 12 zodiak yang ada di langit. Murid Mithra hanyalah 12 gugus bintang sedangkan kita tahu bahwa murid Yesus saat itu tak hanya 12, tetapi lumayan banyak, mungkin ribuan orang. Bila kemudian hanya disebut 12 orang dan yang lainnya diabaikan, bahkan Maria Magdalena yang termasuk murid dekatnya tak disebut sama sekali, maka tentu saja penulis injil itu telah mengadaptasi biografi Dewa Mithra pula. Dan ada`kemungkinan kisah jamuan makan malam terakhir Yesus bersama 12 muridnya itu bukanlah kisah nyata melainkan untuk menyelaraskan diri dengan biografi Dewa Mithra. Apalagi, kita tahu bahwa orang Yahudi itu bukanlah bangsa yang terlalu akrab dengan astrologi sehingga tak peduli dengan angka zodiak. Jamuan makan semacam ini, khususnya tentang peribaratan makan daging dan minum darah Tuhan, juga tak dikenal dalam tradisi Yahudi. Bahkan orang Yahudi membenci upacara perlambang minum darah semacam itu.
Dengan demikian, memang mustahil bila Yesus dan para muridnya yang juga Yahudi itu mengadakan jamuan semacam itu. Sebaliknya, jamuan semacam ini adalah tradisi yang sudah mendarah daging di dalam Mithraisme dan dilaksanakan secara rutin oleh para pengikutnya sebab Dewa Mithra ini adalah juga dewa yang mengatur perjanjian dan kontrak. Pada masyarakat antik masa itu, sudah merupakan tradisi bahwa setelah orang membuat perjanjian, maka perjanjian itu lalu diteguhkan dengan mengadakan jamuan makan bersama. Dalam Mithraisme, jamuan semacam ini antara lain diadakan saat meneguhkan masuknya seorang anggota baru yang berjanji akan menjadi umat yang setia kepada Dewa Mithra. Dan apakah sajiannya? Tentu saja roti dan anggur saudara-saudara! Anggur tadi aslinya adalah haoma (soma) kalau di Persia tapi di Barat kemudian diganti dengan anggur. Dan sajian semacam ini berasal dari mitos Mithraisme bahwa setelah sang lembu disembelih, maka sebagai ganti mengalirnya darah, keluarlah gandum dan anggur dari tubuhnya. “From the spinal cord of the animal sprang the wheat that gives us our bread, and from its blood the vine that produces the sacred drink of the Mysteries.” (Franz Cumont, p. 137). Dan liturgi komuni Mithraisme antara lain berbunyi: "He who will not eat of my body and drink of my blood, so that he will be made one with me and I with him, the same shall not know salvation."
Jadi, eucharist itu ternyata berasal dari tradisi Mithraisme dan bukan ajaran Yesus. Dan jamuan makan malam terakhir bersama 12 muridnya itu kemungkinan besar tidak pernah ada. Karena Yesus dan muridnya memang adalah orang Yahudi yang sama sekali tidak mengenal tradisi jamuan makan yang melambangkan daging dan darah Tuhan. Jadi, lukisan Leonardo da Vinci yang terkenal itu berdasarkan suatu kisah yang terkena pengaruh dari Mithraisme juga.
Dengan demikian, memang mustahil bila Yesus dan para muridnya yang juga Yahudi itu mengadakan jamuan semacam itu. Sebaliknya, jamuan semacam ini adalah tradisi yang sudah mendarah daging di dalam Mithraisme dan dilaksanakan secara rutin oleh para pengikutnya sebab Dewa Mithra ini adalah juga dewa yang mengatur perjanjian dan kontrak. Pada masyarakat antik masa itu, sudah merupakan tradisi bahwa setelah orang membuat perjanjian, maka perjanjian itu lalu diteguhkan dengan mengadakan jamuan makan bersama. Dalam Mithraisme, jamuan semacam ini antara lain diadakan saat meneguhkan masuknya seorang anggota baru yang berjanji akan menjadi umat yang setia kepada Dewa Mithra. Dan apakah sajiannya? Tentu saja roti dan anggur saudara-saudara! Anggur tadi aslinya adalah haoma (soma) kalau di Persia tapi di Barat kemudian diganti dengan anggur. Dan sajian semacam ini berasal dari mitos Mithraisme bahwa setelah sang lembu disembelih, maka sebagai ganti mengalirnya darah, keluarlah gandum dan anggur dari tubuhnya. “From the spinal cord of the animal sprang the wheat that gives us our bread, and from its blood the vine that produces the sacred drink of the Mysteries.” (Franz Cumont, p. 137). Dan liturgi komuni Mithraisme antara lain berbunyi: "He who will not eat of my body and drink of my blood, so that he will be made one with me and I with him, the same shall not know salvation."
Jadi, eucharist itu ternyata berasal dari tradisi Mithraisme dan bukan ajaran Yesus. Dan jamuan makan malam terakhir bersama 12 muridnya itu kemungkinan besar tidak pernah ada. Karena Yesus dan muridnya memang adalah orang Yahudi yang sama sekali tidak mengenal tradisi jamuan makan yang melambangkan daging dan darah Tuhan. Jadi, lukisan Leonardo da Vinci yang terkenal itu berdasarkan suatu kisah yang terkena pengaruh dari Mithraisme juga.
3. Pendeta Mithraisme hidup selibat. Sama bukan dengan yang ada di Vatikan sekarang ini? Bahkan susunan organisasinya juga banyak yang ditiru oleh Vatikan dan bukit Vatikan itu sendiri adalah bekas tempat kedudukan kuil Mithra yang lalu diambil alih oleh orang Kristen. Gelar pendeta tertinggi Mithraisme yaitu Pater Patrum, yang kemudian menjadi Papa atau Pope (Paus), juga turut diambil alih oleh pendeta tertinggi Kristen. Dan tiara (mahkota) yang dipakai Paus itu juga berasal dari tradisi Persia. Boleh dilihat pada kamus mana saja tentang asal-usul kata tiara ini. Bahkan, singgasana yang disimpan di Vatikan juga ada` kemungkinan berasal dari kuil Mithra yang telah beralih fungsi tersebut: The ancient chair preserved in the Vatican and supposed to have been the pontifical throne used by St. Peter, is in reality of pagan origin, and may possibly be Mithraic also, for it has upon it certain pagan carvings which are thought to be connected with Mithra. [J.M. Robertson, /Pagan Christs/, p. 336.].
4. Pada hari lahirnya, dikisahkan bahwa Mithra dikunjungi oleh tiga orang Magi dan dihadiahi emas, myhrr dan frankincense. Hmm... kok sama juga ya. Anda tentu tahu sudah tahu siapa Magi itu. Magi adalah pendeta dari Persia. Masih berkaitan dengan Mithraisme juga, bukan? Ini menunjukan betapa dalamnya pengaruh Mithraisme pada masyarakat masa itu sampai-sampai pada kitab Bibel pun Yesus perlu dikisahkan mendapat restu dari para pendeta Persia.
5. Lambang Salib, ini pun bukanlah lambang yang mula-mula dipakai oleh umat Kristen. Lambang agama Kristen semula berupa simbol seperti yang ada pada gambar di bawah. Entah gambar apa itu, seperti gambar ikan atau makhluk semacamnya. Dan saya yakin kebanyakan dari Anda baru pertama kali ini mengetahui simbol agama Kristen yang mula-mula ini. Simbol salib itu sendiri baru dipakai untuk mengambil simpati pengikut Mithraisme yang sebelumnya sudah mempunyai tradisi untuk mencap dahinya dengan simbol dewa matahari yang bentuknya seperti salib . Akhirnya, digantilah simbol yang lama dengan simbol salib hingga saat ini. Baik itu yang berupa salib saja atau yang diberi tambahan ikon patung Yesus. Walau sekarang ini Yesus selalu dilukiskan disalib dengan mengenakan cawat, tetapi sebenarnya orang yang disalib itu tidak mengenakan cawat, tetapi pakaian mereka dicopot sama sekali alias ditelanjangi oleh para prajurit Romawi yang bertugas.
6. Dan yang terakhir, seperti yang telah kita bahas dalam tulisan yang terdahulu, sampai sekarang pun umat Kristen pergi ke gereja pada hari Minggu (Sunday = hari matahari), hari suci dewa Mithra, bukan pada hari Sabath yang merupakan hari suci asli Yesus dan pengikutnya. Umat Kristen pun merayakan Natal pada hari kelahiran Dewa Mithra, yaitu 25 Desember.
Dengan melihat beberapa keterangan di atas tadi, maka akan semakin jelaslah bahwa ternyata Agama Kristen itu adalah hasil sinkretisme agama Yahudi dengan Mithraisme, kemudian masih ada lagi ditambahi dengan beberapa tradisi yang telah ada sebelumnya di sekitar wilayah Timur Tengah dan Eropa.
Sebenarnya, ada sisi yang cukup menyeramkan dari perlambang makan daging dan darah Tuhan ini. Well, ini bermula dari tradisi kuno yang menyeramkan karena semula yang dikorbankan dan dilahap bukanlah daging domba atau lembu, bukan pula hanya sekedar perlambang saja, tetapi memang benar-benar darah dan daging manusia. Sisa-sisa tradisi agama lama yang ada pada suku-suku purba Indo-Eropa. Seperti yang juga ada pada masyarakat Aztek dan lain-lainnya. Dan tradisi menyembelih manusia ini masih dijalankan oleh sebagian penganut Mithraisme hingga tahun 360 M.
Demikian riwayat pengaruh Mithraisme di dalam agama Kristen. Untuk selanjutnya boleh anda baca referensi-referensi yang terkait di internet. Banyak sekali.
Malang, 9 Februari 2006