Oleh: Helmi Junaidi
Ada pemandangan yang hilang di Yogya tiap pagi dan sore sejak beberapa tahun ini, tanpa saya menyadarinya, yakni ribuan komuter bersepeda onthel. Saya lihat tadi pagi, mulai dari Jl. Bantul hingga Jl. Parangtritis sudah tak ada lagi komuter sepeda onthel. Lenyap sepenuhnya. Padahal, Jl. Bantul hingga Jl. Parangtritis dulu adalah jalur onthel teramai. Betul-betul merajai jalan raya sampai-sampai kita sulit menyeberang jalan. Generasi yang lebih muda agaknya sudah tak mau naik sepeda onthel lagi, apalagi mengingat kredit sepeda motor sekarang sebagian ada yang bisa tanpa uang muka sama sekali.
Dulu tiap pagi ribuan rakyat desa dari wilayah kabupaten di selatan Yogya berangkat “mengepung” kota. Bukan bawa senapan seperti dalam teori Mao, tapi cukuplah bawa sepeda onthel saja. :D Tak perlu juga bersimbah darah, tapi cukuplah bersimbah keringat dan ngos-ngosan saja. Benar-benar ngos-ngosan karena menempuh belasan kilometer atau lebih tiap pagi dan petang.
Saya dulu sering bertanya-tanya dalam hati, hendak bekerja ke mana saja orang-orang ini kok bisa sebanyak ini. Banyak sekali dan mengalir seolah tak henti-henti. Pertanyaan yang sampai sekarang saya tak tahu jawabnya. Entah ke mana saja. Dan sore harinya, setelah selesai berjuang mengepung kota demi sesuap nasi, maka jalanan dipenuhi sepeda onthel lagi, dengan arah yang sebaliknya.
Demikianlah selintas riwayat perjuangan kaum proletar Yogya dalam mengepung kota, demi mengepulnya asap dapur mereka.
21 Februari 2011