Oleh: Helmi Junaidi
|
Suleymen Mosque |
(Catatan: Jangan lupa melihat endnote dari setiap kutipan yang ada)
Ketika membahas masalah ini, sebenarnya ada hal yang membuat saya merasa kesulitan untuk menulisnya. Di satu pihak kita harus mengungkapkan sejarah itu apa adanya, tanpa menutup-nutupinya. Tetapi, bila itu dilakukan, maka boleh jadi itu akan bisa membuat tersinggung pihak yang merasa kurang suka dengan pengungkapan fakta-fakta tersebut. Dalam hal ini, mungkin rasa kurang suka itu mungkin akan bisa timbul dari pihak umat Islam yang kebiasaan dan pola berpikirnya memang menurut fakta sejarah telah menyebabkan timbulnya sikap anti Islam pada kalangan pemuda intelektual di Indonesia pada masa sebelum kemerdekaan. Umat Islam yang dimaksudkan di sini adalah umat Islam secara keseluruhannya saja, baik yang tradisionalis maupun modernis sebab boleh dikatakan secara umum keduanya masih menganut paham orthodoks Asy'ariyah yang menentang rasionalisme dan masih bersifat fiqih sentris. Suatu hal yang kurang bisa diterima oleh kalangan intelektual pada masa itu. Dan memang perbedaan kaum modernis dan tradisionalis lebih banyak pada masalah furu' dan bukan pada masalah ushul. Suatu perbedaan yang sebenarnya tidaklah terlalu penting karena hanya memperdebatkan masalah qunut, ushalli dan semacamnya. Jadi, dalam masalah teologi kedua aliran itu sebenarnya masih sama-sama tradisionalnya.
Bagaimanapun, saya memang harus mengungkapkan fakta-fakta tersebut dengan sebisa mungkin meminimalisir hal-hal yang mungkin bisa menyebabkan sebagian pihak akan bisa menjadi tidak suka. Karena itu, saya di sini memang lebih banyak mengutip saja, atau hanya sekedar memberikan analisa dari kutipan-kutipan yang ada dan sedapat mungkin menahan diri untuk tidak memberikan pendapat pribadi, meski terkadang itu juga tak terelakkan. Jadi, boleh dianggap ini memang lebih banyak merupakan sebuah penyampaikan informasi. Dan dari pengungkapan fakta sejarah tersebut mudah-mudahan kita nanti akan bisa lebih memahami mengapa pada masa lalu--dan kemudian terbawa hingga sekarang--terjadi pertentangan sengit antara kaum pemuda intelektual dengan umat Islam. Dan dengan menyadari penyebabnya, maka mudah-mudahan kita nanti juga akan menjadi lebih mudah untuk mencari penyelesaiannya. Mencari solusi yang terbaik sehingga akan bisa mendamaikan segala pertikaian tersebut, yang hingga sekarang memang masih terjadi.
Pertentangan antara golongan sekuler dan Islam ini sebenarnya menjadi menajam ketika rasionalisme dan berbagai pemikiran Barat lainnya mulai masuk ke dunia Islam. Dan di Indonesia dimulai sejak diterapkannya politik etis yang memberi kesempatan kepada kaum pribumi walaupun terbatas kepada golongan elit saja. Pada awal abad keduapuluh, politik etis ini mulai menunjukkan hasilnya dengan mulai munculnya orang-orang pribumi yang terpelajar atau yang biasa disebut sebagai kaum pemuda intelektueel. Pemikiran-pemikiran dari Barat mulai memasuki generasi muda di Indonesia, khususnya pada kalangan terpelajar.
Meski demikian, memang tak bisa diabaikan adanya faktor lain yang bisa mempengaruhi, yaitu adanya kultur abangan dan santri. Dan sebenarnya, kultur semacam ini tidaklah ada di Jawa saja. Ingat kisah perang padri. Para pemuda sekuler seperti Muhammad Yamin (PSI) dan Hatta (PNI) adalah orang Sumatra.
Keadaan semacam ini lambat laun menimbulkan berbagai gesekan. Pada masa itu seringkali tokoh-tokoh Islam, mengeluhkan kenapa kaum pemuda intelektual menjauh dari agama. Dan jawaban klasik yang biasanya diberikan adalah karena kaum pemuda intelektual mendapatkan pendidikan anti agama. Karena mereka dididik di sekolah-sekolah Belanda yang berniat meracuni pikiran generasi muda Islam.
Sebenarnya, permasalahannya tidaklah sesederhana itu. Bila kaum pemuda intelektual dididik secara Barat, itu memang benar. Tetapi, bila mereka dididik untuk memusuhi agamanya, itu belum tentu benar. Pendidikan Barat yang mereka peroleh sebenarnya adalah pendidikan yang selalu mengutamakan sikap kritis dan rasional. Kritis terhadap agama apa saja. Termasuk juga kepada agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha atau pun Konghucu. Mereka dididik untuk tidak menerima segala sesuatu sebelum dicerna oleh akal sehat terlebih dahulu. Dan karena mereka kemudian menemui bahwa banyak sekali penafsiran Al-Quran yang mereka anggap tidak masuk akal dan juga karena pola berpikir umat Islam yang pada masa itu sungguh setengah mati jumudnya, maka mereka pun lantas menjauhi agamanya atau malah berbalik menentangnya. Menjadi kaum sekuler atau malah komunis.
Mengenai bagaimana pandangan kaum intelektual sekuler pada masa itu tentang masalah di atas, mungkin kita bisa melihat pendapat Sukarno, yang nampaknya bisa kita anggap mewakili pandangan kaum intelektual sekuler pada masa itu. Pada saat ini memang ada sebagian umat Islam yang kurang menyukai Sukarno. Tetapi, bukankah kita mengenal pepatah undzur maa qaala wa laa tandzur man qaala. Jadi, kita memang bisa mendengarkan pendapat orang lain bila pendapatnya itu memang memperlihatkan keadaan yang sebenarnya. Terlebih lagi, pandangan Sukarno ini memang mempunyai banyak pengaruh pada format negara kita dewasa ini sehingga mau tidak mau kita memang harus mengetahuinya juga.
Dalam salah satu suratnya kepada A. Hassan, tokoh dan pendiri Persatuan Islam (Persis), Sukarno antara lain pernah berkata:
Tjara kuno dan mesum itulah, djuga di atas lapangannja ilmu tafsir, jang mendjadi sebabnja seluruh dunia Barat itu memandang Islam itu sebagai agama jang anti kemadjuan dan jang sesat. Tanjalah itu kepada ribuan orang Barat jang masuk Islam di dalam abad keduapuluh ini: dengan tjara apa dan siapa mereka tahu baik dan bagusnja Islam, dan mereka akan mendjawab: bukan dari guru-guru jang hanja menjuruh muridnja "beriman" dan "pertjaja" sahadja, bukan dari muballigh-muballigh jang tarik muka angker dan hanja tahu putarkan tasbih sahadja, tetapi dari muballigh jang memakai penerangan jang masuk akal karena berpengetahuan umum. Mereka masuk Islam karena muballigh-muballigh jang menghela mereka itu adalah muballigh-muballigh jang modern dan scientific dan bukan... (dst).
Pertjajalah bahwa, bila Islam dipropagandakan setjara masuk akal dan up to date, seluruh dunia akan sedar kepada kebenaran Islam itu. Saja sendiri, sebagai seorang terpeladjar, barulah mendapat lebih banjak penghargaan kepada Islam itu setelah membatja buku-buku Islam jang modern dan scientific. Apa sebabnja kaum terpeladjar Indonesia tak senang Islam. Sebagian besar ialah karena Islam tak mau membarengi zaman dan karena salahnja orang-orang jang mempropagandakan Islam: mereka kolot, mereka orthodox, mereka anti pengetahuan dan memang tidak berpengetahuan, takhajul, djumud, menjuruh orang bertaklid sahadja, menjuruh orang pertjaja sahadja, mesum mbahnja mesum.2
Jadi, hal-hal seperti itulah yang menyebabkan menjauhnya kaum intelektual dari Islam. Dan jangan lupa, surat di atas bukanlah surat bernada permusuhan, tapi surat persahabatan. Sukarno pada masa itu bersahabat dengan A. Hassan. Dan A. Hassan itu gurunya M. Natsir. Sebenarnya, selain dari kalangan kaum abangan, banyak pula kaum terpelajar yang berasal dari kaum santri dan kemudian beralih menjadi sekuler, bahkan komunis seperti misalnya Tan Malaka. Bahkan nama asli D.N. Aidit bukanlah Dipa Nusantara Aidit, tetapi Dja'far Nawawi Aidit.
Tetapi, bila kita mau jujur, sebenarnya hal itu bukanlah salah mereka sepenuhnya. Hal itu sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidakmampuan umat Islam sendiri untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Apalagi bila kita melihat bahwa pola berpikir umat Islam pada masa itu memang sangatlah masih memprihatinkan dan sebenarnya telah banyak menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Selain itu, umat Islam pada masa itu juga gemar sekali mengharamkan segala sesuatu dengan tidak pada tempatnya. Misalnya saja mengharamkan tranfusi darah,3 sepakbola atau kesenian. Malah ada pula yang sampai mengharamkan makan pakai sendok. Hal-hal semacam itulah sebenarnya yang sering membuat kesal kalangan terpelajar sehingga mereka pun menjauh dari Islam.
Kita rojal sekali dengan perkataan "kafir", kita gemar sekali mentjap barang jang baru dengan tjap “kafir". Pengetahuan Barat kafir, radio dan kedokteran kafir, pantalon dan dasi dan topi kafir, sendok dan garpu kafir, tulisan latin kafir, ja bergaulan dengan bangsa bukan Islam pun kafir! Padahal, apa jang kita namakan Islam? Bukan roh Islam jang berkobar-kobar, bukan api Islam jang menjala-njala, bukan amal Islam jang mengagumkan, tetapi... dupa dan korma dan djubah dan tjelak mata! Siapa jang mukanja angker, siapa jang tangannja bau kemenjan, siapa jang matanja ditjelak dan djubahnja pandjang dan menggengam tasbih jang selalu berputar, -dia, dialah jang kita namakan Islam. Astagafirullah! Inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Jang mengafirkan pengetahuan dan ketjerdasan, jang mengafirkan radio dan listrik, mengafirkan kemodernan dan ke-up-to-date-an? Jang mau tinggal mesum sahadja, tinggal naik onta" dan "makan zonder sendok" sahadja....
Dan hal-hal seperti itu tidaklah terjadi di Indonesia saja, tetapi merata di seluruh dunia Islam pada masa itu. Seperti misalnya di Saudi Arabia pernah di sana lampu listrik diharamkan. Radio juga pernah diharamkan dan tiang antena yang telah terpasang baik-baik di kota Madinah terpaksa dibongkar kembali. Semuanya dianggap sebagai bid'ah karena tidak ada di zamannya Nabi. Selain itu, ada pula contoh lain yang lebih parah lagi. Suatu ketika, tanaman kapas di Turki diserang hama tanaman yang sangat ganas, tetapi kaum agama di sana menentang pembasmian hama tersebut karena dianggap menentang takdir Tuhan. Pemberantasan penyakit pes juga diharamkan dengan alasan yang sama, padahal sudah jatuh ribuan korban manusia. Dan satu-satunya tindakan penolak penyakit yang dianjurkan adalah menempelkan sesobek kertas dengan ayat Al-Quran di atas pintu.4 Fatalisme memang benar-benar hidup di Turki pada masa itu.
Jadi, demikianlah keadaan umat Islam pada masa itu. Padahal, kalau kita mau berpikir dengan jernih, sebenarnya semua itu halal juga adanya. Sama sekali tidak ada tertulis di dalam Al-Quran atau hadits bahwa Allah mengharamkan radio, sepakbola, atau pembasmian hama tanaman. Tetapi, untunglah hal semacam itu sekarang sudah tidak terjadi lagi. Bagi kita generasi sekarang, yang tidak menyaksikan sendiri hal-hal semacam itu, tentu akan sulit untuk memahami kenapa sampai terjadi pertikaian yang sangat sengit antara kaum sekuler dan golongan Islam di masa lampau bila kita tidak menengok sejenak ke dalam sejarah. Ini disebabkan karena kita sekarang telah menyaksikan kemajuan yang cukup lumayan dalam pola berpikir umat Islam, bahkan juga pada kalangan Islam tradisionalnya walaupun memang masih belum menyentuh massa bawah. Tetapi, bagi kaum intelektual pada masa itu yang mengalami dan menyaksikan sendiri kejumudan yang masih sedang jumud-jumudnya, maka mereka pun akhirnya menjadi jemu dan tidak sabar lagi. Apalagi bila mereka melihat peradaban Barat yang sudah sedemikian majunya dan tidak mungkin lagi dihadapi dengan pola berpikir semacam itu.
Meski demikian, walaupun sekarang memang sudah banyak kemajuan, tetapi tetap banyak hal yang masih perlu dibenahi karena hal-hal yang mendasar masihlah tetap belum berubah. Pandangan dan ajaran lama yang menolak ilmu pengetahuan dan cara berpikir yang rasional itu masih tetap eksis di mana-mana, bahkan itu di kalangan kaum muda sekali pun. Ini tidaklah hanya oleh golongan Islam tradisional saja, tetapi juga oleh mereka yang dari kalangan modernis sekali pun, meski mungkin dalam kadar yang berbeda. Dan seperti tadi telah disebutkan, perbedaan kedua aliran tersebut hanyalah pada masalah fiqih semata, bukan pada masalah teologi. Karena itulah, umat Islam sampai kini pun tetap tinggal terbelakang saja, tak berdaya apa-apa, baik dalam bidang ekonomi apalagi dalam bidang kemiliteran. Hanya sekedar menjadi penonton belaka. Atau sesekali juga menjadi pemain, dengan peran sebagai pelengkap penderita.
Jadi, bila kita mau melihat sejenak ke dalam sejarah, maka kita akan segera mengetahui bahwa bila kaum intelektual di masa lampau itu menjauh dari agama, maka hal itu sebenarnya lebih disebabkan oleh ketidakmampuan umat Islam sendiri untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yang selalu berubah sepanjang waktu. Dan hukum alam pun berlaku pula di sini bahwa there is no finality in adaptation, there is a continuing urgency toward change. Tidak ada kata akhir di dalam melakukan adaptasi, selalu ada desakan yang terus menerus untuk melakukan perubahan. Mereka yang sanggup beradaptasi akan survive sedangkan yang tidak mampu akan punah, ditelan oleh perubahan. Dan ditinggalkan. Begitulah permasalahan yang sebenarnya.
Sekulerisme di dunia Islam itu memang sebenarnya adalah "buah" dari kelambanan umat Islam untuk mengikuti gerak zaman. “Buah” dari ketidakmampuan untuk mengatasi persoalan sekuler (duniawi) dengan cepat dan sigap. Bila pun nanti ada sebab-sebab yang lainnya, itu hanyalah sekedar tambahan pelengkap saja. Kita bisa melihat pada kutipan di bawah. Kutipan ini memang diambil dan disatukan dari beberapa halaman yang berbeda, tetapi tidaklah menyimpang dari yang dimaksudkan dari tulisan yang asli. Atau bila ingin lebih jelas, bisa membacanya secara langsung dari buku karya Sukarno tersebut. Sayangnya, buku ini sekarang masih “berharga borjuis”. Mudah-mudahan nanti bisa juga diturunkan menjadi “harga proletar” sehingga akan bisa dibaca lebih banyak orang. Berikut ini adalah kutipannya:
Ja, kismet! Kismet kalau engkau masuk bui karena engkau punya bantahan jang dinamakan "merusak agama" itu. Kismet kalau aturan-aturan mengenai kesehatan pun tidak dapat didjalankan karena ulama-ulama jang mengikat negara itu menfatwakan bahwa aturan-aturan itu haram.5
Dengan begitu, maka tiap-tiap insiatif dirintangi, tiap-tiap kemauan ke arah kemajuan ditindas, dipadamkan dengan alasan kismet. Tiap-tiap aturan baru, tiap-tiap tindakan, meskipun jang paling maha-perlu sekali pun tidak dapat lekas-lekas didjalankan sebab pemerintah terikat kaki-tangannja kepada Sjeikhul-Islam dan mufti-mufti, terikat kaki-tangannja kepada fatwa jang seringkali mengeluarkan perkataan “DJANGAN".6
Maka apakah daja guna mendamaikan konflik ini. Kata pemimpin-pemimpin Turki Muda tak lebih dan tak kurang. Beri tabe sahadja jang satu dengan jang lain. Rudjak sentul. Lu ngalor gua ngidul.7
Pada akhirnya, sebagaimana telah kita ketahui, perpisahan antara agama dan negara pun menjadi kenyataan yang tak terelakkan lagi dan membawa akibat-akibat yang luas pada masa itu dan masa sesudahnya. Mustafa Kemal memecat khalifah Ottoman terakhir dan membuang agama dari negara. Ia pun mempunyai banyak pengagum di mana-mana. Perseteruan antara kaum sekuler dan kaum agama ini pun akhirnya menjadi masalah yang kronis di berbagai dunia Islam hingga saat ini.
Walaupun memang sekarang ini di kalangan umat Islam sudah banyak terjadi perubahan yang cukup bagus, bahkan telah banyak lahir intelektual muslim, perseteruan itu masih juga belum berhenti. Hanya saja, keadaannya sekarang ini memang berbalik dengan dahulu. Pada saat ini pada golongan Islam banyak terdapat kaum intelektual dan tokoh-tokoh yang pemikirannya cukup maju, sedangkan pada golongan sekuler malah jarang sekali dijumpai kaum intelektual-nya. Bahkan banyak di antara mereka ini yang sudah sukar sekali untuk mengikuti perkembangan zaman. Malah banyak di antara mereka yang tidak mau lagi mengadakan perubahan sekecil apa pun. Padahal, zaman senantiasa berubah dan segalanya mesti berubah di dalam menghadapi tuntutan zaman. Demikian Heraclitus pernah berkata. Mereka yang tidak mau mengikuti zaman akan ditelan oleh zaman itu sendiri.
Tetapi, satu kenyataan yang lebih memprihatinkan lagi adalah banyak sekali di antara kaum sekuler sekarang ini yang ternyata tidak mengetahui asal dari penyebab timbulnya sekulerisme. Jadi, memperjuangkan sesuatu yang mereka sendiri tidak tahu sebab dan tujuannya. Lucu, bukan? Selain itu, di antara mereka ternyata masih banyak juga yang pola berpikirnya masih sangat terbelakang. Masih menggemari berbagai macam takhayul, pergi ke tempat-tempat keramat, membakar kemenyan dan melarung sesajen ala manusia zaman neolitikum.8 Entahlah apa kata generasi sekuler terdahulu mereka bila mengetahui keadaan semacam ini. Tetapi, yang jelas mereka adalah kaum intelektual berpendidikan Belanda yang cara berpikirnya sangat rasional dan tidak mau mempercayai berbagai macam takhayul seperti banyak generasi sekuler yang ada sekarang ini. Dan seandainya saja yang mengetahui hal-hal semacam itu adalah Mustafa Kemal yang terkenal keras itu, pastilah ia akan segera memberantasnya. Semenjak naiknya Kemal ke panggung kekuasaan, pemerintah Turki memang telah menutup kuburan-kuburan keramat dan berbagai tempat sejenisnya. Kemal sangat membenci tradisi semacam itu. Masyarakat Turki pun dilarang keras berziarah ke sana. Baru setelah keadaannya dinilai memungkinkan, pemerintah Turki kemudian membukanya kembali, sekedar sebagai kunjungan seperti ke museum saja, tak boleh berziarah untuk maksud klenik.
Sekulerisme Turki
Sukarno pernah mengatakan bahwa sejarahlah yang akan menentukan apakah kita akan menyebut Kemal si durhaka ataukah seorang yang maha-bijaksana.9 Turki di bawah pimpinan Kemal mempelopori sekulerisme di dunia Islam dengan harapan akan bisa membawa kemajuan bagi negaranya. Tetapi, sekarang ini kita semua tentunya telah mengetahui bahwa sejarah ternyata membuktikan kalau Turki tetaplah sebuah negara yang ekonominya pas-pasan saja dan termasuk terbelakang di Eropa. Tak terlalu banyak dan mengalami perbaikan dari zaman Ottoman. Ia pun dianggap oleh negara-negara Eropa lainnya sebagai warga kelas dua dan ditolak menjadi anggota penuh Uni Eropa. Keadaan yang mengingatkan kita kepada novel Salah Asuhan. Tidak diterima oleh masyarakat Eropa karena dianggap "berkulit coklat", sementara oleh dunia Islam ia dianggap "berkulit putih". Hanya sekedar bergeser dari The Sick Man of Europe menjadi The Weird Man of Europe. Jadi, Kemal memang bukanlah seorang yang maha-bijaksana. Ia hanyalah seorang yang gagal di dalam mewujudkan cita-citanya membawa Turki menjadi negara modern seperti Barat. Ia telah "salah mengasuh" bangsanya.
Kegagalan Kemal di dalam membawa kemajuan bagi bangsanya ini nampaknya disebabkan karena ia mengadakan perubahan itu secara radikal dan terlalu tergesa-gesa tanpa mau memperhatikan kondisi rakyatnya. Dan perubahan itu bahkan dilakukan pada hal-hal yang sangat remeh, yang hanya sekedar perubahan kulit saja dan sebenarnya sama sekali tidak perlu dilakukan seperti mengumandangkan azan dalam bahasa Turki, melarang penggunaan sorban, jubah, fez ataupun kerudung. Padahal, orang Barat tidaklah menjadi maju karena menukar tarbus dengan topi. Para ilmuwan dan filsuf muslim zaman klasik pun menjadi maju bukanlah karena menukar jubah dan sorban dengan pakaian Yunani, tetapi karena mereka mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari berbagai sumber dengan sungguh-sungguh. Mereka maju karena meningkatkan kualitas cara berpikirnya.
Tindakan-tindakan Kemal semacam itu pun akhirnya menjadikan rakyat jelata merasa terasing dengan berbagai macam perubahan yang dijalankannya sehingga mereka pun menjadi malas mendukungnya. Dengan demikian langkah pembaharuan Kemal pun akhirnya menjadi gagal. Kemal memang seorang jendral yang ulung di medan pertempuran, tetapi ia nampaknya bukan seorang administrator yang cakap, ia pun tidak bisa memahami perasaan rakyat jelata Turki. Selain itu, ia juga seorang diktator yang enggan dikritik. Pengawalnya pernah menembak mati di tempat seorang oposan yang mengritiknya di dalam sidang Dewan Nasional Agung. Mengingatkan kita kepada ulah Bung Saddam.
Meski demikian, kita memang tidak bisa menyalahkan Kemal sepenuhnya walaupun langkah yang ditempuhnya banyak yang kurang tepat. Kemal adalah produk dari zamannya. Apa yang dilakukannya pada saat itu merupakan wujud kekesalan dan kejengkelan yang terakumulasi luar biasa kepada kejumudan umat Islam dan kepada sistem khilafat (baca: kerajaan) yang feodalistik, otoriter dan korup. Dan seperti yang hingga kini masih kerap terjadi di banyak negara, para khalifah (baca: raja) di Turki seringkali memanfaatkan kaum agama untuk memberikan fatwa-fatwa guna melegitimasi tindakan pemerintah yang belum tentu benar. Suatu penyakit lama yang tak kunjung sembuh. Selain itu, para ulama ortodok di Turki masa itu boleh dikatakan memang merupakan salah satu pendukung utama sistem kerajaan dan menentang ide pembaharuan yang dianjurkan oleh kaum muda. Sebagai contoh pada masa khalifah Abdul Hamid (masa pemerintahan 1876-1909), untuk mengatasi desakan kaum muda yang menghendaki pemerintahan yang lebih demokratis, maka atas anjuran para ulama ortodoks ia kemudian menyuruh para mufti yang sehaluan dengannya untuk mengeluarkan fatwa bahwa parlemen itu haram karena melanggar hak ulil amri.10 Beratus-ratus kaum muda yang menghendaki perubahan ia gantung di tepi selat Bosporus. Khalifah Abdul Hamid ini pula yang telah mengurung Sayyid Jamaludin Al-Afghani di dalam sebuah istana yang disediakan baginya sehingga ulama besar ini akhirnya sakit dan mati dalam kesepian. Sebenarnya khalifah sendiri yang semula mengundang ulama asal Afghanistan ini untuk dimintai nasihatnya di dalam menghadapi gempuran negara-negara Eropa yang semakin lama semakin tak terbendung lagi. Tetapi Al-Afghani akhirnya diperlakukan demikian karena ia akhirnya tak bisa bekerja sama dengan raja yang otoriter tersebut. Pada masa Abdul Hamid ini pula sistem mata-mata dipakai secara luas sehingga orang tak bisa lagi mempercayai satu sama lain.11
Feodalisme raja-raja yang sudah ketinggalan zaman dan berbagai macam kejumudan umat Islam itulah yang akhirnya membawa Turki kepada kebangkrutan, baik dalam bidang ekonomi maupun militer. Dan sebagaimana lazimnya sistem feodal di mana-mana, boleh dikatakan sistem feodal di Turki itu pun sudah tak mengenal moral sama sekali. Perebutan kekuasaan dan berbagai macam intrik terjadi di dalam istana dengan menghalalkan segala cara. Bunuh membunuh antar saudara untuk berebut jabatan khalifah sudah menjadi hal yang biasa dan menjadi pemandangan yang lazim selama ratusan tahun. Bahkan untuk melapangkan jalannya menuju tahta, seorang pangeran pernah membantai habis sembilanbelas orang saudaranya. Ia adalah Sultan Muhammad III (masa pemerintahan 1596-1603). Tradisi suksesi di zaman Ottoman memang begitu. Semua pangeran lain yang tidak naik ke kursi Sutan ajib dibunuh. Semuanya. Korupsi juga pada masa itu sangat merajalela, uang negara dihambur-hamburkan untuk berfoya-foya. Para khalifah hanya sibuk bersenang-senang dan bermabuk-mabukan di dalam istana dan tak lagi mengurusi rakyatnya. Benar, bermabuk-mabukan. Dan banyak khalifah yang mati muda termakan minuman keras. Mengenai bagaimana korupnya kerajaan Turki, keterangan berikut mungkin akan bisa sedikit menjelaskan:
Maka datanglah masanja buat memegang djabatan jang sangat tinggi itu, mendjadi Wazir-Besar, walaupun usianja telah landjut, 80 tahun, seketika dia mendjabat pangkat itu pada 22 September 1656. Dia mau memangku djabatan itu asalkan Sultan mau memberinja kekuasaan jang penuh. Permintaannja dikabulkan. Maka dengan tangan besi dipegangnjalah kekuasaannja itu. Diaturnja kembali keuangan negara. Dan karena kekurangan keuangan negara, dipinjamnja uang pribadi Sultan dan orang-orang jang terdekat kepada Sultan. Disanalah rupanja tersimpan segala kekajaan itu sehingga negara selama ini mendjadi miskin. Gaji-gaji dikuranginja, lebih-lebih lagi gadji ulama-ulama dan Sjech Thariqat jang sangat besar. Bukan main banjak sanggahan sewaktu tindakan itu dilakukannja. Jang kalau dia kurang hati-hati akan dapat mentjeraikan pula kepalanja dengan badannja. Difikirkannja, sebelum kepalanja djatuh dari atas badannja, lebih baik dia mendjatuhkan kepala orang lain. Maka segala jang dirasanja akan mendjatuhkan kepalanja itu didahuluinja. Berpuluh dan kalau perlu beratus dia mengorbankan kepala orang sehingga keadaan mendjadi tentram dan harem istana tidak berani lagi.11
Keadaan di Turki memang baru bisa membaik bila ada wazir besar yang cukup cakap di dalam mengurusi negara, meski jarang sekali ada wazir semacam itu. Dan bila pun ada, maka untuk melaksanakan usahanya ia pun harus rela mempertaruhkan batang lehernya bila ada pihak-pihak yang merasa terancam dengan langkah yang ditempuhnya. Pada masa kerajaan Ottoman itu, terdapat keluarga Koperli yang selama beberapa generasi sempat menduduki jabatan wazir besar.
Selain para khalifah, ada lagi golongan elit lain yang juga gemar melakukan berbagai macam perlilaku buruk, yaitu dari kalangan kaum Janissari (Inkisyariyah), korps tentara elit Turki yang dibentuk oleh Sultan Murad I (1326-1389). Susunan tentara ini mirip dengan kaum Mameluk di Mesir. Tentara ini kemudian dimusnahkan pada tahun 1826, semasa pemerintahan Sultan Mahmud II (1785-1839), ketika mereka bermaksud menentang pembentukan tentara baru secara modern yang mereka anggap akan bisa menggeser kedudukan istimewa mereka. Sekitar 40.000 orang pasukan Janissari hancur berkeping diterjang peluru meriam istana ketika mereka sedang menyerbu istana dengan maksud untuk mengganti dan membunuh Sultan sebagaimana yang telah kerap mereka lakukan di masa lalu.
Tentara Janissari ini pada mulanya memang banyak berjasa bagi negara, tetapi lambat laun malah menjadi duri dalam daging, kerap melakukan pemberontakan, menindas dan memeras rakyat serta menimbulkan keributan di seantero negeri. Singkat kata, mereka telah menjadi penyakit bagi kerajaan. Terlebih lagi, disiplin mereka telah menjadi semakin menurun dan tak lagi berjaya di medan perang. Kaum Janissari ini pun pernah pula mengancam seorang wazir yang hendak mengeluarkan larangan untuk minum-minuman keras. Tentara andalan Turki ini memang mempunyai kekuasaan yang cukup besar sepeninggal Khalifah terbesar dari dinasti Ottoman, yaitu Sulaiman Al-Qanuni (masa pemerintahan 1520-1566). Bahkan, seringkali kekuasaan mereka melebihi para khalifah. Mereka juga sering mengangkat dan menurunkan khalifah sesuai dengan selera mereka.
Sebagaimana kebiasaan jang telah mereka lakukan jang sudah-sudah, sengadja mereka angkat Muhammad IV mendjadi Sultan karena baginda ini masih kecil belum dewasa. Benar-benarlah negeri mendjadi katjau balau. Inkisjarijah berbuat sekehendak hatinja, tidak ada jang melarang. Orang tidak merasa aman karena harta bendanja dapat dirampas sadja kalau tentera itu mau. Jang memegang kekuasaan dengan penuh ambisi, rasa bentji, dendam disertai tama' ialah nenek Sultan jang perempuan, jang di kala hidup Sultan Ibrahim memakai gelar "Ibu Suri". Tetapi ibu Sultan sendiri, djanda Sultan Ibrahim merasa bahwa akan datang bahaya besar kalau hal itu dibiarkan berlarut-larut. (Dan seterusnya).12
Demikianlah suasananya kerajaan Turki itu. Korupsi, berbagai intrik kotor dan keserakahan menguasai kerajaan. Kerajaan yang kita sangka Islami dan sering kita sesali penghapusannya itu. Islam di sana ternyata hanyalah tinggal jadi pajangan belaka. Tidak masuk ke dalam jiwa. Tidak diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan para khalifah Bani Usman di Turki itu tidaklah jauh berbeda dengan keadaan para khalifah dinasti Umayah, Abasiyah atau Andalusia di masa kemerosotannya. Dan seandainya saja kerajaan Turki Usmani itu tetap hidup hingga saat ini, keadaannya mungkin tak jauh berbeda dengan kerajaan-kerajaan Islam lain yang terdapat di wilayah Timur Tengah sekarang. Islam hanya pada stempel resmi kerajaan saja, sedangkan isinya banyak yang menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri. Selain itu, patut pula kita sadari bahwa dalam ajaran Islam tidak dikenal sistem negara kerajaan dengan cara turun-temurun seperti yang diterapkan di Turki.
Dari kisah ini kita mungkin akan bisa lebih memahami bahwa betapa pentingnya mempelajari sejarah itu sebab tanpa mempelajari sejarah kita seringkali menjadi salah mengerti di dalam memahami sesuatu. Mendukung atau pun menentang sesuatu hal tanpa memahami permasalahan yang sebenarnya. Dan hingga saat ini memang masih ada sebagian umat Islam yang masih merindukan bangkitnya kembali kerajaan Ottoman. Juga masih banyak yang berpikir bahwa dengan mendirikan sebuah negara yang resmi bernama Islam atau pun membangun sebuah khilafat kembali itu akan bisa mengatasi segala masalah. Padahal, kita tentu mengetahui bahwa pada sebagian negara yang telah resmi bernama Islam pun ternyata pengangguran, kemiskinan dan berbagai problem sosial lainnya tidaklah lenyap secara langsung seperti yang diharapkan. Dan memang bagaimana masalah bisa lenyap kalau tidak ada upaya-upaya serta program yang jelas dan terarah untuk mengatasinya? Bahkan lebih banyak energi yang dihabiskan untuk mengurusi hal-hal lain yang hanya sekedar bersifat legalistik yang terkadang malah jauh dari esensi ajaran Islam yang sebenarnya. Juga lebih banyak energi yang dihabiskan justru kepada tindakan-tindakan tidak perlu yang seringkali malah semakin memiskinkan dan menyengsarakan rakyat banyak seperti perang berkepanjangan atau pun perebutan wilayah tiada henti. Padahal, sebagian di antaranya adalah termasuk negara yang kaya dengan sumber alam ataupun berbagai potensi lainnya. Umat Islam sekarang nampaknya memang tidak cukup hanya berbekal semangat, impian dan idealisme, tetapi juga program-program yang jelas dan terarah untuk mengatasi dan memecahkan berbagai masalah yang ada.
Sementara itu, di pihak yang lain, kurangnya sense of history ini pula yang menyebabkan sebagian umat Islam yang mendukung sekulerisme dan menyebut pihak lain sebagai kaum ekstrimis, tetapi mereka sendiri justru termasuk kalangan yang paling menggemari segala hal yang berbau klenik dan keramat yang dulu telah membangkitkan kemarahan Kemal dan kaum sekuler radikal di Turki. Dan praktek-praktek semacam itu memang termasuk salah satu faktor utama yang turut mendorong terjadinya sekulerisme di Turki dan segala praktek tersebut kemudian diberantas habis oleh Kemal. Kemal dan para pendukungnya memang sangat membenci praktek-praktek semacam itu yang pada masa itu lazim terjadi di Turki13 dan hingga sekarang pun masih lazim terjadi di berbagai dunia Islam. Oleh karena itu, mungkin ada baiknya bila kita sekarang mulai menggiatkan minat kita kepada ilmu sejarah supaya kita bisa terhindar dari berbagai kesalahpahaman seperti di atas, supaya kita bisa benar-benar memahami setiap persoalan, pemikiran dan tindakan yang kita lakukan. Ini memang adalah persoalan yang mesti kita pahami dengan penuh keseriusan sebab rasanya ini memang adalah masalah yang benar-benar penting. Terlebih lagi memang ada yang pernah berkata bahwa tanpa mempelajari ilmu sejarah, maka ilmu politik tidak akan berbuah! History without Political Science has no fruit. Political Science without History has no root.
Kemudian, marilah kita kembali melanjutkan membahas keadaan di Turki. Pada akhirnya, kerajaan Ottoman yang dulu gagah perkasa dan disegani itu pun lambat laun menjadi lemah dan bobrok karena tak mau mengikuti perkembangan di sekitarnya. Baik itu dalam sistem kenegaraan, kemiliteran maupun kemasyarakatan. Segala tindakan yang ditujukan untuk memperbaiki keadaan negara dengan menggunakan metode dari Barat seringkali kandas di tengah jalan walaupun itu adalah hal-hal yang sangat bermanfaat. Bila dalam sistem kenegaraan seringkali dikandaskan oleh khalifah yang ingin tetap berkuasa secara absolut, maka dalam masalah-masalah kemasyarakatan seringkali kandas karena fatwa para mufti yang seringkali langsung memberi label "haram" kepada segala hal yang berasal dari Barat. Haram bagi umat Islam untuk meniru-niru cara orang kafir. Padahal, tidaklah mesti yang datang dari Barat itu haram dan kafir. Akhirnya, jadilah dia The Sick Man of Europe, begitulah julukan yang diberikan Tzar Nicholas I kepada kerajaan yang telah sekarat itu. Selain kegemaran mengharamkan segala sesuatu yang berasal dari Barat ini sebenarnya masih banyak lagi berbagai macam kebekuan lain yang menghambat kemajuan di Turki.
Pada akhirnya, kebobrokan itu pun membawa hasil yang sudah bisa dibayangkan. Musuh-musuhnya telah mencapai kemajuan yang sedemikian pesatnya sementara Turki tetaplah setia dengan cara-cara kuno. Akibatnya, berguguranlah satu demi satu wilayah yang dulu dikuasainya. Digusur dari hampir semua wilayah Eropa yang pernah didudukinya. Bulgaria, Yunani, Hungaria, Bosnia, Herzegovina, Serbia, Rumania, Albania, Krimia, Kroasia... semuanya itu akhirnya dikikis habis oleh musuh-musuhnya yang menyerbu dengan tak kenal lelah dan tak ada habis-habisnya itu, baik dari jurusan Barat maupun Timur. Prajurit-prajurit Turania dari padang stepa Turkestan yang dulu gagah perkasa itu, yang selama ratusan tahun telah menggetarkan hati bangsa-bangsa Eropa itu, kemudian terpukul mundur di mana-mana, di setiap front pertempuran. Ayam jantan yang sudah gundul tak berbulu itu pun akhirnya tinggallah pulang kampung. Dan meninggalkan jutaan umat Islam di bekas wilayahnya untuk dijadikan bahan pembantaian kelak....
Demikianlah kisahnya. Jadi, terjadinya sekulerisme di Turki dan pembubaran khilafat itu sebenarnya tidaklah semata-mata karena Kemal itu adalah orang yang gila Barat. Kita di sini harus pula menyelidiki apa sebab "kegilaannya" itu, mengapa dia bisa menjadi "gila" seperti itu. Dan ternyata, penyebabnya pun ternyata ada pada para penentangnya juga. Bila saja kita ini boleh berandai-andai, maka seandainya pada waktu itu umat Islam di Turki, baik penguasa maupun kaum agamanya bisa mengikuti irama zaman, bisa bertindak sigap dan cekatan di dalam mengurusi masalah negara dan masyarakat, para khalifah tak hanya sibuk bersenang-senang, bermabuk-mabukan, berfoya-foya dan menghambur-hamburkan uang negara saja, dan kaum agamanya tak hanya gemar mengharamkan segala sesuatu saja, bisa membedakan mana barang dari Barat yang berguna dan mana yang tidak, maka sekularisasi di Turki dan juga berbagai dunia Islam lainnya tidak akan pernah terjadi. Tapi, begitulah sejarah.
Kemudian, bila pun mungkin masih ada yang tetap menyesali mengapa Kemal mesti membubarkan kekhalifahan Turki yang bercorak internasional dan menjadi republik yang bercorak nasional, maka itu juga sebenarnya suatu pemahaman yang keliru karena boleh dikatakan setelah Perang Dunia I Kerajaan Ottoman sudah tidak lagi mempunyai wilayah di luar yang dihuni bangsa Turki. (Lihat Lampiran peta Imperium Ottoman semenjak tahun 1683 hingga 1918). Semenjak masa kemerosotannya, kerajaan Ottoman ini memang sudah tak lagi mempunyai kekuatan militer maupun biaya yang memadai untuk mempertahankan imperiumnya, apalagi untuk merebutnya kembali. Para prajurit dan petani Turki telah lelah dan jenuh untuk dikirim ke berbagai medan perang yang seolah tak ada henti-hentinya berkecamuk di mana-mana, yang sekarang lebih banyak kalah daripada menangnya. Selesai perang di Timur, pecah yang lain di Barat. Selesai pemberontakan di Selatan bergolak yang lain di Utara. Dan kas negara pun telah bangkrut untuk membiayai segala perang yang sia-sia. Malah sehabis PD I, tanah air bangsa Turki di Anatolia sendiri pun sempat diserbu dan diduduki oleh Yunani sebelum mereka kemudian berhasil diusir kembali dengan susah payah oleh Kemal pada pertempuran Sakarya.
Jadi, memang pada masa itu kekhalifahan yang bercorak internasional di Turki itu telah bubar dengan sendirinya sedangkan Kemal hanyalah sekedar mengesahkannya saja. Dan memang bagaimana Turki bisa menyebut dirinya sebagai kekhalifahan besar yang meliputi seluruh negara Islam di dunia bila secara de facto Turki ternyata sudah tak punya wilayah lagi. Wilayah di Eropa telah lama berguguran, bahkan bila kota Istambul sekarang ini masih tetap berada di tangan Turki, itu hanyalah karena perseteruan di antara negara-negara Eropa sendiri, terutama antara Inggris dan Rusia yang masing-masing tak ingin kota yang letaknya sangat strategis itu jatuh ke tangan seterunya. Perseteruan dua negara Eropa ini pula yang telah menyebabkan pecahnya perang Krim pada tahun 1853-1856. Seandainya tidak, pastilah Turki sudah sepenuhnya tergusur dari Eropa.
Sedangkan di wilayah yang penduduknya mayoritas Islam, terutama di tanah Arab, sudah lama ingin melepaskan diri dari kekuasaan kaum Ottoman. Terlebih lagi, pemerintah pusat di Istambul memang sudah sejak lama kurang memperhatikan keadaan di daerah. Dan jangankan rakyat yang tinggal di daerah, rakyat yang berada di pusat, bahkan di kota Istambul sendiri pun tak pernah mendapat perhatian. Para sultan Turki cuma lebih sibuk berfoya-foya. Karena itu, kemudian timbul berbagai pemberontakan di tanah Arab, antara lain dipimpin oleh Syarif Hussein di tanah Hijaz (PD I), Ibnu Saud bersama kaum Wahabi di Najd (1913), Imam Yahya Hamidudin di Yaman (1911) atau pun di berbagai wilayah Arab lainnya. Juga terjadi pemberontakan di Kurdistan dan Albania beserta beberapa wilayah di sekitarnya. Semua wilayah perpenduduk mayoritas muslim itu menuntut pemisahan diri dari Turki. Karena itu, ketika pada PD I Khalifah Mehmed V menyerukan agar semua orang Islam bersatu melakukan jihad bersama Turki, maka pada saat itu pula Syarif Hussein beserta pasukannya justru bergabung dengan tentara sekutu untuk menembaki tentara Turki dan mengusirnya dari semenanjung. Dalam peperangan antara Syarif Hussein melawan Turki ini, terkenal kisah Kolonel T.E. Lawrence (1888-1935). Ahli strategi perang gerilya yang juga seorang penulis dan ahli arkeologi ini dijuluki sebagai Raja Arab tanpa Mahkota karena keterlibatannya di dalam berbagai pertempuran untuk membantu orang Arab melepaskan diri dari Turki. Meski demikian, usahanya dalam bidang diplomasi agar negara-negara Arab diberi kemerdekaan penuh oleh sekutu setelah berakhirnya perang terpaksa kandas karena ambisi negara-negara Eropa untuk menguasai tanah Arab. Kisah Lawrence ini juga pernah masuk layar lebar.
Jadi, kita nampaknya memang harus senantiasa melihat segala sesuatu itu dari berbagi sisi dan sudut pandang. Selalu berusaha mencari sebab dari suatu akibat. Seringkali orang mengutuki Kemal tanpa meneliti sebab-musabab dia bertindak seperti itu. Tidak pernah terdengar ada yang menyalahkan tindakan raja-raja absolut yang sudah tak lagi memperhatikan rakyatnya atau pun kejumudan umat Islam di Turki. Meski demikian, harus diakui pula bahwa Kemal memang telah gagal membawa Turki ke arah kemajuan seperti yang dicita-citakannya. Turki hingga sekarang tetaplah sebuah negara yang terbelakang. Dan ini antara lain disebabkan karena Kemal telah mencabut bangsa Turki dari akar kebudayaannya. Dan pohon yang telah tercerabut dari akarnya memang tidak akan pernah bisa berdiri dengan tegak. Jadi, Kemal dan kerajaan Ottoman sebenarnya telah sama-sama gagal di dalam mengurusi negara. Kemal nampaknya melupakan kenyataan sejarah bahwa kebangkitan zaman baru di Eropa adalah terjadi di Italia dengan cara bertumpu dan membangkitkan kembali akar kebudayaan klasik mereka, yaitu Greco-Roman.
Tetapi, Kemal yang saat ini seringkali kita kutuki sebagai "perusak Islam" itu, ternyata sebenarnya berasal dari keluarga yang taat beragama, miskin dan sederhana. Ia lahir pada tahun 1881 di kota Salonika yang sekarang sudah termasuk wilayah Yunani. Nama aslinya adalah Mustafa sedangkan Kemal (sempurna) adalah nama julukan yang diberikan oleh gurunya sewaktu masih di sekolah kemiliteran Salonika karena ia seorang murid yang cerdas dan cepat menguasai pelajaran. Ayahnya yang bernama Ali Reza meninggal ketika ia masih berusia tujuh tahun sedangkan ibunya Zubaidah adalah seorang wanita yang sederhana dan taat beragama. Sebagai wanita yang agamis, ia pun berharap agar Kemal bisa menjadi seorang muslim yang taat seperti dirinya dan menyekolahkan Kemal di sebuah madrasah. Ia berharap agar Kemal bisa menjadi seorang guru agama. Tetapi, Kemal kemudian keluar setelah bertengkar dengan gurunya. Ia lalu masuk sekolah militer atas saran seorang pamannya karena di sana tidak ditarik biaya.
Jadi, Kemal ini sebenarnya termasuk seorang santri yang "hilang" juga karena ia tidak tahan dengan kejumudan umat Islam pada saat itu, selain juga keadaan negaranya yang sangat bobrok. Mengenai bagaimana sikapnya terhadap keadaan umat Islam pada masa itu ia pernah mengatakan:
Saya tidak percaya bahwa hari ini dengan hadirnya cahaya ilmu pengetahuan dengan segala aspeknya, dalam masyarakat Turki yang beradab terdapat orang-orang yang demikian primitif sehingga mereka mau mencari kesejahteraan moral dan material mereka dengan petunjuk satu atau dua orang syekh. Saudara-saudara, Anda dan seluruh bangsa harus mengetahui, dan mengetahuinya dengan baik bahwa Republik Turki tak boleh menjadi negerinya para syekh, darwis-darwis, murid-murid dan calon-calon pendeta. Jalan (tarekat) yang paling benar adalah jalan peradaban. Untuk menjadi manusia cukuplah dengan melaksanakan apa-apa yang diwajibkan oleh peradaban. Semua pemimpin persaudaraan akan mengerti kebenaran yang saya utarakan dengan segala kemurnian ini dan segera menutup biara-biara mereka, serta menerima kenyataan bahwa murid-murid mereka pada akhirnya telah akil baligh.14
Demikianlah apa kata Kemal, dan ia pun segera memberantas segala hal yang menurutnya menjadi penyebab kemunduran bagi bangsa Turki. Ini tidaklah berarti kita mesti harus bersikap anti tarekat atau pun tasawuf. Itu hal yang baik saja untuk dilakukan sepanjang tidak disertakannya pemujaan kepada sesama manusia, sikap fatalis atau pun berbagai hal-hal lain yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tetapi, pada masa itu kegiatan tarekat di Turki memang telah banyak yang menyimpang sehingga akhirnya banyak pula membawa mudlarat, yaitu hilangnya kemauan bekerja dan berusaha serta semakin suburnya keramat dan takhayul di dalam masyarakat seperti tersebut di bawah ini.
Iradat manusia diarahkan kepada kehidupan kebatinan sahadja. dunia materiil jang fana ini tidaklah mendapat perhatian. Akibatnja? Inisiatif ekonomi musnah, keaktifan di lapangan kerezekian padam, kegiatan dan ketangkasan perjoanga hidup sedikit pun tidak ada sama sekali. Hilanglah kehendak akan merebut dunia sebagaimana diadjarkan oleh Islam sedjati, musnahlah kemauan ekonomi dari banjak rakjat. Sebaliknja, suburlah sarekat-sarekat darwis dam tarikah-tarikah dari segala ragam, seluruh Turki penuhlah dengan darwis-darwis yang pakaiannja bertambal-tambal dan hidupnja dari mengemis, menganggur, mendjadi penjaga kuburan-kuburan keramat, mendjual azimat dan tangkal-tangkal. Dari vilajet ke vilajet, dari desa ke desa mereka menjebarkan kepertjajaan kepada ilmu sihir, jang memang dalam sekali berakar kepada kejakinan rakjat....
Dan akibat dari takhayul ini pula? Lagi-lagi pemerintah mendapat rintangan hebat kalau mau memerangi sesuatu penjakit atau wabah dengan tindakan-tindakan jang rationeel, oleh karena rakjat lebih pertjaja kepada azimat-azimat, tangkal-tangkal, sihir-sihir dan kemak-kemiknja mulut seorang darwis. Menurut keterangannja Naumann, maka kaum petani pertjaja benar bahwa hama ulat dan hama jang lain-lain jang merusakkan tanaman itu dapat dengan segera dibasmi atau ditolak dengan tengkorak-tengkorak binatang jang ditaruh di atas tiang di ladang-ladang.
Djadi: bermacam-macam khurafat dan kekotoran Islam itu sudahlah membuat status ekonominja Turki itu mendjadi status ekonomi jang rendah tingkat dan kebelakangan-langkah. ibid., hlm. 419.
Bila pun masih ada yang meragukan hal di atas karena dikutip dari tulisan Sukarno yang sekuler dan ia mengutipnya dari karya orang Barat yang orientalis, maka supaya lebih lebih meyakinkan di sini juga akan dikutipkan dari buku karya orang Islam sendiri.
Masa Usmani bagi kebudayaan Islam adalah masa yang paling suram dalam sejarahnya karena keadaan politik dan sosial yang kacau memberi pengaruh yang sangat jelek kepada perkembangan ilmu pada khususnya.Dalam zaman yang suram ini bagi kebudayaan Islam hampir tidak pernah lahir ulama yang mempunyai pikiran orisinil. Karangan-karangan yang dikarang pada masa ini hanyalah merupakan syarah, hasyiyah, atau syarah dari syarah kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama yang tumbuh pada masa-masa sebelumnya sehingga zaman ini dalam dunia ilmu dinamakan ashr asy-syuruh wal hawasyi, seperti zaman Mughol dinamakan ashral mausu'at wal ma'ajim.
Dalam zaman ini tasawuf berkembang luas. Aliran-aliran shufi serta berbagai thariqat menjadi sangat banyak. Banyaklah lahir kitab-kitab karangan yang tidak teratur, kacau dengan bahasa dan uslubnya yang sangat jelek, baik prosa maupun puisi. Jeleknya tata usaha negara menyebabkan timbul kekacauan dan goncangan dalam kehidupan sosial. Bermacam kejahatan berkembang dalam masyarakat, perkosaan hak asasi manusia menjadi perbuatan biasa. Minuman keras juga meracuni kehidupan umat. Takut dan cemas membayangi manusia siang dan malam, dongeng dan purbasangka merajai akal manusia, khurafat menguasai kepercayaan umat, sementara jalan hidup mereka digantungkan pada mimpi sehingga banyaklah dikarang kitab-kitab yang berisi tabir mimpi. Kepercayaan kepada sihir mengambil tempat istimewa dalam hati bangsa.
Sebagai akibat yang logis dari berbagai kejahatan ini, maka rusaklah tata tertib umum dengan timbulnya krisis akhlak dalam segala manifestasinya, yang kesemuanya itu mempengaruhi jalannya kebudayaan, sehingga muncullah sepasukan para pengarang yang mendongeng dalam karangan-karangannya, bahkan mencabul. Bermunculanlah kitab-kitab cabul yang menyolok mata dan meruntuhkan akhlak.16
Jadi, memang demikianlah suasananya dari kerajaan Turki Usmani itu. Tapi, bagaimana pun juga kita memang tak bisa menyalahkan masyarakat Turki sepenuhnya akan keadaan di negaranya sebab patut diingat bahwa kerajaan Usmani itu memang berdiri pada masa aktivitas intelektual di dunia Islam telah berhenti semenjak lama. Pada masa di mana paham ortodoks telah duduk di atas singgasananya dan zaman keemasan kaum intelektual di Baghdad dan Kordoba telah tinggal sebagai masa lampau. Jadi, keadaan di Turki itu mau tidak mau memang terkait erat dengan keadaan sebelumnya. Meski demikian, terlepas dari segala kekurangannya, kita nampaknya memang tetap harus mengakui ketangguhan para prajurit Turki di medan tempur. Dan boleh dikatakan selama hampir 500 tahun Turki memang merupakan benteng pertahanan terdepan di dalam menghadapi ancaman dari luar. Karena ketangguhannya di dalam bertempur itulah, pada saat benua Asia dan Afrika hampir semuanya menjadi jajahan negara-negara Eropa (Barat), maka bangsa Turki bukan hanya tidak dijajah, tetapi sebaliknya mereka ini malah menjajah negara-negara Eropa (Timur) dan disegani oleh Eropa Barat. Selain itu, tak boleh dilupakan juga sisa-sisa kejayaan mereka yang berupa berbagai bangunan megah dan masjid beraksitektur indah yang didirikan oleh para khalifah.
Meski demikian, bagaimana pun juga berbagai kebobrokan seperti yang telah disebutkan tadi memang pada akhirnya menyebabkan keruntuhan dari kerajaan besar tersebut. Kaum muda di Turki benar-benar telah merasa bosan melihat kejumudan umat Islam pada masa itu dan juga kebobrokan dari sistem pemerintahan kerajaan yang ada. Padahal, sebagai negara yang terletak di garis depan, mereka tentunya melihat dengan mata kepala sendiri, dengan perasaan kagum bercampur cemas, betapa pesatnya perkembangan negara-negara Eropa yang ada di sekelilingnya dan selalu siap sedia menggulung Turki bila keadaannya memungkinkan. Sementara itu, para khalifah dan kaum ulama tetap bersikap tidak peduli dengan segala perkembangan yang ada dan selalu saja menghalang-menghalangi segala upaya untuk menuju perbaikan negara. Karena itu, ketika mereka di bawah pimpinan Mustafa Kemal telah berhasil duduk di tampuk kekuasaan segera saja mereka bubarkan sistem feodal dan membasmi habis segala yang mereka anggap sebagai sumber keterbelakangan bangsa Turki. Walau demikian, memang hal ini terkadang dilakukan secara berlebih-lebihan sehingga malah menghambat kemajuan bangsa Turki itu sendiri.
Akan tetapi, seandainya saja Kemal sekarang masih hidup dan melihat banyak pengaruh buruk dari Barat yang masuk ke dunia Islam pada masa sekarang, yang pada masa Kemal belum terjadi, dan ini terutama disebabkan karena umat Islam sekarang ini banyak yang lebih suka memakan tulang dan membuang dagingnya, dan juga bila melihat kemajuan pola berpikir umat Islam yang sudah cukup lumayan maju, meski masih belum seluruhnya, barangkali Kemal akan bisa berubah pikiran. Kemal sendiri pernah berkata bahwa "Islam adalah agama yang rasional dan perlu bagi umat manusia. Tetapi, agama yang rasional ini telah dirusak oleh tangan-tangan manusia". Kerusakan yang berupa mistik dan takhayul beserta beraneka ragam kejumudan lainnya. Dan nampaknya Kemal tak mau capek-capek memperbaikinya, tak mau pusing-pusing membenahi kerusakan itu, tetapi buang saja yang telah rusak itu sekalian. Ganti saja dengan yang lain. Karena itu, yang timbul sekarang adalah suatu pertanyaan. maukah kita bercapek-capek untuk memperbaiki kerusakan itu? Memperbaiki segala sesuatu yang telah rusak sehingga bisa bagus kembali? Jawabannya ada terletak kepada kita semua.
Dan akhirnya, bila lalu ada yang bertanya bentuk negara macam apakah yang mesti dipilih, maka kita pun rasanya sulit untuk mencari jawabannya. Apakah negara kerajaan turun temurun sampai ke anak cucu seperti Turki Ottoman yang bobrok dan korup? Apakah negara sekuler seperti republik Turki dan berbagai negara sekuler lain di Timur Tengah yang miskin dan terbelakang, dan juga tidak kalah korupnya? Atau apakah berupa negara Islam berbentuk kerajaan yang feodal dan tertutup seperti yang sekarang dipraktekkan di beberapa negara? Ataukah negara republik sosialis yang sadistis dan berangasan seperti rezim Ba'ats di Iraq dan Syria, yang dalam prakteknya ternyata juga tak lebih dari sekedar kerajaan sosialis? Atau apakah negara Islam berbentuk republik seperti yang terdapat pada beberapa negara yang ternyata juga tak kunjung membawa rakyatnya menuju kesejahteraan dan perbaikan taraf hidup karena kurang adanya perhatian dan program-program yang terarah untuk itu?
Jadi, kita rasanya memang akan sulit untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti di atas. Apa yang diinginkan oleh rakyat dan tentunya juga keinginan dari kita semua memang hanyalah sebuah negara yang benar-benar bebas dan merdeka. Bebas dari penjajahan dan penindasan, baik oleh Belanda berkulit putih maupun "Belanda" berkulit coklat, yang kerapkali malah lebih sadis dan menindas. Apa yang kita semua inginkan memang hanyalah negara yang aman dari berbagai jenis kejahatan, penindasan dan kerusuhan. Negara yang aman, makmur dan sejahtera di mana setiap orang bisa tidur nyenyak dan makan kenyang. Tidak peduli apa pun bentuk dan nama negaranya.
Dan untuk di Indonesia sekarang ini, guna mencapai cita-cita tersebut kita sendirilah yang bisa menentukannya, karena kita sekarang memang bebas memilih para pemimpin yang akan menjalankan tugas negara di dalam mencapai kemakmuran dan kesejahteraan. Di dalam memilih para penyelenggara negara ini kita tentunya dituntut untuk bisa bersikap kritis, melepaskan diri dari sikap fanatik kepada para pemimpin serta membebaskan diri dari berbagai ikatan primordial lainnya dan beralih menjadi pemilih yang benar-benar rasional dan bertanggung jawab. Bisa mengkritik seorang pemimpin yang berbuat kesalahan meskipun itu berasal dari pihak yang didukungnya. Sebaliknya, bisa juga memuji seorang pemimpin yang melakukan kebaikan meskipun bukan berasal dari pihak yang didukungnya. Ini tidaklah ditujukan kepada beberapa pihak tertentu, tetapi kepada semuanya saja sebab ternyata memang sikap fanatik ini memang masih menghinggapi sebagian besar masyarakat kita dari golongan mana saja! Baik dari golongan rakyat jelata, kaum terpelajar atau pun kalangan elit sendiri. Sedangkan kalangan mahasiswa agaknya hanya pandai bersikap sebagai No Man. Padahal, sikap semacam ini adalah sama buruknya dengan Yes Man. Semuanya dijawab dengan “No” duluan tanpa menawarkan pemikiran serta alternatif pemecahan-pemecahan masalah.
Jadi, memang hanya bila cara berpikir masyarakat kita telah berubah, maka kita pun akan bisa mendapatkan para pemimpin yang bagus pula. Bila kita sendiri tidak mau berubah, tidak mampu bersikap kritis, tetap bersikap irasional dan fanatik seperti yang terjadi sekarang ini, maka sampai kapan pun kita tak akan pernah bisa mendapatkan para pemimpin yang sanggup membangun masa depan yang lebih baik bagi negara dan bangsa.
Yogyakarta, 1998.
ENDNOTE
1. Pembagian yang lebih tepat tentang masyarakat di sini adalah kultur santri dan abangan, kemudian priyayi dan rakyat jelata. Jadi, bukan abangan, santri dan priyayi karena ada juga priyayi yang santri dan rakyat jelata yang abangan atau sebaliknya.
2 Ir. Soekarno, "Surat-surat Islam dari Endeh", dari Ir. Soekarno kepada T.A. Hassan, Guru "Persatuan Islam", Bandung, Dibawah Bendera Revolusi, Jld. 1, (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), hlm. 337. Surat-surat ini ditulis semasa Sukarno diasingkan di Endeh. Sukarno memang punya hubungan yang cukup akrab dengan tokoh Persis ini, meski mereka tetap berbeda pendapat dalam banyak hal. Malah bukan hanya buku-buku agama saja yang dikirimkan A. Hassan kepada Sukarno, tetapi ia juga pernah mengirimi Sukarno buah jambu mete.
3 Ir. Soekarno, "Bloedtranfusie dan Sebagian Kaum Ulama", Op. cit., hlm. 501.
4 Ir. Soekarno, "Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara", Op. cit., hlm. 413.
5 Ibid., hlm. 412.
6 Ibid., hlm. 413.
7 Ibid.
8 Neolitikum artinya zaman batu muda. Semua praktek sesembahan, sesajen dan benda-benda keramat berasal dari zaman ini. Pada masa-masa sebelumya seperti zaman Paleolitikum praktek semacam ini masih belum ada walaupun sudah mulai muncul embrionya. Dan ternyata, pengaruh manusia zaman batu ini nampaknya masih sangat kuat hingga sekarang. Kita nampaknya memang harus segera bergegas berevolusi menjadi manusia modern yang sepenuhnya.
9 Ibid., hlm. 445.
10 Dr. Hamka, Sedjarah Umat Islam, Jld. 3, (Bukittinggi: N.V. Nusantara, 1961), hlm. 237-238. Lihat juga M. Syafi'i Anwar, "Kemalisme dan Islam: Sebuah Kaleidoskop", Ulumul Qur'an, Vol. 1, 1899, hlm. 83-84.
11 Ibid.
11 Ibid., hlm. 205-206.
12 Ibid. hlm. 205.
13 M. Syafi'i Anwar, Op. cit., hlm. 86.
14 Drs. Abdullah Shodiq, Mpd., Sekulerisme Sukarno dan Mustafa Kemal, (Pasuruan: Garuda Buana Indah), hlm. 65-66.
16 A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 399-400. Untuk lebih meyakinkan lagi, kiranya perlu juga disebutkan di sini bahwa buku karya A. Hasjmy ini sumbernya mengambil dari dari buku-buku yang ditulis oleh penulis Islam sendiri. Dari 44 buku yang ada di dalam daftar pustaka, 28 di antaranya berbahasa Arab. Sisanya yang 16 berbahasa Indonesia, ditulis oleh penulis Islam juga dan sebagian besar diterbitkan oleh penerbitan Islam.