Friday, November 29, 2013

In Flanders Fields




In Flanders fields the poppies blow
Between the crosses, row on row,
That mark our place; and in the sky
The larks, still bravely singing, fly
Scarce heard amid the guns below.

We are the Dead. Short days ago
We lived, felt dawn, saw sunset glow,
Loved and were loved, and now we lie
In Flanders fields.

Take up our quarrel with the foe:
To you from failing hands we throw
The torch; be yours to hold it high.
If ye break faith with us who die
We shall not sleep, though poppies grow
In Flanders fields. 


Maj. John McCrae, 1915.

Monday, November 18, 2013

Rare Look at North Korea

A beautiful lake, Samil Po, lies at the foot of a high cliff in the mountains along the east coast, just a few miles from the Demilitarized Zone. It is a lovely spot. The water is deep and very cold. The cliffs are covered with pine trees, rooted deeply in the stony soil. A pavilion, perched atop the highest cliff, overlooks the lake and the docks where I lie soaking up the late-October sun. Park has gotten a rod and some worms and is enjoying himself fishing.

As I take in the tranquillity, I have much to ponder. My visit will soon end. Instead of the six to eight weeks I have requested, I am granted 20 days. Instead of a three-page list of places throughout the country, I get to tour only the southern half.

But I have seen much, and I have learned what is foremost in every North Korean's mind. Unification. It is a theme expressed in kindergartners' songs and dances, in the slogans of officials, in the conversations of students, workers, and farmers. Reunification of the peninsula, they say, would mean a single force of fifty million people, nourished by a deep-rooted national heritage, contributing to the economic and intellectual development of East Asia.

One after another, the North Koreans I have met express willingness to spend their life savings on reunification. When I seem skeptical, a farmer asks, "Wouldn't you give your savings to free your brothers and sisters from hunger and poverty? We think people in the South are our brothers and sisters."

Relaxing now at lakeside, I become aware of the sound of singing. I look up toward the pavilion and see uniforms. I cannot see the faces but, from the sound of their voices, these soldiers seem no older than 17 or 18. They are singing patriotic songs, one with a line something like, "We will be happy to die to protect our country against foreign invaders." Martial songs—but the singing has a strange quality to it; it sounds sad and hollow. I wonder if the youngsters are homesick.

How sad to think that these faceless young soldiers may have to sacrifice themselves if something should disturb the tenuous balance of peace. Too many tears and too much blood have already been shed by one people over a conflict in ideologies. I fervently hope these young men will never again have to fight their brothers.

On a hill not far from here a young captain fought and died, a boy of 18.

My brother.

Source: Kim, H. Edward. "Rare Look at North Korea." National Geographic, August 1974.

Thursday, November 14, 2013

TENTANG MASALAH KEPENDUDUKAN

Oleh : Helmi Junaidi

Selama ini, masalah kependudukan boleh dikatakan masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat maupun tokoh-tokoh masyarakat. Baik itu dari para politisi, tokoh agama, pakar ekonomi maupun tokoh masyarakat lainnya. Memang pada saat ini sebagian besar orang pada umumnya sudah tidak berkeberatan lagi dengan program untuk mengon-trol kelahiran, tetapi sayangnya masih kurang sekali kesadaran untuk melaksanakannya. Dianggap sebagai hal yang tidak penting. Padahal, kalau kita mau menyadari, sebenar-nya masalah kependudukan ini adalah masalah yang teramat penting. Tidak kalah pentingnya dengan berbagai macam masalah lainnya yang seringkali kita perdebatkan dalam berbagai seminar dan diskusi. Dan sebenarnya berkaitan erat dengan masalah ekonomi, hukum dan norma agama. Jadi, memang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Sebenarnya, masalah kependudukan ini sudah bisa diatasi dengan baik bila saja sejak dulu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh dari pihak pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat untuk mengatasi masalah ini. Sayangnya, hal itu dulu masih belum ada. Dulu masih banyak orang yang menentang program KB. Kalau pun sudah ada yang menyetujui-nya, umumnya mereka masih enggan melaksanakannya. Pada zaman Orde Lama, dari pihak pemerintah pun tidak ada kesadaran akan masalah ini. Pada saat itu jumlah penduduk Indonesia masih berkisar 100 juta jiwa dan seandainya pada saat itu sudah ada upaya yang sungguh-sungguh tentunya tidak perlu penduduk Indonesia meledak seperti sekarang ini. 

Hingga saat ini memang masih banyak orang yang menganggap bahwa teori yang dikemukakan oleh Malthus sudah tidak berlaku lagi karena adanya berbagai macam kemajuan pada bidang pertanian yang bisa melipatgandakan jumlah makanan. Tetapi, mereka nam-paknya melupakan bahwa kemajuan teknologi bukanlah hanya pada bidang pertanian, tetapi juga pada bidang kesehatan dan kedokteran. Jadi, tingkat kematian menurun dengan cukup drastis sedangkan tingkat kelahiran tetap bertambah menurut primitif rate. Maka semakin sesaklah bumi kita ini dan semakin sulitlah memenuhi kebutuhan pangan karena tingkat pertumbuhan penduduk dunia yang sekitar 1,2 persen per tahun sedangkan lahan pertanian hanya bertambah 0.8 persen saja. Jumlah lahan ini pun semakin hari semakin berkurang saja karena semakin meningkatnya kebutuhan akan perumahan. Apalagi, kita memang tak akan pernah bisa menciptakan teknologi yang bisa meningkatkan luas tanah di planet bumi. Jadi, hanya bila suatu saat kita memang telah bisa mendirikan koloni di planet Mars atau galaksi yang lain dan bisa pergi ke sana dengan ongkos setara naik kereta Purbaya barangkali kita tak perlu susah payah mengatasi masalah kependudukan ini. 

Jadi, prediksi Malthus, atau lengkapnya Thomas Robert Malthus (1766-1834), dalam hal ini memang bisa dikatakan cukup tepat dan tetap berlaku hingga saat ini. Dan teori Malthus tentang kependudukan yang ditulis dalam esainya yang berjudul Essay on the Principle of Population ini juga sebenarnya yang turut memberikan pengaruh yang sangat besar untuk meyakinkan Darwin tentang terjadinya proses seleksi alam dalam evolusi mahluk hidup. Malthus menyata-kan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk adalah berdasarkan deret geometri (1, 4, 9, 16, ... dst.) sedangkan jumlah makanan hanyalah bertambah menurut deret aritmetika (1, 2, 3, 4, ... dst.). Hal ini tentu pada akhirnya akan menim-bulkan persaingan mati-matian antar Homo sapiens untuk memperebutkan sumber makanan karena berlebihnya jumlah penduduk. Memang pada saat ini tidak perlu sampai ada pertempuran antar negara untuk memperebutkan sumber makanan seperti yang terjadi pada suku-suku primitif, tetapi persaingan antar individu untuk mempere-butkan sumber makanan (atau dalam hal ini cara untuk mencari makan alias pekerjaan) dalam skala yang sangat... sangat besar ternyata juga tak kalah buruk akibatnya karena tempat yang tersedia makin hari makin terbatas jumlahnya. Dalam masyarakat industri setiap orang memang tak lagi mencari makan secara langsung dengan cara pergi ke sawah. Akibatnya, mereka yang tidak mendapatkan tempat yang layak terpaksa mencari yang kurang layak, yang tidak mendapatkan yang kurang layak terpaksa mencari yang tidak layak. Dan dari hari ke hari mereka ini semakin besar saja jumlahnya. Ini tentu pada akhirnya menimbulkan berbagai macam masalah sosial yang susah dibenahi.

Pada zaman Orde Baru, masalah kependudukan ini memang sudah mulai dibenahi. Keluarga Berencana dianjurkan di mana-mana dan di banyak tempat mendapat sukses. Tetapi, karena masih sangat kurangnya kesadaran dari masyarakat dan kurang intensifnya usaha dari pemerintah, maka di banyak tempat pula usaha ini mengalami kegagalan. Jumlah penduduk masih terus bertambah dengan sangat pesatnya. Bila pada awal Orde Baru masih berjumlah sekitar 100 juta jiwa, maka pada akhir Orde Baru sudah berjumlah lebih dari 200 juta. Berlipat dua kali hanya dalam waktu 30 tahun saja! Suatu kecepatan pertumbuhan yang sulit dicari bandingannya sepanjang sejarah umat manusia. Apakah kita ini sebenarnya ber-evolusi dari kelinci? 

Hal ini tentu pada akhirnya mengakibatkan tekanan-tekanan yang luar biasa kepada lingkungan hidup yang merupakan sumber dari kehidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di planet bumi ini. Dan patut pula diperhatikan bahwa dalam 30 tahun terakhir ini, jumlah produk pertanian telah meningkat hingga dua kali lipat, tetapi di banyak negara jumlah tersebut tetap tidak mencukupi.

Oleh karena itu, pada masa sekarang dan juga masa mendatang masalah kependudukan ini haruslah benar-benar bisa mendapat perhatian. Ini adalah masalah yang benar-benar sangat serius. Dan pada saat ini rasanya program KB ini sudah saatnya tidak lagi hanya sekedar dianjurkan, tetapi diwajibkan! Seperti di Cina misalnya, terlebih lagi di pulau-pulau yang sudah sangat padat penduduknya seperti Jawa, Madura dan Bali. Tetapi, tentu saja caranya harus lebih baik dengan yang ada di Cina, yaitu dengan cara terlebih dahulu memberikan pengertian-pengertian tentang pentingnya masalah ini. Bila pun tidak satu anak, bisa tetap dua saja, yang penting harus diwajibkan.

Untuk mengatasi masalah ini memang tidak cukup hanya dari pihak pemerintah saja yang mengurusinya. Semua pihak yang menyadari pentingnya masalah ini haruslah turut serta membantu membenahi masalah ini, baik itu dari generasi tua yang sudah terlanjur tidak melaksanakannya. Mereka harus-lah turut serta berperanan dalam masalah ini, paling tidak dengan cara menyadarkan generasi muda, anak-anak mereka akan pentingnya masalah ini. Dan tulisan ini memang teru-tama ditujukan kepada generasi muda sebab rasanya kita memang lebih baik menyadarkan yang belum terlanjur sebab kalau yang sudah terlanjur tidak bisa diapa-apakan lagi. Apalagi, hingga saat ini pada kalangan muda pun nampaknya kesadaran akan masalah kependudukan ini memang masih sangat rendah juga. Tak jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Kita seringkali menemui seorang muda yang bila ditanya ingin punya anak berapa kelak, maka biasanya ia akan menjawab, "Terserahlah berapa Tuhan mau memberi, diberi berapa saja tidak apa-apa sebab itu adalah amanah." Bila memang demikian, kalau misalkan si perempuan menikah pada umur duapuluh tahun dan punya anak setiap satu atau dua tahun, maka Tuhan akan memberi dan "mengamanahkan" kepadanya minimal sepuluh orang anak. Maka, akan semakin sesak dan kusutlah bumi milik Tuhan ini. Dan itu nampaknya memang sudah menjadi “amanah” dari bumi kita ini.

Islam dan Masalah Kependudukan
 
Pada masa ini, memang masih ada di antara umat Islam yang menentang program kontrol kelahiran ini, baik itu dari kalangan tradisional maupun dari kalangan modern sekali pun. Atau kalau pun sudah ada yang setuju, maka mereka masih enggan melaksanakannya. Oleh karena itu, mudah-mudahan penjelasan ini nanti akan bisa membuat mereka yang masih belum setuju ini akan segera menyadari betapa pentingnya masalah kependudukan ini dan segera membenahi kembali pemahaman mereka.

Di dalam menentang program kependudukan ini, yang seringkali dijadikan landasan antara lain adalah adanya hadits yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad di akhirat kelak akan berbangga-bangga dengan para nabi yang lainnya tentang banyaknya jumlah umat mereka. Sebenarnya, tujuan dari hadits ini adalah dimaksudkan supaya umat Islam bisa menjadi kuat. Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan dari hadits tersebut. Apalagi pada masa awal kelahirannya, umat Islam masih harus menempuh perjalanan yang panjang untuk menyebarkan agamanya. Dan ini tentunya membutuhkan tenaga yang banyak juga. Tetapi, pada masa sekarang, di mana agama Islam sudah tersebar cukup luas, maka jumlah yang terlalu banyak malah bisa berbalik membuat lemah umat Islam sendiri. Jumlah yang terlalu banyak berarti semakin sulitnya orang mencari makan, semakin banyak orang miskin, anak putus sekolah dan pengangguran. Dan itu berarti kelemahan. 

Bila pun masih ada yang berpendapat bahwa jumlah yang banyak pada saat ini bisa menjadi kekuatan, maka kita bisa mengingat bagaimana pada masa sebelum kemerdekaan, jumlah bangsa Indonesia yang 60 juta ini takluk kepada negeri liliput Belanda. Dan itu tidak perlu semua orang Belanda menyerbu ke sini. Jumlah orang Belanda di Indonesia saat itu hanya sekitar 50 ribu orang saja, itu pun sudah terma-suk kaum indonya. Ini berarti 1:1.200. Jadi, orang-orang Belanda itu, karena keunggulan kualitasnya, mereka malah bisa menjadi lebih hebat dari Prabu Arjuna Sastrabahu yang sedang bertriwikrama. Atau kalau contoh yang lebih up to date lagi, kita bisa pula melihat bagaimana etnis Cina yang jumlahnya hanya beberapa gelintir saja bisa menguasai perekonomian Indonesia karena teknik berda-gang mereka yang lebih maju.

Lalu, bila kita kembali kepada hadits di atas, apakah Nabi Muhammad akan bangga dengan umatnya yang berjumlah 60 juta itu? Jawabannya pasti adalah tidak. Nabi Muhammad pastilah tidak akan bangga dengan jumlah umatnya yang banyak tetapi tidak berkualitas itu. Kalah dengan mereka yang jumlahnya hanya 50 ribu. Dan hal itu tidaklah hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia Islam lainnya pada masa itu. Sampai sekarang pun kita bisa melihat bagaimana bangsa Arab yang berjumlah lebih dari 200 juta itu tak berdaya menghadapi Israel yang penduduknya hanya sekitar 6 juta jiwa. Jadi, pada masa sekarang ini yang menentukan kekuatan terutama memang bukanlah kuantitas, tetapi kualitas. Oleh karena itu, yang perlu ditingkatkan pada masa ini tentunya juga adalah kualitas, bukan kuantitas. Sudah terlalu banyak kuantitas-nya, bahkan sudah amat sangat berlebihan

Kependudukan dan Problem Sosial

Dengan semakin banyaknya penduduk, maka hal ini menyebabkan tidak tersedianya ruang yang cukup bagi semua orang untuk menyambung hidup. Di desa tanah pertanian semakin menyempit karena harus dibagi-bagi dengan saudara yang selalu bertambah jumlahnya. Dan akhirnya, ketika sampai kepada generasi yang kesekian, ketika tanah sudah tak lagi mencukupi, orang di desa pun pergi ke kota. Di kota mereka pun harus bersaing dengan penduduk asli kota tersebut maupun orang dari berbagai wilayah lain yang juga berjubel banyaknya. Jadi, semakin berjubel-jubel.

Bila pun masih ada yang berkeberatan terhadap pendapat di atas, maka ilustrasi berikut mungkin akan bisa membantu. Kita misalkan saja ada sebuah keluarga yang mempunyai sepuluh hektar sawah. Dan ini termasuk luas, kita bisa menyebutnya sebagai petani kaya. Tetapi, karena keluarga tersebut mempunyai sepuluh orang anak, maka ketika kedua orang tuanya meninggal masing-masing anak hanya akan mendapatkan warisan satu hektar sawah. Apabila kesepuluh orang tersebut kemudian rata-rata mem-punyai enam orang anak, maka sawah yang hanya tinggal satu hektar itu pun harus dibagi lagi menjadi seperenam hektar. Ini tentunya jelas sangat tidak mencukupi. Kini, cucu petani kaya tersebut telah berubah menjadi petani melarat. 

Pada akhirnya, ketika tanah di desa telah habis untuk dibagi-bagi dan semua orang desa berlarian pergi ke kota untuk menyambung hidup, maka hukum pasar pun berlaku pula di sini bahwa semakin banyak barang (atau dalam hal ini tenaga kerja), maka semakin murah pula harganya. Upah pekerja bisa ditekan semurah mungkin karena semakin membe-ludaknya jumlah angkatan kerja sementara kesempatan yang tersedia amatlah terbatas sebab pertumbuhan kesempatan kerja memang tidaklah bisa secepat pertumbuhan angkatan kerja. Atau bila kita di sini mengambil rumus Malthus, maka jumlah angkatan kerja bertambah sejalan dengan deret ukur sementara kesempatan kerja hanyalah sejalan dengan deret hitung.

Akan tetapi, karena keseimbangan itu hanya akan bisa tercapai dalam jangka waktu yang cukup lama sementara tuntutan kehidupan sehari-hari tentunya dibutuhkan pada saat ini juga, maka nampaknya pemerintah haruslah mengusa-hakan agar upah pekerja yang rendah ini bisa diperbaiki. Selain itu, nampaknya kita juga mesti membenahi satu hal yang lain lagi sebab nampaknya ada hubungannya juga dengan upah pekerja yang rendah. Dalam pelajaran ilmu ekonomi yang mesti dihapal di tiap sekolah hingga saat ini, kita selalu diajarkan suatu dogma bahwa seorang pelaku ekonomi mestilah dengan modal sekecil-kecilnya bisa mendapat untung sebesar-besarnya. Tak disebutkan lebih lanjut di situ dengan cara yang bagaimana. Tak disebutkan bahwa kita mestilah tetap memperhatikan etika. Kita seharusnya sudah menambah atau merevisi dogma itu dengan semestinya. Dan dogma semacam ini juga yang antara lain menyebabkan berba-gai macam kejahatan dalam dunia usaha karena menyebabkan orang menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan. 

Walau pun para pekerja di Indonesia memang tak bisa digaji terlalu tinggi sebagaimana rekannya di berbagai negara maju dan mungkin perusahaan-perusahaan di sini memang tak bisa membayar sebesar itu, tetapi gaji tersebut seharusnya cukup bila hanya sekedar untuk membeli makanan yang bergizi, beli rumah yang memenuhi standar kesehatan, beli alat transportasi yang baik dan memadai (sepeda motor paling tidak), cukup untuk biaya pendidikan, bisa untuk beli majalah, koran atau buku, bisa untuk pergi ke dokter, bisa untuk rekreasi, dan bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari lainnya secara memadai tanpa harus perlu mengkredit atau berhutang kanan kiri yang seringkali harus menghabiskan setengah atau malah sebagian besar dari penghasilan per bulan dari kebanyakan masyarakat kita. Dan ini tentunya mengurangi tingkat kesejahteraan mereka. 

Walaupun suatu saat nanti memang jumlah pekerja dan kesempatan kerja tidak bisa mencapai titik yang betul-betul seimbang, maka bila ada kurang lebihnya tidaklah terlalu menyolok. Karena pada saat ini jumlahnya memang sangat tidak berimbang, maka hal ini tentu membuat sulit pula untuk meningkatkan upah kaum pekerja. "Harga jual" mereka menjadi sangat rendah. Upah yang rendah ini pun pada akhirnya akan menimbulkan efek yang berantai pula. Dengan gaji yang rendah, maka para pekerja tersebut tidak akan mampu menyekolahkan anaknya dan memberi makan dengan gizi yang memenuhi syarat. Baik makanan yang bisa menunjang kesehatan tubuh maupun pertumbuhan otak. Berarti tidak akan ada peningkatan kecerdasan dari generasi bapaknya, malah bisa jadi akan semakin menurun. Selanjutnya, dengan tingkat pendidikan yang rendah, maka kesadaran mereka akan masalah kependudu-kan ini pun akan menjadi semakin rendah pula. Dengan demikian, jumlah penduduk akan semakin bertambah, upah pekerja pun akan semakin sulit ditingkatkan, angka kemiskinan dan tingkat pendidikan pun akan semakin susah pula dibenahi. Bagaikan sebuah lingkaran setan.

Selanjutnya, patutlah kita sadari bahwa luas tanah yang ada sangatlah terbatas. Kita misalkan saja bahwa di pulau Jawa penduduknya 100 juta jiwa. Kemudian kita misal-kan bahwa di Jawa maksimal dibangun lima ribu pabrik atau perusahaan. Sekali lagi, ini jumlah maksimal, kecuali kalau diadakan penggusuran sawah atau perumahan penduduk. Lalu masing-masing perusahaan kita misalkan saja rata-rata mampu menampung lima ribu pegawai. Dan ini jumlah yang termasuk ideal bila kita misalkan setiap orang pekerja menghidupi rata-rata tiga orang anggota keluarga lainnya. Tetapi, bila jumlah ini terus-menerus bertambah tanpa henti, katakanlah hingga mencapai 200 juta jiwa (hanya di Jawa saja) dalam beberapa tahun mendatang, dan ini bukanlah jumlah yang mustahil mengingat kecepatan pertumbuhan selama ini, maka jumlah yang ideal itu akan menjadi tidak ideal lagi. Jumlah perusahaan tidak mungkin akan bisa bertambah karena lahan sudah tidak tersedia lagi. Terlebih lagi, semakin banyak areal persawahan yang telah berubah menjadi pemukiman penduduk. Dan kita memang tak akan pernah bisa menambah luas tanah yang ada, kecuali bila kita bisa mengeringkan Laut Kidul. Dan bertambahnya jumlah penduduk ini memang mau tidak mau akan menggusur areal persawahan menja-di perumahan seperti yang bisa kita saksikan saat ini di mana-mana. Lalu, mau makan apa kita nanti? Dan bila suatu saat tanah telah habis semuanya kita mau pergi ke mana? Mendirikan rumah susun barangkali. Tetapi, apakah lingkungan semacam ini cukup sehat bagi perkembangan anak-anak? Lapangan untuk bermain sepakbola, bermain layang-layang, bermain gundu, voli dan badminton telah habis di mana-mana. Atau barangkali ada yang mengusulkan bertransmigrasi. Tetapi, bagaimana bila hutan di Sumatra Kalimantan dan berbagai tempat lain pun telah habis dibuat perumahan? Terlebih lagi, berapa persen dari kita yang mau pergi transmigrasi dengan sukarela? Terutama lagi bagi penduduk perkotaan atau setengah perkotaan yang telah terbiasa dengan keramaian dan fasilitas umum yang mudah terjangkau?

Karena di dalam negeri sudah tidak ada lagi pekerjaan yang tersedia dan juga sudah tidak ada lagi sawah yang bisa digarap, maka banyak di antaranya yang lalu merantau ke luar negeri. Dan kita tentu tahu bahwa hal ini sering-kali menimbulkan masalah, terutama bagi kaum wanitanya. Bahkan, seringkali terjadi peristiwa yang menyedihkan menimpa mereka. Sementara itu, bagi mereka yang tidak tertampung di dalam negeri atau tidak punya biaya untuk pergi ke luar negeri, maka mereka terpaksa menjadi pen-ganggur, setengah menganggur atau tukang tidur. Padahal, sebagian besar di antara mereka adalah termasuk dalam usia produktif. Dan dari tahun ke tahun kaum pen-gangguran ini semakin banyak saja jumlahnya karena pertum-buhan angkatan kerja selalu melebihi jumlah kesempatan kerja. Jadi, semakin lama semakin bertumpuk dan bertumpuk dan bertumpuk dan bertumpuk dan bertumpuk-tumpuk….

Setiba pada bagian ini, walaupun mungkin saatnya kurang tepat, saya tiba-tiba merasa ingin sedikit bernos-talgia sebab ketika sampai pada bagian ini saya memang menjadi teringat lagu Balada Sejuta Wajah yang pernah dibawakan oleh grup God Bless semasa tahun delapanpuluhan. Sebuah lagu yang menjadi favorit seorang teman saya ketika masih di sekolah menengah dulu. Lagu yang berkisah tentang kaum urban, keriuhan di kota-kota besar dan kaum semut yang terhimpit di tengahnya. Teman saya yang satu ini memang sangat suka dengan lagu tersebut dan kerap meminta saya untuk membawa-kannya secara unplugged, meski dengan petikan gitar ala kadarnya sebab saya memang tidaklah selihai Ian Antono. 

Dan sekarang ini, ketika sesekali saya mampir ke seorang teman yang kebetulan punya sedikit “bisnis” di salah satu sudut trotoar di kota budaya ini dan terkadang menemaninya nongkrong hingga malam hari, saya menjadi teringat isi lirik dari lagu tersebut. Dan rekan seperjuangan teman saya ini, yang dulu jumlahnya tak seberapa, kini semakin banyak saja, saling berdesak di kiri-kanan dan depannya. (Semoga suatu saat tidak sampai berdesak di atas dan bawahnya). Banyak pula di antara mereka yang berasal dari luar kota. Dan bagi orang yang ngelemer seperti saya ini, sewaktu musim hujan begini saya sering merasa kagum dengan ketangkasan dan kecepatan mereka dalam berkemas ketika langit mulai turun hujan. Hanya dalam hitungan detik saja mereka telah bisa mengemasi semuanya. Mungkin mereka lebih tangkas dari suku-suku nomad di Mongolia. 

Sekitar tiga atau empat tahun yang lalu, ketika ia mulai "mengawali karirnya", dua buah rambu yang menyatakan bahwa di sekitar tempat itu dilarang berjualan masih terpasang dengan manis dan rapinya, dengan cat dasar merah yang menyolok mata. Tetapi, sekarang sudah mulai meluntur dan tak jelas lagi. Mungkin yang berwenang sudah malas mengecatnya lagi karena sudah capek mengatasi ke-bandelan mereka. Ia sering bercerita tentang hal itu. Ia pun dulu kerap pula terkena gusuran meski sekarang memang tak pernah ada lagi.

Ia dulu telah sempat berkelana ke mana-mana, ke beberapa kota besar di Pulau Jawa, untuk mendapatkan kerja yang sepantasnya. Tetapi, ternyata ia sekali lagi hanya membuktikan bahwa hukum pasar dalam tenaga kerja memang benar adanya. Kerja suntuk seharian dengan upah ala kadarnya. Ia pun akhirnya lebih memilih untuk mengabdi di kaki lima yang menurutnya lebih bebas dan "menjanjikan". Tetapi, penghasilannya kadang ternyata memang lebih baik bila dibandingkan dengan standar UMR. Hanya saja memang tak selalu demikian. Ada kalanya ia pulang larut malam hanya dengan membawa tubuh yang basah kuyup kehujanan. 

Oh ya, dari teman tersebut saya juga lalu mengeta-hui arti dari kata kaki lima. Suatu kata yang bagi saya sebelumnya terasa aneh dan menimbulkan tanda tanya. Ternyata, ini bukanlah karena mereka tergolong spesies mahluk berkaki dua yang mengalami mutasi genetika, tetapi itu adalah singkatan dari "kanan kiri lintas manusia". Demikian jelas teman tersebut. Entah benar entah tidak. 

Saya dulu biasa memainkan lagu Sejuta Wajah tersebut dengan nada gembira, nada anak-anak remaja. Tetapi, seka-rang saya tahu bahwa seharusnya saya dulu memainkannya dengan nada yang sebaliknya. Dan bunyi lagu itu pun seka-rang terasa nyata dan bukan lagi hanya berupa nada-nada. Apalagi, ternyata jumlah mereka bukanlah hanya sejuta dan mereka pun ternyata bukan hanya berada di kali lima, tetapi ada di mana-mana. 

Meski demikian, ia nampaknya menikmati kehidupannya. Sepenilaian saya, ia merasa bebas dan bahagia. Dan bukankah itu sebenar-nya yang dicari oleh setiap manusia? Ia bilang bisa berangkat kapan saja ia mau dan kapan saja ia tidak mau. Meski demikian, ia berangkat setiap hari. Bahkan pada hari Minggu dan tanggal merah sekali pun, sebab pada saat seperti itulah justru ramai pembeli. Ia juga sudah merasa at home di sana. Dan bila malam sedang cerah, saya sendiri pun terkadang merasa ayem juga ketika sedang ikut duduk selonjoran di sana sambil menikmati minuman atau makanan kecil yang dibelinya dari sebuah warung angkringan terdekat bila saya sedang mampir ke sana. Sekali-sekali, bila sedang banyak rezeki, ia juga mentraktir saya mie ayam yang kebetulan lewat di jalan. Ia orangnya cukup murah hati memang. Tetapi, sekarang ini saya memang sudah sangat jarang sekali ke sana karena semakin riuhnya jumlah mereka sehingga tidak bisa enjoy lagi.

Meski demikian, biarpun ia merasa bebas dan bahagia, entahlah, bagaimana ia kelak di kemudian hari. Toh, seperti yang saya rasakan walaupun mungkin sudah tak terkatakan lagi olehnya, ia juga sebenarnya ingin mendapat pekerjaan yang selayaknya. Dan penghasilan yang secukupnya juga. Dan tentunya juga istirahat dan hari libur yang secukupnya pula.

Adakah hari esok makmur sentosa bagi wajah-wajah yang menghiba? Demikian bunyi lirik penutup dari lagu tersebut. 

Entahlah, sebab meskipun sekarang ini program untuk mengontrol penduduk tak dimusuhi dan malah dianjurkan, pada umumnya orang memang bersikap acuh tak acuh terhadap masalah ini. Sikap seperti ini memang merata di setiap negara berkembang. Sikap yang aneh memang, orang mengantuk tetapi menolak ketika disorongkan kasur springbed. Suatu sikap yang sebenarnya bertentangan dengan bunyi peribahasa. (Oh ya, bunyi peribahasa tadi sudah sedikit saya “perbaiki”). Dan orang nampaknya lebih suka untuk memenuhi dunia yang sema-kin sempit ini dengan segala kesumpekan dan kekusutannya. 

Tetapi, sekian dulu bernostalgianya dan kita kembali lagi meneruskan pembahasan. Dan mudah-mudahan kita masih tetap bisa bersikap optimis. Mudah-mudahan, sebab walaupun mungkin ada beberapa bagian dari kalimat di sini yang bernada gurauan, sebenarnya saya ingin menulisnya dengan kalimat-kalimat yang muram. Muram karena menyaksikan segala kemuraman yang ada di depan mata. Tetapi, agaknya saya memang tak bisa menulis kalimat sedemikian. Meski demikian, semuram apa pun keadaannya, agaknya kita memang tetap harus selalu bersikap optimis. Bila tidak, maka tak akan ada lagi harapan

Jumlah kaum pengangguran yang semakin melimpah ruah ini pun pada akhirnya menimbulkan banyak masalah juga karena orang yang tidak bekerja bukan berarti mereka lalu tidak makan. Mereka tetap makan juga dan banyak di antaranya yang kemudian terpaksa melakukan apa saja untuk menyambung hidupnya. Bila sebagian di antara mereka masih bersedia untuk menyambung hidup secara halal, maka ternyata banyak juga di antaranya yang kemudian terpaksa harus dengan cara melanggar hukum dan norma agama sebab kebutuhan perut memang tak dapat ditunda sehari pun. Bila kaum prianya banyak yang terjerumus melakukan kejahatan, maka kaum wanitanya banyak yang terperosok ke dalam prostitusi. Dan rasanya, tidak ada seorang pun yang bercita-cita untuk menjadi penjahat semasa kecilnya. Juga menurut sebuah penelitian, 95 persen wanita tuna susila sebenarnya juga ingin melakukan pekerjaan yang lain.1 Yang halal, yang terhormat, yang baik-baik. Kalau ada. Yah, memang mana ada wanita yang semasa kecilnya pernah bercita-cita untuk menjadi pelacur.2 Cobalah tanya anak-anak kecil di kam-pung Anda apa cita-cita mereka ketika dewasa kelak. Apakah ada yang bercita-cita untuk menjadi pelacur?

Karena itu, kita memang tidak bisa memberantas keja-hatan, tidak bisa memberantas pelacuran, bila rakyat kita masih didera kemiskinan. Tidak bisa hanya dengan menembaki setiap penjahat karena mereka akan tumbuh lagi. Tidak bisa hanya dengan beramai-ramai membakari kompleks prostitusi karena mereka akan mencari tempat yang lain lagi. Bukan pekerjaan yang lain karena memang tidak ada. Apa yang harus kita lakukan memang adalah memberantas penyebabnya, yaitu memberantas kemiskinan dan pengangguran. Dan salah satu cara memberantas kemiskinan dan pengangguran ini adalah dengan kontrol kelahiran sebab dengan kontrol kelahiran kita akan bisa dengan lebih mudah men-gatasi kemiskinan karena akan terdapat ruang yang cukup bagi semua orang untuk mencari makan. Dengan itu pula kita akan bisa dengan lebih mudah mengatasi pengangguran karena kita memang akan bisa lebih mudah pula mengupayakan agar pertumbuhan angkatan kerja senantiasa sesuai dengan lapan-gan kerja yang tersedia. Bisa mengupayakan agar setiap orang bisa mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang layak sehingga ia tidak akan mudah tergoda untuk melaku-kan hal-hal yang melanggar hukum maupun norma agama. Dengan tersedianya pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi setiap orang, maka dengan demikian kita telah bisa memberantas kejahatan tanpa harus menembaki setiap penjahat. Bisa membasmi pelacuran tanpa harus membakar setiap kompleks prostitusi. 

Kita juga tidak lagi akan diresahkan oleh ulah para pemuda pengangguran yang nongkrong di sudut-sudut jalan sambil bermabuk-mabukan. Mengompas orang yang kebetulan lewat. Juga tak perlu lagi diresahkan oleh ulah "pak ogah" atau anak-anak jalanan yang sekedar mencari uang logam di setiap perempatan jalan. Mereka semua tidak akan ada bila mereka bisa mendapatkan pekerjaan dan peng-hasilan yang layak. Mereka akan hidup tenang tentram di rumah bersama keluarganya, bersama istri dan anak-anaknya, bersama saudara dan keluarganya tanpa harus mencari mangsa atau menggangu orang lain di jalan-jalan. 

Jadi, hal utama yang harus kita lakukan memang adalah meniadakan kondisi lingkungan yang bisa menyebabkan terja-dinya pelanggaran hukum dan norma agama tersebut. Tetapi, apa boleh buat, selama hal itu belum tercapai hukum yang tegas tetaplah harus dijalankan karena masyarakat pun haruslah bisa dijamin keamanannya. Akan tetapi, bila kita memang benar-benar mau memikirkan dan berupaya mengatasi masalah kependudukan dengan serius, maka secara perlahan-lahan angka kejahatan dan juga berbagai macam problem sosial lainnya akan bisa ditekan seminimal mungkin. Dan akan bersihlah bumi Indonesia ini dari pelacuran, kejaha-tan, kemiskinan dan pengangguran. Akan terciptalah negeri yang tata tentrem kerta raharja gemah ripah loh jinawi.
 
Oleh karena itu, sekali lagi, kita memang harus berupaya memikirkan dan mengatasi masalah kependudukan ini dengan sebaik-baiknya. Tanpa itu, jangan harap kesejahte-raan dan kemakmuran akan bisa terwujud meskipun pemerinta-han yang ada adalah pemerintahan yang benar-benar demokra-tis dan jujur sebab dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka akan semakin sulit pula bagi kita untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran serta berbagai macam problem sosial lainnya. Kita bisa melihat bahwa dengan jumlah penduduk yang "hanya" 200 juta saja sudah banyak orang yang keleleran, apalagi bila jumlah itu terus-menerus bertambah tanpa henti seperti yang terjadi selama ini. Akan semakin banyak orang miskin, semakin sempit tanah yang ada, semakin mahal harga rumah, semakin sulit dan mahal pula tanah kuburan, semakin banyak kampung kumuh, semakin banyak pengemis dan kaum jembel, semakin sulit cari kerja, semakin banyak pengangguran, semakin banyak kejahatan, semakin banyak “pak ogah”, semakin banyak anak jalanan, semakin marak prostitusi, semakin membanjir arus urbanisasi dan ke luar negeri, semakin sempit trotoar karena diserobot kaki lima, semakin macet jalan-jalan, semakin sulit cari tempat parkir, semakin bertimbun asap polusi, semakin sulit air tanah, semakin habis hutan lindung, semakin.... Dan seterusnya. Boleh diteruskan sendiri. Pokoknya, semuanya menjadi bertambah semangkin saja.

Bila pun masih ada yang kurang yakin tentang hal ini bisa menengok ke negara-negara Asia Selatan. Serba kumuh dan amburadul. Tingkat kesejahteraan rakyat dan jumlah buta hurufnya masihlah sangat memprihatinkan walau-pun mereka adalah negara-negara yang demokratis, bahkan sampai ada yang dijuluki sebagai negara demokratis terbe-sar di dunia.

Kependudukan dan Masalah Lingkungan
 
Selain menimbulkan berbagai macam masalah sosial, jumlah penduduk yang semakin bertambah ini juga menimbul-kan dampak pada masalah yang lain, yaitu masalah lingkun-gan. Semakin banyak penduduk berarti semakin banyak areal persawahan dan hutan yang berubah fungsi menjadi pemukiman penduduk. Dan bila tadi sudah dibahas bagaimana jumlah penduduk yang semakin bertambah ini menyebabkan urbanisasi dan menimbulkan berbagai masalah sosial di kota-kota, maka kali ini kita bisa melihat bagaimana mereka yang tinggal menetap di desa pun menimbulkan masalah lain yang tak kalah seriusnya, yaitu kehancuran hutan yang ada, termasuk juga hutan lindung yang mesti dijaga.

Potret bumi belakangan ini memang menyedihkan. Dalam kurun dua puluh tahun belakangan ini planet tempat tinggal kita telah kehilangan pepohonan seluas 200 juta hektar -sebanding dengan sepertiga luas daratan Amerika. Petani di seluruh dunia kehilangan 500 juta ton lapisan tanah paling subur -jumlah yang sebanding dengan tanah yang membentang di India ditambah dengan luas daratan Perancis. Danau-danau, sungai, bahkan seluruh lautan telah berubah menjadi got raksasa dan gudang limbah. Dan puluhan ribu spesies tumbuhan dan binatang yang hidup bersama kita di berbagai tempat kini punah. 

Akar dari kehancuran ini adalah kombinasi antara pertambahan penduduk dan kemiskinan di dunia ketiga. Diperkirakan, 60 % perusakan hutan di negara berkem-bang itu, menurut majalah The Economist, bukan dise-babkan oleh penebangan hutan untuk kayu gelondongan, melainkan karena diubahnya hutan menjadi tempat pemukiman dan lain-lain. Malah Noel Brown, direktur untuk Program Lingkungan PBB, menhitung bahwa penye-bab kerusakan hutan 80% adalah akibat pertambahan penduduk.3

Meski demikian, ini bukanlah berarti bahwa perusakan hutan oleh perusahaan raksasa kemudian kita abaikan begitu saja sebab jumlah 20 hingga 40 persen dari ratusan juta hektar bukanlah jumlah yang sedikit. Dan bila dibiarkan, maka lama-lama pun akan bisa menghancurkan seluruh hutan yang ada. 

Kerusakan hutan yang ditimbulkan oleh penebangan yang semakin menjadi-jadi, baik oleh penduduk lokal maupun perusahaan besar, selain mengakibatkan apa yang telah disebutkan di atas, juga akan bisa menyebabkan banjir, tanah longsor serta endapan lumpur. Di Serawak misalnya, erosi ini telah menyebabkan endapan lumpur mencemari dua pertiga sungai di sana. Entahlah apa pendapat Dr. Mahathir tentang masalah ini. Lenyapnya hutan tropis ini juga berarti tidak akan ada lagi paru-paru dunia yang bisa menyerap polusi yang semakin melimpah, yang pada saat ini sebagian terbesar adalah hasil sumbangan dari negara-negara industri maju. Dan kelak ditambah dengan semua negara yang ada di dunia sebab semua negara-negara berkembang memang bercita-cita ingin menjadi negara industri besar. Besar-besaran kalau perlu, meski dengan gaji pekerja cukup kecil-kecilan saja. 

Pada akhirnya, kerusakan hutan ini juga akan bisa memusnahkan jutaan spesies flora dan fauna yang ada, termasuk juga tanaman yang bisa bermanfaat bagi obat-obatan. Tak sampai 30 tahun lagi, pada tahun 2020 diperki-rakan sepersepuluh sampai seperlima dari 10 juta spesies tanaman dan tumbuhan akan musnah sebab 50 persen dari spesies itu hidup di hutan-hutan tropis yang terus digero-goti. Dan sekali sebuah spesies musnah, ia akan musnah untuk selamanya.4 Bagi peminat ilmu alam, hal seperti ini akan bisa membuatnya merasa berduka. Barangkali perkataan Nietszche memang benar adanya. “Dunia ini begitu indah,” demikian katanya suatu ketika. “Tetapi, ia mempunyai wabah yang sangat berbahaya: manusia.”

Selain mengakibatkan kehancuran hutan yang ada, pertambahan penduduk yang semakin tak terkendali juga akan bisa mengakibatkan pencemaran yang luar biasa pada pantai dan lautan.

Kini tamasya laut bukan lagi janji kenyamanan. Mereka yang dekat dengan pantai tahu bahwa kini laut-laut begitu jorok, dipenuhi sampah plastik, dan ikan-ikan lenyap. Tapi, sebenarnya, tumpahan minyak, limbah pabrik dan sampah kota cuma masalah yang kasat mata. Ancaman utama untuk laut, 70 sampai 80 persen dari seluruh polusi bahari adalah sedimen dan pence-mar yang mengalir ke laut dari sumber daratan, seper-ti lapisan tanah teratas, pupuk, pestisida dan segala bentuk buangan industri. Terumbu karang, khususnya, amat rawan terhadap sedimen. Kini karang yang menye-diakan rumah bagi sebagian besar spesies ikan di dunia di sepanjang Asia, Australia dan Karibia mulai berkurang.

Itulah akibat populasi penduduk pesisir yang tahun 1980 berjumlah 617 juta, kini sudah lebih dari 900 juta, dan diperkirakan akan menjadi 997 juta jiwa pada tahun 2000 nanti. Sekitar 6,5 juta ton sampah ditemukan mengalir ke laut setiap tahun.5

Jadi, pertumbuhan penduduk yang tak terkendali ini memang bisa menyebabkan berbagai masalah dalam berbagai bidang kehidupan. Mengenai pencemaran pada lautan ini adalah suatu hal yang rasanya mengkhawatirkan mengingat dua pertiga negeri kita ini adalah terdiri dari lautan. Terlebih lagi lautan sebenarnya menyimpan kekayaan yang selama ini belum tereksploitasi sepenuhnya. Ikan-ikan kita sebagian besar membusuk di lautan tanpa sempat dikail nelayan. 

Dan bila berbicara tentang masalah ikan dan lautan, maka mungkin di sini perlu diberi tambahan sedikit. Mulai saat ini, kita nampaknya perlu lebih memperhatikan dan beralih orientasi menuju lautan di dalam memenuhi kebutu-han ekonomi mengingat lautan ini adalah sumber penghasilan yang tak akan ada habisnya. Bisa dimanfaatkan sampai kapan saja. Karena itu, marilah kita lupakan sejenak tambang di Papua atau minyak di Aceh, toh sebentar lagi akan habis juga. Kita rasanya perlu membangun suatu armada nelayan yang modern sehingga hasil lautan ini nanti bisa menjadi sumber pendapatan yang bisa diandalkan. 

Terlebih lagi, tidak seperti halnya hutan, kegia-tan perikanan ini tak memerlukan reboisasi yang memakan waktu bertahun-tahun atau malah puluhan tahun sebelum bisa dipetik hasilnya. Ikan bisa besar dan tumbuh dalam waktu singkat. Kita juga tak perlu mengeluarkan biaya sepeser pun sebab mereka telah dibesarkan di lautan bebas. Kita hanya cukup menjaga seperlunya agar kehidupan laut tetap berkem-bang dengan baik dan bisa terus dimanfaatkan hingga ke generasi-generasi yang berikutnya. Bila kita memang mau membangun armada nelayan yang modern ini, maka kita bukan hanya bisa berlayar di sekitar Indonesia saja yang sebe-narnya sudah cukup kaya, tetapi juga bisa hingga ke Lautan Pasifik. Atau kalau hasilnya memang memadai kita pun bisa berlayar ke Samudra Hindia di Selatan, bahkan hingga ke Antartika. 

Potensi yang ada di lautan ini memang tak terbatas jumlahnya bagi negara yang dikelilingi lautan luas seperti Indonesia ini. Di sini kita agaknya perlu meniru Thailand yang walaupun negara tersebut termasuk negara agraris, ternyata pendapatan Thailand dari ekspor hasil lautnya telah melebihi pendapatan dari hasil pertaniannya. Mereka telah menjadi salah satu negara pengekspor hasil laut terbesar di dunia.6 Dan karena luas lautnya tak seberapa, nelayan Thailand pun terpak-sa sering "kesasar" ke Indonesia. Padahal, sebagaimana kita ketahui, Thailand dikenal sebagai salah satu lumbung padi di Asia dan ekspor hasil pertanian merupakan salah satu andalan utamanya. Tetapi, itu sekarang telah dikalahkan oleh hasil laut.

Jadi, mudah-mudahan potensi yang ada di lautan ini nanti bisa kita manfaatkan sebaik-baiknya. Dan rasanya kekayaan itu akan bisa memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perbaikan taraf ekonomi rakyat Indonesia. Tentunya bila jumlah penduduk Indonesia tidak terus-menerus bertambah. Dan juga tentunya bila kita tak terus-menerus mencemari lautan sehingga akan bisa memusnahkan kehidupan di sana.

Ruh dan Aborsi
 
Aborsi ini juga merupakan masalah yang sering diper-debatkan dan menimbulkan pro-dan kontra. Satu pihak menye-tujuinya sebagai salah satu cara untuk menekan laju per-tumbuhan penduduk sedangkan yang tidak setuju biasanya mengemukakan alasan-alasan moral dan keagamaan. Mereka beranggapan bahwa praktek aborsi itu merupakan pembunuhan terhadap bayi yang baru lahir. Di Amerika Serikat, pihak yang tidak setuju ini malah ada yang sampai menyerang klinik-klinik aborsi, serta mengancam dan membunuh para dokter yang berani melakukan praktek aborsi. Pada tahun 1994, sewaktu diadakan konperensi kependudukan di Kairo, malah ada kejadian yang cukup menarik di mana golongan agama, baik Kristen (yang dipelopori oleh Gereja) maupun Islam (yang didukung sebagian besar umat Islam) bersatu padu untuk menentang diperkenankannya praktek aborsi untuk mengontrol laju pertumbuhan penduduk.

Di negara-negara berkembang, kasus aborsi pada umum-nya memang tak terlalu banyak karena mayoritas masih tetap menentangnya. Sementara itu, di Eropa dan Amerika di mana pendukung kedua kubu ini sama kuatnya, hal ini seringkali menjadi masalah. Jumlah wanita yang melakukan aborsi di sana memang sangatlah tinggi, malah di berbagai negara Eropa, terutama Eropa Timur, aborsi ini sudah dianggap sebagai hal yang lumrah saja. Sebagai contoh, pada tahun 1981 di Perancis satu dari empat wanita hamil menggugurkan kandungannya. Di Polandia angka aborsi lebih besar dari angka kelahiran, setiap tahun 800.000 hingga satu juta bayi digugurkan sementara jumlah bayi yang lahir hanyalah sekitar 700.000 saja. Di Romania sekitar 60 persen kehami-lan berakhir dengan aborsi dan ini menyebabkan angka pertumbuhan penduduk di Rumania adalah yang terendah di seluruh Eropa. Sedangkan di Uni Sovyet, wanita di sana rata-rata pernah melakukan empat kali aborsi selama hidup-nya dan angka aborsi di sana tertinggi di seluruh dunia, yaitu sekitar sepuluh juta bayi digugurkan setiap tahun-nya.7

Tingginya angka aborsi inilah yang menyebabkan kenapa Gereja di Barat sangat menentang aborsi. Berapa pun usia kandungan ia tetap tidak boleh digugurkan. Adanya pendapat seperti ini nampaknya antara lain juga disebabkan karena negara-negara Barat tidak pernah mengalami dan merasakan sendiri akibat bertambahnya jumlah penduduk tanpa terkenda-li. Sementara itu, di kalangan umat Islam ada sedikit perbedaan pendapat dalam masalah ini. Perbedaan pendapat yang paling umum adalah karena adanya hadits yang menyatakan bahwa bayi di dalam kandun-gan baru diberi ruh setelah berusia tiga bulan. Oleh karena itu, ada yang berpendapat bahwa aborsi itu boleh dilakukan sebelum berusia tiga bulan, tetapi ada pula yang berpendapat bahwa tindak aborsi itu haram sama sekali biarpun bayi yang dikandung itu adalah hasil pemerkosaan dan tidak dikehendaki oleh ibunya. Ia tetap tidak boleh digugurkan. Entah bagaimana nasib bayi tersebut bila ia lahir. Siapa yang akan mengasuhnya kelak? Apakah mereka yang menentangnya bersedia mengasuh bayi hasil pemerkosaan tersebut bila ibunya ternyata bersikeras tidak mau mengasuhnya karena alasan-alasan traumatik? Jawabannya, jujur saja, sebagian besar adalah tidak.

Sebenarnya, bila kita mau berbincang lebih jauh lagi mengenai kapan manusia mulai mempunyai ruh, ini memang merupakan masalah yang sangat pelik. Rasanya, kita di sini lebih baik berpegang kepada ayat Al-Quran karena suatu hadits itu memanglah tidak bisa dijadikan pegangan bila bertentangan dengan Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Dalam salah satu ayat Al-Quran disebutkan:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanmu dan kamu hanyalah diberi sedikit pengetahuan tentang itu.

Apa yang tersebut pada ayat di atas sangatlah tepat sebab masalah ruh ini memang sukar sekali untuk kita pahami, termasuk juga tentang kapan manusia mulai mempun-yai ruh di dalam kandungan. Bila kita mau menilik sedikit lebih ke belakang lagi dalam proses reproduksi manusia, maka akan semakin sulitlah bagi kita untuk mengatakan bahwa ruh itu baru ada setelah tiga bulan di dalam rahim. Cobalah kita pikirkan, bukankah sel-sel sperma yang menja-di calon manusia itu itu sebenarnya sudah bisa dikatakan sebagai mahluk hidup? Mereka bisa bergerak sebagaimana mahluk-mahluk hidup yang sederhana lainnya walaupun umur-nya memang cukup pendek. Tetapi, bukankah mereka hidup? Dengan demikian, bila sudah bisa disebut sebagai mahluk hidup, bukankah mereka mempunyai ruh juga? Demikian pula sel telur merupakan sel-sel mahluk hidup dan bukan benda mati.

Selain itu, bila kita mau meneliti proses perkemban-gan embrio di dalam rahim, maka kita akan mengetahui bahwa pada umur 18 hari jantung telah mulai berfungsi. Dan pada umur tujuh minggu atau sekitar satu setengah bulan calon bayi telah mempunyai gelombang otak (brain waves). Ada tidaknya gelombang otak ini adalah salah satu kriteria yang menentukan apakah bayi itu hidup atau mati.

Jadi, tentang kapan manusia mulai mempunyai ruh memang suatu hal yang masih bisa diperdebatkan lagi. Apakah di dalam testis, tempat diproduksinya sperma? Ataukah justru sebelum masuk ke tubuh manusia, yaitu di dalam tumbuh-tumbuhan sebab bukankah tumbuhan ini yang pertama kali mengolah zat anorganik menjadi zat organik? Ataukah...? Jadi, mengenai kapan manusia mulai mempunyai ruh memang cukup sulit untuk ditentukan. Manusia, seperti disebutkan pada ayat di atas, memang hanya diberi sedikit pengetahuan saja tentang masalah ruh.

Bila pun kita mau sedikit berpanjang lebar lagi, maka kita akan menjadi semakin memahami bahwa sebenarnya masa-lah ruh ini memang tidaklah sesederhana yang selama ini kita pikirkan. Malah terkadang tidaklah muadh untuk menen-tukan apakah suatu mahluk hidup itu bisa disebut sudah mati atau masih hidup. Atau apakah suatu zat itu bisa disebut sebagai zat mati atau zat hidup. Seperti misalnya saja ada seekor binatang kecil bernama tardigradus. Bina-tang ini bila dalam keadaan biasa berumur sangat pendek, tetapi bila dikeringkan, maka ia akan menyerupai sebutir debu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali pada mahluk itu. Dalam keadaan kering seperti itu ia bisa disimpan hingga 20 atau 25 tahun dan bisa hidup lagi bila dimasukkan ke dalam air. Demikian pula ada sejenis siput yang bisa hidup lagi bila dibasahi dengan air setelah ia dikeringkan bertahun-tahun. Jadi dimanakah letak ruh itu?

Selain itu, jasad renik yang seringkali menyebabkan penderitaan bagi umat manusia, yaitu virus, adalah zat yang sulit sekali ditentukan apakah bisa digolongkan sebagai benda mati ataukah mahluk hidup. Virus ini sering disebut sebagai mahluk peralihan antara benda hidup dan benda mati. Bila dikeringkan ia bisa dianggap sebagai benda mati, yaitu berupa kristal dan bisa diperlakukan seperti zat kimia biasa lainnya. Tetapi, bila dimasukkan lagi ke dalam air, maka ia bisa berubah kembali menjadi mahluk hidup yang sangat berbahaya.

Virus ini bisa juga dipisahkan antara lapisan luarnya yang berupa protein (protein coat) dan intinya yang berupa asam nukleat (DNA atau RNA). Sewaktu terpisah, keduanya adalah zat-zat organik biasa yang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan sama sekali. Mereka tidak makan atau melakukan reproduksi. Zat yang sama sekali tidak berba-haya. Tetapi, setelah dipeisahkan sedemikian rupa, bila ditaruh dalam medium dan kondisi yang memungkinkan mereka bisa menyatu kembali secara alamiah dan spontan, menjadi mahluk hidup lagi. Bisa kembali melakukan reproduksi, menjadi parasit dan berbahaya kembali.

Peristiwa di atas, penyatuan kembali zat-zat organik secara alamiah, oleh para ilmuwan dianggap sebagai hal yang sangat menarik karena bisa memberikan titik terang tentang asal mula kehidupan di bumi, yaitu sebelum terben-tuknya zat-zat organik secara alamiah dari zat-zat anorga-nik, maka zat-zat itu bisa membentuk rangkaian yang lebih kompleks dan menjadi hidup! Pembentukan rangkaian itu secara alamiah dan spontan (spontaneous self-assembly) dimungkinkan karena adanya gaya tarik menarik yang sangat kuat antar molekul (hydrogen bonding) yang sangat kuat, milyaran kali lebih kuat dari gravitasi bumi. Gaya tarik menarik ini disebabkan adanya perbedaan muatan pada atom. Atom hidrogen bermuatan positif sedangkan atom-atom lain yang menjadi komponen utama penyusun zat-zat organik seperti oksigen dan nitrogen bermuatan negatif. Proses pembentukan zat-zat anorganik menjadi zat-zat organik ini disebut sebagai evolusi kimia (chemical evolution) untuk selanjutnya disambung dengan evolusi mahluk hidup. Jadi, ini memang adalah masalah yang sangat pelik dan entahlah apakah manusia nanti pada akhirnya akan bisa memahami masalah ini.

Meski demikian, walaupun kita memang tidak bisa atau pun belum bisa memahami masalah ruh ini, ini bukanlah kita di sini lalu langsung bisa begitu saja menyetujui praktek aborsi. Aborsi ini tetaplah suatu pilihan terakhir yang hanya bisa dilakukan bila keadaannya memang sudah sangat memaksa. Dan ini bukanlah karena masalah ruh tadi karena bila kita berangkat dari pemikiran ini, maka sebe-narnya alat kontrasepsi yang yang mencegah bersatunya sel dengan sperma, yang bula tidak dicegah akan tumbuh menjadi manusia, bisa dikatakan mematikan hak hidup dari seorang calon manusia juga. Lagipula, seperti telah disebutkan di atas, bukankah sel sperma pun sudah bisa disebut sebagai mahluk hidup? Jadi, bila aborsi ini memang suatu hal yang kurang bisa diterima, maka kita di sini lebih melihatnya dari sudut pandang bahwa aborsi ini seringkali membahaya-kan keselamatan jiwa dari wanita yang melakukannya. Jadi, aborsi ini tetap merupakan hal yang sebisanya harus di-hindari oleh wanita. Oleh karena itu, bila seorang wanita memang tidak atau belum menghendaki seorang bayi, maka sebaiknya ia menggunakan alat kontrasepsi sehingga mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan

Tetapi, seandainya saja suatu saat kita dihadapkan kepada kenyataan bahwa keadaan memang sudah sangat memaksa karena sudah semakin padatnya jumlah penduduk sehingga aborsi ini memang terpaksa dimasukkan sebagai upaya untuk mengontrol kelahiran (sekali lagi, hanya untuk mengontrol kelahiran) dengan catatan bahwa hal-hal yang bisa membaha-yakan wanita yang menjalaninya bisa diatasi, maka pada saat itu pula kita dihadapkan kepada dua pilihan. Dan di sini, kita memang dihadapkan kepada pilihan yang kurang buruk di antara dua pilihan yang sama-sama buruknya, yaitu manakah yang lebih baik yaitu menggugurkan janin yang belum bisa merasakan apa-apa, belum bisa merasakan rasa sakit dan lapar karena sel-sel otak yang memang belum berkembang secara penuh ataukah membunuhi mereka sebagai penjahat ketika mereka sudah dewasa, membantai mereka secara beramai-ramai di jalan-jalan--dan ini seringkali terjadi--karena semakin meluap-nya angka kemiskinan dan pengangguran, membiarkan mereka berbunuh-bunuhan berebut sesuap nasi, membiarkan mereka jadi pelacur di jalan-jalan, terkena penyakit kelamin dan mati kena AIDS ketika mereka sudah dewasa kelak. Ketika mereka sudah bisa merasakan lapar, merasakan sakit, kesedihan dan penderitaan. 
Kemudian, supaya bisa lebih memahami apa yang dikemu-kakan di atas, sebenarnya di dalam fiqih sendiri terdapat prinsip yang tak jauh berbeda dengan hal di atas, yaitu akhoffu dlararain. Lengkapnya adalah:

Menempuh salah satu tindakan yang lebih ringan dari dua hal yang sama berbahayanya (sama buruknya) adalah wajib.

Bila pun masih ada yang menentang masalah ini, maka kita di sini bisa mengingat sekali lagi tentang penyebab timbulnya sekulerisme. Mudah-mudahan dari situ nanti kita akan bisa semakin bisa memahami bahwa agama itu diturunkan ke dunia adalah untuk kebahagiaan dan kese-jahteraan umat manusia, bukan malah untuk menyulitkan dan menyengsarakan manusia. Dan memang banyak penderitaan dan keseng-saraan yang menimpa manusia antara lain adalah disebabkan kesalahan di dalam memahami ajaran-ajaran agama. Mungkin kita perlu sekali lagi mendefinisikan arti kata moral. Atau mungkin kita juga bisa bertanya, yaitu tindakan yang bermoralkah membiarkan anak-cucu kita menjadi kaum gelandangan, pengangguran, anak jalanan, penjahat dan pelacur karena kemiskinan yang diakibatkan berlebihnya jumlah penduduk? Bila kita mempelajari anthropologi dan sejarah etika, barangkali kita akan lebih bisa memahami masalah ini. Moral memang haruslah senantiasa ditujukan kepada kesejahteraan, kemakmuran dan kebahagiaan umat manusia. Itulah tujuan dari kata moral dan bukan sebaliknya.


Endnote
1 Memang ada juga pendapat bahwa pelacuran ini disebabkan oleh hal-hal selain terdesak kebutuhan ekonomi. Tetapi, jumlah tersebut rasanya tak terlalu banyak. Seperti tersebut dalam penelitian tersebut, jumlahnya hanya sekitar 5 persen. Yang 95 persen adalah karena masalah ekonomi.
2 Suatu sikap yang tergolong aneh pernah saya baca di surat kabar sekitar awal tahun 1998. Di sebuah daerah di Indramayu, yang masih banyak di antara penduduknya yang kawin muda, seringkali ibu-ibu di sana malah mendorong putrinya untuk bercerai dengan suaminya supaya bisa berangkat menjadi pelacur di Jakarta. Dan si anak pun ternyata setuju juga. Tingkat kemiskinan di sana memang cukup tinggi dan tingkat pendidikan adalah sebaliknya.
3 "Bumi yang Makin Panas", Selingan majalah Tempo, No. 15 Thn. XXII, 13 Juni 1992, hlm, 53.
4 Ibid., hlm. 56.
5 Ibid., hlm. 55.
6 Ashok K. Dutt, "Thailand", Grolier Multimedia Encyclopedia, 1999.
7 Ronald S. Toth, "Why So Little Understood", The Plain Truth, May, 1985, hlm. 3. Data-data di atas memang agak out of date karena berasal dari tahun delapanpuluhan, tetapi sampai saat ini rasanya tak terlalu mengalami perubahan yang terlalu signifikan.

Monday, November 11, 2013

Prinsip Keadilan dan Pemikiran Kembali Tentang Hukum Had

Oleh: Helmi Junaidi




Pada saat ini, walaupun hukum had (hukum pidana dalam agama Islam) tidak diberlakukan di Indonesia, rasanya hal ini perlu juga untuk dibahas oleh umat Islam di Indonesia karena hingga sekarang memang masih banyak umat Islam di sini yang tetap bersikap terlalu kaku di dalam memandang masalah ini. Dan mudah-mudahan, tulisan ini nanti bisa juga dibaca oleh mereka yang tinggal di negara-negara di mana hukum had diberlakukan.Sangsi hukum pidana dalam agama Islam seringkali oleh sebagian orang dipandang sebagai suatu hukum yang kejam, tak berperikemanusiaan dan merupakan relik dari abad pertengahan yang tak layak lagi diberlakukan di zaman modern sekarang ini. Apabila dipandang dari bentuk sangsinya secara fisik, pendapat tersebut mungkin bisa dibenar kan mengingat kerasnya sangsi yang diberlakukan, seperti misalnya saja hukuman mati dengan cara memenggal kepala dengan pedang, hukuman cambuk dan juga hukum potong tan gan. Tetapi, bila dipandang dari segi keefektifannya, maka sangsi yang keras tersebut sangatlah efektif untuk menurunkan dan meminimalkan angka kejahatan. Meminimalkan, bukan meniadakan sebab sekeras apa pun hukuman yang diterapkan, kejahatan itu akan tetap ada. Dan dunia ini memang tak pernah sempurna.

Meski demikian, pada masa sekarang ini nampaknya umat Islam perlu meninjau kembali bentuk sangsi yang ada. Berusaha mencari alternatif lain yang dari sangsi tersebut. Tentu saja tanpa menghilangkan prinsip dan tujuan hukum itu sendiri, yaitu menegakkan keadilan. Ini adalah hal yang mutlak dan tidak bisa ditawar lagi sebab pada dasarnya hukum Islam memang bertujuan menegakkan keadilan di muka bumi. Keadilan bagi seluruh umat manusia, baik yang Islam maupun yang non-Islam karena Islam memang adalah rahmatan lil alamin, bukannya rahmatan lil muslimin. Jadi, bentuk sangsi bagaimana pun yang kita berlakukan, bila tujuan dari hukum Islam, yaitu menegakkan keadilan bisa dicapai dengan cara tersebut, maka berarti hukum Islam telah berhasil ditegakkan.

Mungkin akan banyak yang berpendapat bahwa demikianlah yang tertulis di dalam Al-Quran dan dilaksanakan di zaman Rasulullah. Karena itu, sangsi hukuman seperti yang termaktub dalam  Al-Quran dan sunah rasul itu wajib dilaksanakan tanpa kecuali. Dan di beberapa negara Islam, sangsi-sangsi tersebut memang telah lama dilaksanakan. Sementara itu, di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi sangsi tersebut tidak diberlakukan, maka di sana masih banyak di antara umat Islam yang mempunyai pendapat yang sama dengan mereka yang tinggal di negara tempat sangsi tersebut diberlakukan.

Memang cukup sulit untuk merumuskan kira-kira bentuk sangsi yang bagaimana yang bisa mnghilangkan kesan bahwa hukum Islam itu adalah hukum yang kejam tanpa menghilang kan tujuan dari hukum Islam itu sendiri, yaitu menegakkan keadilan. Mungkin akan ada yang berkata bahwa mencari alternatif seperti itu adalah tidak mungkin karena bentuk sangsi sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Quran dan sunah rasul tidak mungkin dapat digantikan dengan bentuk sangsi yang lain. Selain itu, ada kekuatiran bahwa memi lirkan alternatif seperti itu akan bisa dituduh "kafir" atau "ahli bid'ah".


Beberapa Contoh Tentang Penyesuaian Hukum-hukum yang ada dengan Kondisi Masyarakat

Sebenarnya, bila kita mau menengok sedikit saja  ke dalam sejarah, maka kita akan bisa melihat bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu, peraturan-peraturan yang ada di dalam agama Islam ternyata memang bisa disesuaikan dengan zaman serta kondisi dan situasi yang ada di masyarakat, meski hal ini tentunya harus dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dan tidak boleh gegabah. Mereka yang melakukannya pun bukanlah orang-orang sembarangan. Kita bisa mengingat misalnya khalifah Umar yang membebaskan pencuri pada saaat musim paceklik karena orang itu mencuri bukanlah karena dia serakah ingin memiliki harta yang bukan haknya, tetapi ia mencuri hanyalah sekedar untuk mengganjal perutnya yang kelaparan karena berhari-hari tak makan.

Atau contoh yang lain lagi misalnya Sunan Kudus yang mengharamkan penduduk untuk menyembelih sapi karena dikhawatirkan akan bisa menyinggung perasaan orang Hindu yang begitu mengeramatkan sapi. Dan masyarakat Kudus masih baru-baru ini saja berani menyembelih sapi untuk merayakan hari raya Idul Adha. Kalau dulu mereka takut jika "dikutuk" oleh Sunan Kudus yang nama aslinya adalah Ja'far Shodiq ini. Atau contoh yang mungkin lebih "ekstrim" lagi, ada pula juru dakwah di masa lampau yang mengajarkan bahwa shalat itu hanya ping telu (tiga kali) dalam sehari dan bukannya lima kali karena kondisi masyarakat yang masih sulit diajak untuk shalat secara penuh.  Hal serupa juga terjadi di Lombok dan mereka menyebutnya sebagai shalat waktu telu.

Mengenai contoh yang pertama, kita tentu tahu bahwa bahwa nash Al-Quran dengan tegas menyebut bahwa pencuri wajib dipotong tangannya, tanpa ada perkecualian. Jadi, kalau kita baca secara harfiah saja, maka seorang pencuri bila dia tertangkap akan langsung saja kita potong tangannya. Tak peduli apakah dia seorang koruptor kelas kakap yang masih tetap gemar mencuri walaupun perutnya sudah buncit berlemak ataukah dia itu orang  yang jujur yang terpaksa mencuri karena hanya sekedar untuk mengganjal perutnya yang sudah berhari-hari kelaparan.

Kalau kita pandang sekilas saja, tentunya tindakan khalifah Umar itu merupakan suatu pelanggaran terhadap perintah Al-Quran. Terlebih lagi pada masa Nabi tidak pernah ada peristiwa serupa. Tetapi, bila kita mau meng kaji lebih jauh, maka apa yang dilakukan oleh khalifah Umar itu sebenarnya malah sesuai dengan perintah Al-Quran, yaitu menegakkan keadilan. Dan tujuan dari diturunkannya ayat Al-Quran itu memang adalah untuk menegakkan keadilan, bukan untuk memotong tangan orang. Sedangkan mengenai tindakan Sunan Kudus, kita semua tentu sudah tahu bahwa daging sapi itu halal, dan mengenai shalat wajib tentu saja jumlahnya ada lima kali.

Dengan dilakukannya ijtihad-ijtihad oleh mereka, disesuaikannya hukum-hukum dengan kondisi yang ada, lalu apakah kita bisa menuduh Khalifah Umar dan para wali itu sebagai orang kafir dan ahli bid'ah? Tentu jawabannya adalah tidak sebab bagaimana mungkin khalifah Umar yang merupakan salah seorang sahabat utama akan menyeleweng dari ajaran Islam. Demikian pula para wali sebab mereka adalah orang-orang yang memperjuangkan agama Islam dengan penuh keikhlasan dan ketulusan hati.

Jadi, apa yang dilakukan oleh khalifah Umar itu sebenarnya malah sesuai dengan tujuan hukum Islam itu sen diri, yaitu untuk menegakkan keadilan, sedangkan yang dilakukan oleh para wali tersebut sebenarnya malah mendu kung syiar agama Islam biarpun bila kita pandang sekilas saja seolah-olah seperti melanggar peraturan yang ada dalam agama Islam. Dan kita tahu bahwa dakwah para wali itu ternyata bisa berhasil dengan baik karena mereka melaku kan dakwah tersebut dengan cara yang tidak kontradiktif dan melakukan penyesuaian-penyesuaian seperlunya dengan kondisi dan adat-istiadat masyarakat yang ada pada masa mereka. Masyarakat Kudus yang semula masih banyak yang menganut Hindu pun sekarang semuanya telah menjadi penganut Islam yang taat karena cara berdakwah yang penuh toleransi dan kebijaksanaan dari Sunan Kudus tersebut. Cobalah kita bayangkan seandainya saja pada waktu itu Sunan Kudis merayakan Idul Adha dengan cara menyembelih sapi secara demonstratif di hadapan orang-orang Hindu, yang terjadi pastilah bukan penyebaran agama Islam, sebaliknya orang Hindu akan bersikap antipati dan bermusuhan terhadap agama Islam. Dakwah pun bisa dipastikan akan gagal total. Sedangkan masyarakat yang semula hanya shalat ping telu sekarang ini mereka sudah menjalankan shalat lima waktu sebagaimana umat Islam yang lainnya.

Sedangkan mengenai contoh yang lain terjadi pada masa Nabi Muhammad itu sendiri, yaitu dilarangnya umat Islam pada masa awal dimulainya dakwah Islam untuk melakukan ziarah kubur sedangkan pada masa yang selanjutnya hal itu malah dianjurkan. Hal ini disebabkan karena pada masa awal dimulainya dakwah kondisi keimanan umat Islam masihlah sangat labil. Mereka dikhawatirkan akan mengeramatkan kuburan sehingga bisa  membuat keimanan mereka menjadi luntur kembali. Sedangkan pada masa yang selanjutnya ketika keimanan umat Islam dirasa sudah cukup kuat hal itu malah dianjurkan karena umat Islam diharapkan akan senantiasa mengingat bahwa hidup ini tidaklah kekal dan pada akhirnya kita semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang semua hal yang pernah kita lakukan di dunia ini. Dan ini tentunya diharapkan akan bisa menambah keimanan umat Islam sehingga akan bisa mencegah mereka melakukan hal-hal yang tercela. Sepeninggal Nabi Muhammad umat Islam memang mulai kambuh lagi kebiasaannya untuk mengera matkan kuburan dan hingga sekarang hal itu masih terjadi di banyak tempat. Tetapi, di masa depan hal ini rasanya akan semakin menurun kecenderungannya seiring dengan semakin meningkatnya taraf pendidikan dari umat Islam.

Sebenarnya, pada saat ini tanpa disadari oleh umat Islam sendiri, dalam beberapa hal telah bisa memahami tujuan dari apa yang tertera dalam suatu ayat Al-Quran atau hadits dengan cukup baik dan tidak memahaminya secara harfiah saja. Misalnya saja mengenai lukisan (termasuk di dalamnya adalah fotografi) atau membuat patung. Pada saat ini, bagi sebagian besar umat Islam hal ini sudah tidak menjadi masalah lagi.1

Padahal, kalau kita mau membuka kitab-kitab hadits, di sana jelas-jelas tertera bahwa menggambar mahluk hidup adalah haram, terlebih lagi membuat patung. Tetapi, kenapa umat Islam sekarang sudah tidak mempersoalkannya lagi. Bukankah ini jelas suatu pelanggaran terang-terangan terhadap sunah Nabi! Mengapa tidak kita bakar saja setiap foto dan luki san yang terpasang di dinding rumah kita? Atau di koran dan majalah? Juga mengapa tidak kita bongkar saja setiap patung yang kita temui di pingggir jalan? Atau mengapa tidak kita gebuki saja setiap pelukis gondrong yang nongkrong di jalanan?

Pada saat ini, kita nampaknya sudah cukup menyadari bahwa walaupun banyak terdapat patung atau lukisan berbentuk manusia atau hewan, rasanya sudah tidak mungkin lagi kita akan menyembah lukisan atau patung tersebut meskipun bentuk dan warnanya sangatlah indah. Keadaan ini tentunya berbeda dengan dengan masa pada saat Islam baru saja berkembang di mana masyarakat masih baru saja lepas dari kemusyrikan. Bila mereka diizinkan membuat patung atau melukis mahluk hidup, dikhawatirkan mereka akan menyembah benda-benda tersebut dan menjadi musyrik kembali. Itulah sebabnya Nabi melarang membuat patung atau melukis karena kondisi masyarakatnya yang masih tidak memungkinkan. Oleh karena itu, sikap kita pada saat ini bisa diang gap sudah benar karena bisa memahami maksud dan tujuan yang sebenarnya dari hadits tersebut, yaitu menghindarkan umat Islam yang pada masa itu masih baru saja lepas dari paganisme untuk menjadi penyembah berhala kembali. Sedangkan pada masa kini hal seperti itu tentunya sudah tidak mungkin terjadi lagi. Jadi, sama sekali tidak ada masalah bila sekarang ini ada di antara kita yang mau menjadi pelukis, fotografer atau pematung karena rasanya mustahil bila kita bisa menjadi musyrik hanya gara-gara sebuah karya seni meskipun karya tersebut sangatlah indah.

Jadi persoalannya di sini adalah seperti misalnya saja contoh berikut. Misalnya saja kita sering melihat seorang ibu melarang anaknya yang masih balita untuk bermain-main di jalanan. Padahal, itu hanyalah jalan kampung yang sangat lengang. Ibu itu tentunya melarang atas dasar anaknya masih kecil dan belum mengerti bahaya, suka main selonong saja. Tetapi, kalau anak itu sudah besar, ibu itu tentu tidak akan melarangnya walaupun anak itu hendak mengendarai mobil di jalan raya. Kalau  ibu itu terus melarang anaknya pergi ke jalan meskipun anak itu sudah berumur tujuhbelas, maka anak itu akan menjadi
balita abadi. Atau contoh yang lainnya lagi misalnya seseorang yang dilarang oleh dokter untuk minum jeruk karena sakit maagnya sedang kambuh. Tetapi, kalau sudah sembuh ya silakan saja minum es jeruk. Kalau tidak malah bisa terkena sariawan. Selain contoh di atas, masih banyak lagi yang lainnya, bisa mencarinya sendiri.

Alternatif Bentuk Sangsi

Setelah melihat beberapa contoh di atas, maka semakin jelaslah bahwa kita memang harus selalu berusaha  memahami makna dan tujuan yang sebenarnya dari suatu ayat  Al-Quran atau  hadits. Tidak memahaminya secara harfiah saja. Dan hal  ini sekarang nampaknya perlu juga dilakukan di  dalam memahami ajaran  Islam yang berkenaan  dengan  hukum  had karena  penerapan  sangsi-sangsi semacam itu  di berbagai negara  Islam dengan alasan untuk menjalankan hukum  Islam secara murni dan konsekuen malah membuat orang beranggapan bahwa  Islam  itu agama yang kejam dan  berlumuran  darah. Membuat orang menjadi merasa takut dan ngeri bila  mendengar kata hukum Islam.

Dan yang lebih celaka lagi, pada sebagian negara yang menerapkan sangsi semacam itu, lantas sudah merasa  berhak menyebut  dirinya  sebagai negara Islam,  padahal  ajaran-ajaran  Islam  yang lain, yang justru sangat  penting dan mendasar seperti  adanya persamaan  hak  di depan  hukum,  kebebasan berbicara dan  berpendapat  malah dibungkam  begitu  saja.  Bukankah hal semacam  itu  juga melanggar ajaran Islam. Tetapi mereka tidak pernah menyebutnya sebagai hal yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Oleh  karena  itu, dengan masih  terdapatnya  hal-hal yang  tidak  sesuai dengan ajaran  Islam  tersebut,  maka mereka  pun rasanya belum bisa menyebut negaranya sebagai negara Islam meskipun hukum had diberlakukan di sana.  Dan agama  Islam memang tidaklah  hanya  sekedar  mengajarkan hukum  had.  Lagipula, dengan menyebut  negaranya  sebagai negara  Islam, maka orang akan berpandangan  bahwa memang demikianlah  ajaran  Islam sehingga  Islam  dianggap  juga sebagai agama yang tidak mengenal demokrasi dan  mendukung otoritarianisme. Maka, semakin lengkaplah citra yang buruk tentang Islam. Dan pada sebagian negara yang secara resmi menyebut  dirinya sebagai negara Islam, rata-rata di  sana memang masih belum terdapat pemerintahan yang  demokratis, Bila  pun sudah ada yang demokratis, maka biasanya  masih tenggelam  dalam  kemiskinan dan keterbelakangan.

Sebenarnya,  bila  suatu negara itu  hendak  menyebut negaranya  sebagai negara Islam, maka  seharusnya  paling tidak  ada empat syarat yang harus dipenuhi, yaitu terwu judnya suatu pemerintahan yang bisa menjamin:
1. Kebebasan untuk berbicara dan mengemukakan pendapat.
2. Kebebasan untuk beragama
3. Kebebasan dari rasa takut.
4. Bebas dari kekurangan (dari rasa lapar dan kemiskinan)


Demikianlah syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi bila  suatu  negara  itu ingin menyebut  dirinya  sebagai negara  Islam.  Seandainya pun masih belum bisa  memenuhi maka  haruslah ada upaya-upaya untuk  mewujudkannya.  Bila pun  ada yang ingin menambah sendiri syarat-syarat  tersebut, boleh-boleh saja, asalkan yang empat itu tetap disertakan dan didahulukan. Tetapi, kalau diperkenankan, maka kita di sini  ingin menambah satu satu syarat lagi. Satu saja, tidak  banyak-banyak, yaitu suatu pemerintahan yang bisa menjamin negara yang bebas dari apa yang biasanya disebut sebagai mo limo. Dan rasanya, walaupun falsafah ini  dikemukakan oleh orang Jawa, tetapi rasanya bersifat universal juga,  baik  bagi orang Jawa maupun non Jawa.  Malah  juga bagi  seluruh bangsa-bangsa di dunia sebab kelima hal  itu memang  banyak menjadi sumber kesengsaraan dan  penindasan bagi  umat  manusia.

Meski  demikian,  untuk  membebaskan negara dari kelima hal tersebut tidaklah bisa dengan  cara "asal  garuk" begitu saja, tetapi dengan cara  meniadakan, atau paling tidak meminimalkan kondisi lingkungan yang bisa menyebabkan berbagai keburukan itu bisa terjadi.  Masalah ini akan dibahas lebih lanjut dalam bab yang berikutnya.

Selain  pendapat yang menyatakan bahwa  suatu  negara mesti  bisa melengkapi empat  syarat  tersebut,  ternyata sekarang  ini juga berkembang sebuah teori baru tentang "hak-hak  asasi manusia", yaitu yang dinamakan Asian  cow values.  Sebuah nilai-nilai yang digali dari “ajaran  luhur“ para leluhur  bangsa Asia, yang menyatakan bahwa  bangsa Asia  ini  adalah bangsa yang sangat  unik,  seunik  sapi. Karena itu, tak perlu ada kebebasan, baik itu kebebasan berbicara dalam  bidang  politik, mengekspresikan  seni  dan budaya atau pun yang lainnya. Tetapi, cukuplah bangsa Asia ini ditaruh di  dalam kandang yang rapat dan bersih, bebas dari hama lalat asing dan diberi pakan yang teratur setiap hari, supaya  selalu kenyang, cepat gemuk dan tidak mudah mengamuk. Dan beberapa  waktu  yang lalu memang ada berita bahwa  telah lahir generasi  baru  di lembah sungai Yang  Tse  sana yang  dinamai generasi anak gemuk. Jadi, program mensapikan manusia  ini memang  telah berhasil dengan cukup sukses  di  mana-mana. Kemudian, kalau  ada  sapi yang menderita  sakit gara-gara hama penyakit yang  menyelundup dari  luar  kandang, maka supaya sehat kembali marilah kita  suntik sapi itu sekali-kali. Berilah mereka suntikan ala Tiananmen misalnya....

Selain negara yang menganut  kapitalisme sepeti Singapura,  mereka yang suka menganjurkan Asian cow values ini memang adalah negara-negara yang berpaham komunis, suatu paham yang jelas berasal dari Eropa  Barat. Barangkali mereka mengira Karl Marx lahir di Shanghai dan  Engel di sungai Mekong.

Pada  masa lampau, bentuk-bentuk sangsi yang  seperti yang  ada  dalam hukum had, bahkan yang lebih  kejam  dari itu,  seperti  hukuman dipaku di kayu  salib sehingga  si terhukum  mati  perlahan-lahan, atau diumpankan  ke singa Afrika yang kelaparan seperti yang terjadi pada masyarakat Romawi merupakan  hal yang lumrah, malah  bisa  dianggap sebagai  suatu "hiburan segar", yang bisa  ditonton  orang secara beramai-ramai,  seperti menonton bioskop.  Bahkan, sampai  ke masa yang lebih dekat lagi seperti  zaman Inquisition,  revolusi Perancis atau zaman koboi  Amerika, hukuman dipanggang hidup-hidup,  penggal  kepala  dengan guillotine atau  hukum gantung sampai mati  bagi  pencuri kuda merupakan hal yang biasa dan dianggap wajar saja. Tetapi,  pada  masa  sekarang,  hukuman  semacam  itu dianggap  sudah tidak sesuai lagi. Oleh karena  itu,  umat Islam Islam memang perlu memikirkan dan mencari alternatif bentuk  sangsi yang lain yang sesuai  dengan  perkembangan peradaban manusia sebab diterapkannya sangsi-sangsi  semacam  itu malah semakin memperbutuk citra agama Islam.  Apa yang harus kita lakukan sekarang ini memang adalah mencip takan  wajah  Islam yang humane dan manusiawi,  yang  bisa menimbulkan simpati bagi orang lain, bukannya malah menim bulkan  rasa antipati dan ketakutan seperti  yang terjadi selama ini sebab bagaimana syiar Islam akan berhasil kalau orang memandang Islam saja sudah merasa takut dan ngeri.

Dalam  hal ini, rasanya sekali lagi perlu  ditegaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk menegakkan keadilan, sedangkan bentuk-bentuk sangsi yang diberlakukan bukanlah tujuan  dari hukum Islam itu sendiri melainkan hanya cara untuk  mencapai tujuan. Dan apabila  bentuk-bentuk  sangsi tersebut hanyalah  salah satu cara  saja untuk  mencapai tujuan, mengapa umat Islam tidak mencari cara lain, alternatif lain, tentu saja dengan syarat tidak menyimpang dari tujuan hukum Islam itu sendiri, yaitu menegakkan keadilan.

Seperti  misalnya  saja hukum potong  tangan.  Mungkin hukum semacam ini bisa diganti dengan hukuman denda  sebesar  nilai barang yang dicurinya untuk kemudian diberikan kepada  si  korban  sebagai ganti  barangnya  yang hilang dengan ditambah kurungan sebagai hukuman atas perbuatannya tersebut. Apabila si pencuri tidak mampu mengganti  barang tersebut,  maka ia dihukum kurungan sambil bekerja hingga hasil kerjanya bisa untuk membayar ganti rugi kepada  si korban.

Ganti  rugi kepada si korban ini merupakan  hal  yang sangat penting untuk menumbuhkan rasa keadilan sebab apalah artinya  bagi  si korban meskipun pencuri barangnya  itu tertangkap dan dihukum bila barangnya tidak kembali. Boleh jadi barangnya yang hilang itu adalah hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun atau mungkin barangnya yang  hilang itu adalah sepeda motor atau televisi kreditan yang belum lunas sehingga tentunya sangat mengecewakan bila barangnya itu hilang begitu saja meskipun pencurinya bisa tertangkap dan  dihukum  dengan  hukuman yang  sangat berat,  bahkan hukuman mati sekali pun. Malah bagi si  korban,  diganti atau kembalinya barangnya yang hilang itu  lebih  penting dari tertangkap dan dihukumnya si pencuri. Bukankah demikian?

Apa  yang  disebutkan  di atas  adalah  suatu  contoh alternatif.  Meski demikian, tentunya tidak  tertutup  ke mungkinan  adanya  alternatif lain yang lebih  baik.  Ini merupakan  tugas  dan  kewajiban bagi   umat  Islam  untuk bersama-sama  turut memikirkannya. Tidak  hanya  mengenai masalah  hukum potong tangan saja, tetapi juga  mengenai sangsi  yang lainnya seperti rajam sampai mati  dan  hukum cambuk.

Hanya saja, perlu dipahami bahwa suatu alternatif itu baru  boleh dianggap tepat bila sudah dibuktikan  terlebih dahulu.  Jadi,  memerlukan suatu uji coba. Bila  ternyata  kurang tepat maka harus segera diganti dan dicari alterna tif lain yang lain hingga benar-benar tercipta yang paling baik  dan  paling adil. Dan tolok ukur dari  kebaikan  dan keadilan  suatu  hukum adalah  terciptanya rasa aman  dan tentram  di dalam masyarakat. Terbebasnya masyarakat  dari perasaan  takut  dan cemas. Bila hal itu belum  tercapai, maka hukum yang ada berarti masih perlu diperbaiki.

Dari sini mungkin masih ada yang belum setuju  dengan apa  yang dikemukakan di atas. Karena  itu,  mungkin  ada baiknya  bila  di sini diberikan suatu  perumpamaan, yang gampang-gampang saja. Misalnya saja kita biasanya pergi ke Surabaya  lewat Madiun, tetapi kemudian ada  berita  bahwa ada Jembatan yang rusak di Madiun sehingga tak bisa  dile wati. Maka yang harus kita lakukan tentunya mencari  jalan alternatif yang lain. Lewat pantura misalnya, atau mencari jalan  alternatif  yang lain lagi. Yang penting  kan  bisa sampai  ke Surabaya. Kalau bersikeras lewat  Madiun malah bisa-bisa kecemplung  sungai dan tidak  pernah  sampai  ke Surabaya.

Jadi, mudah-mudahan contoh di  atas  akan bisa membuat semakin jelas bahwa kita ini memang  haruslah selalu  berusaha  memahami ayat Al-Quran atau hadits  itu berdasarkan  maksud dan tujuannya sebab memang  tidak  ada suatu  perintah atau larangan itu  yang  tidak  mempunyai tujuan.  Jadi,  kita pahami dahulu  tujuannya, lalu  bila terjadi   perubahan-perubahan  keadaan maka   disesuaikan dengan  perubahan keadaan tersebut tanpa  menyimpang dari tujuan yang semula.

Kemudian,  untuk bisa lebih mudah memahami  apa  yang telah dikemukakan di atas, maka patut pula kita perhatikan bahwa Nabi  Muhammad tidak  memaksa umatnya untuk pergi shalat Jumat  bila  hujan sedang deras dan jalanan menjadi becek dan kotor. Dan kita cukup  menggantinya  dengan shalat Dzuhur di  rumah  saja. Padahal, kita tahu bahwa shalat Jumat adalah sesuatu yang wajib  dan  orang yang meninggalkannya selama  tiga  kali berturut-turut  bisa dianggap telah murtad. Jadi, Islam memang  sebenarnya agama yang mudah dan luwes, tidak ingin memberatkan umatnya. Hanya saja, kita seringkali membuatnya  menjadi sangat sukar dan memberatkan.

Selain hadits di atas, masih banyak lagi contoh  yang serupa,  seperti misalnya ajaran bertayamum sebagai  peng ganti  mandi  dan wudlu ataupun  membayar fidyah sebagai pengganti  puasa.  Malah  pernah pula  seorang  sahabat  yang dibebaskan  sama sekali dari berpuasa dan membayar  fidyah karena ia memang benar-benar tak mampu memenuhi  keduanya. Dan sebenarnya masih banyak lagi contoh yang lainnya. Kita bisa membacanya  lebih lanjut pada berbagai  kitab  yang telah ada.

Tentang Hukuman Mati

Mengenai alternatif hukuman bagi orang yang melakukan pembunuhan rasanya tidak mungkin ada karena nyawa  manusia tidak  bisa  digantikan dengan uang atau barang  berharga lainnya,  barang semahal apa pun. Apalagi bila pembunuhan itu dilakukan hanya sekedar karena ingin  merampas  harta korbannya. Oleh  karena  itu, bagaimana pun  juga  hukuman  mati masih tetap bisa diberlakukan.  Tetapi  mungkin caranya perlu  diatur  sedemikian rupa sehingga  tidak  terkesan kejam, apalagi sadis. Dan satu hal yang tidak kalah pentingnya  untuk dipertimbangkan adalah apakah orang tersebut membunuh karena  ia memang sudah sejak  semula  bermaksud untuk melakukan kejahatan ataukah ia  melakukannya  hanya untuk membela diri, melindungi nyawanya yang terancam. 


Memang banyak orang yang tidak setuju dengan hukuman mati karena dianggap kejam dan menyarankan supaya  dihapus saja. Mereka juga berpendapat bahwa dengan diberlakukannya hukuman  mati, maka berarti tidak memberikan kesempatan orang untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukannya.  Tetapi,  argumen tersebut rasanya kurang tepat  sebab apakah sang  pembunuh  juga pernah memberikan kesempatan  kepada korbannya yang sudah mati itu untuk  bertobat.  Perhatian hak asasi sebaiknya lebih ditekankan kepada  korban  yang kemungkinan  besar tidak bersalah apa-apa dan  karena  itu merekalah  yang  lebih  patut  dibela.  Lagipula, mengapa mereka mesti melindungi seorang pembunuh sadis yang jelas-jelas bersalah, yang  terkadang  membunuh  hanya  karena sekedar  iseng-iseng dan gagah-gagahan saja  seperti  yang kerap  terjadi  di kalangan anak  muda. Sebaliknya juga, mengapa mereka membutakan diri terhadap nasib  si  korban dan keluarganya, yang boleh jadi korban  tersebut  adalah tulang  punggung dari keluarga  dan  sepeninggal  korban keluarganya  akan mengalami kesulitan mencari nafkah.  Dan selama  ini kita memang bisa menyaksikan  dan membuktikan dengan mata kepala sendiri bahwa karena tindak pembunuhan tidak  diberi  sangsi yang berat, maka  hal  ini  ternyata telah menyebabkan orang tidak lagi menghargai nyawa  orang lain.  Bila yang dibunuh itu hanya seorang mungkin  masih bisa  diampuni,  tetapi bagaimana bila  yang  dibunuh itu mencapai belasan atau malah puluhan orang. Atau  bagaimana bila mereka mencingcang para korbannya seperti yang  kerap terjadi  pada  pembunuhan berantai. Dengan  adanya sangsi yang  tegas dan pasti  (jadi, sudah  pasti  akan menerima hukuman  mati  bila ia melakukan pembunuhan),  maka  orang akan bertobat dan memperbaiki kesalahan niatnya  sebelum melakukan pembunuhan.  Pada akhirnya,  akan  terhindarlah adanya korban yang sia-sia, baik karena tindak  pembunuhan maupun  karena hukuman mati. Kepastian ini merupakan  hal yang sangat  penting karena bila ada yang lolos  dan  ada yang tidak  lolos, maka orang masih  akan  bisa berharap bahwa  ia   nanti tetap bisa terbebas dari  hukumam  mati. Apalagi  bila  ternyata lebih banyak yang  lolos daripada yang terkena. Bila sampai terjadi demikian, maka  meskipun hukuman mati diterapkan, janganlah berharap  kejahatan  jenis  ini  akan bisa berhenti. Harus ada kepastian.

Dan memang  hanya dengan adanya sangsi yang tegas dan pasti, maka orang akan bertobat dan memperbaiki kesalahan niatnya sebelum melaku kan pembunuhan. Bila pun ada yang baru  bertobat  setelah melakukan pembunuhan,  maka Tuhan  Maha Penerima  Tobat, tetapi  hukum tetaplah harus tetap dijalankan. Dan  urusan bertobat memang adalah urusan manusia dengan Tuhan,  bukan antara  manusia dengan manusia. Biarlah ia nanti bertobat di  hadapan  Tuhan. Dan kita bisa membantu mempercepatnya. Dalam hal ini kita memang  lebih  baik bersikap preventif sebab berbeda dengan harta benda,  bila nyawa  sudah hilang, maka ia tak akan pernah bisa  kembali lagi. Dan memang lebih baik kita mengingatkan seorang  sopir  untuk tidak ngebut sebelum ia berangkat daripada mengingatkannya ketika ia telah masuk jurang bersama puluhan penumpangnya. Sudah  terlambat dan percuma saja. Sudah terlanjur jatuh banyak korban. Upaya preventif memang selalu lebih  baik ketimbang kuratif.

Selain  itu,  sangsi hukuman mati  ini  bisa  efektif karena  menyentuh  instink manusia yang  paling  mendasar, yaitu  instink untuk survive atau bertahan hidup. Dengan diberlakukannya  hukuman mati, maka ini akan bisa  membuat seseorang yang kurang bisa menghargai nyawa orang lain dan berniat melakukan pembunuhan akan selalu ingat bahwa  bila dia melkukan pembunuhan, maka dia berarti membunuh  dirinya sendiri.  Dengan  demikian, orang  akan  selalu  berusaha menghindarkan diri dari melakukan tindak pembunuhan karena hal  itu akan bisa membahayakan keselamatan dirinya  sen diri. Oleh karena itu, hukuman mati masih perlu diterapkan untuk mencegah seseorang melakukan tindak pembunuhan orang lain.

Apabila kita tidak menerapkan hukum yang tegas  untuk kejahatan  jenis ini, maka akan membuat tidak  dihargainya lagi nyawa manusia. Orang bisa saja ditembak mati, disabit clurit  dan  terkapar  di jalanan  hanya  karena  masalah-masalah  yang sangat sepele. Mungkin hanya karena  sekedar ingin merampas dompet yang berisi uang sepuluh ribu  saja. Atau  mungkin hanya karena perselisihan kecil di  jalanan. Dan pembunuhnya kemudian bisa bebas beberapa tahun  lagi, untuk kemudian membunuh orang lagi. Ditahan lagi, keluar dan membunuh lagi. Berkali-kali. Dan ini memang ini adalah hal yang kerap terjadi. Jadi, mereka ternyata tidak berto bat seperti yang disangka. Apakah mereka yang menolak hukuman mati bisa menjamin mereka akan bisa bertobat sepenuhnya? Jawabannya kemungkinan besar adalah tidak. Kalau mereka yang menolak bisa menjamin, maka baiklah kita bisa setuju. Bila mereka tak mau bertanggung jawab, maka kita tidak setuju. Setiap orang yang berpendapat haruslah turut serta bertanggung jawab atas akibat-akibat pendapatnya.

Selain itu, kita bisa melihat bahwa di beberapa negara lain  seringkali  terjadi bagaimana  seorang  pembunuh  sadis  yang jelas-jelas bersalah dan telah membunuh puluhan atau belasan orang  dan dia  juga jelas-jelas anggota sebuah  organisasi kejahatan dapat dengan mudah lolos dari hukuman, malah bisa  dengan santai  muncul di muka umum dan tampil  sebagai milyuner dermawan.  Dan bila dia tertangkap lalu diadili,  maka  ia tidaklah diadili karena perkara kriminal yang  dilakukannya, tetapi malah diadili karena penggelapan pajak. Suatu hukum yang aneh. Mengapa kita tidak sekalian menghukum seorang pencuri mobil dengan tuduhan melanggar lampu merah? Sistem hukum yang buruk semacam ini tentunya akan mendukung semakin berkembangbiaknya aksi kejahatan  karena para  penjahat menganggap sangsi hukumannya  ringan  saja. Mengenai  masalah  ini, beberapa warga pernah menulis di surat  pembaca majalah Time untuk menanggapi berita yang menyatakan bahwa polisi sudah "berhasil" memerangi kejahatan. Dan boleh jadi keluhan berikut ini mencerminkan sikap banyak warga yang dirundung kecemasan karena sangat  tingginya angka kriminalitas di sana. Satu di antaranya:

Berapa  banyak  uang yang harus  kita  keluarkan untuk membeli kunci dan peralatan anti pencuri  mobil jenis baru serta premi asuransi yang semakin meningkat sementara kita sudah berani menyatakan  berhasil memenangkan perang melawan kejahatan. Saya mengkhawatirkan  hukum  dan tatanan (law and order)  yang  ada saat ini dan juga apa yang kita namakan sistem keadi lan.  Saya lebih menyukai keadilan dan hukuman  a la Singapore. (Joachim H. Barz, Mesa Arizona).2

Melihat hal di atas, maka dalam hal ini kita  nampak nya perlu sekali lagi mengingat prinsip dan tujuan  hukum, yaitu menegakkan keadilan serta menciptakan rasa aman  dan tentram  dalam  kehidupan masyarakat. Bila hak itu  belum tercapai, maka berarti hukum yang ada masih perlu  diperbaiki.


Sedangkan mengenai hukum di Indonesia sendiri, kita agaknya sudah waktunya merevisi kitab-kitab hukum yang ada, terutama lagi yang berkaitan dengan masalah pidana. Bagaimana mungkin kita bisa menjalankan hukum dengan baik kalau perangkat hukumnya adalah diadopsi dari zaman Belanda? Padahal, keadaan masyarakat tidaklah statis dan tetap seperti zaman Belanda. Jadi, sudah sangat ketinggalan zaman dan perlu direvisi sepenuhnya sejalan dengan perkembangan yang ada. Sistem hukum haruslah mampu menjamin keamanan dan ketentraman masyarakat.

Masalah Kejahatan dan Watak Manusia

Banyak orang yang berpendapat bahwa penyebab kejaha tan antara lain adalah masalah ekonomi. Ini memang ada benarnya mengingat kebutuhan pangan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Di dalam Islam sendiri terdapat kelonggaran apabila orang yang melakukan kejahatan itu karena terpaksa, terdesak oleh perut yang lapar, seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar.  Tetapi, masalah ekonomi agaknya bukanlah penjelasan satu-satunya karena tidak bisa menjelaskan kenapa banyak orang miskin yang tetap jujur dan memilih berjualan di kaki lima atau jadi tukang semir sepatu daripada melakukan kejahatan. Juga tidak bisa menerangkan kenapa seorang pejabat yang hidupnya sudah sangat berkecukupan masih suka korupsi atau kenapa seorang pengusaha yang sudah sangat kaya raya tetapi masih suka serakah dan menggusur harta milik orang lain yang jauh lebih miskin. Juga kenapa seorang penjahat yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara tidak juga merasa jera, padahal seandainya saja uang hasil kejahatan nya itu dikumpulkan mungkin ia sudah bisa hidup dengan makmur. Meski demikian, ini bukanlah berarti bahwa masalah ekonomi bisa diremehkan begitu saja sebab kemiskinan dan perut yang lapar bisa mendorong orang untuk berbuat apa saja, termasuk juga berbuat kejahatan tanpa mempedulikan lagi keselamatan jiwanya, apalagi jiwa orang lain.

Untuk menerangkan penyebab dari kejahatan selain yang disebabkan oleh kesulitan ekonomi ini, maka kita di sini perlu untuk memahami watak manusia. Pada hakikatnya, watak manusia itu terbagi atas dua golongan. Ada orang yang berkecenderungan baik dan ada yang berkecenderungan jahat. Akan tetapi, dua jenis orang watak yang berbeda ini tidaklah bisa kita samakan dengan warna hitam dan putih. Orang yang berkecenderungan baik juga ada kecenderungan jahatnya walaupun kecil. Orang yang berkecenderungan jahat juga mempunyai kecenderungan berbuat baik walaupun kecil juga. Faktor lingkungan akan sangat berpengaruh di dalam pembentukan watak manusia. Bila dua orang yang kecenderungan wataknya berbeda itu tinggal di suatu lingkungan  yang baik, maka orang yang berkecenderungan baik itu akan semakin terbentuk sifat baiknya, sedangkan yang berkecenderungan jahat akan ada kemungkinan dia akan terpengaruh menjadi lingkungannya sehingga menja di menjadi orang baik, atau mungkin juga dia kan tetap menjadi jahat. Sebaliknya, bila dua orang yang tersebut tinggal di lingkungan yang buruk, maka yang berkecenderungan jahat akan semakin terbentuk sifat jahatnya, sedangkan yang berkecenderungan baik ada kemungkinan dia akan ter pengaruh menjadi  jahat atau tetap menjadi baik. Kisah berikut ini mungkin akan bisa sedikit menjelaskan bagaima na seorang anak yang semula mempunyai sifat-sifat yang buruk kemudian berubah menjadi baik dan tertib karena pengaruh lingkungan barunya.

Kami menyewa lantai dua sebuah rumah dan Koji hidup bersama kami. Koji telah mengembangkan kebiasaan-kebiasaan buruk selama tiga tahun semenjak kematian orang tuanya. Keponakan-keponakan saya kemudian meniru-niru kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut. Koji dianggap membawa pengaruh buruk kepada mereka.3

Selanjutnya lalu dikisahkan :

Kami semua mulai bersikap hati-hati dalam segala hal, bahkan sampai pada tata-cara mengucapkan salam dan mengatur sepatu setiap kali memasuki rumah. Kami diam saja dan tidak mengeluhkan kebiasaan-kebiasaan buruknya. Kami mengubah sikap dan hidup secara baik-baik sesuai dengan tata krama kami.Tahun demi tahun Koji beradaptasi dengan lingkungan barunya. Lama-kelamaan cara hidupnya juga berubah sesuai dengan cara hidup kami. Secara alami ah, tanpa disadarinya, ia telah mengubah cara hidupnya hingga ia melakukan segala sesuatu dengan teratur tanpa perlu dimarahi sama sekali.4

Bila contoh di atas mengisahkan perubahan dari sifat buruk ke sifat baik, maka  tentunya adalah hal yang menyedihkan bila karena pengaruh lingkungannya seseorang yang semula bersifat baik berubah menjadi buruk secara alamiah, tanpa disadarinya. Dari pengalamannya tersebut Suzuki kemudian mengambil kesimpulan:

Pengaruh daya hidup ini sangat kuat. Sekalipun seorang anak berusaha menjadi anak yang manis, namun apabila daya hidupnya telah beradaptasi dengan ling kungan sekitarnya yang tidak baik, maka ia akan terus melakukan apa yang sudah selalu dilakukannya. Hal ini sama sulitnya dengan usaha seseorang yang untuk mencoba berhenti menggunakan dialek Osaka sementara setiap orang di sekitarnya selalu bercakap-cakap dengan menggunakan dialek tersebut. Usaha ini tidak akan berhasil kecuali ia tinggal di suatu tempat yang tak seorang pun berbicara dalam dialek tersebut. Manusia dibentuk oleh lingkungannya.5

Meski demikian, faktor lingkungan ini tidaklah hanya bisa berarti teman sepergaulan, lingkungan keluarga atau semacamnya, tetapi juga bisa diartikan kondisi sosial dan hukum yang berlaku di lingkungannya. Apabila orang yang berkecenderungan baik tinggal di suatu tempat yang memungkinkannya berbuat jahat, besar kemungkinan dia akan tetap berbuat baik walaupun tidak tertutup kemungkinan ia akan berbuat jahat karena terbukanya kesempatan yang ada. Sedangkan bagi orang yang berkecenderungan jahat, maka sifat jahatnya itu akan semakin berkembang karena kondisi lingkungan yang mendukung berkembangnya sifat tersebut. Oleh karena itu, di suatu negara yang sangsi hukum bagi berbagai tindak kejahatan dianggap ringan saja, maka kejahatan akan semakin berkembang luas karena kondisi lingkungan semacam merupakan lahan yang subur bagi ber kembangnya sifat jahat. Kita seringkali mendengar orang yang melakukan tindak kejahatan yang tergolong berat ternyata hanya dihukum ringan saja atau malah bisa lolos dari hukuman. Hal semacam ini akan menyebabkan orang tidak takut untuk melakukan kejahatan sehingga tindak kejahatan pun akan semakin merajalela.

Meski demikian, walaupun hukum yang dan adil tegas sangat diperlukan untuk  memberantas kejahatan, ini nam paknya hanya akan bisa memberantas kejahatan yang disebab kan oleh hukum yang kurang tegas saja, bukan karena sebab kemiskinan. Kita tahu bahwa meskipun sudah ribuan orang dihukum mati di Cina, kejahatan tetaplah ada. Juga meski pun di Pakistan dan Arab Saudi pelacuran diancam hukuman yang berat, kegiatan itu tetap ada. Dan yang lebih mem prihatinkan lagi, yang di Arab Saudi itu banyak di antara nya yang berasal dari Indonesia. Jadi, kemiskinan ini memang berkaitan erat dengan pelanggaran hukum dan norma agama sehingga yang harus dibenahi memang bukanlah masalah hukum saja, tetapi juga masalah ekonomi.

Mengenai bagaimana sifat jahat dan serakah yang ada pada manusia mula-mula timbul, nampaknya diwarisi dari keadaan zaman purba di mana setiap mahluk hidup memang harus berjuang keras untuk mendapatkan makanan. Dan ini pula yang mesti dilakukan oleh para leluhur manusia. Kehidupan yang keras dan berat tersebut nampaknya memang menimbulkan banyak pengaruh buruk. Setiap mahluk hidup seringkali harus bersaing dengan mahluk hidup yang lainnya untuk bertahan hidup termasuk pula bila itu harus dengan cara merampas atau bahkan membunuh yang lainnya yang disebut dengan istilah struggle for existence. Dan insting untuk survive ini memang adalah insting yang terkuat yang ada pada mahluk hidup, termasuk pula manusia. Karena itu, bila kita memang ingin memberantas kejahatan, maka salah satu hal yang perlu dilakukan memang adalah memperkecil atau kalau bisa meniadakan sama sekali kesulitan bagi manusia untuk memperoleh makanan atau sumber penghidupannya. Dengan cara ini, maka secara perlahan-lahan kejahatan dan sifat jahat yang ada pada manusia bisa disingkirkan. Ini akan kita bahas lebih lanjut dalam bab yang berikutnya.


Yogyakarta, 1998.


Endnote
1  Beberapa waktu yang lalu ada berita yang menyata kan bahwa kaum Taliban melarang fotografi, membakar klise foto dan menghancurkan patung antik sisa-sisa peninggalan agama Budha di sana.

2 Time, 5 Februari 1996, hlm. 7. Hukuman dan keadilan a la  Singapore  ini dimaksudkan  untuk  mengingatkan  kepada hukum cambuk yang saat itu baru saja dilaksanakan kepada seorang pemuda kulit putih yang melakukan vandalisme di Singapura.

3 Shinichi Suzuki, Mengembangkan Bakat Anak Sejak Lahir, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 32.
4  Ibid.
5 Ibid.