Oleh : Helmi Junaidi
Selama ini, masalah kependudukan boleh
dikatakan masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat maupun tokoh-tokoh
masyarakat. Baik itu dari para politisi, tokoh agama, pakar ekonomi maupun tokoh
masyarakat lainnya. Memang pada saat ini sebagian besar orang pada umumnya sudah
tidak berkeberatan lagi dengan program untuk mengon-trol kelahiran, tetapi
sayangnya masih kurang sekali kesadaran untuk melaksanakannya. Dianggap sebagai
hal yang tidak penting. Padahal, kalau kita mau menyadari, sebenar-nya masalah
kependudukan ini adalah masalah yang teramat penting. Tidak kalah pentingnya
dengan berbagai macam masalah lainnya yang seringkali kita perdebatkan dalam
berbagai seminar dan diskusi. Dan sebenarnya berkaitan erat dengan masalah
ekonomi, hukum dan norma agama. Jadi, memang tidak bisa diabaikan begitu
saja.
Sebenarnya, masalah kependudukan ini sudah
bisa diatasi dengan baik bila saja sejak dulu sudah ada upaya yang
sungguh-sungguh dari pihak pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk
mengatasi masalah ini. Sayangnya, hal itu dulu masih belum ada. Dulu masih
banyak orang yang menentang program KB. Kalau pun sudah ada yang menyetujui-nya,
umumnya mereka masih enggan melaksanakannya. Pada zaman Orde Lama, dari pihak
pemerintah pun tidak ada kesadaran akan masalah ini. Pada saat itu jumlah
penduduk Indonesia masih berkisar 100 juta jiwa dan seandainya pada saat itu
sudah ada upaya yang sungguh-sungguh tentunya tidak perlu penduduk Indonesia
meledak seperti sekarang ini.
Hingga saat ini memang masih banyak orang
yang menganggap bahwa teori yang dikemukakan oleh Malthus sudah tidak berlaku
lagi karena adanya berbagai macam kemajuan pada bidang pertanian yang bisa
melipatgandakan jumlah makanan. Tetapi, mereka nam-paknya melupakan bahwa
kemajuan teknologi bukanlah hanya pada bidang pertanian, tetapi juga pada bidang
kesehatan dan kedokteran. Jadi, tingkat kematian menurun dengan cukup drastis
sedangkan tingkat kelahiran tetap bertambah menurut primitif rate. Maka semakin sesaklah bumi
kita ini dan semakin sulitlah memenuhi kebutuhan pangan karena tingkat
pertumbuhan penduduk dunia yang sekitar 1,2 persen per tahun sedangkan lahan
pertanian hanya bertambah 0.8 persen saja. Jumlah lahan ini pun semakin hari
semakin berkurang saja karena semakin meningkatnya kebutuhan akan perumahan.
Apalagi, kita memang tak akan pernah bisa menciptakan teknologi yang bisa
meningkatkan luas tanah di planet bumi. Jadi, hanya bila suatu saat kita memang
telah bisa mendirikan koloni di planet Mars atau galaksi yang lain dan bisa
pergi ke sana dengan ongkos setara naik kereta Purbaya barangkali kita tak perlu
susah payah mengatasi masalah kependudukan ini.
Jadi, prediksi Malthus, atau lengkapnya
Thomas Robert Malthus (1766-1834), dalam hal ini memang bisa dikatakan cukup
tepat dan tetap berlaku hingga saat ini. Dan teori Malthus tentang kependudukan
yang ditulis dalam esainya yang berjudul Essay on the
Principle of Population ini juga sebenarnya
yang turut memberikan pengaruh yang sangat besar untuk meyakinkan Darwin tentang
terjadinya proses seleksi alam dalam evolusi mahluk hidup. Malthus menyata-kan
bahwa tingkat pertumbuhan penduduk adalah berdasarkan deret geometri (1, 4, 9,
16, ... dst.) sedangkan jumlah makanan hanyalah bertambah menurut deret
aritmetika (1, 2, 3, 4, ... dst.). Hal ini tentu pada akhirnya akan menim-bulkan
persaingan mati-matian antar Homo
sapiens untuk memperebutkan sumber makanan karena
berlebihnya jumlah penduduk. Memang pada saat ini tidak perlu sampai ada
pertempuran antar negara untuk memperebutkan sumber makanan seperti yang terjadi
pada suku-suku primitif, tetapi persaingan antar individu untuk mempere-butkan
sumber makanan (atau dalam hal ini cara untuk mencari makan alias pekerjaan)
dalam skala yang sangat... sangat besar ternyata juga tak kalah buruk akibatnya
karena tempat yang tersedia makin hari makin terbatas jumlahnya. Dalam
masyarakat industri setiap orang memang tak lagi mencari makan secara langsung
dengan cara pergi ke sawah. Akibatnya, mereka yang tidak mendapatkan tempat yang
layak terpaksa mencari yang kurang layak, yang tidak mendapatkan yang kurang
layak terpaksa mencari yang tidak layak. Dan dari hari ke hari mereka ini
semakin besar saja jumlahnya. Ini tentu pada akhirnya menimbulkan berbagai macam
masalah sosial yang susah dibenahi.
Pada zaman Orde Baru, masalah kependudukan
ini memang sudah mulai dibenahi. Keluarga Berencana dianjurkan di mana-mana dan
di banyak tempat mendapat sukses. Tetapi, karena masih sangat kurangnya
kesadaran dari masyarakat dan kurang intensifnya usaha dari pemerintah, maka di
banyak tempat pula usaha ini mengalami kegagalan. Jumlah penduduk masih terus
bertambah dengan sangat pesatnya. Bila pada awal Orde Baru masih berjumlah
sekitar 100 juta jiwa, maka pada akhir Orde Baru sudah berjumlah lebih dari 200
juta. Berlipat dua kali hanya dalam waktu 30 tahun saja! Suatu kecepatan
pertumbuhan yang sulit dicari bandingannya sepanjang sejarah umat manusia.
Apakah kita ini sebenarnya ber-evolusi dari kelinci?
Hal ini tentu pada akhirnya mengakibatkan
tekanan-tekanan yang luar biasa kepada lingkungan hidup yang merupakan sumber dari kehidupan manusia
dan seluruh mahluk hidup di planet bumi ini. Dan patut pula diperhatikan bahwa
dalam 30 tahun terakhir ini, jumlah produk pertanian telah meningkat hingga dua
kali lipat, tetapi di banyak negara jumlah tersebut tetap tidak
mencukupi.
Oleh karena itu, pada masa sekarang dan juga
masa mendatang masalah kependudukan ini haruslah benar-benar bisa mendapat
perhatian. Ini adalah masalah yang benar-benar sangat serius. Dan pada saat ini
rasanya program KB ini sudah saatnya tidak lagi hanya sekedar dianjurkan, tetapi
diwajibkan! Seperti di Cina misalnya, terlebih lagi di pulau-pulau yang sudah
sangat padat penduduknya seperti Jawa, Madura dan Bali. Tetapi, tentu saja
caranya harus lebih baik dengan yang ada di Cina, yaitu dengan cara terlebih
dahulu memberikan pengertian-pengertian tentang pentingnya masalah ini. Bila pun
tidak satu anak, bisa tetap dua saja, yang penting harus
diwajibkan.
Untuk mengatasi masalah ini memang tidak
cukup hanya dari pihak pemerintah saja yang mengurusinya. Semua pihak yang
menyadari pentingnya masalah ini haruslah turut serta membantu membenahi masalah
ini, baik itu dari generasi tua yang sudah terlanjur tidak melaksanakannya.
Mereka harus-lah turut serta berperanan dalam masalah ini, paling tidak dengan
cara menyadarkan generasi muda, anak-anak mereka akan pentingnya masalah ini.
Dan tulisan ini memang teru-tama ditujukan kepada generasi muda sebab rasanya
kita memang lebih baik menyadarkan yang belum terlanjur sebab kalau yang sudah
terlanjur tidak bisa diapa-apakan lagi. Apalagi, hingga saat ini pada kalangan
muda pun nampaknya kesadaran akan masalah kependudukan ini memang masih sangat
rendah juga. Tak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Kita seringkali
menemui seorang muda yang bila ditanya ingin punya anak berapa kelak, maka
biasanya ia akan menjawab, "Terserahlah berapa Tuhan mau memberi, diberi berapa
saja tidak apa-apa sebab itu adalah amanah." Bila memang demikian, kalau
misalkan si perempuan menikah pada umur duapuluh tahun dan punya anak setiap
satu atau dua tahun, maka Tuhan akan memberi dan "mengamanahkan" kepadanya
minimal sepuluh orang anak. Maka, akan semakin sesak dan kusutlah bumi milik
Tuhan ini. Dan itu nampaknya memang sudah menjadi “amanah” dari bumi kita ini.
Islam dan Masalah
Kependudukan
Pada masa ini, memang masih ada di antara
umat Islam yang menentang program kontrol kelahiran ini, baik itu dari kalangan
tradisional maupun dari kalangan modern sekali pun. Atau kalau pun sudah ada
yang setuju, maka mereka masih enggan melaksanakannya. Oleh karena itu,
mudah-mudahan penjelasan ini nanti akan bisa membuat mereka yang masih belum
setuju ini akan segera menyadari betapa pentingnya masalah kependudukan ini dan
segera membenahi kembali pemahaman mereka.
Di dalam menentang program kependudukan ini,
yang seringkali dijadikan landasan antara lain adalah adanya hadits yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad di akhirat kelak akan berbangga-bangga dengan
para nabi yang lainnya tentang banyaknya jumlah umat mereka. Sebenarnya, tujuan
dari hadits ini adalah dimaksudkan supaya umat Islam bisa menjadi kuat. Inilah
sebenarnya yang menjadi tujuan dari hadits tersebut. Apalagi pada masa awal
kelahirannya, umat Islam masih harus menempuh perjalanan yang panjang untuk
menyebarkan agamanya. Dan ini tentunya membutuhkan tenaga yang banyak juga.
Tetapi, pada masa sekarang, di mana agama Islam sudah tersebar cukup luas, maka
jumlah yang terlalu banyak malah bisa berbalik membuat lemah umat Islam sendiri.
Jumlah yang terlalu banyak berarti semakin sulitnya orang mencari makan, semakin
banyak orang miskin, anak putus sekolah dan pengangguran. Dan itu berarti
kelemahan.
Bila pun masih ada yang berpendapat bahwa
jumlah yang banyak pada saat ini bisa menjadi kekuatan, maka kita bisa mengingat
bagaimana pada masa sebelum kemerdekaan, jumlah bangsa Indonesia yang 60 juta
ini takluk kepada negeri liliput Belanda. Dan itu tidak perlu semua orang
Belanda menyerbu ke sini. Jumlah orang Belanda di Indonesia saat itu hanya
sekitar 50 ribu orang saja, itu pun sudah terma-suk kaum indonya. Ini berarti
1:1.200. Jadi, orang-orang Belanda itu, karena keunggulan kualitasnya, mereka
malah bisa menjadi lebih hebat dari Prabu Arjuna Sastrabahu yang sedang
bertriwikrama. Atau kalau contoh yang lebih up to
date lagi, kita bisa pula melihat bagaimana
etnis Cina yang jumlahnya hanya beberapa gelintir saja bisa menguasai
perekonomian Indonesia karena teknik berda-gang mereka yang lebih
maju.
Lalu, bila kita kembali kepada hadits di
atas, apakah Nabi Muhammad akan bangga dengan umatnya yang berjumlah 60 juta
itu? Jawabannya pasti adalah tidak. Nabi Muhammad pastilah tidak akan bangga
dengan jumlah umatnya yang banyak tetapi tidak berkualitas itu. Kalah dengan
mereka yang jumlahnya hanya 50 ribu. Dan hal itu tidaklah hanya terjadi di
Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia Islam lainnya pada masa itu.
Sampai sekarang pun kita bisa melihat bagaimana bangsa Arab yang berjumlah lebih
dari 200 juta itu tak berdaya menghadapi Israel yang penduduknya hanya sekitar 6
juta jiwa. Jadi, pada masa sekarang ini yang menentukan kekuatan terutama memang
bukanlah kuantitas, tetapi kualitas. Oleh karena itu, yang perlu ditingkatkan
pada masa ini tentunya juga adalah kualitas, bukan kuantitas. Sudah terlalu
banyak kuantitas-nya, bahkan sudah amat sangat berlebihan
Kependudukan dan Problem
Sosial
Dengan semakin banyaknya penduduk, maka hal
ini menyebabkan tidak tersedianya ruang yang cukup bagi semua orang untuk
menyambung hidup. Di desa tanah pertanian semakin menyempit karena harus
dibagi-bagi dengan saudara yang selalu bertambah jumlahnya. Dan akhirnya, ketika
sampai kepada generasi yang kesekian, ketika tanah sudah tak lagi mencukupi,
orang di desa pun pergi ke kota. Di kota mereka pun harus bersaing dengan
penduduk asli kota tersebut maupun orang dari berbagai wilayah lain yang juga
berjubel banyaknya. Jadi, semakin berjubel-jubel.
Bila pun masih ada yang berkeberatan terhadap
pendapat di atas, maka ilustrasi berikut mungkin akan bisa membantu. Kita
misalkan saja ada sebuah keluarga yang mempunyai sepuluh hektar sawah. Dan ini
termasuk luas, kita bisa menyebutnya sebagai petani kaya. Tetapi, karena
keluarga tersebut mempunyai sepuluh orang anak, maka ketika kedua orang tuanya
meninggal masing-masing anak hanya akan mendapatkan warisan satu hektar sawah.
Apabila kesepuluh orang tersebut kemudian rata-rata mem-punyai enam orang anak,
maka sawah yang hanya tinggal satu hektar itu pun harus dibagi lagi menjadi
seperenam hektar. Ini tentunya jelas sangat tidak mencukupi. Kini, cucu petani
kaya tersebut telah berubah menjadi petani melarat.
Pada akhirnya, ketika tanah di desa telah
habis untuk dibagi-bagi dan semua orang desa berlarian pergi ke kota untuk
menyambung hidup, maka hukum pasar pun berlaku pula di sini bahwa semakin banyak
barang (atau dalam hal ini tenaga kerja), maka semakin murah pula harganya. Upah
pekerja bisa ditekan semurah mungkin karena semakin membe-ludaknya jumlah
angkatan kerja sementara kesempatan yang tersedia amatlah terbatas sebab
pertumbuhan kesempatan kerja memang tidaklah bisa secepat pertumbuhan angkatan
kerja. Atau bila kita di sini mengambil rumus Malthus, maka jumlah angkatan
kerja bertambah sejalan dengan deret ukur sementara kesempatan kerja hanyalah
sejalan dengan deret hitung.
Akan tetapi, karena keseimbangan itu hanya
akan bisa tercapai dalam jangka waktu yang cukup lama sementara tuntutan
kehidupan sehari-hari tentunya dibutuhkan pada saat ini juga, maka nampaknya
pemerintah haruslah mengusa-hakan agar upah pekerja yang rendah ini bisa
diperbaiki. Selain itu, nampaknya kita juga mesti membenahi satu hal yang lain
lagi sebab nampaknya ada hubungannya juga dengan upah pekerja yang rendah. Dalam
pelajaran ilmu ekonomi yang mesti dihapal di tiap sekolah hingga saat ini, kita
selalu diajarkan suatu dogma bahwa seorang pelaku ekonomi mestilah dengan modal
sekecil-kecilnya bisa mendapat untung sebesar-besarnya. Tak disebutkan lebih
lanjut di situ dengan cara yang bagaimana. Tak disebutkan bahwa kita mestilah
tetap memperhatikan etika. Kita seharusnya sudah menambah atau merevisi dogma
itu dengan semestinya. Dan dogma semacam ini juga yang antara lain menyebabkan
berba-gai macam kejahatan dalam dunia usaha karena menyebabkan orang
menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan.
Walau pun para pekerja di Indonesia memang
tak bisa digaji terlalu tinggi sebagaimana rekannya di berbagai negara maju dan
mungkin perusahaan-perusahaan di sini memang tak bisa membayar sebesar itu,
tetapi gaji tersebut seharusnya cukup bila hanya sekedar untuk membeli makanan
yang bergizi, beli rumah yang memenuhi standar kesehatan, beli alat transportasi
yang baik dan memadai (sepeda motor paling tidak), cukup untuk biaya pendidikan,
bisa untuk beli majalah, koran atau buku, bisa untuk pergi ke dokter, bisa untuk
rekreasi, dan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari lainnya secara memadai tanpa
harus perlu mengkredit atau berhutang kanan kiri yang seringkali harus
menghabiskan setengah atau malah sebagian besar dari penghasilan per bulan dari
kebanyakan masyarakat kita. Dan ini tentunya mengurangi tingkat kesejahteraan
mereka.
Walaupun suatu saat nanti memang jumlah
pekerja dan kesempatan kerja tidak bisa mencapai titik yang betul-betul
seimbang, maka bila ada kurang lebihnya tidaklah terlalu menyolok. Karena pada
saat ini jumlahnya memang sangat tidak berimbang, maka hal ini tentu membuat
sulit pula untuk meningkatkan upah kaum pekerja. "Harga jual" mereka menjadi
sangat rendah. Upah yang rendah ini pun pada akhirnya akan menimbulkan efek yang
berantai pula. Dengan gaji yang rendah, maka para pekerja tersebut tidak akan
mampu menyekolahkan anaknya dan memberi makan dengan gizi yang memenuhi syarat.
Baik makanan yang bisa menunjang kesehatan tubuh maupun pertumbuhan otak.
Berarti tidak akan ada peningkatan kecerdasan dari generasi bapaknya, malah bisa
jadi akan semakin menurun. Selanjutnya, dengan tingkat pendidikan yang rendah,
maka kesadaran mereka akan masalah kependudu-kan ini pun akan menjadi semakin
rendah pula. Dengan demikian, jumlah penduduk akan semakin bertambah, upah
pekerja pun akan semakin sulit ditingkatkan, angka kemiskinan dan tingkat
pendidikan pun akan semakin susah pula dibenahi. Bagaikan sebuah lingkaran
setan.
Selanjutnya, patutlah kita sadari bahwa luas
tanah yang ada sangatlah terbatas. Kita misalkan saja bahwa di pulau Jawa
penduduknya 100 juta jiwa. Kemudian kita misal-kan bahwa di Jawa maksimal
dibangun lima ribu pabrik atau perusahaan. Sekali lagi, ini jumlah maksimal,
kecuali kalau diadakan penggusuran sawah atau perumahan penduduk. Lalu
masing-masing perusahaan kita misalkan saja rata-rata mampu menampung lima ribu
pegawai. Dan ini jumlah yang termasuk ideal bila kita misalkan setiap orang
pekerja menghidupi rata-rata tiga orang anggota keluarga lainnya. Tetapi, bila
jumlah ini terus-menerus bertambah tanpa henti, katakanlah hingga mencapai 200
juta jiwa (hanya di Jawa saja) dalam beberapa tahun mendatang, dan ini bukanlah
jumlah yang mustahil mengingat kecepatan pertumbuhan selama ini, maka jumlah
yang ideal itu akan menjadi tidak ideal lagi. Jumlah perusahaan tidak mungkin
akan bisa bertambah karena lahan sudah tidak tersedia lagi. Terlebih lagi,
semakin banyak areal persawahan yang telah berubah menjadi pemukiman penduduk.
Dan kita memang tak akan pernah bisa menambah luas tanah yang ada, kecuali bila
kita bisa mengeringkan Laut Kidul. Dan bertambahnya jumlah penduduk ini memang
mau tidak mau akan menggusur areal persawahan menja-di perumahan seperti yang
bisa kita saksikan saat ini di mana-mana. Lalu, mau makan apa kita nanti? Dan
bila suatu saat tanah telah habis semuanya kita mau pergi ke mana? Mendirikan
rumah susun barangkali. Tetapi, apakah lingkungan semacam ini cukup sehat bagi
perkembangan anak-anak? Lapangan untuk bermain sepakbola, bermain layang-layang,
bermain gundu, voli dan badminton telah habis di mana-mana. Atau barangkali ada
yang mengusulkan bertransmigrasi. Tetapi, bagaimana bila hutan di Sumatra
Kalimantan dan berbagai tempat lain pun telah habis dibuat perumahan? Terlebih
lagi, berapa persen dari kita yang mau pergi transmigrasi dengan sukarela?
Terutama lagi bagi penduduk perkotaan atau setengah perkotaan yang telah
terbiasa dengan keramaian dan fasilitas umum yang mudah
terjangkau?
Karena di dalam negeri sudah tidak ada lagi
pekerjaan yang tersedia dan juga sudah tidak ada lagi sawah yang bisa digarap,
maka banyak di antaranya yang lalu merantau ke luar negeri. Dan kita tentu tahu
bahwa hal ini sering-kali menimbulkan masalah, terutama bagi kaum wanitanya.
Bahkan, seringkali terjadi peristiwa yang menyedihkan menimpa mereka. Sementara
itu, bagi mereka yang tidak tertampung di dalam negeri atau tidak punya biaya
untuk pergi ke luar negeri, maka mereka terpaksa menjadi pen-ganggur, setengah
menganggur atau tukang tidur. Padahal, sebagian besar di antara mereka adalah
termasuk dalam usia produktif. Dan dari tahun ke tahun kaum pen-gangguran ini
semakin banyak saja jumlahnya karena pertum-buhan angkatan kerja selalu melebihi
jumlah kesempatan kerja. Jadi, semakin lama semakin bertumpuk dan bertumpuk dan
bertumpuk dan bertumpuk dan bertumpuk-tumpuk….
Setiba pada bagian ini, walaupun mungkin
saatnya kurang tepat, saya tiba-tiba merasa ingin sedikit bernos-talgia sebab
ketika sampai pada bagian ini saya memang menjadi teringat lagu Balada Sejuta Wajah yang pernah
dibawakan oleh grup God Bless semasa tahun delapanpuluhan. Sebuah lagu yang menjadi favorit seorang
teman saya ketika masih di sekolah menengah dulu. Lagu yang berkisah tentang
kaum urban, keriuhan di kota-kota besar dan kaum semut yang terhimpit di
tengahnya. Teman saya yang satu ini memang sangat suka dengan lagu tersebut dan
kerap meminta saya untuk membawa-kannya secara unplugged, meski dengan petikan gitar ala
kadarnya sebab saya memang tidaklah selihai Ian Antono.
Dan sekarang ini, ketika sesekali saya mampir
ke seorang teman yang kebetulan punya sedikit “bisnis” di salah satu sudut
trotoar di kota budaya ini dan terkadang menemaninya nongkrong hingga malam
hari, saya menjadi teringat isi lirik dari lagu tersebut. Dan rekan seperjuangan
teman saya ini, yang dulu jumlahnya tak seberapa, kini semakin banyak saja,
saling berdesak di kiri-kanan dan depannya. (Semoga suatu saat tidak sampai
berdesak di atas dan bawahnya). Banyak pula di antara mereka yang berasal dari
luar kota. Dan bagi orang yang ngelemer
seperti saya ini, sewaktu musim hujan begini saya
sering merasa kagum dengan ketangkasan dan kecepatan mereka dalam berkemas
ketika langit mulai turun hujan. Hanya dalam hitungan detik saja mereka telah
bisa mengemasi semuanya. Mungkin mereka lebih tangkas dari suku-suku nomad di
Mongolia.
Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu,
ketika ia mulai "mengawali karirnya", dua buah rambu yang menyatakan bahwa di
sekitar tempat itu dilarang berjualan masih terpasang dengan manis dan rapinya,
dengan cat dasar merah yang menyolok mata. Tetapi, sekarang sudah mulai meluntur
dan tak jelas lagi. Mungkin yang berwenang sudah malas mengecatnya lagi karena
sudah capek mengatasi ke-bandelan mereka. Ia sering bercerita tentang hal itu.
Ia pun dulu kerap pula terkena gusuran meski sekarang memang tak pernah ada
lagi.
Ia dulu telah sempat berkelana ke mana-mana,
ke beberapa kota besar di Pulau Jawa, untuk mendapatkan kerja yang sepantasnya.
Tetapi, ternyata ia sekali lagi hanya membuktikan bahwa hukum pasar dalam tenaga
kerja memang benar adanya. Kerja suntuk seharian dengan upah ala kadarnya. Ia
pun akhirnya lebih memilih untuk mengabdi di kaki lima yang menurutnya lebih
bebas dan "menjanjikan". Tetapi, penghasilannya kadang ternyata memang lebih
baik bila dibandingkan dengan standar UMR. Hanya saja memang tak selalu
demikian. Ada kalanya ia pulang larut malam hanya dengan membawa tubuh yang
basah kuyup kehujanan.
Oh ya, dari teman tersebut saya juga lalu
mengeta-hui arti dari kata kaki lima. Suatu kata yang bagi saya sebelumnya
terasa aneh dan menimbulkan tanda tanya. Ternyata, ini bukanlah karena mereka
tergolong spesies mahluk berkaki dua yang mengalami mutasi genetika, tetapi itu
adalah singkatan dari "kanan kiri lintas manusia". Demikian jelas teman
tersebut. Entah benar entah tidak.
Saya dulu biasa memainkan lagu Sejuta Wajah tersebut dengan nada
gembira, nada anak-anak remaja. Tetapi, seka-rang saya tahu bahwa seharusnya
saya dulu memainkannya dengan nada yang sebaliknya. Dan bunyi lagu itu pun
seka-rang terasa nyata dan bukan lagi hanya berupa nada-nada. Apalagi, ternyata
jumlah mereka bukanlah hanya sejuta dan mereka pun ternyata bukan hanya berada
di kali lima, tetapi ada di mana-mana.
Meski demikian, ia nampaknya menikmati
kehidupannya. Sepenilaian saya, ia merasa bebas dan bahagia. Dan bukankah itu
sebenar-nya yang dicari oleh setiap manusia? Ia bilang bisa berangkat kapan saja
ia mau dan kapan saja ia tidak mau. Meski demikian, ia berangkat setiap hari.
Bahkan pada hari Minggu dan tanggal merah sekali pun, sebab pada saat seperti
itulah justru ramai pembeli. Ia juga sudah merasa at
home di sana. Dan bila malam sedang cerah, saya
sendiri pun terkadang merasa ayem
juga ketika sedang ikut duduk selonjoran di sana
sambil menikmati minuman atau makanan kecil yang dibelinya dari sebuah warung
angkringan terdekat bila saya sedang mampir ke sana. Sekali-sekali, bila sedang
banyak rezeki, ia juga mentraktir saya mie ayam yang kebetulan lewat di jalan.
Ia orangnya cukup murah hati memang. Tetapi, sekarang ini saya memang sudah
sangat jarang sekali ke sana karena semakin riuhnya jumlah mereka sehingga tidak
bisa enjoy lagi.
Meski demikian, biarpun ia merasa bebas dan
bahagia, entahlah, bagaimana ia kelak di kemudian hari. Toh, seperti yang saya
rasakan walaupun mungkin sudah tak terkatakan lagi olehnya, ia juga sebenarnya
ingin mendapat pekerjaan yang selayaknya. Dan penghasilan yang secukupnya juga.
Dan tentunya juga istirahat dan hari libur yang secukupnya pula.
Adakah hari esok makmur sentosa bagi
wajah-wajah yang menghiba? Demikian bunyi lirik
penutup dari lagu tersebut.
Entahlah, sebab meskipun sekarang ini program
untuk mengontrol penduduk tak dimusuhi dan malah dianjurkan, pada umumnya orang
memang bersikap acuh tak acuh terhadap masalah ini. Sikap seperti ini memang
merata di setiap negara berkembang. Sikap yang aneh memang, orang mengantuk
tetapi menolak ketika disorongkan kasur springbed. Suatu sikap yang
sebenarnya bertentangan dengan bunyi peribahasa. (Oh ya, bunyi peribahasa tadi
sudah sedikit saya “perbaiki”). Dan orang nampaknya lebih suka untuk memenuhi
dunia yang sema-kin sempit ini dengan segala kesumpekan dan kekusutannya.
Tetapi, sekian dulu bernostalgianya dan kita
kembali lagi meneruskan pembahasan. Dan mudah-mudahan kita masih tetap bisa
bersikap optimis. Mudah-mudahan, sebab walaupun mungkin ada beberapa bagian dari
kalimat di sini yang bernada gurauan, sebenarnya saya ingin menulisnya dengan
kalimat-kalimat yang muram. Muram karena menyaksikan segala kemuraman yang ada
di depan mata. Tetapi, agaknya saya memang tak bisa menulis kalimat sedemikian.
Meski demikian, semuram apa pun keadaannya, agaknya kita memang tetap harus
selalu bersikap optimis. Bila tidak, maka tak akan ada lagi
harapan
Jumlah kaum pengangguran yang semakin
melimpah ruah ini pun pada akhirnya menimbulkan banyak masalah juga karena orang
yang tidak bekerja bukan berarti mereka lalu tidak makan. Mereka tetap makan
juga dan banyak di antaranya yang kemudian terpaksa melakukan apa saja untuk
menyambung hidupnya. Bila sebagian di antara mereka masih bersedia untuk
menyambung hidup secara halal, maka ternyata banyak juga di antaranya yang
kemudian terpaksa harus dengan cara melanggar hukum dan norma agama sebab
kebutuhan perut memang tak dapat ditunda sehari pun. Bila kaum prianya banyak
yang terjerumus melakukan kejahatan, maka kaum wanitanya banyak yang terperosok
ke dalam prostitusi. Dan rasanya, tidak ada seorang pun yang bercita-cita untuk
menjadi penjahat semasa kecilnya. Juga menurut sebuah penelitian, 95 persen
wanita tuna susila sebenarnya juga ingin melakukan pekerjaan yang
lain.1 Yang halal, yang terhormat,
yang baik-baik. Kalau ada. Yah, memang mana ada wanita yang semasa kecilnya
pernah bercita-cita untuk menjadi pelacur.2 Cobalah tanya anak-anak kecil di kam-pung Anda apa cita-cita mereka
ketika dewasa kelak. Apakah ada yang bercita-cita untuk menjadi
pelacur?
Karena itu, kita memang tidak bisa
memberantas keja-hatan, tidak bisa memberantas pelacuran, bila rakyat kita masih
didera kemiskinan. Tidak bisa hanya dengan menembaki setiap penjahat karena
mereka akan tumbuh lagi. Tidak bisa hanya dengan beramai-ramai membakari
kompleks prostitusi karena mereka akan mencari tempat yang lain lagi. Bukan
pekerjaan yang lain karena memang tidak ada. Apa yang harus kita lakukan memang
adalah memberantas penyebabnya, yaitu memberantas kemiskinan dan pengangguran.
Dan salah satu cara memberantas kemiskinan dan pengangguran ini adalah dengan
kontrol kelahiran sebab dengan kontrol kelahiran kita akan bisa dengan lebih
mudah men-gatasi kemiskinan karena akan terdapat ruang yang cukup bagi semua
orang untuk mencari makan. Dengan itu pula kita akan bisa dengan lebih mudah
mengatasi pengangguran karena kita memang akan bisa lebih mudah pula
mengupayakan agar pertumbuhan angkatan kerja senantiasa sesuai dengan lapan-gan
kerja yang tersedia. Bisa mengupayakan agar setiap orang bisa mendapatkan
pekerjaan dan penghasilan yang layak sehingga ia tidak akan mudah tergoda untuk
melaku-kan hal-hal yang melanggar hukum maupun norma agama. Dengan tersedianya
pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi setiap orang, maka dengan demikian
kita telah bisa memberantas kejahatan tanpa harus menembaki setiap penjahat.
Bisa membasmi pelacuran tanpa harus membakar setiap kompleks prostitusi.
Kita juga tidak lagi akan diresahkan oleh
ulah para pemuda pengangguran yang nongkrong di sudut-sudut jalan sambil
bermabuk-mabukan. Mengompas orang yang kebetulan lewat. Juga tak perlu lagi
diresahkan oleh ulah "pak ogah" atau anak-anak jalanan yang sekedar mencari uang
logam di setiap perempatan jalan. Mereka semua tidak akan ada bila mereka bisa
mendapatkan pekerjaan dan peng-hasilan yang layak. Mereka akan hidup tenang
tentram di rumah bersama keluarganya, bersama istri dan anak-anaknya, bersama
saudara dan keluarganya tanpa harus mencari mangsa atau menggangu orang lain di
jalan-jalan.
Jadi, hal utama yang harus kita lakukan
memang adalah meniadakan kondisi lingkungan yang bisa menyebabkan terja-dinya
pelanggaran hukum dan norma agama tersebut. Tetapi, apa boleh buat, selama hal
itu belum tercapai hukum yang tegas tetaplah harus dijalankan karena masyarakat
pun haruslah bisa dijamin keamanannya. Akan tetapi, bila kita memang benar-benar
mau memikirkan dan berupaya mengatasi masalah kependudukan dengan serius, maka
secara perlahan-lahan angka kejahatan dan juga berbagai macam problem sosial
lainnya akan bisa ditekan seminimal mungkin. Dan akan bersihlah bumi Indonesia
ini dari pelacuran, kejaha-tan, kemiskinan dan pengangguran. Akan terciptalah
negeri yang tata tentrem kerta raharja gemah ripah loh
jinawi.
Oleh karena itu, sekali lagi, kita memang
harus berupaya memikirkan dan mengatasi masalah kependudukan ini dengan
sebaik-baiknya. Tanpa itu, jangan harap kesejahte-raan dan kemakmuran akan bisa
terwujud meskipun pemerinta-han yang ada adalah pemerintahan yang benar-benar
demokra-tis dan jujur sebab dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka
akan semakin sulit pula bagi kita untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran serta
berbagai macam problem sosial lainnya. Kita bisa melihat bahwa dengan jumlah
penduduk yang "hanya" 200 juta saja sudah banyak orang yang keleleran, apalagi
bila jumlah itu terus-menerus bertambah tanpa henti seperti yang terjadi selama
ini. Akan semakin banyak orang miskin, semakin sempit tanah yang ada, semakin
mahal harga rumah, semakin sulit dan mahal pula tanah kuburan, semakin banyak
kampung kumuh, semakin banyak pengemis dan kaum jembel, semakin sulit cari
kerja, semakin banyak pengangguran, semakin banyak kejahatan, semakin banyak
“pak ogah”, semakin banyak anak jalanan, semakin marak prostitusi, semakin
membanjir arus urbanisasi dan ke luar negeri, semakin sempit trotoar karena
diserobot kaki lima, semakin macet jalan-jalan, semakin sulit cari tempat
parkir, semakin bertimbun asap polusi, semakin sulit air tanah, semakin habis
hutan lindung, semakin.... Dan seterusnya. Boleh diteruskan sendiri. Pokoknya,
semuanya menjadi bertambah semangkin saja.
Bila pun masih ada yang kurang yakin tentang
hal ini bisa menengok ke negara-negara Asia Selatan. Serba kumuh dan amburadul.
Tingkat kesejahteraan rakyat dan jumlah buta hurufnya masihlah sangat
memprihatinkan walau-pun mereka adalah negara-negara yang demokratis, bahkan
sampai ada yang dijuluki sebagai negara demokratis terbe-sar di dunia.
Kependudukan dan Masalah
Lingkungan
Selain menimbulkan berbagai macam masalah
sosial, jumlah penduduk yang semakin bertambah ini juga menimbul-kan dampak pada
masalah yang lain, yaitu masalah lingkun-gan. Semakin banyak penduduk berarti
semakin banyak areal persawahan dan hutan yang berubah fungsi menjadi pemukiman
penduduk. Dan bila tadi sudah dibahas bagaimana jumlah penduduk yang semakin
bertambah ini menyebabkan urbanisasi dan menimbulkan berbagai masalah sosial di
kota-kota, maka kali ini kita bisa melihat bagaimana mereka yang tinggal menetap
di desa pun menimbulkan masalah lain yang tak kalah seriusnya, yaitu kehancuran
hutan yang ada, termasuk juga hutan lindung yang mesti dijaga.
Potret bumi belakangan ini memang
menyedihkan. Dalam kurun dua puluh tahun belakangan ini planet tempat tinggal
kita telah kehilangan pepohonan seluas 200 juta hektar -sebanding dengan
sepertiga luas daratan Amerika. Petani di seluruh dunia kehilangan 500 juta ton
lapisan tanah paling subur -jumlah yang sebanding dengan tanah yang membentang
di India ditambah dengan luas daratan Perancis. Danau-danau, sungai, bahkan
seluruh lautan telah berubah menjadi got raksasa dan gudang limbah. Dan puluhan
ribu spesies tumbuhan dan binatang yang hidup bersama kita di berbagai tempat
kini punah.
Akar dari kehancuran ini adalah kombinasi
antara pertambahan penduduk dan kemiskinan di dunia ketiga. Diperkirakan, 60 %
perusakan hutan di negara berkem-bang itu, menurut majalah The Economist, bukan dise-babkan oleh
penebangan hutan untuk kayu gelondongan, melainkan karena diubahnya hutan
menjadi tempat pemukiman dan lain-lain. Malah Noel Brown, direktur untuk Program
Lingkungan PBB, menhitung bahwa penye-bab kerusakan hutan 80% adalah akibat
pertambahan penduduk.3
Meski demikian, ini bukanlah berarti bahwa
perusakan hutan oleh perusahaan raksasa kemudian kita abaikan begitu saja sebab
jumlah 20 hingga 40 persen dari ratusan juta hektar bukanlah jumlah yang
sedikit. Dan bila dibiarkan, maka lama-lama pun akan bisa menghancurkan seluruh
hutan yang ada.
Kerusakan hutan yang ditimbulkan oleh
penebangan yang semakin menjadi-jadi, baik oleh penduduk lokal maupun perusahaan
besar, selain mengakibatkan apa yang telah disebutkan di atas, juga akan bisa
menyebabkan banjir, tanah longsor serta endapan lumpur. Di Serawak misalnya,
erosi ini telah menyebabkan endapan lumpur mencemari dua pertiga sungai di sana.
Entahlah apa pendapat Dr. Mahathir tentang masalah ini. Lenyapnya hutan tropis
ini juga berarti tidak akan ada lagi paru-paru dunia yang bisa menyerap polusi
yang semakin melimpah, yang pada saat ini sebagian terbesar adalah hasil
sumbangan dari negara-negara industri maju. Dan kelak ditambah dengan
semua negara yang ada di dunia sebab semua negara-negara berkembang memang bercita-cita ingin menjadi
negara industri besar. Besar-besaran kalau perlu, meski dengan gaji pekerja
cukup kecil-kecilan saja.
Pada akhirnya, kerusakan hutan ini juga akan
bisa memusnahkan jutaan spesies flora dan fauna yang ada, termasuk juga tanaman
yang bisa bermanfaat bagi obat-obatan. Tak sampai 30 tahun lagi, pada tahun 2020
diperki-rakan sepersepuluh sampai seperlima dari 10 juta spesies tanaman dan
tumbuhan akan musnah sebab 50 persen dari spesies itu hidup di hutan-hutan
tropis yang terus digero-goti. Dan sekali sebuah spesies musnah, ia akan musnah
untuk selamanya.4 Bagi peminat ilmu
alam, hal seperti ini akan bisa membuatnya merasa berduka. Barangkali perkataan
Nietszche memang benar adanya. “Dunia ini begitu indah,” demikian katanya suatu
ketika. “Tetapi, ia mempunyai wabah yang sangat berbahaya:
manusia.”
Selain mengakibatkan kehancuran hutan yang
ada, pertambahan penduduk yang semakin tak terkendali juga akan bisa
mengakibatkan pencemaran yang luar biasa pada pantai dan
lautan.
Kini tamasya laut bukan lagi janji
kenyamanan. Mereka yang dekat dengan pantai tahu bahwa kini laut-laut begitu
jorok, dipenuhi sampah plastik, dan ikan-ikan lenyap. Tapi, sebenarnya, tumpahan
minyak, limbah pabrik dan sampah kota cuma masalah yang kasat mata. Ancaman
utama untuk laut, 70 sampai 80 persen dari seluruh polusi bahari adalah sedimen
dan pence-mar yang mengalir ke laut dari sumber daratan, seper-ti lapisan tanah
teratas, pupuk, pestisida dan segala bentuk buangan industri. Terumbu karang,
khususnya, amat rawan terhadap sedimen. Kini karang yang menye-diakan rumah bagi
sebagian besar spesies ikan di dunia di sepanjang Asia, Australia dan Karibia
mulai berkurang.
Itulah akibat populasi penduduk pesisir yang
tahun 1980 berjumlah 617 juta, kini sudah lebih dari 900 juta, dan diperkirakan
akan menjadi 997 juta jiwa pada tahun 2000 nanti. Sekitar 6,5 juta ton sampah
ditemukan mengalir ke laut setiap tahun.5
Jadi, pertumbuhan penduduk yang tak
terkendali ini memang bisa menyebabkan berbagai masalah dalam berbagai bidang
kehidupan. Mengenai pencemaran pada lautan ini adalah suatu hal yang rasanya
mengkhawatirkan mengingat dua pertiga negeri kita ini adalah terdiri dari
lautan. Terlebih lagi lautan sebenarnya menyimpan kekayaan yang selama ini belum
tereksploitasi sepenuhnya. Ikan-ikan kita sebagian besar membusuk di lautan
tanpa sempat dikail nelayan.
Dan bila berbicara tentang masalah ikan dan
lautan, maka mungkin di sini perlu diberi tambahan sedikit. Mulai saat ini, kita
nampaknya perlu lebih memperhatikan dan beralih orientasi menuju lautan di dalam
memenuhi kebutu-han ekonomi mengingat lautan ini adalah sumber penghasilan yang
tak akan ada habisnya. Bisa dimanfaatkan sampai kapan saja. Karena itu, marilah
kita lupakan sejenak tambang di Papua atau minyak di Aceh, toh sebentar lagi
akan habis juga. Kita rasanya perlu membangun suatu armada nelayan yang modern
sehingga hasil lautan ini nanti bisa menjadi sumber pendapatan yang bisa
diandalkan.
Terlebih lagi, tidak seperti halnya hutan,
kegia-tan perikanan ini tak memerlukan reboisasi yang memakan waktu
bertahun-tahun atau malah puluhan tahun sebelum bisa dipetik hasilnya. Ikan bisa
besar dan tumbuh dalam waktu singkat. Kita juga tak perlu mengeluarkan biaya
sepeser pun sebab mereka telah dibesarkan di lautan bebas. Kita hanya cukup
menjaga seperlunya agar kehidupan laut tetap berkem-bang dengan baik dan bisa
terus dimanfaatkan hingga ke generasi-generasi yang berikutnya. Bila kita memang
mau membangun armada nelayan yang modern ini, maka kita bukan hanya bisa
berlayar di sekitar Indonesia saja yang sebe-narnya sudah cukup kaya, tetapi
juga bisa hingga ke Lautan Pasifik. Atau kalau hasilnya memang memadai kita pun
bisa berlayar ke Samudra Hindia di Selatan, bahkan hingga ke Antartika.
Potensi yang ada di lautan ini memang tak
terbatas jumlahnya bagi negara yang dikelilingi lautan luas seperti Indonesia
ini. Di sini kita agaknya perlu meniru Thailand yang walaupun negara tersebut
termasuk negara agraris, ternyata pendapatan Thailand dari ekspor hasil lautnya
telah melebihi pendapatan dari hasil pertaniannya. Mereka telah menjadi salah
satu negara pengekspor hasil laut terbesar di dunia.6 Dan karena luas lautnya tak seberapa, nelayan
Thailand pun terpak-sa sering "kesasar" ke Indonesia. Padahal, sebagaimana kita
ketahui, Thailand dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Asia dan ekspor
hasil pertanian merupakan salah satu andalan utamanya. Tetapi, itu sekarang
telah dikalahkan oleh hasil laut.
Jadi, mudah-mudahan potensi yang ada di
lautan ini nanti bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya. Dan rasanya kekayaan itu
akan bisa memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perbaikan taraf ekonomi
rakyat Indonesia. Tentunya bila jumlah penduduk Indonesia tidak terus-menerus
bertambah. Dan juga tentunya bila kita tak terus-menerus mencemari lautan
sehingga akan bisa memusnahkan kehidupan di sana.
Ruh dan Aborsi
Aborsi ini juga merupakan masalah yang sering
diper-debatkan dan menimbulkan pro-dan kontra. Satu pihak menye-tujuinya sebagai
salah satu cara untuk menekan laju per-tumbuhan penduduk sedangkan yang tidak
setuju biasanya mengemukakan alasan-alasan moral dan keagamaan. Mereka
beranggapan bahwa praktek aborsi itu merupakan pembunuhan terhadap bayi yang
baru lahir. Di Amerika Serikat, pihak yang tidak setuju ini malah ada yang
sampai menyerang klinik-klinik aborsi, serta mengancam dan membunuh para dokter
yang berani melakukan praktek aborsi. Pada tahun 1994, sewaktu diadakan
konperensi kependudukan di Kairo, malah ada kejadian yang cukup menarik di mana
golongan agama, baik Kristen (yang dipelopori oleh Gereja) maupun Islam (yang
didukung sebagian besar umat Islam) bersatu padu untuk menentang
diperkenankannya praktek aborsi untuk mengontrol laju pertumbuhan
penduduk.
Di negara-negara berkembang, kasus aborsi
pada umum-nya memang tak terlalu banyak karena mayoritas masih tetap
menentangnya. Sementara itu, di Eropa dan Amerika di mana pendukung kedua kubu
ini sama kuatnya, hal ini seringkali menjadi masalah. Jumlah wanita yang
melakukan aborsi di sana memang sangatlah tinggi, malah di berbagai negara
Eropa, terutama Eropa Timur, aborsi ini sudah dianggap sebagai hal yang lumrah
saja. Sebagai contoh, pada tahun 1981 di Perancis satu dari empat wanita hamil
menggugurkan kandungannya. Di Polandia angka aborsi lebih besar dari angka
kelahiran, setiap tahun 800.000 hingga satu juta bayi digugurkan sementara
jumlah bayi yang lahir hanyalah sekitar 700.000 saja. Di Romania sekitar 60
persen kehami-lan berakhir dengan aborsi dan ini menyebabkan angka pertumbuhan
penduduk di Rumania adalah yang terendah di seluruh Eropa. Sedangkan di Uni
Sovyet, wanita di sana rata-rata pernah melakukan empat kali aborsi selama
hidup-nya dan angka aborsi di sana tertinggi di seluruh dunia, yaitu sekitar
sepuluh juta bayi digugurkan setiap tahun-nya.7
Tingginya angka aborsi inilah yang
menyebabkan kenapa Gereja di Barat sangat menentang aborsi. Berapa pun usia
kandungan ia tetap tidak boleh digugurkan. Adanya pendapat seperti ini nampaknya
antara lain juga disebabkan karena negara-negara Barat tidak pernah mengalami
dan merasakan sendiri akibat bertambahnya jumlah penduduk tanpa terkenda-li.
Sementara itu, di kalangan umat Islam ada sedikit perbedaan pendapat dalam
masalah ini. Perbedaan pendapat yang paling umum adalah karena adanya hadits
yang menyatakan bahwa bayi di dalam kandun-gan baru diberi ruh setelah berusia
tiga bulan. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa aborsi itu boleh
dilakukan sebelum berusia tiga bulan, tetapi ada pula yang berpendapat bahwa
tindak aborsi itu haram sama sekali biarpun bayi yang dikandung itu adalah hasil
pemerkosaan dan tidak dikehendaki oleh ibunya. Ia tetap tidak boleh digugurkan.
Entah bagaimana nasib bayi tersebut bila ia lahir. Siapa yang akan mengasuhnya
kelak? Apakah mereka yang menentangnya bersedia mengasuh bayi hasil pemerkosaan
tersebut bila ibunya ternyata bersikeras tidak mau mengasuhnya karena
alasan-alasan traumatik? Jawabannya, jujur saja, sebagian besar adalah
tidak.
Sebenarnya, bila kita mau berbincang lebih
jauh lagi mengenai kapan manusia mulai mempunyai ruh, ini memang merupakan
masalah yang sangat pelik. Rasanya, kita di sini lebih baik berpegang kepada
ayat Al-Quran karena suatu hadits itu memanglah tidak bisa dijadikan pegangan
bila bertentangan dengan Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Dalam salah satu ayat
Al-Quran disebutkan:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanmu dan kamu hanyalah diberi sedikit
pengetahuan tentang itu.
Apa yang tersebut pada ayat di atas sangatlah
tepat sebab masalah ruh ini memang sukar sekali untuk kita pahami, termasuk juga
tentang kapan manusia mulai mempun-yai ruh di dalam kandungan. Bila kita mau
menilik sedikit lebih ke belakang lagi dalam proses reproduksi manusia, maka
akan semakin sulitlah bagi kita untuk mengatakan bahwa ruh itu baru ada setelah
tiga bulan di dalam rahim. Cobalah kita pikirkan, bukankah sel-sel sperma yang
menja-di calon manusia itu itu sebenarnya sudah bisa dikatakan sebagai mahluk
hidup? Mereka bisa bergerak sebagaimana mahluk-mahluk hidup yang sederhana
lainnya walaupun umur-nya memang cukup pendek. Tetapi, bukankah mereka hidup?
Dengan demikian, bila sudah bisa disebut sebagai mahluk hidup, bukankah mereka
mempunyai ruh juga? Demikian pula sel telur merupakan sel-sel mahluk hidup dan
bukan benda mati.
Selain itu, bila kita mau meneliti proses
perkemban-gan embrio di dalam rahim, maka kita akan mengetahui bahwa pada umur
18 hari jantung telah mulai berfungsi. Dan pada umur tujuh minggu atau sekitar
satu setengah bulan calon bayi telah mempunyai gelombang otak (brain waves). Ada tidaknya gelombang otak
ini adalah salah satu kriteria yang menentukan apakah bayi itu hidup atau
mati.
Jadi, tentang kapan manusia mulai mempunyai
ruh memang suatu hal yang masih bisa diperdebatkan lagi. Apakah di dalam testis,
tempat diproduksinya sperma? Ataukah justru sebelum masuk ke tubuh manusia,
yaitu di dalam tumbuh-tumbuhan sebab bukankah tumbuhan ini yang pertama kali
mengolah zat anorganik menjadi zat organik? Ataukah...? Jadi, mengenai kapan
manusia mulai mempunyai ruh memang cukup sulit untuk ditentukan. Manusia,
seperti disebutkan pada ayat di atas, memang hanya diberi sedikit pengetahuan
saja tentang masalah ruh.
Bila pun kita mau sedikit berpanjang lebar
lagi, maka kita akan menjadi semakin memahami bahwa sebenarnya masa-lah ruh ini
memang tidaklah sesederhana yang selama ini kita pikirkan. Malah terkadang
tidaklah muadh untuk menen-tukan apakah suatu mahluk hidup itu bisa disebut
sudah mati atau masih hidup. Atau apakah suatu zat itu bisa disebut sebagai zat
mati atau zat hidup. Seperti misalnya saja ada seekor binatang kecil bernama
tardigradus. Bina-tang ini bila dalam keadaan biasa berumur sangat pendek,
tetapi bila dikeringkan, maka ia akan menyerupai sebutir debu. Tidak ada
tanda-tanda kehidupan sama sekali pada mahluk itu. Dalam keadaan kering seperti
itu ia bisa disimpan hingga 20 atau 25 tahun dan bisa hidup lagi bila dimasukkan
ke dalam air. Demikian pula ada sejenis siput yang bisa hidup lagi bila dibasahi
dengan air setelah ia dikeringkan bertahun-tahun. Jadi dimanakah letak ruh
itu?
Selain itu, jasad renik yang seringkali
menyebabkan penderitaan bagi umat manusia, yaitu virus, adalah zat yang sulit
sekali ditentukan apakah bisa digolongkan sebagai benda mati ataukah mahluk
hidup. Virus ini sering disebut sebagai mahluk peralihan antara benda hidup dan
benda mati. Bila dikeringkan ia bisa dianggap sebagai benda mati, yaitu berupa
kristal dan bisa diperlakukan seperti zat kimia biasa lainnya. Tetapi, bila
dimasukkan lagi ke dalam air, maka ia bisa berubah kembali menjadi mahluk hidup
yang sangat berbahaya.
Virus ini bisa juga dipisahkan antara lapisan
luarnya yang berupa protein (protein
coat) dan intinya yang berupa asam nukleat (DNA atau
RNA). Sewaktu terpisah, keduanya adalah zat-zat organik biasa yang tidak
menunjukkan tanda-tanda kehidupan sama sekali. Mereka tidak makan atau melakukan
reproduksi. Zat yang sama sekali tidak berba-haya. Tetapi, setelah dipeisahkan
sedemikian rupa, bila ditaruh dalam medium dan kondisi yang memungkinkan mereka
bisa menyatu kembali secara alamiah dan spontan, menjadi mahluk hidup lagi. Bisa
kembali melakukan reproduksi, menjadi parasit dan berbahaya
kembali.
Peristiwa di atas, penyatuan kembali zat-zat
organik secara alamiah, oleh para ilmuwan dianggap sebagai hal yang sangat
menarik karena bisa memberikan titik terang tentang asal mula kehidupan di bumi,
yaitu sebelum terben-tuknya zat-zat organik secara alamiah dari zat-zat
anorga-nik, maka zat-zat itu bisa membentuk rangkaian yang lebih kompleks dan
menjadi hidup! Pembentukan rangkaian itu secara alamiah dan spontan
(spontaneous self-assembly)
dimungkinkan karena adanya gaya tarik menarik yang sangat kuat antar molekul
(hydrogen bonding) yang
sangat kuat, milyaran kali lebih kuat dari gravitasi bumi. Gaya tarik menarik
ini disebabkan adanya perbedaan muatan pada atom. Atom hidrogen bermuatan
positif sedangkan atom-atom lain yang menjadi komponen utama penyusun zat-zat
organik seperti oksigen dan nitrogen bermuatan negatif. Proses pembentukan
zat-zat anorganik menjadi zat-zat organik ini disebut sebagai evolusi kimia
(chemical evolution) untuk
selanjutnya disambung dengan evolusi mahluk hidup. Jadi, ini memang adalah
masalah yang sangat pelik dan entahlah apakah manusia nanti pada akhirnya akan
bisa memahami masalah ini.
Meski demikian, walaupun kita memang tidak
bisa atau pun belum bisa memahami masalah ruh ini, ini bukanlah kita di sini
lalu langsung bisa begitu saja menyetujui praktek aborsi. Aborsi ini tetaplah
suatu pilihan terakhir yang hanya bisa dilakukan bila keadaannya memang sudah
sangat memaksa. Dan ini bukanlah karena masalah ruh tadi karena bila kita
berangkat dari pemikiran ini, maka sebe-narnya alat kontrasepsi yang yang
mencegah bersatunya sel dengan sperma, yang bula tidak dicegah akan tumbuh
menjadi manusia, bisa dikatakan mematikan hak hidup dari seorang calon manusia
juga. Lagipula, seperti telah disebutkan di atas, bukankah sel sperma pun sudah
bisa disebut sebagai mahluk hidup? Jadi, bila aborsi ini memang suatu hal yang
kurang bisa diterima, maka kita di sini lebih melihatnya dari sudut pandang
bahwa aborsi ini seringkali membahaya-kan keselamatan jiwa dari wanita yang
melakukannya. Jadi, aborsi ini tetap merupakan hal yang sebisanya harus
di-hindari oleh wanita. Oleh karena itu, bila seorang wanita memang tidak atau
belum menghendaki seorang bayi, maka sebaiknya ia menggunakan alat kontrasepsi
sehingga mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan
Tetapi, seandainya saja suatu saat kita
dihadapkan kepada kenyataan bahwa keadaan memang sudah sangat memaksa karena
sudah semakin padatnya jumlah penduduk sehingga aborsi ini memang terpaksa
dimasukkan sebagai upaya untuk mengontrol kelahiran (sekali lagi, hanya untuk
mengontrol kelahiran) dengan catatan bahwa hal-hal yang bisa membaha-yakan
wanita yang menjalaninya bisa diatasi, maka pada saat itu pula kita dihadapkan
kepada dua pilihan. Dan di sini, kita memang dihadapkan kepada pilihan yang
kurang buruk di antara dua pilihan yang sama-sama buruknya, yaitu manakah yang
lebih baik yaitu menggugurkan janin yang belum bisa merasakan apa-apa, belum
bisa merasakan rasa sakit dan lapar karena sel-sel otak yang memang belum
berkembang secara penuh ataukah membunuhi mereka sebagai penjahat ketika mereka
sudah dewasa, membantai mereka secara beramai-ramai di jalan-jalan--dan ini
seringkali terjadi--karena semakin meluap-nya angka kemiskinan dan pengangguran,
membiarkan mereka berbunuh-bunuhan berebut sesuap nasi, membiarkan mereka jadi
pelacur di jalan-jalan, terkena penyakit kelamin dan mati kena AIDS ketika
mereka sudah dewasa kelak. Ketika mereka sudah bisa merasakan lapar, merasakan
sakit, kesedihan dan penderitaan.
Kemudian, supaya bisa lebih memahami apa yang
dikemu-kakan di atas, sebenarnya di dalam fiqih sendiri terdapat prinsip yang
tak jauh berbeda dengan hal di atas, yaitu akhoffu
dlararain. Lengkapnya adalah:
Menempuh salah satu tindakan yang lebih
ringan dari dua hal yang sama berbahayanya (sama buruknya) adalah wajib.
Bila pun masih ada yang menentang masalah
ini, maka kita di sini bisa mengingat sekali lagi tentang penyebab timbulnya
sekulerisme. Mudah-mudahan dari situ nanti kita akan bisa semakin bisa memahami
bahwa agama itu diturunkan ke dunia adalah untuk kebahagiaan dan kese-jahteraan
umat manusia, bukan malah untuk menyulitkan dan menyengsarakan manusia. Dan
memang banyak penderitaan dan keseng-saraan yang menimpa manusia antara lain
adalah disebabkan kesalahan di dalam memahami ajaran-ajaran agama. Mungkin kita
perlu sekali lagi mendefinisikan arti kata moral. Atau mungkin kita juga bisa
bertanya, yaitu tindakan yang bermoralkah membiarkan anak-cucu kita menjadi kaum
gelandangan, pengangguran, anak jalanan, penjahat dan pelacur karena kemiskinan
yang diakibatkan berlebihnya jumlah penduduk? Bila kita mempelajari anthropologi
dan sejarah etika, barangkali kita akan lebih bisa memahami masalah ini. Moral
memang haruslah senantiasa ditujukan kepada kesejahteraan, kemakmuran dan
kebahagiaan umat manusia. Itulah tujuan
dari kata moral dan bukan sebaliknya.
Endnote
1 Memang ada juga pendapat bahwa pelacuran ini disebabkan oleh hal-hal
selain terdesak kebutuhan ekonomi. Tetapi, jumlah tersebut rasanya tak terlalu
banyak. Seperti tersebut dalam penelitian tersebut, jumlahnya hanya sekitar 5
persen. Yang 95 persen adalah karena masalah ekonomi.
2 Suatu sikap yang tergolong aneh pernah saya baca di surat kabar sekitar
awal tahun 1998. Di sebuah daerah di Indramayu, yang masih banyak di antara
penduduknya yang kawin muda, seringkali ibu-ibu di sana malah mendorong putrinya
untuk bercerai dengan suaminya supaya bisa berangkat menjadi pelacur di Jakarta.
Dan si anak pun ternyata setuju juga. Tingkat kemiskinan di sana memang cukup
tinggi dan tingkat pendidikan adalah sebaliknya.
3 "Bumi yang Makin Panas", Selingan majalah Tempo, No. 15 Thn. XXII, 13 Juni 1992,
hlm, 53.
4 Ibid., hlm. 56.
5 Ibid., hlm.
55.
6 Ashok K. Dutt, "Thailand", Grolier Multimedia
Encyclopedia, 1999.
7 Ronald S. Toth, "Why So Little Understood", The Plain Truth, May, 1985, hlm. 3.
Data-data di atas memang agak out of
date karena berasal dari tahun delapanpuluhan, tetapi
sampai saat ini rasanya tak terlalu mengalami perubahan yang terlalu
signifikan.